- Beranda
- Berita dan Politik
Selamatkan Indonesia DARI PRABOWO - HATTA RAJASA
...
TS
ken nero
Selamatkan Indonesia DARI PRABOWO - HATTA RAJASA
Quote:
"Kebenaran akan membebaskan Anda. Tapi pertama-tama, itu akan membuatmu marah "-. Gloria Steinem
Prabowo Mulai Bokek, Kalah dan Akan Bangkrut
Tanggal 20 Mei sudah lewat, pemilihan presiden 2014 ini memastikan hanya diikuti dua pasang kandidat, yaitu pasangan Jokowi – JK dan pasangan Prabowo – Hatta. Artinya, bisa dipastikan Pilpres hanya akan berjalan satu putaran. Ada satu hal mengganjal di pikiran, karena sebelumnya aku mengira Pilpres akan diikuti tiga pasang kandidat. Silakan cek, hampir semua pengamat pung memperkirakan itu sampai sebulan lalu. Sebenarnya, Prabowo adalah orang yang sangat berkepentingan dengan adanya poros ketiga untuk memperbesar peluang kemenangannya. Data-data hasil survei selama ini menunjukkan Prabowo sebagai kandidat runner up, sehingga membutuhkan kandidat ketiga untuk memecah suara kandidat terkuat. Skenario ini bukan hal baru, karena biasa diterapkan di berbagai proses pemilihan kepala daerah hingga kepala desa sekali pun.
Dengan kalkulasi itu, seorang runner up selayaknya memainkan kandidat ketiga sebagai capres boneka. Dalam konstelasi Pilpres kali ini, ARB adalah aktor yang paling memungkinkan membangun poros ketiga. ARB adalah politisi pengusaha yang tak akan jauh dari hitungan untung rugi. Dia sudah merugi selama lima tahun memimpin Golkar, sehingga perlu mencari cara untuk mengembalikan keuntungannya. Kalau Prabowo memberinya mahar untuk membangun poros ketiga, pasti ARB akan menerimanya. Di sisi lain, masih ada partai demokrat yang “berhutang” untuk memajukan kandidat karena terlanjur menggelar konvensi. Jadi, perjodohanan antara ARB dan cawapres dari Partai Demokrat sebagai poros ketiga bersifat “sangat mungkin.”
Tentu saja, itu tergantung seberapa berani Prabowo membayar tiket capres ketiga itu pada ARB. Kalau poros ketiga itu terbentuk, hasil berbagai survei menunjukkan bahwa suara ARB pun tak akan melampaui Prabowo. Artinya, dia akan berhasil memecah suara Jokowi sehingga memuluskan langkah Prabowo untuk head to head dengan Jokowi pada putaran kedua. Dengan adanya dua putaran ini, Prabowo akan bisa mengevaluasi proses selama putaran pertama, untuk memperkuat konsolidasi pemenangan pada putaran berikutnya. Itu akan membuat durasi pertarungan lebih panjang, sehingga cukup waktu bagi Prabowo untuk mencari titik-titik lemah Jokowi. Dengan adanya dua putaran, Prabowo akan memiliki banyak bahan evaluasi untuk mencari kelemahan-kelemahan Jokowi. Secara teori psikologi politik, pihak yang kalah kuat harus mengulur konfrontasi sehingga dia memiliki kesempatan lebih panjang untuk merebut kemenangan.
Anehnya, langkah itu tidak dilakukan Prabowo. Apa yang salah? Sebagai veteran tentara, pasti dia tahu strategi itu, tapi kenapa tak melakukannya? Jawabannya sudah tersirat di depan, yaitu karena dia gagal menyediakan kompensasi bagi ARB untuk maju sebagai kandidat ketiga. Kalau itu dia lakukan, sebenarnya ARB bisa dipastikan hanya menempati urutan ketiga, namun bisa memaksa Pilpres berjalan dua putaran. Di putaran kedua ARB bisa bergabung dengan Prabowo untuk beramai-ramai mengeroyok Jokowi. Semua itu sangat mungkin disepakati dalam kontrak Prabowo dengan ARB untuk memunculkan poros ketiga.
Efek penyatuan kekuatan antara ARB dengan Prabowo pun akan jauh lebih kuat jika dilakukan pada putaran kedua. Dalam konteks ini, ada efek balas dendam di mana para pendukung ARB akan lebih militan menggabungkan kekuatannya untuk mengalahkan Jokowi. Tentu, semua itu hanya akan terjadi dengan catatan di atas, Prabowo memiliki bahan bakar yang cukup untuk melakukan pertarungan panjang. Faktanya, Prabowo memang mulai kehabisan dana untuk mengulur pertarungan. Dia bahkan memilih untuk mempercepat durasi pertarungan. Ini sungguh menyalahi teori pertarungan, karena secara universal pihak yang lebih lemah harus memilih rute gerilya yang panjang untuk pelan-pelan menggerogoti lawannya yang lebih kuat.
Tapi, bagaimana pun juga kita harus memahami pilihan realistis Prabowo jika menilik keadaannya. Dia sudah menghabiskan dana 3 Trilyun untuk memperoleh peringkat ketiga dalam pemilu legislatif kemarin. Selain itu, dukungan PPP terhadap pencapresannya juga tidak gratis. Kedatangan Surya Dharma Ali ke kampanye Gerindra sebenarnya disertai pemberian mahar 50 Milyar dari Prabowo untuk PPP. Distribusi yang tak merata memunculkan perpecahan di internal PPP. Tentu saja, perselisihan yang dipicu persoalan duit juga akan cepat kelar kalau diselesaikan dengan pendekatan duit. Artinya, Prabowo harus kembali merogoh koceknya. Bayangkan, betapa besar dana dihamburkan Prabowo yang selalu mengandalkan duit dalam menghadapi berbagai persoalan ini.
Tanpa sadar, cara kerjanya yang melulu mengandalkan duit ini ternyata benar-benar menguras kantongnya. Mau tak mau, sekarang dia harus mulai realistis memainkan skenario politiknya. Seperti pepatah mengatakan, tak ada kata terlambat untuk berhemat. Hal itu juga terlihat dalam pilihannya menerima Hatta Rajasa sebagai cawapres. Sebelumnya, lingkaran dalam Prabowo lebih banyak menginginkan Mahfud MD atau Abraham Samad sebagai cawapres, lantaran elektabilitas mereka jauh lebih tinggi. Tapi lantaran Hatta menawarkan mahar 1,7 Trilyun untuk menjadi Cawapres, akhirnya Prabowo pun menerimanya. Kalau dana Prabowo mencukupi, seharusnya dia memilih Abraham Samad atau Mahfud MD yang elektabilitasnya lebih tinggi. Tapi apa boleh buat, namanya juga kantong mulai kempes.
Akhirnya, tak mengherankan kalau sekarang cuma ada dua pasang kandidat dalam Pilpres 2014 ini, meski pun itu sedikit ganjil kalau dicermati berdasar teori persaingan. Faktor yang sangat determinan di sini, tak lain dan tak bukan, karena Prabowo sudah mulai kehabisan dana. Hal yang sama dialami ARB yang sudah banyak merugi selama memimpin Golkar. Sedari awal dia ngebet maju sebagai Capres meski internal partai banyak yang menertawakan elektabilitasnya. Bagi Bakri, persoalan maju Capres kali ini memang bukan persoalan menang, tapi persoalan mengorek modal dari kandidat runner up yang mau membiayainya. Sayang, Bakri harus kecele karena kandidat yang dia harapkan mampu memainkan poros ketiga pun ternyata juga sudah mulai bokek.
Dalam kalkulasi ini, Bakri memberikan beberapa skenario kepada Prabowo. Skenario pertama, dia akan maju sebagai kandidat ketiga pemecah suara untuk memastikan Pilpres berjalan dua putaran. Dalam skenario ini Bakri hanya akan menempati urutan ketiga dalam putaran pertama Pipres. Pada putaran kedua, barulah poros ketiga ini merapat ke Prabowo untuk beramai-ramai mengeroyok Jokowi. Tentu skenario ini membutuhkan pembiayaan yang tak sedikit, karena Prabowo harus menanggung pembiayaan dua tim.
Skenario kedua, prabowo cukup memberikan kompensasi kepada Bakri untuk mengurangi kerugiannya selama lima tahun memimpin Golkar, lalu Bakri akan bergabung dengan tim Prabowo. Dalam skenario ini, biaya yang diperlukan memang jauh lebih sedikit dibanding biaya pembentukan poros ketiga. Setelah menghitung-hitung sisa kantonya, ternyata Prabowo hanya bisa menerima opsi kedua. Fakta menyedihkan tak bisa dia tolak, bahwa dia memang sudah mulai bokek. Calon yang diharapkan bisa mejadi kandidat poros ketiga pun sudah terlanjur bokek, dan malah mengharap sokongannya untuk tetap maju sebagai Capres. Ya sudahlah balik ke hitung-hitungan aman. Dari pada tarung dua kali dan belum tentu menang, mending tarung sekali aja. Kalau pun kalah, setidaknya bisa meminimalisir duit yang terbuang. Sekali lagi, tak ada kata terlambat untuk berhemat. Maklum, sambil itung-itungan menang kalah Prabowo juga masih terus kepikiran utang perusahaannya yang mencapai 14 Trilyun. Semoga ke depan Prabowo terus mengingat pepatah “hemat pangkal kaya,” agar dia tak selalu “besar pasak dari pada tiang.”
Ditulis Oleh : Sindikat Jogja
Twitter : @SindikatJogja
part 2 page 18+19
part 3 page 20+21
part 4 page 24+25
part 5 page 29+31
Tanggal 20 Mei sudah lewat, pemilihan presiden 2014 ini memastikan hanya diikuti dua pasang kandidat, yaitu pasangan Jokowi – JK dan pasangan Prabowo – Hatta. Artinya, bisa dipastikan Pilpres hanya akan berjalan satu putaran. Ada satu hal mengganjal di pikiran, karena sebelumnya aku mengira Pilpres akan diikuti tiga pasang kandidat. Silakan cek, hampir semua pengamat pung memperkirakan itu sampai sebulan lalu. Sebenarnya, Prabowo adalah orang yang sangat berkepentingan dengan adanya poros ketiga untuk memperbesar peluang kemenangannya. Data-data hasil survei selama ini menunjukkan Prabowo sebagai kandidat runner up, sehingga membutuhkan kandidat ketiga untuk memecah suara kandidat terkuat. Skenario ini bukan hal baru, karena biasa diterapkan di berbagai proses pemilihan kepala daerah hingga kepala desa sekali pun.
Dengan kalkulasi itu, seorang runner up selayaknya memainkan kandidat ketiga sebagai capres boneka. Dalam konstelasi Pilpres kali ini, ARB adalah aktor yang paling memungkinkan membangun poros ketiga. ARB adalah politisi pengusaha yang tak akan jauh dari hitungan untung rugi. Dia sudah merugi selama lima tahun memimpin Golkar, sehingga perlu mencari cara untuk mengembalikan keuntungannya. Kalau Prabowo memberinya mahar untuk membangun poros ketiga, pasti ARB akan menerimanya. Di sisi lain, masih ada partai demokrat yang “berhutang” untuk memajukan kandidat karena terlanjur menggelar konvensi. Jadi, perjodohanan antara ARB dan cawapres dari Partai Demokrat sebagai poros ketiga bersifat “sangat mungkin.”
Tentu saja, itu tergantung seberapa berani Prabowo membayar tiket capres ketiga itu pada ARB. Kalau poros ketiga itu terbentuk, hasil berbagai survei menunjukkan bahwa suara ARB pun tak akan melampaui Prabowo. Artinya, dia akan berhasil memecah suara Jokowi sehingga memuluskan langkah Prabowo untuk head to head dengan Jokowi pada putaran kedua. Dengan adanya dua putaran ini, Prabowo akan bisa mengevaluasi proses selama putaran pertama, untuk memperkuat konsolidasi pemenangan pada putaran berikutnya. Itu akan membuat durasi pertarungan lebih panjang, sehingga cukup waktu bagi Prabowo untuk mencari titik-titik lemah Jokowi. Dengan adanya dua putaran, Prabowo akan memiliki banyak bahan evaluasi untuk mencari kelemahan-kelemahan Jokowi. Secara teori psikologi politik, pihak yang kalah kuat harus mengulur konfrontasi sehingga dia memiliki kesempatan lebih panjang untuk merebut kemenangan.
Anehnya, langkah itu tidak dilakukan Prabowo. Apa yang salah? Sebagai veteran tentara, pasti dia tahu strategi itu, tapi kenapa tak melakukannya? Jawabannya sudah tersirat di depan, yaitu karena dia gagal menyediakan kompensasi bagi ARB untuk maju sebagai kandidat ketiga. Kalau itu dia lakukan, sebenarnya ARB bisa dipastikan hanya menempati urutan ketiga, namun bisa memaksa Pilpres berjalan dua putaran. Di putaran kedua ARB bisa bergabung dengan Prabowo untuk beramai-ramai mengeroyok Jokowi. Semua itu sangat mungkin disepakati dalam kontrak Prabowo dengan ARB untuk memunculkan poros ketiga.
Efek penyatuan kekuatan antara ARB dengan Prabowo pun akan jauh lebih kuat jika dilakukan pada putaran kedua. Dalam konteks ini, ada efek balas dendam di mana para pendukung ARB akan lebih militan menggabungkan kekuatannya untuk mengalahkan Jokowi. Tentu, semua itu hanya akan terjadi dengan catatan di atas, Prabowo memiliki bahan bakar yang cukup untuk melakukan pertarungan panjang. Faktanya, Prabowo memang mulai kehabisan dana untuk mengulur pertarungan. Dia bahkan memilih untuk mempercepat durasi pertarungan. Ini sungguh menyalahi teori pertarungan, karena secara universal pihak yang lebih lemah harus memilih rute gerilya yang panjang untuk pelan-pelan menggerogoti lawannya yang lebih kuat.
Tapi, bagaimana pun juga kita harus memahami pilihan realistis Prabowo jika menilik keadaannya. Dia sudah menghabiskan dana 3 Trilyun untuk memperoleh peringkat ketiga dalam pemilu legislatif kemarin. Selain itu, dukungan PPP terhadap pencapresannya juga tidak gratis. Kedatangan Surya Dharma Ali ke kampanye Gerindra sebenarnya disertai pemberian mahar 50 Milyar dari Prabowo untuk PPP. Distribusi yang tak merata memunculkan perpecahan di internal PPP. Tentu saja, perselisihan yang dipicu persoalan duit juga akan cepat kelar kalau diselesaikan dengan pendekatan duit. Artinya, Prabowo harus kembali merogoh koceknya. Bayangkan, betapa besar dana dihamburkan Prabowo yang selalu mengandalkan duit dalam menghadapi berbagai persoalan ini.
Tanpa sadar, cara kerjanya yang melulu mengandalkan duit ini ternyata benar-benar menguras kantongnya. Mau tak mau, sekarang dia harus mulai realistis memainkan skenario politiknya. Seperti pepatah mengatakan, tak ada kata terlambat untuk berhemat. Hal itu juga terlihat dalam pilihannya menerima Hatta Rajasa sebagai cawapres. Sebelumnya, lingkaran dalam Prabowo lebih banyak menginginkan Mahfud MD atau Abraham Samad sebagai cawapres, lantaran elektabilitas mereka jauh lebih tinggi. Tapi lantaran Hatta menawarkan mahar 1,7 Trilyun untuk menjadi Cawapres, akhirnya Prabowo pun menerimanya. Kalau dana Prabowo mencukupi, seharusnya dia memilih Abraham Samad atau Mahfud MD yang elektabilitasnya lebih tinggi. Tapi apa boleh buat, namanya juga kantong mulai kempes.
Akhirnya, tak mengherankan kalau sekarang cuma ada dua pasang kandidat dalam Pilpres 2014 ini, meski pun itu sedikit ganjil kalau dicermati berdasar teori persaingan. Faktor yang sangat determinan di sini, tak lain dan tak bukan, karena Prabowo sudah mulai kehabisan dana. Hal yang sama dialami ARB yang sudah banyak merugi selama memimpin Golkar. Sedari awal dia ngebet maju sebagai Capres meski internal partai banyak yang menertawakan elektabilitasnya. Bagi Bakri, persoalan maju Capres kali ini memang bukan persoalan menang, tapi persoalan mengorek modal dari kandidat runner up yang mau membiayainya. Sayang, Bakri harus kecele karena kandidat yang dia harapkan mampu memainkan poros ketiga pun ternyata juga sudah mulai bokek.
Dalam kalkulasi ini, Bakri memberikan beberapa skenario kepada Prabowo. Skenario pertama, dia akan maju sebagai kandidat ketiga pemecah suara untuk memastikan Pilpres berjalan dua putaran. Dalam skenario ini Bakri hanya akan menempati urutan ketiga dalam putaran pertama Pipres. Pada putaran kedua, barulah poros ketiga ini merapat ke Prabowo untuk beramai-ramai mengeroyok Jokowi. Tentu skenario ini membutuhkan pembiayaan yang tak sedikit, karena Prabowo harus menanggung pembiayaan dua tim.
Skenario kedua, prabowo cukup memberikan kompensasi kepada Bakri untuk mengurangi kerugiannya selama lima tahun memimpin Golkar, lalu Bakri akan bergabung dengan tim Prabowo. Dalam skenario ini, biaya yang diperlukan memang jauh lebih sedikit dibanding biaya pembentukan poros ketiga. Setelah menghitung-hitung sisa kantonya, ternyata Prabowo hanya bisa menerima opsi kedua. Fakta menyedihkan tak bisa dia tolak, bahwa dia memang sudah mulai bokek. Calon yang diharapkan bisa mejadi kandidat poros ketiga pun sudah terlanjur bokek, dan malah mengharap sokongannya untuk tetap maju sebagai Capres. Ya sudahlah balik ke hitung-hitungan aman. Dari pada tarung dua kali dan belum tentu menang, mending tarung sekali aja. Kalau pun kalah, setidaknya bisa meminimalisir duit yang terbuang. Sekali lagi, tak ada kata terlambat untuk berhemat. Maklum, sambil itung-itungan menang kalah Prabowo juga masih terus kepikiran utang perusahaannya yang mencapai 14 Trilyun. Semoga ke depan Prabowo terus mengingat pepatah “hemat pangkal kaya,” agar dia tak selalu “besar pasak dari pada tiang.”
Ditulis Oleh : Sindikat Jogja
Twitter : @SindikatJogja
part 2 page 18+19
part 3 page 20+21
part 4 page 24+25
part 5 page 29+31
Diubah oleh ken nero 24-06-2014 12:58
0
11.9K
Kutip
124
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
691.3KThread•56.7KAnggota
Tampilkan semua post
TS
ken nero
#29
Quote:
Selamatkan Indonesia DARI PRABOWO - HATTA RAJASA [PART 5]
Sirkus Politik Amin Fasis: Jegal Mega, Khianati Gus Dur, Coreng Muhammadiyah
Di lingkungan Muhammadiyah, ada ungkapan bahwa Muhammadiyah itu sangat demokratis, anggotanya bisa memilih jati diri sesuai jalan hidupnya. Sehingga seseorang bisa menjadi Muhammadiyah yang bijak, cerdas, dan intelek seperti Buya Syafi’i Maarif atau Din Syamsudin. Namun juga bisa juga menjadi seorang Muhammadiyah yang licik, oportunis, dan politis seperti Amien Rais.
Satir? Memang terkesan satir, tapu bukan pepesan kosong. Kita semua masih ingat bagaimana Amien Rais menabuh sirkus politiknya sejak era reformasi hingga sekarang. Di satu sisi, dia selalu menyebut mantra-mantra keislaman, demokrasi, dan berbagai nilai luhur lainnya. Di lain sisi, masyarakat Indonesia juga tak dapat dikibuli, kita dapat melihat rekam jejak atraksi-atraksi sirkus politik yang dia peragakan.
Bagi kalangan mahasiswa pro demokrasi di Yogyakarta, watak sengkuni alias provokator Amien Rais bukan asing bagi mereka. Silahkan tanya saja. Banyak aktivis sudah muak dengan perilaku Amien Rais sejak awal era reformasi. Kita semua tahu, reformasi tak serta-merta bergulir saja pada Mei 1998 itu. Pengunduran diri Suharto pada 21 Mei 1998, juga bukan terjadi karena kesadarannya sendiri.
Bertahun-tahun sebelum itu, aktivis dan mahasiswa di berbagai kampus di Indonesia telah menggelorakan tuntutan pro demokrasi. Menjelang Pemilu 1997, aksi-aksi sporadis menuntut regenerasi kekuasaan di Indonesia sudah marak dilakukan mahasiswa. Aksi-aksi itu berlanjut seiring krisis moneter yang menerpa Asia Tenggara terhitung sejak Juli 1997. Tuntutan mahasiswa semakin menguat ketika Oktober 1997, pemerintah berniat meminta bantuan finansial IMF untuk mengatasi dampak krisis moneter di Indonesia.
Para aktivis pro demokrasi saat itu berpendapat bahwa solusi krisis bukan dengan mengajukan hutang ke lembaga internasional, tapi dengen menghentikan perilaku korupsi Suharto dan kroni-kroninya yang menggerogoti kekayaan negara. Dan yang penting pula, adalah menuntut pergantian kepemimpinan di negeri ini. Para aktivis itu sadar, efek tuntutan mereka tak akan kuat tanpa dukungan masyarakat luas. Karena itu, mereka berusaha menggalang dukungan dari berbagai tokoh masyarakat. Salah satu tokoh yang diharap dukungannya adalah Amien Rais, mengingat posisinya waktu itu sebagai ketua Muhammadiyah.
Apa tanggapan Amien Rais?
Dia menolak terlibat dalam aksi-aksi para mahasiswa. Dia bahkan tak mau sekedar datang memberikan orasi singkat untuk menguatkan moral dan semangat para aktivis yang tengah menyabung nyawa memperjuangkan idealismenya dan menuntut demokrasi. Bahkan dengan tanpa malu ia menyepelekan, jika yang hadir tak berjumlah ribuan, ia tak akan mau datang. Berdemonstrasi di Rezim Soeharto dengan jumlah ratusan saja sudah luar biasa. Sungguh watak seseorang yang oportunis dan mencari aman.
Tak perlu menjadi orang cerdas untuk menyimpulkan, bahwa Amin Rais menolak memberi dukungan lantaran gelombang reformasi saat itu memang belum kuat pada dua tahun sebelum 1998. Aksi-aksi menuntut reformasi baru dilakukan segelintir mahasiswa idealis yang secara sporadis menggelar aksi massa di kampus-kampus. Sampai di situ, para mahasiswa belum berpikir negatif terhadap Amien. Mereka baru sadar dan mulai mengumpat, ketika aksi-aksi menuntut reformasi sudah mulai menguat, dan demonstrasi sudah masif. Amien Rais pun ikut teriak-teriak bak pahlawan kesiangan. Ia menunggagi perjuangan aktivis yang berdarah-darah, yang mati dan diculik, yang dikejar-kejar polisi dan tentara dengan senapan dan samurai. Ia merasa bangga menepuk dada sebagai orang yang mendukung demonstrasi. Amien Rais sama sekali tak malu hati, mengakui semua atas sokongan dan dukungannya.
Saat itu para aktivis mulai sadar, tampaknya Amin ini seorang pemain sirkus politik yang memanfaatkan posisi Ketua Umum Muhammadiyah, dan menumpangi momentum perubahan yang tengah terjadi. Dan anggapan para aktivis tak salah. Pasca kejatuhan Suharto, Amin mulai berkoar-koar menyebut dirinya sebagai pahlawan reformasi. Padahal, saat demonstrasi massal terjadi di seluruh Indonesia pada 20 Mei 1998, dia justru menghimbau warga untuk membatalkan rencana aksi itu.
Sungguh, Amien Rais si pengecut, pemain sirkus yang berakrobat, berteriak-teriak lantang, lalu buru-buru bersembunyi di balik bangku. Permainan sirkus yang dia andalkan tak jauh-jauh dari atraksi teriak lantang, lalu sembunyi di balik bangku. Tapi bukan hanya itu, dia juga punya kepiawaian lain; main telikung, menjegal orang, dan aksi koboi. Kita bisa amati atraksi-atraksi sirkus Amin Rais pasca kejatuhan Suharto.
Seminggu sebelum Suharto jatuh, 14 Mei 1998 para tokoh nasional berkumpul membentuk Majelis Amanat Rakyat (MARA) yang di dalamnya juga ada Amin Rais. MARA adalah wadah terbuka dengan tujuan evaluasi terhadap pemerintahan Orde Baru, sambil mengawal transisi menuju perubahan Indonesia yang demokratis, dengan tokoh-tokoh lintas agama, lintas suku, dan lintas rasial. Tujuan mereka, yaitu melakukan. Satu hal perlu digaris bawahi, bahwa para tokoh nasional di MARA tidak pernah atau belum sempat berpikir tentang pembentukan partai politik. Dalam perjalannya, pada 23 Agustus 1998, Amien Rais menyulap MARA menjadi Partai Amanat Nasional dengan mengesampingkan belasan tokoh yang belum mencapai kata sepakat.
Dalam perkembangannya pun, tokoh-tokoh yang tergabung di MARA perlahan-lahan disingkirkan, yang tak datang dari Muhammadiya dicampakkan, apalagi yang berbeda agama. Sehingga pun suara PAN dari Pemilu 1999 tak cukup menggembirakan, hanya menduduki peringkat kelima (7,12% suara). Tentu saja, perolehan itu sangat kurang untuk mewujudkan ambisi Amien untuk menjadi Presiden.
Jawara perolehan suara waktu itu ditempati PDIP dengan 33,74% suara, sementara posisi kedua adalah Golkar dengan 22,44% suara. Merasa tak mampu bersaing, akhirnya Amien dengan otak provokatornya merapat ke Megawati, memberi sinyal untuk mendukungnya sebagai presiden RI. Seorang Sengkuni yang berharap bisa mendapat kursi strategis, jika ikut mendukung presiden terpilih. Tapi, tampaknya Mega waktu itu tak terlalu tertarik dengan lobi-lobi Amin Rais.
Seperti wataknya yang oportunis dan ‘tak terima ditolak’, maka kelanjutannya bisa ditebak. Amin mulai menggalang kekuatan partai-partai untuk menjegal Mega sebagai presiden. Sadar bahwa dirinya tak cukup kuat menjadi magnet koalisi, dia mendorong Gus Dur selaku pendiri PKB yang saat itu menduduki peringkat tiga dengan 12,61% suara. Sungguh disayangkan, guru bangsa kita ini terjerat perangkap Amin Rais. Dengan dukungan koalisi poros tengah yang digalang Amin, Gus Dur menjadi presiden RI.
Apakah Amien benar-benar mendukung? Ternyata tidak, sedari awal dia sudah ancang-ancang untuk menjatuhkan Gus Dur di tengah jalan. Dan itu berhasil dia jalankan dengan baik.
Belum genap setahun, Amien sudah membuat keonaran politik. Salah satunya dalam kasus konflik Ambon, banyak pihak sepakat bahwa Amien adalah salah satu tokoh yang terlibat aktif mendukung mobilisasi laskar jihad untuk berperang di Ambon. Tentu saja, langkah fasis itu sangat bertentangan dengan pendirian Gus Dur yang pluralis dan mengutamakan jalan damai. Toh bagaimana pun, pada akhirnya Gus Dur berhasil ia dilengserkan dari kursi kepresidenan. Sesuai memang dengan skenario awal Amien Rais, mendukung Gus Dur dengan poros tengah, kemudian berbalik menjadi pihak yang sangat aktif melengserkannya.
Dengan manuver-manuvernya itu, dia berharap namanya akan tersohor sebagai king maker sekaligus tokoh politik terkemuda. Modusnya, tentu saja harapan menjadi presiden tahun 2004. Dalam berbagai kesempatan, dia menyatakan bahwa dia akan terpilih menjadi presiden lantaran dirinya orang Jawa. Sekali lagi, terlihat bertapa chauvinis dan fasisnya profesor yang satu ini, seorang yang mengaku-ngaku tokoh demokrasi.
Di era reformasi pun dia selalu menonjolkan sentimen golongan primordial. Dan tentu saja, rakyat tak bodoh, dalam Pemilu 2004, Amien tetap gagal meraih impian menjadi presiden. Dia hanya mendapat 14,66% suara dan menempati peringkat 4 di antara 5 pasangan capres yang ada. Itu adalah vonis nyata bagi Amien Rais, bahwa rakyat Indonesia tidak percaya kapasitasnya untuk memimpin.
Toh tampaknya Amien Rais masih merasa nanggung tak mencapai klimaks. Di usianya yang sudah senja, dia masih tak jera memainkan sirkus politik. Paling aktual, beberapa tahun lalu dalam Pilkada DKI Jakarta, Amien berkoar-koar mendukung Fauzi Bowo sebagai kompetitor Jokowi. Dia sangat yakin Foke akan mengalahkan Jokowi. Toh, akhirnya Fauzi Bowo gagal melanjutkan masa kepemimpinannya di ibukota. Dan Amien Rais tak terima, hingga berkoar-koar mengatakan Jokowi berbahaya bagi demokrasi.
Ah ya, tampaknya Amien adalah orang yang konsisten dengan ketidakkonsistenannya. Belum hilang ingatan dia tentang caci-makinya terhadap Jokowi, paska Pileg 2014 ini dia justru menyodor-nyodorkan Hatta Rajasa sebagai Cawapres Jokowi. Sayang sungguh sayang, ia harus kembali gigit jari lantaran Jokowi menolak koalisi yang berdasar tawar-menawar jabatan.
Dulu ditolak Megawati, sekarang ditolak Jokowi. Dan otak Sengkuni Amien Rais pun berpikir keras untuk memberikan balasan. Dan sudah dapat diduga, Amien kembali menjelek-jelakkan Jokowi. Kali ini, dia berlindung di balik gamis umat Islam. Ia menyebutkan seolah-olah perkatannya adalah fatwa, agar umat Islam harus mendukung Prabowo. Dia juga mengklaim, 85% warga Muhammadiyah mendukung Prabowo. Entah, survei atau metode hitung kancing yang digunakan Amien Rais ini.
Tak cukup dengan klaim-klaim itu, Amien Rais bahkan melakukan politisasi terhadap sidang Tanwir Muhammadiyah di Samarinda, Sabtu (24/05/2014) lalu. Di acara yang memang dipersiapkan bukan untuk ajang dukung-mendukung serta bernuansa netral, Amin Rais tanpa malu meneriakkan yel-yel dukungan terhadap Prabowo. Memang lupa kiranya, dulu kepalanya pernah hendak ditodong senjata oleh pasukan jagoannya itu.
Hingga Din Syamsudin, Ketua Umum Muhammadiyah merasa seperti malu dan gerah dengan akrobat politik Amien Rais itu. Menurutnya, kalau pun Amien mendukung Prabowo, selayaknya memiliki sedikit respek dan etika, dengan tak membawa-bawa nama Muhammadiyah. Dan tentu, sangat tak pantas menumpangi acara Muhammadiyah. Said Aqil Siraj tak salah kiranya, 14 tahun lalu pernah menyatakan Amien Rais sebagai sosok tak berpendirian, pernyataannya bolak-balik ibarat pagi tempe, siang toge, sore kedelai.
Amboi, Bapak Profesor Amien Rais, apa yang kau rencanakan dengan dukungan kepada Prabowo? Dulu berteriak-teriak ngotot menyeret Prabowo untuk bertanggung jawab atas kasus pelanggaran HAM yang menjeratnya. Kalau saat ini dia mendukung Prabowo, apa sebenarnya motifnya?
Ah ya, sangat mungkin sejarah berulang, Amien pun sudah menyusun ancang-ancang jika saja nanti Prabowo berhasil memenangkan Pilpres, dia sudah menyiapkan jurus untuk menjegalnya. Tentu saja, dengan jatuhnya Prabowo, maka berarti Hatta Rajasa yang berasal dari partainya akan mengambil posisi presiden dari Prabowo. Dan Hatta Rajasa tak lebih dari sekedar bonekanya. Amien Rais begitu merasa, kuasa presiden hampir-hampir diraihnya.
Tapi, pesan untuk Bapak Profesor Amien Rais, daripada kembali siap-siap gigit jari, lebih baik belajar menjadi muslim yang baik, menjauhi sifat munafik, dan lekas bertaubat di usia yang semakin senja, selagi Tuhan masih memberi kesempatan. Amin….
http://www.oocities.org/maluku67/siw...ma2012y2k2.htm
http://www.tubasmedia.com/berita/ami...ok-bayar-pers/
http://news.detik.com/read/2013/07/2...i-atau-prabowo
http://pemilu.tempo.co/read/news/201...a-Muhammadiyah
http://www.minihub.org/siarlist/msg04751.html
@sindikatjogja
LINK
Sirkus Politik Amin Fasis: Jegal Mega, Khianati Gus Dur, Coreng Muhammadiyah
Di lingkungan Muhammadiyah, ada ungkapan bahwa Muhammadiyah itu sangat demokratis, anggotanya bisa memilih jati diri sesuai jalan hidupnya. Sehingga seseorang bisa menjadi Muhammadiyah yang bijak, cerdas, dan intelek seperti Buya Syafi’i Maarif atau Din Syamsudin. Namun juga bisa juga menjadi seorang Muhammadiyah yang licik, oportunis, dan politis seperti Amien Rais.
Satir? Memang terkesan satir, tapu bukan pepesan kosong. Kita semua masih ingat bagaimana Amien Rais menabuh sirkus politiknya sejak era reformasi hingga sekarang. Di satu sisi, dia selalu menyebut mantra-mantra keislaman, demokrasi, dan berbagai nilai luhur lainnya. Di lain sisi, masyarakat Indonesia juga tak dapat dikibuli, kita dapat melihat rekam jejak atraksi-atraksi sirkus politik yang dia peragakan.
Bagi kalangan mahasiswa pro demokrasi di Yogyakarta, watak sengkuni alias provokator Amien Rais bukan asing bagi mereka. Silahkan tanya saja. Banyak aktivis sudah muak dengan perilaku Amien Rais sejak awal era reformasi. Kita semua tahu, reformasi tak serta-merta bergulir saja pada Mei 1998 itu. Pengunduran diri Suharto pada 21 Mei 1998, juga bukan terjadi karena kesadarannya sendiri.
Bertahun-tahun sebelum itu, aktivis dan mahasiswa di berbagai kampus di Indonesia telah menggelorakan tuntutan pro demokrasi. Menjelang Pemilu 1997, aksi-aksi sporadis menuntut regenerasi kekuasaan di Indonesia sudah marak dilakukan mahasiswa. Aksi-aksi itu berlanjut seiring krisis moneter yang menerpa Asia Tenggara terhitung sejak Juli 1997. Tuntutan mahasiswa semakin menguat ketika Oktober 1997, pemerintah berniat meminta bantuan finansial IMF untuk mengatasi dampak krisis moneter di Indonesia.
Para aktivis pro demokrasi saat itu berpendapat bahwa solusi krisis bukan dengan mengajukan hutang ke lembaga internasional, tapi dengen menghentikan perilaku korupsi Suharto dan kroni-kroninya yang menggerogoti kekayaan negara. Dan yang penting pula, adalah menuntut pergantian kepemimpinan di negeri ini. Para aktivis itu sadar, efek tuntutan mereka tak akan kuat tanpa dukungan masyarakat luas. Karena itu, mereka berusaha menggalang dukungan dari berbagai tokoh masyarakat. Salah satu tokoh yang diharap dukungannya adalah Amien Rais, mengingat posisinya waktu itu sebagai ketua Muhammadiyah.
Apa tanggapan Amien Rais?
Dia menolak terlibat dalam aksi-aksi para mahasiswa. Dia bahkan tak mau sekedar datang memberikan orasi singkat untuk menguatkan moral dan semangat para aktivis yang tengah menyabung nyawa memperjuangkan idealismenya dan menuntut demokrasi. Bahkan dengan tanpa malu ia menyepelekan, jika yang hadir tak berjumlah ribuan, ia tak akan mau datang. Berdemonstrasi di Rezim Soeharto dengan jumlah ratusan saja sudah luar biasa. Sungguh watak seseorang yang oportunis dan mencari aman.
Tak perlu menjadi orang cerdas untuk menyimpulkan, bahwa Amin Rais menolak memberi dukungan lantaran gelombang reformasi saat itu memang belum kuat pada dua tahun sebelum 1998. Aksi-aksi menuntut reformasi baru dilakukan segelintir mahasiswa idealis yang secara sporadis menggelar aksi massa di kampus-kampus. Sampai di situ, para mahasiswa belum berpikir negatif terhadap Amien. Mereka baru sadar dan mulai mengumpat, ketika aksi-aksi menuntut reformasi sudah mulai menguat, dan demonstrasi sudah masif. Amien Rais pun ikut teriak-teriak bak pahlawan kesiangan. Ia menunggagi perjuangan aktivis yang berdarah-darah, yang mati dan diculik, yang dikejar-kejar polisi dan tentara dengan senapan dan samurai. Ia merasa bangga menepuk dada sebagai orang yang mendukung demonstrasi. Amien Rais sama sekali tak malu hati, mengakui semua atas sokongan dan dukungannya.
Saat itu para aktivis mulai sadar, tampaknya Amin ini seorang pemain sirkus politik yang memanfaatkan posisi Ketua Umum Muhammadiyah, dan menumpangi momentum perubahan yang tengah terjadi. Dan anggapan para aktivis tak salah. Pasca kejatuhan Suharto, Amin mulai berkoar-koar menyebut dirinya sebagai pahlawan reformasi. Padahal, saat demonstrasi massal terjadi di seluruh Indonesia pada 20 Mei 1998, dia justru menghimbau warga untuk membatalkan rencana aksi itu.
Sungguh, Amien Rais si pengecut, pemain sirkus yang berakrobat, berteriak-teriak lantang, lalu buru-buru bersembunyi di balik bangku. Permainan sirkus yang dia andalkan tak jauh-jauh dari atraksi teriak lantang, lalu sembunyi di balik bangku. Tapi bukan hanya itu, dia juga punya kepiawaian lain; main telikung, menjegal orang, dan aksi koboi. Kita bisa amati atraksi-atraksi sirkus Amin Rais pasca kejatuhan Suharto.
Seminggu sebelum Suharto jatuh, 14 Mei 1998 para tokoh nasional berkumpul membentuk Majelis Amanat Rakyat (MARA) yang di dalamnya juga ada Amin Rais. MARA adalah wadah terbuka dengan tujuan evaluasi terhadap pemerintahan Orde Baru, sambil mengawal transisi menuju perubahan Indonesia yang demokratis, dengan tokoh-tokoh lintas agama, lintas suku, dan lintas rasial. Tujuan mereka, yaitu melakukan. Satu hal perlu digaris bawahi, bahwa para tokoh nasional di MARA tidak pernah atau belum sempat berpikir tentang pembentukan partai politik. Dalam perjalannya, pada 23 Agustus 1998, Amien Rais menyulap MARA menjadi Partai Amanat Nasional dengan mengesampingkan belasan tokoh yang belum mencapai kata sepakat.
Dalam perkembangannya pun, tokoh-tokoh yang tergabung di MARA perlahan-lahan disingkirkan, yang tak datang dari Muhammadiya dicampakkan, apalagi yang berbeda agama. Sehingga pun suara PAN dari Pemilu 1999 tak cukup menggembirakan, hanya menduduki peringkat kelima (7,12% suara). Tentu saja, perolehan itu sangat kurang untuk mewujudkan ambisi Amien untuk menjadi Presiden.
Jawara perolehan suara waktu itu ditempati PDIP dengan 33,74% suara, sementara posisi kedua adalah Golkar dengan 22,44% suara. Merasa tak mampu bersaing, akhirnya Amien dengan otak provokatornya merapat ke Megawati, memberi sinyal untuk mendukungnya sebagai presiden RI. Seorang Sengkuni yang berharap bisa mendapat kursi strategis, jika ikut mendukung presiden terpilih. Tapi, tampaknya Mega waktu itu tak terlalu tertarik dengan lobi-lobi Amin Rais.
Seperti wataknya yang oportunis dan ‘tak terima ditolak’, maka kelanjutannya bisa ditebak. Amin mulai menggalang kekuatan partai-partai untuk menjegal Mega sebagai presiden. Sadar bahwa dirinya tak cukup kuat menjadi magnet koalisi, dia mendorong Gus Dur selaku pendiri PKB yang saat itu menduduki peringkat tiga dengan 12,61% suara. Sungguh disayangkan, guru bangsa kita ini terjerat perangkap Amin Rais. Dengan dukungan koalisi poros tengah yang digalang Amin, Gus Dur menjadi presiden RI.
Apakah Amien benar-benar mendukung? Ternyata tidak, sedari awal dia sudah ancang-ancang untuk menjatuhkan Gus Dur di tengah jalan. Dan itu berhasil dia jalankan dengan baik.
Belum genap setahun, Amien sudah membuat keonaran politik. Salah satunya dalam kasus konflik Ambon, banyak pihak sepakat bahwa Amien adalah salah satu tokoh yang terlibat aktif mendukung mobilisasi laskar jihad untuk berperang di Ambon. Tentu saja, langkah fasis itu sangat bertentangan dengan pendirian Gus Dur yang pluralis dan mengutamakan jalan damai. Toh bagaimana pun, pada akhirnya Gus Dur berhasil ia dilengserkan dari kursi kepresidenan. Sesuai memang dengan skenario awal Amien Rais, mendukung Gus Dur dengan poros tengah, kemudian berbalik menjadi pihak yang sangat aktif melengserkannya.
Dengan manuver-manuvernya itu, dia berharap namanya akan tersohor sebagai king maker sekaligus tokoh politik terkemuda. Modusnya, tentu saja harapan menjadi presiden tahun 2004. Dalam berbagai kesempatan, dia menyatakan bahwa dia akan terpilih menjadi presiden lantaran dirinya orang Jawa. Sekali lagi, terlihat bertapa chauvinis dan fasisnya profesor yang satu ini, seorang yang mengaku-ngaku tokoh demokrasi.
Di era reformasi pun dia selalu menonjolkan sentimen golongan primordial. Dan tentu saja, rakyat tak bodoh, dalam Pemilu 2004, Amien tetap gagal meraih impian menjadi presiden. Dia hanya mendapat 14,66% suara dan menempati peringkat 4 di antara 5 pasangan capres yang ada. Itu adalah vonis nyata bagi Amien Rais, bahwa rakyat Indonesia tidak percaya kapasitasnya untuk memimpin.
Toh tampaknya Amien Rais masih merasa nanggung tak mencapai klimaks. Di usianya yang sudah senja, dia masih tak jera memainkan sirkus politik. Paling aktual, beberapa tahun lalu dalam Pilkada DKI Jakarta, Amien berkoar-koar mendukung Fauzi Bowo sebagai kompetitor Jokowi. Dia sangat yakin Foke akan mengalahkan Jokowi. Toh, akhirnya Fauzi Bowo gagal melanjutkan masa kepemimpinannya di ibukota. Dan Amien Rais tak terima, hingga berkoar-koar mengatakan Jokowi berbahaya bagi demokrasi.
Ah ya, tampaknya Amien adalah orang yang konsisten dengan ketidakkonsistenannya. Belum hilang ingatan dia tentang caci-makinya terhadap Jokowi, paska Pileg 2014 ini dia justru menyodor-nyodorkan Hatta Rajasa sebagai Cawapres Jokowi. Sayang sungguh sayang, ia harus kembali gigit jari lantaran Jokowi menolak koalisi yang berdasar tawar-menawar jabatan.
Dulu ditolak Megawati, sekarang ditolak Jokowi. Dan otak Sengkuni Amien Rais pun berpikir keras untuk memberikan balasan. Dan sudah dapat diduga, Amien kembali menjelek-jelakkan Jokowi. Kali ini, dia berlindung di balik gamis umat Islam. Ia menyebutkan seolah-olah perkatannya adalah fatwa, agar umat Islam harus mendukung Prabowo. Dia juga mengklaim, 85% warga Muhammadiyah mendukung Prabowo. Entah, survei atau metode hitung kancing yang digunakan Amien Rais ini.
Tak cukup dengan klaim-klaim itu, Amien Rais bahkan melakukan politisasi terhadap sidang Tanwir Muhammadiyah di Samarinda, Sabtu (24/05/2014) lalu. Di acara yang memang dipersiapkan bukan untuk ajang dukung-mendukung serta bernuansa netral, Amin Rais tanpa malu meneriakkan yel-yel dukungan terhadap Prabowo. Memang lupa kiranya, dulu kepalanya pernah hendak ditodong senjata oleh pasukan jagoannya itu.
Hingga Din Syamsudin, Ketua Umum Muhammadiyah merasa seperti malu dan gerah dengan akrobat politik Amien Rais itu. Menurutnya, kalau pun Amien mendukung Prabowo, selayaknya memiliki sedikit respek dan etika, dengan tak membawa-bawa nama Muhammadiyah. Dan tentu, sangat tak pantas menumpangi acara Muhammadiyah. Said Aqil Siraj tak salah kiranya, 14 tahun lalu pernah menyatakan Amien Rais sebagai sosok tak berpendirian, pernyataannya bolak-balik ibarat pagi tempe, siang toge, sore kedelai.
Amboi, Bapak Profesor Amien Rais, apa yang kau rencanakan dengan dukungan kepada Prabowo? Dulu berteriak-teriak ngotot menyeret Prabowo untuk bertanggung jawab atas kasus pelanggaran HAM yang menjeratnya. Kalau saat ini dia mendukung Prabowo, apa sebenarnya motifnya?
Ah ya, sangat mungkin sejarah berulang, Amien pun sudah menyusun ancang-ancang jika saja nanti Prabowo berhasil memenangkan Pilpres, dia sudah menyiapkan jurus untuk menjegalnya. Tentu saja, dengan jatuhnya Prabowo, maka berarti Hatta Rajasa yang berasal dari partainya akan mengambil posisi presiden dari Prabowo. Dan Hatta Rajasa tak lebih dari sekedar bonekanya. Amien Rais begitu merasa, kuasa presiden hampir-hampir diraihnya.
Tapi, pesan untuk Bapak Profesor Amien Rais, daripada kembali siap-siap gigit jari, lebih baik belajar menjadi muslim yang baik, menjauhi sifat munafik, dan lekas bertaubat di usia yang semakin senja, selagi Tuhan masih memberi kesempatan. Amin….
http://www.oocities.org/maluku67/siw...ma2012y2k2.htm
http://www.tubasmedia.com/berita/ami...ok-bayar-pers/
http://news.detik.com/read/2013/07/2...i-atau-prabowo
http://pemilu.tempo.co/read/news/201...a-Muhammadiyah
http://www.minihub.org/siarlist/msg04751.html
@sindikatjogja
LINK
0
Kutip
Balas