- Beranda
- Stories from the Heart
-Catatan Untuk Riyani-
...
TS
azelfaith
-Catatan Untuk Riyani-
CATATAN UNTUK RIYANI

Sebuah Skripsi

Quote:

(dengerin lagunya dulu ya biar meleleh)

Prologue
Sebut saja namaku Boy, 23 tahun. Penulis? Jelas bukan. Aku hanyalah seorang anak laki-laki yang tumbuh tegak ke atas bersama waktu, soalnya kalau melebar kesamping berarti tidak sesuai kayak iklan Boneto. Dilecut dalam romantika kehidupan labil (bahkan sampai sekarang.
-Editor).Tulisan ini kupersembahkan untuk seorang gadis, sebut saja Bunga. Eh, jangan. Nama Bunga sudah terlalu mainstream dan negatif, Sebut saja Riyani, itu lebih indah dibaca dan tanpa konotasi negatif berita kriminal. (iya gimana sih..
- Editor)Ya, Riyani itu kamu. Bukan Riyani yang lain. (Emang Riyani ada berapa gan?
- Editor) Aku menulis ini karena aku tak punya harta materi (Hiks..kasihan
- Editor). Karena aku tak punya apapun. Karena aku bahkan tak ingat apa yang jadi favoritmu. Aku hanya tahu kau suka membaca, maka aku hanya bisa mempersembahkan tulisan ini sebagai ungkapan terima kasihku untukmu Riyani, seseorang yang akan kunikahi nanti. (Ciyyeeee.. suit-suit dah mau kimpoi nih..
- Editor)Dan kau Riyani, perhatikanlah bagaimana kuceritakan masa-masa dimana aku tumbuh dewasa hingga kutitipkan kepingan hati terakhirku padamu. Masa-masa dimana aku belajar, ditempa, jatuh remuk, dan kembali bangkit karenamu.. (Ceiileee romantisnyaaa...
- Editor).
DAFTAR ISI
Quote:
INTERLUDE
Quote:

RULES
Quote:

Q & A
Quote:

Jangan lupa komen, rates, dan subscribe.
Ijo-ijo belakangan mah gak masalah.

Diubah oleh azelfaith 04-07-2016 15:20
septyanto memberi reputasi
2
110.5K
623
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
azelfaith
#392
5.8. Mentari di Ujung Agustus 1
Agustus. Bulan baru dimulai. Layaknya cerah mentari yang terbit di ujung timur pagi, aku mengawali hariku dengan rasa bahagia, berbunga-bunga bagai para wanita yang mendapat diskon potongan belanja 75 % di R*mayana. Tak ada yang lebih indah daripada satu hari dimana aku terbangun dan bersiap untuk bertemu sang pujaan hati. Setidaknya itulah yang ada di benakku kala itu.
Pagi itu aku berangkat dengan terburu-buru. Nasi goreng sarapan yang isinya hanya setengah piring tak habis aku makan. Jantungku terlalu berdebar keras untuk menunggu suapan sendok terakhir. Aku berlari entah karena dikejar apa. Dan dengan dihiasi background matahari pagi berwarni kuning telur ditambah blink-blink di sekitar wajahku aku berangkat ke sekolah. Mataku berbinar-binar, hatiku bersinar-sinar seterang lampu Halogen yang dipasang di sepeda motor.
Ketika kulangkahkan injakan kaki perdana di depan gerbang sekolah, hatiku makin berdebar kencang. Tanganku gemetar dan nafasku tersengal-sengal bagai suara knalpot ninja 2 tak yang ditarik ulur kabel gasnya. Kau tahu kenapa? Karena dalam hitungan detik, 90 detik mungkin, aku akan melewati kelas dimana Hanum berada sebelum mencapai kelasku. Disitulah dimana perasaanku bagai rujak ulek yang dicampur dengan nasi padang, tak terdefinisikan rasanya.
Aku terjebak dalam euphoria. Aku merasa telah jahat sekali dahulu, dan kupikir kesempatan terbaru yang kudapat ini akan kumanfaatkan sebaik-baiknya. Agar hidup kami lebih baik, agar aku mampu memperbaiki apa yang telah aku rusak. Agar aku bisa membuat hati kami berdua bahagia. Aku ingin, beribu-ribu ingin untuk menjadi lelaki yang terbaik untuknya. Naif kah? Namun itulah yang terpikir dalam benakku, dahulu.
89,5 detik berlalu. Kakiku melangkah mendekati kelas Hanum. Aku menarik nafas dalam-dalam berusaha untuk tenang. Pada saat inilah semua berubah dalam adegan slow motion. Kaki kanan melangkah pelan, lalu kaki kiri, kemudian kaki kanan lagi. Keringat menetes pelan di pelipis kanan sampai ke leher, kemudian jakunku naik turun menelan ludah. Setidaknya seperti itulah gambaran adegannya, persis di drama-drama korea kesukaan para wanita. Here comes the show.
Detik ke 90 tepat aku melihatnya. Duduk di bangku panjang depan kelas. Senyumnya memamerkan deretan kawat gigi yang bersinar bagai matahari pagi, lekukan lesung pipi bagai pelangi 15 warna. Matanya gemerlap dihiasi sinar-sinar ultraviolet di kanan kirinya. Cahaya cinta berlahan menyilaukan, itulah mimpi kehidupan kedua. Mimpi itu darimana datangnyaaaaaaa….. ~
Ya, dialah Hanum. Cinta yang kupikir sudah pudar ditelan zaman penjajahan. Namun, pada akhirnya hatiku takhluk juga padanya. Dia mungkin tak seindah Sonia, tak secantik Sania, tak segemulai Maria. Akan tetapi cinta tak boleh dipandang dari mata saja. Hidung harus kau perhatikan, lalu mulut, kemudian turun ke hati. Overall, dia adalah mentari yang selalu menyinari pagiku.
Pertemuan kami pagi itu hanya saling berbalas senyum, tak lebih dari 5 detik. Namun bagiku, cukup sudah untuk satu hari berlalu.
Setidaknya, itulah yang aku yakini sebelumnya.
Pagi itu aku berangkat dengan terburu-buru. Nasi goreng sarapan yang isinya hanya setengah piring tak habis aku makan. Jantungku terlalu berdebar keras untuk menunggu suapan sendok terakhir. Aku berlari entah karena dikejar apa. Dan dengan dihiasi background matahari pagi berwarni kuning telur ditambah blink-blink di sekitar wajahku aku berangkat ke sekolah. Mataku berbinar-binar, hatiku bersinar-sinar seterang lampu Halogen yang dipasang di sepeda motor.
Ketika kulangkahkan injakan kaki perdana di depan gerbang sekolah, hatiku makin berdebar kencang. Tanganku gemetar dan nafasku tersengal-sengal bagai suara knalpot ninja 2 tak yang ditarik ulur kabel gasnya. Kau tahu kenapa? Karena dalam hitungan detik, 90 detik mungkin, aku akan melewati kelas dimana Hanum berada sebelum mencapai kelasku. Disitulah dimana perasaanku bagai rujak ulek yang dicampur dengan nasi padang, tak terdefinisikan rasanya.
Aku terjebak dalam euphoria. Aku merasa telah jahat sekali dahulu, dan kupikir kesempatan terbaru yang kudapat ini akan kumanfaatkan sebaik-baiknya. Agar hidup kami lebih baik, agar aku mampu memperbaiki apa yang telah aku rusak. Agar aku bisa membuat hati kami berdua bahagia. Aku ingin, beribu-ribu ingin untuk menjadi lelaki yang terbaik untuknya. Naif kah? Namun itulah yang terpikir dalam benakku, dahulu.
89,5 detik berlalu. Kakiku melangkah mendekati kelas Hanum. Aku menarik nafas dalam-dalam berusaha untuk tenang. Pada saat inilah semua berubah dalam adegan slow motion. Kaki kanan melangkah pelan, lalu kaki kiri, kemudian kaki kanan lagi. Keringat menetes pelan di pelipis kanan sampai ke leher, kemudian jakunku naik turun menelan ludah. Setidaknya seperti itulah gambaran adegannya, persis di drama-drama korea kesukaan para wanita. Here comes the show.
Detik ke 90 tepat aku melihatnya. Duduk di bangku panjang depan kelas. Senyumnya memamerkan deretan kawat gigi yang bersinar bagai matahari pagi, lekukan lesung pipi bagai pelangi 15 warna. Matanya gemerlap dihiasi sinar-sinar ultraviolet di kanan kirinya. Cahaya cinta berlahan menyilaukan, itulah mimpi kehidupan kedua. Mimpi itu darimana datangnyaaaaaaa….. ~
Ya, dialah Hanum. Cinta yang kupikir sudah pudar ditelan zaman penjajahan. Namun, pada akhirnya hatiku takhluk juga padanya. Dia mungkin tak seindah Sonia, tak secantik Sania, tak segemulai Maria. Akan tetapi cinta tak boleh dipandang dari mata saja. Hidung harus kau perhatikan, lalu mulut, kemudian turun ke hati. Overall, dia adalah mentari yang selalu menyinari pagiku.
Pertemuan kami pagi itu hanya saling berbalas senyum, tak lebih dari 5 detik. Namun bagiku, cukup sudah untuk satu hari berlalu.
Setidaknya, itulah yang aku yakini sebelumnya.
0
