- Beranda
- Stories from the Heart
Everytime
...
TS
robotpintar
Everytime

Song by : Britney Spears
Notice me
Take my hand
Why are we Strangers when
Our love is strong?
Why carry on without me?
Everytime I try to fly,
I fall without my wings,
I feel so small.
I guess I need you baby.
And everytime
I sleep your in my dreams,
I see your face, it's haunting me.
I guess I need you baby.
I make believe
That you are here.
It's the only way
That I see clear.
What have I done?
You seem to moveon easy.
Everytime I try to fly,
I fall without my wings,
I feel so small,
I guess I need you baby.
And everytime I sleep
your in my dreams,
I see your face, you're haunting me
I guess I need you baby.
I may have made it rain,
Please forgive me.
My weakness caused you pain,
And this song's my sorry...
At night I pray,
That soon your face
Will fade away.
Take my hand
Why are we Strangers when
Our love is strong?
Why carry on without me?
Everytime I try to fly,
I fall without my wings,
I feel so small.
I guess I need you baby.
And everytime
I sleep your in my dreams,
I see your face, it's haunting me.
I guess I need you baby.
I make believe
That you are here.
It's the only way
That I see clear.
What have I done?
You seem to moveon easy.
Everytime I try to fly,
I fall without my wings,
I feel so small,
I guess I need you baby.
And everytime I sleep
your in my dreams,
I see your face, you're haunting me
I guess I need you baby.
I may have made it rain,
Please forgive me.
My weakness caused you pain,
And this song's my sorry...
At night I pray,
That soon your face
Will fade away.
FAQ (Frequently asked questions)
Indeks Cerita :
Quote:
Episode 1
Bagian #1
Bagian #2
Bagian #3
Bagian #4
Bagian #5
Bagian #6
Episode 2
Bagian #7
Bagian #8
Bagian #9
Bagian #10
Bagian #11
Bagian #12
Bagian #13
Bagian #14
Bagian #15
Bagian #16
Bagian #17
Bagian #18
Bagian #19
Bagian #20
Episode 3
Bagian #20A
Bagian #20B
Bagian #20C
Bagian #20D
Episode 4
Bagian #21
Bagian #22
Bagian #23
Bagian #24
Bagian #25
Bagian #26
Bagian #27
Bagian #28
Bagian #29
Bagian #30
Episode 5
Bagian #31
Bagian #32
Bagian #33
Bagian #34
Bagian #35
Bagian #36
Bagian #37
Bagian #38
Episode 6
Bagian #39
Bagian #40
Bagian #41
Bagian #42
Bagian #43
Bagian #44
Bagian #45
Bagian #46
Bagian #47
Episode 7
Bagian #48
Bagian #49
Bagian #50
Bagian #51
Bagian #52 (End)
Bagian #1
Bagian #2
Bagian #3
Bagian #4
Bagian #5
Bagian #6
Episode 2
Bagian #7
Bagian #8
Bagian #9
Bagian #10
Bagian #11
Bagian #12
Bagian #13
Bagian #14
Bagian #15
Bagian #16
Bagian #17
Bagian #18
Bagian #19
Bagian #20
Episode 3
Bagian #20A
Bagian #20B
Bagian #20C
Bagian #20D
Episode 4
Bagian #21
Bagian #22
Bagian #23
Bagian #24
Bagian #25
Bagian #26
Bagian #27
Bagian #28
Bagian #29
Bagian #30
Episode 5
Bagian #31
Bagian #32
Bagian #33
Bagian #34
Bagian #35
Bagian #36
Bagian #37
Bagian #38
Episode 6
Bagian #39
Bagian #40
Bagian #41
Bagian #42
Bagian #43
Bagian #44
Bagian #45
Bagian #46
Bagian #47
Episode 7
Bagian #48
Bagian #49
Bagian #50
Bagian #51
Bagian #52 (End)
Quote:
Diubah oleh robotpintar 04-07-2014 13:30
gocharaya dan 103 lainnya memberi reputasi
102
600.1K
Kutip
1.5K
Balasan
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#1032
Spoiler for Bagian #46:
Gua membuka pintu rumah yang hening. Ya memang sejauh yang gua kenal, dihari-hari weekday seperti sekarang ini dirumah memang selalu sepi, paling hanya ada asisten rumah tangga yang biasanya sibuk mondar-mandir memasak atau membersihkan rumah. Atau bokap yang entah malas, entah kurang mood atau entah dengan alasan lainnya enggan datang ke kantornya, jangan sekali-sekali kalian bertanya saat Bokap berada dirumah saat weekday, maka yang akan kau lihat hanyalah sebuah senyuman, senyuman penuh sinisme, senyum ala ‘hisoka’-nya Hunter x hunter, senyum yang seakan-akan berkata; ‘Terserah lah, kantor-kantor gua’.
Gua memasuki rumah tanpa banyak bicara, menuju ke lantai atas dan masuk kedalam kamar. Suasana suram menggerayangi gua, betapa tidak, kamar yang berukuran 4 x 4 meter tersebut terlihat gelap dan Aroma khas dari sebuah ruangan yang tidak ditinggali penghuninya dalam waktu yang lama, mirip seperti aroma kayu basah yang terjemur matahari mulai menusuk hidung. Dibalik kegelapan tangan gua menelusur dinding dan menemukan saklar lampu kemudian menekannya. Sesaat lampu kamar berkedip beberapa kali sebelum akhirnya menyala, belum ada satu detik lampu kamar kembali padam. Gua menghela nafas. Kemudian melangkah pelan menuju ke atas tempat tidur dan berbaring diatasnya, temaram cahaya dari jendela luar yang ditutupi tirai menembus masuk kedalam, membuat seakan sore ini menjadi sore yang sendu dan kelabu. Gua mengangkat lengan, memposisikannya diatas dahi hampir kemata, kemudian mencoba tidur.
Potongan bait lagu ‘Livin’ in the world without you’-nya The Rasmus bergema pelan diseisi ruangan, gua terbangun saat melihat samar sosok bayangan duduk diseberang tempat tidur gua.
“Sa..?”
Gua menebak, sekaligus mencoba memanggilnya, jika benar sosok itu adalah Salsa.
“Oi..”
Sosok itu menjawab, dari suaranya gua tau kalau dia adalah Salsa.
“Ngapain lu?”
“Kapan sampe lo bleh?”
Salsa nggak menjawab pertanyaan gua, dia malah balik bertanya. Gua melirik ke arah jam tangan, jarumnya menunjuk ke angka tujuh malam. Gua buru-buru bangun, dalam hati mengutuki diri sendiri karena bisa sampai tertidur, padahal rencana-nya malam ini gua harus sudah berada di Bogor, mengobati rindu.
“Tadi sore.. wah pengen ke Bogor, kemaleman nggak ya?”
“Ngapain? Nemuin Desita?”
“Iya..”
“Ooh..”
Salsa terlihat sedikit murung, gua menghampirinya dan memandang wajahnya dalam gelap.
“Kenapa lu?”
Gua bertanya sambil mengernyitkan dahi.
“Cepet deh ke Bogor.. minggu depan ajak Desita kesini..”
“Hah, kenapa?”
“Gapapa.. udah buruan, nggak usah banyak nanya, oiya Desita suruh ngurusun badan dikit..”
“Ada apaan sih, sa?”
“Udah ntar lo juga tau..”
“Yaudah sekarang sama ntar kan sama aja.. kasih tau sekarang aja..”
“Bawel deh lo bleh.. udah sana-sana..”
“Harusnya gua yang ngusir elu, ini kan kamar gua..”
Gua berjalan pelan meninggalkan salsa yang masih duduk dibalik bayangan didalam kamar gua.
Dibawah, gua disambut senyum sumringah Ibu yang mengadahkan tangannya bersiap memeluk gua. Gua hanya tersenyum kemudian membalas pelukan ibu.
“Nginep kan bleh?”
Ibu bertanya sambil melepaskan pelukan dan memandang ke arah gua.
“Nggak bu, mau ada urusan..”
“Yah.. nginep lah sehari kek..”
“Ya nanti kalo udah kelar urusan, ableh nginep disini kok, tenang..”
Kemudian gua meninggalkan Ibu dan menuju ke garasi belakang. Sementara di meja makan, bapak tengan duduk sambil membaca Koran, dia melirik gua sebentar melalui kaca mata baca-nya.
“Mau kemana kamu hin?”
“Pergi sebentar..”
“Baru pulang udah mau pergi lagi..”
“Iya.. ada urusan..”
“Mobil kamu udah bapak benerin tuh Dashboardnya.. besok besok kalo mau ngamuk, ditabrakin aja tuh mobil sekalian ke tiang listrik..”
Gua menghampiri bapak kemudian mencium tangannya dan kemudian bergegas pergi.
---
Satu jam berikutnya gua sudah berada di jalan Tol menuju ke bogor. Gua memandang dashboard mobil gua yang sudah diperbaiki, kali ini sudah tidak ada lagi stereo tape usang, berganti dengan sebuah layar kecil beukuran sekitar tujuh inch yang berfungsi sebagai main control untuk CD, VCD,DVD, TV, Radio bahkan GPS. Gua tersenyum simpul kemudian memasukkan sebuah kepingan DVD yang sepertinya tertinggal disana, DVD The Rasmus, pasti punya Salsa. Dan selama sisa perjalanan lagu-lagu The Rasmus dari Album ‘Dead Letters’ pun menemani gua hingga tiba didepan rumah Desita.
Gua memandang kearah rumah mungil itu, dari dalam sepertinya sudah gelap. Maklum sudah hampir tengah malam. Gua mengeluarkan ponsel dan mencoba menghubungi Desita.
“Haloo..”
Suara Desita yang sepertinya baru terbangun dari tidur terdengar.
“Lagi ngapain?”
“Menurut kamu lagi ngapain?”
“Pasti lagi tidur..”
“Iya!!.. ada apa sih? Kamu nggak lagi sakit kan..”
“Gapapa, cuma kangen aja..”
“Aaah.. aku ngantuk… besok pagi aja telpon lagi..”
“Nggak ah.. “
Gua turun dari mobil, menyulut sebatang rokok sambil tetap memandang ke arah bagian depan Rumah Desita yang terlihat gelap.
“Ih.. udah malem.. yaudah aku tutup ya”
“Yaudah tutup aja..”
“Yaudah.. jangan tidur malem-malem.. bye..”
“Des.. des.. tunggu..”
“Apa lagi?”
“Lu kangen nggak sama gua?”
“Kangen.. , tapi nggak harus nelpon tengah malem juga kali sol”
“Kalo seandainya gua saat ini ada didepan rumah lu, lu tetep bakal tidur juga?”
“Hah, serius?”
Gua tersenyum kecil mendengar kekagetan Desita, terlihat lampu ruang depan rumah Desita menyala, kemudian sosok wajah muncul, mengintip dari balik tirai, memandang ke arah gua.
“Kamu maaah..”
“Hehehe…”
Gua tertawa sambil melambai ke Desita yang masih mengintip dari balik tirai, nggak seberapa lama pintu rumahnya terbuka dan Desita membaur keluar, masih tetap dengan ponsel-nya yang masih terhubung, dia berjalan cepat kemudian memeluk gua.
“Ngapain sih malem-malem dateng nya?”
“Iya, abis udah nggak tahan banget..”
“Gombal!, … nggak ada apa-apa kan?”
Gua menggeleng sambil menatap lembut wajahnya.
“Masuk..”
Desita melepaskan pelukan dan mencoba menarik tangan gua.
“Nggak deh, gua ke hotel aja… nggak enak sama tetangga nanti..”
“Ih, tumben banget pikiran kamu ‘bener’ sol..”
“Yaiyalah.. “
“Ya trus ngapain pake bangunin aku kalo ujung-ujungnya nginep di hotel?”
“Gua kangen!”
Mendengar jawaban gua, Desita kembali kedalam pelukan dan mengusel manja. Sangat jaran sekali dia berlaku seperti ini, mungkin karena sudah terpisah terlalu sering dan terlalu lama membuat kami seakan tumpah dalam rindu yang tanpa batas.
“Beneran kangen?”
“Iya, sebenernya sih sekalian mau nemenin kamu siding skripsi..”
“Waah, bener?”
“Iya, terus yang jaga store disana siapa?”
“Ada Mursan sama Taufik..”
“Oh.. “
“Lu kangen juga kan?”
“Iya lah…”
“Yaudah besok pagi kita ketemu lagi ya”
“Yaah.. cepet pisan euy..”
“Katanya tadi ngantuk?”
Gua bertanya sambil menyindir dan tersenyum kearahnya.
“Iya, sekarang udah ilang ngantuknya, kan ada kamu..”
“Udah ah, besok kan masih ketemu lagi..”
“Yaudah..”
Desita bicara sambil sedikit merajuk, dia melepaskan lengannya dari pinggang gua dan sedikit memundurkan posisi tubuhnya. Gua menghampirinya, mengecup keningnya dan kemudian masuk kedalam mobil.
“Hotel mana?”
Desita bertanya ke gua melalui kaca jendela bagian penumpang yang sengaja gua biarkan terbuka.
“Belum tau nih, nyari dulu.. nanti kalo udah dapet, gua SMS..”
“Telpon, jangan SMS..”
“Iya bos..”
Gua bicara kemudian menutup jendela dan bergegas pergi.
---
Esok paginya, tepatnya hanya berselang enam jam, gua sudah kembali berada di depan rumah Desita. Jam menunjukkan puluk enam lebih tigapuluh saat gua mulai membuka pagar kecil didepan rumah mungil yang pintu-nya sudah terbuka itu. Si Ibu Desita terlihat tengah menjemur pakaian, dia sepertinya sedikit kaget melihat kedatangan gua pagi itu.
“Lho, dek Solichin.. kapan sampe?”
“Baru semalem bu..”
“Desi-nya masih sarapan tuh, yuk masuk.. masuk, ikut sarapan heula..”
Gua tersenyum kemudian mengikuti Si Ibu masuk kedalam.
Didalam terlihat Desita yang tengah asik dengan mie instan goreng sambil sesekali tertawa geli menyaksikan spongebob squarepants di televisi. Gua duduk sibelakangnya, Desita menoleh sebentar, dengan potongan mie masih menggantung dibibirnya dia mengangguk sambil bilang; “Tunggu ya.. mau sarapan sekalian?”, Gua hanya menggeleng kemudian tersenyum.
“Dek solochin, dibikinin sarapan sekalian ya?”
Si Ibu bertanya ke gua dari dalam.
“Wah makasih bu, tapi nggak usah bu, tadi saya sudah sarapan”
“Nggak apa-apa, cuma mie instan doang.. dibikinin ya..”
Gua berkeras menolak, tapi Desita menyentuh lembut pipi gua sambil bicara pelan, sangat pelan; “Udah gapapa, sarapan dulu, jarang-jarang dimasakin calon mertua”. Gua kembali tersenyum, kemudian pasrah dalam menerima seporsi mie instan yang disajikan oleh Ibunya Desita. Padahal, seumur-umur dalam keluarga gua sangat tabu sekali yang namanya mengkonsumsi mie instan, apalagi buat sarapan, alasannya sih kata nyokap; ‘Mie Instan itu melambangkan kemalasan’, menurut nyokap, tubuh kita itu seperti mobil dan sarapan pagi sama hal dengan mengisi bensin pada mobil yang akan kita kendarai sepanjang hari, hanya saja mobil tersebut memiliki tangki bahan bakar yang kecil, sehingga harus diisi beberapa kali dalam sehari. Saat pagi hari, bahan bakar yang ada di dalam mobil hampir habis, sehingga harus diisi kembali sebelum mobil tersebut dipakai. Dan tentu saja mengisi perut dipagi hari haruslah dengan makanan yang penuh gizi dan protein bukan makanan ‘abal-abal’ seperti mie instan.
Ah, tapi itu kan menurut nyokap gua. Lain padang lain ilalang, lain lubuk lain ikannya, pendapat nyokap gua yang memang punya rejeki berlebih sehingga nggak membutuhkan mie instan untuk sarapan jelas berbeda dengan gaya hidup Ibu Desita dan keluarganya yang notabene dulu sempat hidup diambang garis kemiskinan, dan gua paham akan hal itu. Lagipula sepertinya nggak ada salahnya mencoba makan mie instan saat sarapan. Gua hanya menggumam saat menerima mangkuk berisi mie instan yang diberikan Ibu Desita ke gua.
Setelah menunggu gua selesai sarapan, Desita bergegeas mengenakan sepatu hak tinggi-nya dan berjalan keluar menuju ke mobil. Sementara gua pamit ke Ibu Desita dan menyusul Desita yang sudah lebih dulu menuju ke mobil.
“Cepet ih..”
Desita berkata sambil menlihat kearah jam tangan-nya.
“Sabar.. kalo tdau tau buru-buru kenapa malah nyuruh sarapan dulu..”
Gua menjawab, menggerutu sambil berjalan cepat masuk ke mobil.
Nggak seberapa lama, kami tiba ditempat kerja Desita, sebuah tempat yang sama dulu waktu gua pertama kali bertemu dengannya saat sempat terpisah selama tiga tahun. Gua memandang logo perusahaan yang terdiri dari dua huruf S asimetris yang terpampang dibagian atas gedung dan di pintu kaca bagian depan kantor, sebuah logo yang familiar, yang dulu sempat tidak gua kenali dan akhirnya sadar akan arti dari dua huruf S tersebut, bisa jadi; S dari Solichin Syafriel, Salsabila Syafriel, Sasmitrowidjojo Syafriel atau Sastroswidjojo Syafriel, entahlah. Yang pasti perusahan ini milik keluarga bokap.
Desita memasuki ruangan kantor dan gua menyusul dibelakangnya. Sempat terlihat beberapa karyawan menatap kami kemudian mengucapkan ‘Selamat Pagi’ dengan penuh hormat, bahkan ada yang sampi sedikit membungkukan tubuhnya, tipe-tipe karyawan ‘penjilat’. Saat hendak menaiki tangga menuju ke atas, Desita berpaling ke gua;
“Kamu mau ikut keatas?”
Dia bertanya sambil sedikit berbisik, sepertinya enggan mengganggu suasana kantor yang tenang.
“Iya..”
Gua menjawab, juga sambil setengah berbisik.
“Mau ngapain?”
“Nemenin elu..”
“Nggak usah, udah kamu kemana dulu kek.. ngopi-ngopi, belanja di mall dulu kek…”
“Emang kenapa sih?”
“Ya nggak enak aja sol, masa aku lagi kerja diikut-ikutin, nggak enak sama temen yang lain”
“Yaah, yaudah deh..”
Gua akhirnya menyerah dan memutuskan untuk menunggu Desita selesai bekerja. Gua berjalan kembali menyusur lorong menuju ke luar, saat hendak membuka pintu kaca kantor, ponsel gua berdering, gua melihat layarnya; dari Desita;
“Jangan jauh-jauh ya, ntar ilang…”
“Emang gua bocah..”
“Nanti pas makan siang jemput ya..”
“Iya..”
Gua mengakhiri pembicaraan dan bergegas menuju ke mobil. Sesampainya di mobil, gua menyalakan mesin dan mulai berkendara. Drive to Nowhere..
Gua memasuki rumah tanpa banyak bicara, menuju ke lantai atas dan masuk kedalam kamar. Suasana suram menggerayangi gua, betapa tidak, kamar yang berukuran 4 x 4 meter tersebut terlihat gelap dan Aroma khas dari sebuah ruangan yang tidak ditinggali penghuninya dalam waktu yang lama, mirip seperti aroma kayu basah yang terjemur matahari mulai menusuk hidung. Dibalik kegelapan tangan gua menelusur dinding dan menemukan saklar lampu kemudian menekannya. Sesaat lampu kamar berkedip beberapa kali sebelum akhirnya menyala, belum ada satu detik lampu kamar kembali padam. Gua menghela nafas. Kemudian melangkah pelan menuju ke atas tempat tidur dan berbaring diatasnya, temaram cahaya dari jendela luar yang ditutupi tirai menembus masuk kedalam, membuat seakan sore ini menjadi sore yang sendu dan kelabu. Gua mengangkat lengan, memposisikannya diatas dahi hampir kemata, kemudian mencoba tidur.
Potongan bait lagu ‘Livin’ in the world without you’-nya The Rasmus bergema pelan diseisi ruangan, gua terbangun saat melihat samar sosok bayangan duduk diseberang tempat tidur gua.
“Sa..?”
Gua menebak, sekaligus mencoba memanggilnya, jika benar sosok itu adalah Salsa.
“Oi..”
Sosok itu menjawab, dari suaranya gua tau kalau dia adalah Salsa.
“Ngapain lu?”
“Kapan sampe lo bleh?”
Salsa nggak menjawab pertanyaan gua, dia malah balik bertanya. Gua melirik ke arah jam tangan, jarumnya menunjuk ke angka tujuh malam. Gua buru-buru bangun, dalam hati mengutuki diri sendiri karena bisa sampai tertidur, padahal rencana-nya malam ini gua harus sudah berada di Bogor, mengobati rindu.
“Tadi sore.. wah pengen ke Bogor, kemaleman nggak ya?”
“Ngapain? Nemuin Desita?”
“Iya..”
“Ooh..”
Salsa terlihat sedikit murung, gua menghampirinya dan memandang wajahnya dalam gelap.
“Kenapa lu?”
Gua bertanya sambil mengernyitkan dahi.
“Cepet deh ke Bogor.. minggu depan ajak Desita kesini..”
“Hah, kenapa?”
“Gapapa.. udah buruan, nggak usah banyak nanya, oiya Desita suruh ngurusun badan dikit..”
“Ada apaan sih, sa?”
“Udah ntar lo juga tau..”
“Yaudah sekarang sama ntar kan sama aja.. kasih tau sekarang aja..”
“Bawel deh lo bleh.. udah sana-sana..”
“Harusnya gua yang ngusir elu, ini kan kamar gua..”
Gua berjalan pelan meninggalkan salsa yang masih duduk dibalik bayangan didalam kamar gua.
Dibawah, gua disambut senyum sumringah Ibu yang mengadahkan tangannya bersiap memeluk gua. Gua hanya tersenyum kemudian membalas pelukan ibu.
“Nginep kan bleh?”
Ibu bertanya sambil melepaskan pelukan dan memandang ke arah gua.
“Nggak bu, mau ada urusan..”
“Yah.. nginep lah sehari kek..”
“Ya nanti kalo udah kelar urusan, ableh nginep disini kok, tenang..”
Kemudian gua meninggalkan Ibu dan menuju ke garasi belakang. Sementara di meja makan, bapak tengan duduk sambil membaca Koran, dia melirik gua sebentar melalui kaca mata baca-nya.
“Mau kemana kamu hin?”
“Pergi sebentar..”
“Baru pulang udah mau pergi lagi..”
“Iya.. ada urusan..”
“Mobil kamu udah bapak benerin tuh Dashboardnya.. besok besok kalo mau ngamuk, ditabrakin aja tuh mobil sekalian ke tiang listrik..”
Gua menghampiri bapak kemudian mencium tangannya dan kemudian bergegas pergi.
---
Satu jam berikutnya gua sudah berada di jalan Tol menuju ke bogor. Gua memandang dashboard mobil gua yang sudah diperbaiki, kali ini sudah tidak ada lagi stereo tape usang, berganti dengan sebuah layar kecil beukuran sekitar tujuh inch yang berfungsi sebagai main control untuk CD, VCD,DVD, TV, Radio bahkan GPS. Gua tersenyum simpul kemudian memasukkan sebuah kepingan DVD yang sepertinya tertinggal disana, DVD The Rasmus, pasti punya Salsa. Dan selama sisa perjalanan lagu-lagu The Rasmus dari Album ‘Dead Letters’ pun menemani gua hingga tiba didepan rumah Desita.
Gua memandang kearah rumah mungil itu, dari dalam sepertinya sudah gelap. Maklum sudah hampir tengah malam. Gua mengeluarkan ponsel dan mencoba menghubungi Desita.
“Haloo..”
Suara Desita yang sepertinya baru terbangun dari tidur terdengar.
“Lagi ngapain?”
“Menurut kamu lagi ngapain?”
“Pasti lagi tidur..”
“Iya!!.. ada apa sih? Kamu nggak lagi sakit kan..”
“Gapapa, cuma kangen aja..”
“Aaah.. aku ngantuk… besok pagi aja telpon lagi..”
“Nggak ah.. “
Gua turun dari mobil, menyulut sebatang rokok sambil tetap memandang ke arah bagian depan Rumah Desita yang terlihat gelap.
“Ih.. udah malem.. yaudah aku tutup ya”
“Yaudah tutup aja..”
“Yaudah.. jangan tidur malem-malem.. bye..”
“Des.. des.. tunggu..”
“Apa lagi?”
“Lu kangen nggak sama gua?”
“Kangen.. , tapi nggak harus nelpon tengah malem juga kali sol”
“Kalo seandainya gua saat ini ada didepan rumah lu, lu tetep bakal tidur juga?”
“Hah, serius?”
Gua tersenyum kecil mendengar kekagetan Desita, terlihat lampu ruang depan rumah Desita menyala, kemudian sosok wajah muncul, mengintip dari balik tirai, memandang ke arah gua.
“Kamu maaah..”
“Hehehe…”
Gua tertawa sambil melambai ke Desita yang masih mengintip dari balik tirai, nggak seberapa lama pintu rumahnya terbuka dan Desita membaur keluar, masih tetap dengan ponsel-nya yang masih terhubung, dia berjalan cepat kemudian memeluk gua.
“Ngapain sih malem-malem dateng nya?”
“Iya, abis udah nggak tahan banget..”
“Gombal!, … nggak ada apa-apa kan?”
Gua menggeleng sambil menatap lembut wajahnya.
“Masuk..”
Desita melepaskan pelukan dan mencoba menarik tangan gua.
“Nggak deh, gua ke hotel aja… nggak enak sama tetangga nanti..”
“Ih, tumben banget pikiran kamu ‘bener’ sol..”
“Yaiyalah.. “
“Ya trus ngapain pake bangunin aku kalo ujung-ujungnya nginep di hotel?”
“Gua kangen!”
Mendengar jawaban gua, Desita kembali kedalam pelukan dan mengusel manja. Sangat jaran sekali dia berlaku seperti ini, mungkin karena sudah terpisah terlalu sering dan terlalu lama membuat kami seakan tumpah dalam rindu yang tanpa batas.
“Beneran kangen?”
“Iya, sebenernya sih sekalian mau nemenin kamu siding skripsi..”
“Waah, bener?”
“Iya, terus yang jaga store disana siapa?”
“Ada Mursan sama Taufik..”
“Oh.. “
“Lu kangen juga kan?”
“Iya lah…”
“Yaudah besok pagi kita ketemu lagi ya”
“Yaah.. cepet pisan euy..”
“Katanya tadi ngantuk?”
Gua bertanya sambil menyindir dan tersenyum kearahnya.
“Iya, sekarang udah ilang ngantuknya, kan ada kamu..”
“Udah ah, besok kan masih ketemu lagi..”
“Yaudah..”
Desita bicara sambil sedikit merajuk, dia melepaskan lengannya dari pinggang gua dan sedikit memundurkan posisi tubuhnya. Gua menghampirinya, mengecup keningnya dan kemudian masuk kedalam mobil.
“Hotel mana?”
Desita bertanya ke gua melalui kaca jendela bagian penumpang yang sengaja gua biarkan terbuka.
“Belum tau nih, nyari dulu.. nanti kalo udah dapet, gua SMS..”
“Telpon, jangan SMS..”
“Iya bos..”
Gua bicara kemudian menutup jendela dan bergegas pergi.
---
Esok paginya, tepatnya hanya berselang enam jam, gua sudah kembali berada di depan rumah Desita. Jam menunjukkan puluk enam lebih tigapuluh saat gua mulai membuka pagar kecil didepan rumah mungil yang pintu-nya sudah terbuka itu. Si Ibu Desita terlihat tengah menjemur pakaian, dia sepertinya sedikit kaget melihat kedatangan gua pagi itu.
“Lho, dek Solichin.. kapan sampe?”
“Baru semalem bu..”
“Desi-nya masih sarapan tuh, yuk masuk.. masuk, ikut sarapan heula..”
Gua tersenyum kemudian mengikuti Si Ibu masuk kedalam.
Didalam terlihat Desita yang tengah asik dengan mie instan goreng sambil sesekali tertawa geli menyaksikan spongebob squarepants di televisi. Gua duduk sibelakangnya, Desita menoleh sebentar, dengan potongan mie masih menggantung dibibirnya dia mengangguk sambil bilang; “Tunggu ya.. mau sarapan sekalian?”, Gua hanya menggeleng kemudian tersenyum.
“Dek solochin, dibikinin sarapan sekalian ya?”
Si Ibu bertanya ke gua dari dalam.
“Wah makasih bu, tapi nggak usah bu, tadi saya sudah sarapan”
“Nggak apa-apa, cuma mie instan doang.. dibikinin ya..”
Gua berkeras menolak, tapi Desita menyentuh lembut pipi gua sambil bicara pelan, sangat pelan; “Udah gapapa, sarapan dulu, jarang-jarang dimasakin calon mertua”. Gua kembali tersenyum, kemudian pasrah dalam menerima seporsi mie instan yang disajikan oleh Ibunya Desita. Padahal, seumur-umur dalam keluarga gua sangat tabu sekali yang namanya mengkonsumsi mie instan, apalagi buat sarapan, alasannya sih kata nyokap; ‘Mie Instan itu melambangkan kemalasan’, menurut nyokap, tubuh kita itu seperti mobil dan sarapan pagi sama hal dengan mengisi bensin pada mobil yang akan kita kendarai sepanjang hari, hanya saja mobil tersebut memiliki tangki bahan bakar yang kecil, sehingga harus diisi beberapa kali dalam sehari. Saat pagi hari, bahan bakar yang ada di dalam mobil hampir habis, sehingga harus diisi kembali sebelum mobil tersebut dipakai. Dan tentu saja mengisi perut dipagi hari haruslah dengan makanan yang penuh gizi dan protein bukan makanan ‘abal-abal’ seperti mie instan.
Ah, tapi itu kan menurut nyokap gua. Lain padang lain ilalang, lain lubuk lain ikannya, pendapat nyokap gua yang memang punya rejeki berlebih sehingga nggak membutuhkan mie instan untuk sarapan jelas berbeda dengan gaya hidup Ibu Desita dan keluarganya yang notabene dulu sempat hidup diambang garis kemiskinan, dan gua paham akan hal itu. Lagipula sepertinya nggak ada salahnya mencoba makan mie instan saat sarapan. Gua hanya menggumam saat menerima mangkuk berisi mie instan yang diberikan Ibu Desita ke gua.
Setelah menunggu gua selesai sarapan, Desita bergegeas mengenakan sepatu hak tinggi-nya dan berjalan keluar menuju ke mobil. Sementara gua pamit ke Ibu Desita dan menyusul Desita yang sudah lebih dulu menuju ke mobil.
“Cepet ih..”
Desita berkata sambil menlihat kearah jam tangan-nya.
“Sabar.. kalo tdau tau buru-buru kenapa malah nyuruh sarapan dulu..”
Gua menjawab, menggerutu sambil berjalan cepat masuk ke mobil.
Nggak seberapa lama, kami tiba ditempat kerja Desita, sebuah tempat yang sama dulu waktu gua pertama kali bertemu dengannya saat sempat terpisah selama tiga tahun. Gua memandang logo perusahaan yang terdiri dari dua huruf S asimetris yang terpampang dibagian atas gedung dan di pintu kaca bagian depan kantor, sebuah logo yang familiar, yang dulu sempat tidak gua kenali dan akhirnya sadar akan arti dari dua huruf S tersebut, bisa jadi; S dari Solichin Syafriel, Salsabila Syafriel, Sasmitrowidjojo Syafriel atau Sastroswidjojo Syafriel, entahlah. Yang pasti perusahan ini milik keluarga bokap.
Desita memasuki ruangan kantor dan gua menyusul dibelakangnya. Sempat terlihat beberapa karyawan menatap kami kemudian mengucapkan ‘Selamat Pagi’ dengan penuh hormat, bahkan ada yang sampi sedikit membungkukan tubuhnya, tipe-tipe karyawan ‘penjilat’. Saat hendak menaiki tangga menuju ke atas, Desita berpaling ke gua;
“Kamu mau ikut keatas?”
Dia bertanya sambil sedikit berbisik, sepertinya enggan mengganggu suasana kantor yang tenang.
“Iya..”
Gua menjawab, juga sambil setengah berbisik.
“Mau ngapain?”
“Nemenin elu..”
“Nggak usah, udah kamu kemana dulu kek.. ngopi-ngopi, belanja di mall dulu kek…”
“Emang kenapa sih?”
“Ya nggak enak aja sol, masa aku lagi kerja diikut-ikutin, nggak enak sama temen yang lain”
“Yaah, yaudah deh..”
Gua akhirnya menyerah dan memutuskan untuk menunggu Desita selesai bekerja. Gua berjalan kembali menyusur lorong menuju ke luar, saat hendak membuka pintu kaca kantor, ponsel gua berdering, gua melihat layarnya; dari Desita;
“Jangan jauh-jauh ya, ntar ilang…”
“Emang gua bocah..”
“Nanti pas makan siang jemput ya..”
“Iya..”
Gua mengakhiri pembicaraan dan bergegas menuju ke mobil. Sesampainya di mobil, gua menyalakan mesin dan mulai berkendara. Drive to Nowhere..
jiyanq dan 14 lainnya memberi reputasi
15
Kutip
Balas