- Beranda
- Berita dan Politik
Selamatkan Indonesia DARI PRABOWO - HATTA RAJASA
...
TS
ken nero
Selamatkan Indonesia DARI PRABOWO - HATTA RAJASA
Quote:
"Kebenaran akan membebaskan Anda. Tapi pertama-tama, itu akan membuatmu marah "-. Gloria Steinem
Prabowo Mulai Bokek, Kalah dan Akan Bangkrut
Tanggal 20 Mei sudah lewat, pemilihan presiden 2014 ini memastikan hanya diikuti dua pasang kandidat, yaitu pasangan Jokowi – JK dan pasangan Prabowo – Hatta. Artinya, bisa dipastikan Pilpres hanya akan berjalan satu putaran. Ada satu hal mengganjal di pikiran, karena sebelumnya aku mengira Pilpres akan diikuti tiga pasang kandidat. Silakan cek, hampir semua pengamat pung memperkirakan itu sampai sebulan lalu. Sebenarnya, Prabowo adalah orang yang sangat berkepentingan dengan adanya poros ketiga untuk memperbesar peluang kemenangannya. Data-data hasil survei selama ini menunjukkan Prabowo sebagai kandidat runner up, sehingga membutuhkan kandidat ketiga untuk memecah suara kandidat terkuat. Skenario ini bukan hal baru, karena biasa diterapkan di berbagai proses pemilihan kepala daerah hingga kepala desa sekali pun.
Dengan kalkulasi itu, seorang runner up selayaknya memainkan kandidat ketiga sebagai capres boneka. Dalam konstelasi Pilpres kali ini, ARB adalah aktor yang paling memungkinkan membangun poros ketiga. ARB adalah politisi pengusaha yang tak akan jauh dari hitungan untung rugi. Dia sudah merugi selama lima tahun memimpin Golkar, sehingga perlu mencari cara untuk mengembalikan keuntungannya. Kalau Prabowo memberinya mahar untuk membangun poros ketiga, pasti ARB akan menerimanya. Di sisi lain, masih ada partai demokrat yang “berhutang” untuk memajukan kandidat karena terlanjur menggelar konvensi. Jadi, perjodohanan antara ARB dan cawapres dari Partai Demokrat sebagai poros ketiga bersifat “sangat mungkin.”
Tentu saja, itu tergantung seberapa berani Prabowo membayar tiket capres ketiga itu pada ARB. Kalau poros ketiga itu terbentuk, hasil berbagai survei menunjukkan bahwa suara ARB pun tak akan melampaui Prabowo. Artinya, dia akan berhasil memecah suara Jokowi sehingga memuluskan langkah Prabowo untuk head to head dengan Jokowi pada putaran kedua. Dengan adanya dua putaran ini, Prabowo akan bisa mengevaluasi proses selama putaran pertama, untuk memperkuat konsolidasi pemenangan pada putaran berikutnya. Itu akan membuat durasi pertarungan lebih panjang, sehingga cukup waktu bagi Prabowo untuk mencari titik-titik lemah Jokowi. Dengan adanya dua putaran, Prabowo akan memiliki banyak bahan evaluasi untuk mencari kelemahan-kelemahan Jokowi. Secara teori psikologi politik, pihak yang kalah kuat harus mengulur konfrontasi sehingga dia memiliki kesempatan lebih panjang untuk merebut kemenangan.
Anehnya, langkah itu tidak dilakukan Prabowo. Apa yang salah? Sebagai veteran tentara, pasti dia tahu strategi itu, tapi kenapa tak melakukannya? Jawabannya sudah tersirat di depan, yaitu karena dia gagal menyediakan kompensasi bagi ARB untuk maju sebagai kandidat ketiga. Kalau itu dia lakukan, sebenarnya ARB bisa dipastikan hanya menempati urutan ketiga, namun bisa memaksa Pilpres berjalan dua putaran. Di putaran kedua ARB bisa bergabung dengan Prabowo untuk beramai-ramai mengeroyok Jokowi. Semua itu sangat mungkin disepakati dalam kontrak Prabowo dengan ARB untuk memunculkan poros ketiga.
Efek penyatuan kekuatan antara ARB dengan Prabowo pun akan jauh lebih kuat jika dilakukan pada putaran kedua. Dalam konteks ini, ada efek balas dendam di mana para pendukung ARB akan lebih militan menggabungkan kekuatannya untuk mengalahkan Jokowi. Tentu, semua itu hanya akan terjadi dengan catatan di atas, Prabowo memiliki bahan bakar yang cukup untuk melakukan pertarungan panjang. Faktanya, Prabowo memang mulai kehabisan dana untuk mengulur pertarungan. Dia bahkan memilih untuk mempercepat durasi pertarungan. Ini sungguh menyalahi teori pertarungan, karena secara universal pihak yang lebih lemah harus memilih rute gerilya yang panjang untuk pelan-pelan menggerogoti lawannya yang lebih kuat.
Tapi, bagaimana pun juga kita harus memahami pilihan realistis Prabowo jika menilik keadaannya. Dia sudah menghabiskan dana 3 Trilyun untuk memperoleh peringkat ketiga dalam pemilu legislatif kemarin. Selain itu, dukungan PPP terhadap pencapresannya juga tidak gratis. Kedatangan Surya Dharma Ali ke kampanye Gerindra sebenarnya disertai pemberian mahar 50 Milyar dari Prabowo untuk PPP. Distribusi yang tak merata memunculkan perpecahan di internal PPP. Tentu saja, perselisihan yang dipicu persoalan duit juga akan cepat kelar kalau diselesaikan dengan pendekatan duit. Artinya, Prabowo harus kembali merogoh koceknya. Bayangkan, betapa besar dana dihamburkan Prabowo yang selalu mengandalkan duit dalam menghadapi berbagai persoalan ini.
Tanpa sadar, cara kerjanya yang melulu mengandalkan duit ini ternyata benar-benar menguras kantongnya. Mau tak mau, sekarang dia harus mulai realistis memainkan skenario politiknya. Seperti pepatah mengatakan, tak ada kata terlambat untuk berhemat. Hal itu juga terlihat dalam pilihannya menerima Hatta Rajasa sebagai cawapres. Sebelumnya, lingkaran dalam Prabowo lebih banyak menginginkan Mahfud MD atau Abraham Samad sebagai cawapres, lantaran elektabilitas mereka jauh lebih tinggi. Tapi lantaran Hatta menawarkan mahar 1,7 Trilyun untuk menjadi Cawapres, akhirnya Prabowo pun menerimanya. Kalau dana Prabowo mencukupi, seharusnya dia memilih Abraham Samad atau Mahfud MD yang elektabilitasnya lebih tinggi. Tapi apa boleh buat, namanya juga kantong mulai kempes.
Akhirnya, tak mengherankan kalau sekarang cuma ada dua pasang kandidat dalam Pilpres 2014 ini, meski pun itu sedikit ganjil kalau dicermati berdasar teori persaingan. Faktor yang sangat determinan di sini, tak lain dan tak bukan, karena Prabowo sudah mulai kehabisan dana. Hal yang sama dialami ARB yang sudah banyak merugi selama memimpin Golkar. Sedari awal dia ngebet maju sebagai Capres meski internal partai banyak yang menertawakan elektabilitasnya. Bagi Bakri, persoalan maju Capres kali ini memang bukan persoalan menang, tapi persoalan mengorek modal dari kandidat runner up yang mau membiayainya. Sayang, Bakri harus kecele karena kandidat yang dia harapkan mampu memainkan poros ketiga pun ternyata juga sudah mulai bokek.
Dalam kalkulasi ini, Bakri memberikan beberapa skenario kepada Prabowo. Skenario pertama, dia akan maju sebagai kandidat ketiga pemecah suara untuk memastikan Pilpres berjalan dua putaran. Dalam skenario ini Bakri hanya akan menempati urutan ketiga dalam putaran pertama Pipres. Pada putaran kedua, barulah poros ketiga ini merapat ke Prabowo untuk beramai-ramai mengeroyok Jokowi. Tentu skenario ini membutuhkan pembiayaan yang tak sedikit, karena Prabowo harus menanggung pembiayaan dua tim.
Skenario kedua, prabowo cukup memberikan kompensasi kepada Bakri untuk mengurangi kerugiannya selama lima tahun memimpin Golkar, lalu Bakri akan bergabung dengan tim Prabowo. Dalam skenario ini, biaya yang diperlukan memang jauh lebih sedikit dibanding biaya pembentukan poros ketiga. Setelah menghitung-hitung sisa kantonya, ternyata Prabowo hanya bisa menerima opsi kedua. Fakta menyedihkan tak bisa dia tolak, bahwa dia memang sudah mulai bokek. Calon yang diharapkan bisa mejadi kandidat poros ketiga pun sudah terlanjur bokek, dan malah mengharap sokongannya untuk tetap maju sebagai Capres. Ya sudahlah balik ke hitung-hitungan aman. Dari pada tarung dua kali dan belum tentu menang, mending tarung sekali aja. Kalau pun kalah, setidaknya bisa meminimalisir duit yang terbuang. Sekali lagi, tak ada kata terlambat untuk berhemat. Maklum, sambil itung-itungan menang kalah Prabowo juga masih terus kepikiran utang perusahaannya yang mencapai 14 Trilyun. Semoga ke depan Prabowo terus mengingat pepatah “hemat pangkal kaya,” agar dia tak selalu “besar pasak dari pada tiang.”
Ditulis Oleh : Sindikat Jogja
Twitter : @SindikatJogja
part 2 page 18+19
part 3 page 20+21
part 4 page 24+25
part 5 page 29+31
Tanggal 20 Mei sudah lewat, pemilihan presiden 2014 ini memastikan hanya diikuti dua pasang kandidat, yaitu pasangan Jokowi – JK dan pasangan Prabowo – Hatta. Artinya, bisa dipastikan Pilpres hanya akan berjalan satu putaran. Ada satu hal mengganjal di pikiran, karena sebelumnya aku mengira Pilpres akan diikuti tiga pasang kandidat. Silakan cek, hampir semua pengamat pung memperkirakan itu sampai sebulan lalu. Sebenarnya, Prabowo adalah orang yang sangat berkepentingan dengan adanya poros ketiga untuk memperbesar peluang kemenangannya. Data-data hasil survei selama ini menunjukkan Prabowo sebagai kandidat runner up, sehingga membutuhkan kandidat ketiga untuk memecah suara kandidat terkuat. Skenario ini bukan hal baru, karena biasa diterapkan di berbagai proses pemilihan kepala daerah hingga kepala desa sekali pun.
Dengan kalkulasi itu, seorang runner up selayaknya memainkan kandidat ketiga sebagai capres boneka. Dalam konstelasi Pilpres kali ini, ARB adalah aktor yang paling memungkinkan membangun poros ketiga. ARB adalah politisi pengusaha yang tak akan jauh dari hitungan untung rugi. Dia sudah merugi selama lima tahun memimpin Golkar, sehingga perlu mencari cara untuk mengembalikan keuntungannya. Kalau Prabowo memberinya mahar untuk membangun poros ketiga, pasti ARB akan menerimanya. Di sisi lain, masih ada partai demokrat yang “berhutang” untuk memajukan kandidat karena terlanjur menggelar konvensi. Jadi, perjodohanan antara ARB dan cawapres dari Partai Demokrat sebagai poros ketiga bersifat “sangat mungkin.”
Tentu saja, itu tergantung seberapa berani Prabowo membayar tiket capres ketiga itu pada ARB. Kalau poros ketiga itu terbentuk, hasil berbagai survei menunjukkan bahwa suara ARB pun tak akan melampaui Prabowo. Artinya, dia akan berhasil memecah suara Jokowi sehingga memuluskan langkah Prabowo untuk head to head dengan Jokowi pada putaran kedua. Dengan adanya dua putaran ini, Prabowo akan bisa mengevaluasi proses selama putaran pertama, untuk memperkuat konsolidasi pemenangan pada putaran berikutnya. Itu akan membuat durasi pertarungan lebih panjang, sehingga cukup waktu bagi Prabowo untuk mencari titik-titik lemah Jokowi. Dengan adanya dua putaran, Prabowo akan memiliki banyak bahan evaluasi untuk mencari kelemahan-kelemahan Jokowi. Secara teori psikologi politik, pihak yang kalah kuat harus mengulur konfrontasi sehingga dia memiliki kesempatan lebih panjang untuk merebut kemenangan.
Anehnya, langkah itu tidak dilakukan Prabowo. Apa yang salah? Sebagai veteran tentara, pasti dia tahu strategi itu, tapi kenapa tak melakukannya? Jawabannya sudah tersirat di depan, yaitu karena dia gagal menyediakan kompensasi bagi ARB untuk maju sebagai kandidat ketiga. Kalau itu dia lakukan, sebenarnya ARB bisa dipastikan hanya menempati urutan ketiga, namun bisa memaksa Pilpres berjalan dua putaran. Di putaran kedua ARB bisa bergabung dengan Prabowo untuk beramai-ramai mengeroyok Jokowi. Semua itu sangat mungkin disepakati dalam kontrak Prabowo dengan ARB untuk memunculkan poros ketiga.
Efek penyatuan kekuatan antara ARB dengan Prabowo pun akan jauh lebih kuat jika dilakukan pada putaran kedua. Dalam konteks ini, ada efek balas dendam di mana para pendukung ARB akan lebih militan menggabungkan kekuatannya untuk mengalahkan Jokowi. Tentu, semua itu hanya akan terjadi dengan catatan di atas, Prabowo memiliki bahan bakar yang cukup untuk melakukan pertarungan panjang. Faktanya, Prabowo memang mulai kehabisan dana untuk mengulur pertarungan. Dia bahkan memilih untuk mempercepat durasi pertarungan. Ini sungguh menyalahi teori pertarungan, karena secara universal pihak yang lebih lemah harus memilih rute gerilya yang panjang untuk pelan-pelan menggerogoti lawannya yang lebih kuat.
Tapi, bagaimana pun juga kita harus memahami pilihan realistis Prabowo jika menilik keadaannya. Dia sudah menghabiskan dana 3 Trilyun untuk memperoleh peringkat ketiga dalam pemilu legislatif kemarin. Selain itu, dukungan PPP terhadap pencapresannya juga tidak gratis. Kedatangan Surya Dharma Ali ke kampanye Gerindra sebenarnya disertai pemberian mahar 50 Milyar dari Prabowo untuk PPP. Distribusi yang tak merata memunculkan perpecahan di internal PPP. Tentu saja, perselisihan yang dipicu persoalan duit juga akan cepat kelar kalau diselesaikan dengan pendekatan duit. Artinya, Prabowo harus kembali merogoh koceknya. Bayangkan, betapa besar dana dihamburkan Prabowo yang selalu mengandalkan duit dalam menghadapi berbagai persoalan ini.
Tanpa sadar, cara kerjanya yang melulu mengandalkan duit ini ternyata benar-benar menguras kantongnya. Mau tak mau, sekarang dia harus mulai realistis memainkan skenario politiknya. Seperti pepatah mengatakan, tak ada kata terlambat untuk berhemat. Hal itu juga terlihat dalam pilihannya menerima Hatta Rajasa sebagai cawapres. Sebelumnya, lingkaran dalam Prabowo lebih banyak menginginkan Mahfud MD atau Abraham Samad sebagai cawapres, lantaran elektabilitas mereka jauh lebih tinggi. Tapi lantaran Hatta menawarkan mahar 1,7 Trilyun untuk menjadi Cawapres, akhirnya Prabowo pun menerimanya. Kalau dana Prabowo mencukupi, seharusnya dia memilih Abraham Samad atau Mahfud MD yang elektabilitasnya lebih tinggi. Tapi apa boleh buat, namanya juga kantong mulai kempes.
Akhirnya, tak mengherankan kalau sekarang cuma ada dua pasang kandidat dalam Pilpres 2014 ini, meski pun itu sedikit ganjil kalau dicermati berdasar teori persaingan. Faktor yang sangat determinan di sini, tak lain dan tak bukan, karena Prabowo sudah mulai kehabisan dana. Hal yang sama dialami ARB yang sudah banyak merugi selama memimpin Golkar. Sedari awal dia ngebet maju sebagai Capres meski internal partai banyak yang menertawakan elektabilitasnya. Bagi Bakri, persoalan maju Capres kali ini memang bukan persoalan menang, tapi persoalan mengorek modal dari kandidat runner up yang mau membiayainya. Sayang, Bakri harus kecele karena kandidat yang dia harapkan mampu memainkan poros ketiga pun ternyata juga sudah mulai bokek.
Dalam kalkulasi ini, Bakri memberikan beberapa skenario kepada Prabowo. Skenario pertama, dia akan maju sebagai kandidat ketiga pemecah suara untuk memastikan Pilpres berjalan dua putaran. Dalam skenario ini Bakri hanya akan menempati urutan ketiga dalam putaran pertama Pipres. Pada putaran kedua, barulah poros ketiga ini merapat ke Prabowo untuk beramai-ramai mengeroyok Jokowi. Tentu skenario ini membutuhkan pembiayaan yang tak sedikit, karena Prabowo harus menanggung pembiayaan dua tim.
Skenario kedua, prabowo cukup memberikan kompensasi kepada Bakri untuk mengurangi kerugiannya selama lima tahun memimpin Golkar, lalu Bakri akan bergabung dengan tim Prabowo. Dalam skenario ini, biaya yang diperlukan memang jauh lebih sedikit dibanding biaya pembentukan poros ketiga. Setelah menghitung-hitung sisa kantonya, ternyata Prabowo hanya bisa menerima opsi kedua. Fakta menyedihkan tak bisa dia tolak, bahwa dia memang sudah mulai bokek. Calon yang diharapkan bisa mejadi kandidat poros ketiga pun sudah terlanjur bokek, dan malah mengharap sokongannya untuk tetap maju sebagai Capres. Ya sudahlah balik ke hitung-hitungan aman. Dari pada tarung dua kali dan belum tentu menang, mending tarung sekali aja. Kalau pun kalah, setidaknya bisa meminimalisir duit yang terbuang. Sekali lagi, tak ada kata terlambat untuk berhemat. Maklum, sambil itung-itungan menang kalah Prabowo juga masih terus kepikiran utang perusahaannya yang mencapai 14 Trilyun. Semoga ke depan Prabowo terus mengingat pepatah “hemat pangkal kaya,” agar dia tak selalu “besar pasak dari pada tiang.”
Ditulis Oleh : Sindikat Jogja
Twitter : @SindikatJogja
part 2 page 18+19
part 3 page 20+21
part 4 page 24+25
part 5 page 29+31
Diubah oleh ken nero 24-06-2014 12:58
0
11.9K
Kutip
124
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
691.5KThread•56.8KAnggota
Tampilkan semua post
TS
ken nero
#31
Quote:
Prabowo ; Kampanye Maskulinitas Fasis untuk Kaum Muda
Prabowo; Kampanye Maskulinitas Fasis untuk Kaum Muda
“Semua laki-laki jantan pasti pilih Prabowo.” Itulah sepenggal kalimat yang dilontarkan oleh Ahmad Dhani, salah satu musisi yang digandrungi anak muda Indonesia. Dhani juga menyanjung-nyanjung Prabowo sebagai capres yang ideal baginya, dengan kesan tegas dan berlatar belakang militer. Dia juga menilai Prabowo lebih berwibawa ketimbang kandidat capres lainnya, yang memiliki sisi maskulin kuat sesuai dengan karakternya.
Tak heran sebenarnya jika Ahmad Dhani ini menyukai gaya Prabowo Subianto. Sudah bisa dilihat dari gaya pakaian panggungnya yang juga kerap kali berselera kemiliter-militeran. Mungkin saja Dhani ini pernah bermimpi jadi tentara namun tak kesampaian.
Walau bercerai dengan Maia, tapi soal pilihan capres, ia sepakat dengan mantan suaminya itu. “Indonesia butuh pemimpin yang tegas dan ganteng,” katanya. Kalau pun ganteng, tetapi terlalu lama untuk bertindak, menurut Maia, jelas tidak akan menjadi pilihannya. Ada pula Baby Margareta, artis hot yang jatuh hati kepada Prabowo. “Saya mau banget sama Prabowo. Selain tampan dan juga berwibawa,” katanya. Artis dengan pose-pose seronok yang siap dikimpoii oleh Prabowo, konon katanya.
Ada tiga kata kunci dari pernyataan para selebritis di atas; jantan, berwibawa, dan tegas. Dari ketiga kata tersebut bisa diringkas menjadi satu : maskulinitas. Bagaimana menganalisa fenomena kekaguman para selebritis muda yang menonjolkan sisi maskulin Prabowo Subianto?
Kekaguman para selebritis muda tersebut bukan hanya sekedar pengisi rubrik acara gosip yang biasa mengisi hari-hari televisi. Tapi ini adalah propaganda politik yang secara sadar dijalankan oleh Prabowo, salah satu cara yang sudah dipersiapkan matang-matang sejak kekalahannya menjadi wapres 2009 lalu. Prabowo percaya, statement para artis bahkan artis porno sekalipun bakal lebih didengar oleh generasi muda dibandingkan jika ia memakai mulut para tokoh intelektual.
Dalam beberapa kampanye sebelumnya, Prabowo selalu berusaha untuk menunjukkan hal-hal yang aristokrat sekaligus bernuansa militer. Misal saja dengan menunggang kuda seharga milyaran rupiah, Prabowo ingin dicitrakan seperti Panglima Besar Jendral Soedirman. Lupa kalau Jenderal Soedirman itu kurus bukan gempal?
Tapi melalui tunggang-menunggang kuda itu, ia hendak mencemooh kepemimpinan saat ini yang penuh keragu-raguan, terlalu banyak pertimbangan, dan lamban dalam bertindak. Berbagai macam konflik sosial, degradasi moral, maraknya kasus korupsi, pemerkosaan seksual terhadap perempuan dan anak, pelanggaran kedaulatan bangsa, hanya bisa dijawab lewat sosok pemimpin yang kuat, jantan, tegas, berwibawa. Dan Prabowo ingin memitoskan bahwa semua itu hanya bisa dijawab oleh sosok seorang militer : Prabowo Subianto.
Prabowo betul-betul memanfaatkan ketidakpuasan masyarakat luas terhadap pemerintahan saat ini, siapa lagi kalau bukan pemerintahan SBY. Ia berjanji untuk mengoreksi semua akar permasalahan yang membelit bangsa ini. Tapi itulah Prabowo, mengkritisi pemerintahan SBY, tapi malah berkoalisi dengan semua parpol pendukung SBY, bahkan berjanji melanjutkan kerja-kerja SBY.
Ah, janji-janjinya seperti tertinggal di pelana kudanya, atau tercecer di Yordania.
Tapi ngomong-ngomong soal propaganda, dalam sejarah politik Indonesia, hal itu bukan sama sekali baru. Bahkan propaganda sangat efektif di zaman Orba, demi mencengkeramkan kekuatan militer dan Soeharto di benak setiap rakyat Indonesia. Propaganda semacam ini bisa dapat kita lihat dari film ‘Serangan Fajar’ dan ‘Pengkhianatan G30S PKI’. Ah, memang warisan militer Orba demikian piawai dalam mengelola propaganda. Tak dapat dipungkiri memang.
Dalam film ‘Serangan Fajar’ tampak bagaimana seluruh inisiatif penyerangan terhadap Belanda ada sepenuhnya di bawah komando Soeharto. Nyaris tak ada debat ataupun diskusi, untuk menimbang resiko dari aksi militer di bawah komando Soeharto. Bagaimanapun, tabiat komando memang meniadakan dialog dan hanya menuntut kesetiaan penuh untuk melakukan apa yang dikatakan pemimpin.
Hal serupa kita dapati dalam film ‘Pengkhianatan G30S/ PKI’. Soeharto digambarkan sebagai sosok berwibawa yang mampu menjadi sang pemandu dan penegak ‘ketertiban’ di tengah galau politik akibat terbunuhnya para jenderal. Di dalam kedua film tersebut, kita temukan betapa kuat kultur ‘komando’, hakikat dari paham militeristik yang menjadi akar dari fasisme, kemudian disebarluaskan kepada masyarakat Indonesia. Dalam paham fasis, manusia tidaklah sama, ada golongan yang lebih utama, ada golongan yang pantas untuk binasa. Ketidaksamaan inilah yang mendorong munculnya menujaan atas idealisme dan identitas mereka.
Ingat, bagi orang-orang fasis, kekuasaan militer melampaui sipil, dan yang kuat melampaui hingga menjajah yang lemah. TIDAK ADA KESETARAAN DAN KEMANUSIAAN, semua itu diganti dengan ideologi yang mengedepankan kekuatan. Bagi pemimpin fasis, pemerintahan hanya dipimpin oleh segelintir elit, yang merasa lebih tahu keinginan seluruh anggota masyarakat. Maka, jika ada pertentangan pendapat, maka yang berlaku adalah keinginan para elit yang berkuasa. Jangan harap Anda punya kesempatan untuk bersuara atau bertanya, kepala Anda taruhannya.
Tapi Prabowo tahu bahwa apa yang berusaha dijualnya adalah hal yang menyeramkan; fasisme militer. Maka, ia mengemas cara baru propaganda dengan polesan aroma artis serta suara dari wanita minim busana. Pencitraan militeristik harus dibantu dengan mulut-mulut para artis. Agar kaum muda menjadi lebih mudah percaya dan terperdaya, kemudian menjadi membela, bahwa pemimpin militer adalah dambaan mereka semua.
Prabowo menggunakan taktik soft diplomacy dalam mempromosikan citra maskulinitas militernya. Gagasan-gagasan yang menggambarkan maskulinitas Prabowo dirasa tak cukup mempan diperkenalkan lewat bedil, peluru, bahkan kuda atau helikopter. Prabowo merasa perlu umenambahkannya dengan pengakuan para selebritis, yang menjadi idola banyak kaum muda.
Berdekatan dengan banyak artis apakah membuat hati dan diri Prabowo tersentuh cita rasa art (seni)? Tentu tidak, ia tetap Prabowo Subianto, yang rumahnya di pinggir kota itu dikelilingi oleh kamp-kamp pelatihan paramiliter, mendidik anak muda sipil menjadi pasukannya, yang patuh pada perintahnya bukan berdialektika dengan gagasannya. Juga, Prabowo Subianto tetap mengandalkan anak muda semacam Pius Lustrilanang yang sibuk membangun laskar paramiliter yang tangguh untuk mendukung gerakan-gerakan politiknya. Dan memelihara pasukan Hercules, untuk menjadi pasukan sipil yang nanti dapat dipersenjatai, seperti dulu PAM Swakarsa bikinannya.
http://www.merdeka.com/politik/ahmad...akal-laku.html
http://entertainment.kompas.com/read...Karena.Ganteng
http://www.nonstop-online.com/2013/1...mpoii-prabowo/
Irawanto Budi. Film Propaganda : Ikonografi Kekuasaan. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, vol.8, no.1, Juli 2004. hlm.10.
www.newhistorian.wordpress.com, artikel berjudul Fasisme, yang ditulis pada 4 Januari 2008.
http://www.tempo.co/read/news/2013/1...o-Subianto/1/7
@sindikatjogja
Prabowo; Kampanye Maskulinitas Fasis untuk Kaum Muda
“Semua laki-laki jantan pasti pilih Prabowo.” Itulah sepenggal kalimat yang dilontarkan oleh Ahmad Dhani, salah satu musisi yang digandrungi anak muda Indonesia. Dhani juga menyanjung-nyanjung Prabowo sebagai capres yang ideal baginya, dengan kesan tegas dan berlatar belakang militer. Dia juga menilai Prabowo lebih berwibawa ketimbang kandidat capres lainnya, yang memiliki sisi maskulin kuat sesuai dengan karakternya.
Tak heran sebenarnya jika Ahmad Dhani ini menyukai gaya Prabowo Subianto. Sudah bisa dilihat dari gaya pakaian panggungnya yang juga kerap kali berselera kemiliter-militeran. Mungkin saja Dhani ini pernah bermimpi jadi tentara namun tak kesampaian.
Walau bercerai dengan Maia, tapi soal pilihan capres, ia sepakat dengan mantan suaminya itu. “Indonesia butuh pemimpin yang tegas dan ganteng,” katanya. Kalau pun ganteng, tetapi terlalu lama untuk bertindak, menurut Maia, jelas tidak akan menjadi pilihannya. Ada pula Baby Margareta, artis hot yang jatuh hati kepada Prabowo. “Saya mau banget sama Prabowo. Selain tampan dan juga berwibawa,” katanya. Artis dengan pose-pose seronok yang siap dikimpoii oleh Prabowo, konon katanya.
Ada tiga kata kunci dari pernyataan para selebritis di atas; jantan, berwibawa, dan tegas. Dari ketiga kata tersebut bisa diringkas menjadi satu : maskulinitas. Bagaimana menganalisa fenomena kekaguman para selebritis muda yang menonjolkan sisi maskulin Prabowo Subianto?
Kekaguman para selebritis muda tersebut bukan hanya sekedar pengisi rubrik acara gosip yang biasa mengisi hari-hari televisi. Tapi ini adalah propaganda politik yang secara sadar dijalankan oleh Prabowo, salah satu cara yang sudah dipersiapkan matang-matang sejak kekalahannya menjadi wapres 2009 lalu. Prabowo percaya, statement para artis bahkan artis porno sekalipun bakal lebih didengar oleh generasi muda dibandingkan jika ia memakai mulut para tokoh intelektual.
Dalam beberapa kampanye sebelumnya, Prabowo selalu berusaha untuk menunjukkan hal-hal yang aristokrat sekaligus bernuansa militer. Misal saja dengan menunggang kuda seharga milyaran rupiah, Prabowo ingin dicitrakan seperti Panglima Besar Jendral Soedirman. Lupa kalau Jenderal Soedirman itu kurus bukan gempal?
Tapi melalui tunggang-menunggang kuda itu, ia hendak mencemooh kepemimpinan saat ini yang penuh keragu-raguan, terlalu banyak pertimbangan, dan lamban dalam bertindak. Berbagai macam konflik sosial, degradasi moral, maraknya kasus korupsi, pemerkosaan seksual terhadap perempuan dan anak, pelanggaran kedaulatan bangsa, hanya bisa dijawab lewat sosok pemimpin yang kuat, jantan, tegas, berwibawa. Dan Prabowo ingin memitoskan bahwa semua itu hanya bisa dijawab oleh sosok seorang militer : Prabowo Subianto.
Prabowo betul-betul memanfaatkan ketidakpuasan masyarakat luas terhadap pemerintahan saat ini, siapa lagi kalau bukan pemerintahan SBY. Ia berjanji untuk mengoreksi semua akar permasalahan yang membelit bangsa ini. Tapi itulah Prabowo, mengkritisi pemerintahan SBY, tapi malah berkoalisi dengan semua parpol pendukung SBY, bahkan berjanji melanjutkan kerja-kerja SBY.
Ah, janji-janjinya seperti tertinggal di pelana kudanya, atau tercecer di Yordania.
Tapi ngomong-ngomong soal propaganda, dalam sejarah politik Indonesia, hal itu bukan sama sekali baru. Bahkan propaganda sangat efektif di zaman Orba, demi mencengkeramkan kekuatan militer dan Soeharto di benak setiap rakyat Indonesia. Propaganda semacam ini bisa dapat kita lihat dari film ‘Serangan Fajar’ dan ‘Pengkhianatan G30S PKI’. Ah, memang warisan militer Orba demikian piawai dalam mengelola propaganda. Tak dapat dipungkiri memang.
Dalam film ‘Serangan Fajar’ tampak bagaimana seluruh inisiatif penyerangan terhadap Belanda ada sepenuhnya di bawah komando Soeharto. Nyaris tak ada debat ataupun diskusi, untuk menimbang resiko dari aksi militer di bawah komando Soeharto. Bagaimanapun, tabiat komando memang meniadakan dialog dan hanya menuntut kesetiaan penuh untuk melakukan apa yang dikatakan pemimpin.
Hal serupa kita dapati dalam film ‘Pengkhianatan G30S/ PKI’. Soeharto digambarkan sebagai sosok berwibawa yang mampu menjadi sang pemandu dan penegak ‘ketertiban’ di tengah galau politik akibat terbunuhnya para jenderal. Di dalam kedua film tersebut, kita temukan betapa kuat kultur ‘komando’, hakikat dari paham militeristik yang menjadi akar dari fasisme, kemudian disebarluaskan kepada masyarakat Indonesia. Dalam paham fasis, manusia tidaklah sama, ada golongan yang lebih utama, ada golongan yang pantas untuk binasa. Ketidaksamaan inilah yang mendorong munculnya menujaan atas idealisme dan identitas mereka.
Ingat, bagi orang-orang fasis, kekuasaan militer melampaui sipil, dan yang kuat melampaui hingga menjajah yang lemah. TIDAK ADA KESETARAAN DAN KEMANUSIAAN, semua itu diganti dengan ideologi yang mengedepankan kekuatan. Bagi pemimpin fasis, pemerintahan hanya dipimpin oleh segelintir elit, yang merasa lebih tahu keinginan seluruh anggota masyarakat. Maka, jika ada pertentangan pendapat, maka yang berlaku adalah keinginan para elit yang berkuasa. Jangan harap Anda punya kesempatan untuk bersuara atau bertanya, kepala Anda taruhannya.
Tapi Prabowo tahu bahwa apa yang berusaha dijualnya adalah hal yang menyeramkan; fasisme militer. Maka, ia mengemas cara baru propaganda dengan polesan aroma artis serta suara dari wanita minim busana. Pencitraan militeristik harus dibantu dengan mulut-mulut para artis. Agar kaum muda menjadi lebih mudah percaya dan terperdaya, kemudian menjadi membela, bahwa pemimpin militer adalah dambaan mereka semua.
Prabowo menggunakan taktik soft diplomacy dalam mempromosikan citra maskulinitas militernya. Gagasan-gagasan yang menggambarkan maskulinitas Prabowo dirasa tak cukup mempan diperkenalkan lewat bedil, peluru, bahkan kuda atau helikopter. Prabowo merasa perlu umenambahkannya dengan pengakuan para selebritis, yang menjadi idola banyak kaum muda.
Berdekatan dengan banyak artis apakah membuat hati dan diri Prabowo tersentuh cita rasa art (seni)? Tentu tidak, ia tetap Prabowo Subianto, yang rumahnya di pinggir kota itu dikelilingi oleh kamp-kamp pelatihan paramiliter, mendidik anak muda sipil menjadi pasukannya, yang patuh pada perintahnya bukan berdialektika dengan gagasannya. Juga, Prabowo Subianto tetap mengandalkan anak muda semacam Pius Lustrilanang yang sibuk membangun laskar paramiliter yang tangguh untuk mendukung gerakan-gerakan politiknya. Dan memelihara pasukan Hercules, untuk menjadi pasukan sipil yang nanti dapat dipersenjatai, seperti dulu PAM Swakarsa bikinannya.
http://www.merdeka.com/politik/ahmad...akal-laku.html
http://entertainment.kompas.com/read...Karena.Ganteng
http://www.nonstop-online.com/2013/1...mpoii-prabowo/
Irawanto Budi. Film Propaganda : Ikonografi Kekuasaan. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, vol.8, no.1, Juli 2004. hlm.10.
www.newhistorian.wordpress.com, artikel berjudul Fasisme, yang ditulis pada 4 Januari 2008.
http://www.tempo.co/read/news/2013/1...o-Subianto/1/7
@sindikatjogja
0
Kutip
Balas