- Beranda
- Stories from the Heart
Everytime
...
TS
robotpintar
Everytime

Song by : Britney Spears
Notice me
Take my hand
Why are we Strangers when
Our love is strong?
Why carry on without me?
Everytime I try to fly,
I fall without my wings,
I feel so small.
I guess I need you baby.
And everytime
I sleep your in my dreams,
I see your face, it's haunting me.
I guess I need you baby.
I make believe
That you are here.
It's the only way
That I see clear.
What have I done?
You seem to moveon easy.
Everytime I try to fly,
I fall without my wings,
I feel so small,
I guess I need you baby.
And everytime I sleep
your in my dreams,
I see your face, you're haunting me
I guess I need you baby.
I may have made it rain,
Please forgive me.
My weakness caused you pain,
And this song's my sorry...
At night I pray,
That soon your face
Will fade away.
Take my hand
Why are we Strangers when
Our love is strong?
Why carry on without me?
Everytime I try to fly,
I fall without my wings,
I feel so small.
I guess I need you baby.
And everytime
I sleep your in my dreams,
I see your face, it's haunting me.
I guess I need you baby.
I make believe
That you are here.
It's the only way
That I see clear.
What have I done?
You seem to moveon easy.
Everytime I try to fly,
I fall without my wings,
I feel so small,
I guess I need you baby.
And everytime I sleep
your in my dreams,
I see your face, you're haunting me
I guess I need you baby.
I may have made it rain,
Please forgive me.
My weakness caused you pain,
And this song's my sorry...
At night I pray,
That soon your face
Will fade away.
FAQ (Frequently asked questions)
Indeks Cerita :
Quote:
Episode 1
Bagian #1
Bagian #2
Bagian #3
Bagian #4
Bagian #5
Bagian #6
Episode 2
Bagian #7
Bagian #8
Bagian #9
Bagian #10
Bagian #11
Bagian #12
Bagian #13
Bagian #14
Bagian #15
Bagian #16
Bagian #17
Bagian #18
Bagian #19
Bagian #20
Episode 3
Bagian #20A
Bagian #20B
Bagian #20C
Bagian #20D
Episode 4
Bagian #21
Bagian #22
Bagian #23
Bagian #24
Bagian #25
Bagian #26
Bagian #27
Bagian #28
Bagian #29
Bagian #30
Episode 5
Bagian #31
Bagian #32
Bagian #33
Bagian #34
Bagian #35
Bagian #36
Bagian #37
Bagian #38
Episode 6
Bagian #39
Bagian #40
Bagian #41
Bagian #42
Bagian #43
Bagian #44
Bagian #45
Bagian #46
Bagian #47
Episode 7
Bagian #48
Bagian #49
Bagian #50
Bagian #51
Bagian #52 (End)
Bagian #1
Bagian #2
Bagian #3
Bagian #4
Bagian #5
Bagian #6
Episode 2
Bagian #7
Bagian #8
Bagian #9
Bagian #10
Bagian #11
Bagian #12
Bagian #13
Bagian #14
Bagian #15
Bagian #16
Bagian #17
Bagian #18
Bagian #19
Bagian #20
Episode 3
Bagian #20A
Bagian #20B
Bagian #20C
Bagian #20D
Episode 4
Bagian #21
Bagian #22
Bagian #23
Bagian #24
Bagian #25
Bagian #26
Bagian #27
Bagian #28
Bagian #29
Bagian #30
Episode 5
Bagian #31
Bagian #32
Bagian #33
Bagian #34
Bagian #35
Bagian #36
Bagian #37
Bagian #38
Episode 6
Bagian #39
Bagian #40
Bagian #41
Bagian #42
Bagian #43
Bagian #44
Bagian #45
Bagian #46
Bagian #47
Episode 7
Bagian #48
Bagian #49
Bagian #50
Bagian #51
Bagian #52 (End)
Quote:
Diubah oleh robotpintar 04-07-2014 13:30
gocharaya dan 103 lainnya memberi reputasi
102
600.2K
Kutip
1.5K
Balasan
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#914
Spoiler for Bagian #41:
“Kita tetep bisa jadi temen kok, trid..”
Gua bicara, mencoba menghiburnya. Tapi, bukannya merasa terhibur, Astrid malah memandang gua tajam kemudian berkata; “Buat gua nggak cukup sekedar temen!!”. Kemudian dia berdiri dan berjalan masuk, terdengar suara langkah kaki menaiki tangga menuju ke lantai atas. Dan tinggalah gua terduduk sendiri meratapi betapa kompleksnya masalah yang tengah gua hadapi sekarang.
Bu Mardi datang tergopoh-gopoh, masih mengenakan celemek melapisi pakaiannya, dia menatap gua yang masih terduduk bersandar pada dinding tembok.
“Lho,.. kok linggih ning ngisor tho dek..”
Bu Mardi bertanya sedikit penasaran.
“Iya nggak apa-apa bu..”
Gua berdiri sambil mengibaskan celana dengan kedua tangan. Sementara Bu Mardi terlihat celingukan, sepertinya mencari Astrid.
“Weh.. lha Astrid endi? Ene’ dhayoh kok malah ‘ra dikancani..”
Bu Mardi bicara sambil berjalan ke arah bibir tangga yang menuju ke atas, kemudian berteriak memanggil Astrid. Walaupun sudah cukup berumur, teriakan Bu Mardi terbilang cukup keras, mungkin beliau dulunya adalah vokalis band rock atau mungkin kernet angkutan umum. Nggak lama berselang, terdengar suara langkah kaki menuruni tangga dengan cepat, Astrid turun dan menghampir ibunya, kemudian mencium tangannya. Kali ini dia sudah berganti pakaian dengan kaos hitam bergambar burung hantu dibalut cardigan putih dan celana denim biru panjang selutut dipadu dengan sepatu kanvas flat converse berwarna hitam. Dia berjalan pelan melewati gua sambil setengah berbisik; “Ayo..”. Kemudian menarik lengan gua.
Kalau seandainya gua punya kuasa untuk membanding-bandingkan ciptaan Tuhan, Desita memang nggak memiliki tubuh se-molek Astrid dan tentu saja Astrid juga nggak memiliki wajah dan pesona Desita. Pun begitu keduanya tetap sama-sama cantik dan menggemaskan. Tapi, itu hanyalah selintas bayangan dari gua yang mungkin mewakili para pria diluar sana, nggak ada niat sama sekali untuk mencoba membanding-bandingkan keduanya.
Gua hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala diatas motor saat Astrid mulai memeluk pinggang gua erat, sambil menghela nafas gua menghentikan laju motor dan berusaha melepaskan pelukannya, bukan gua nggak suka, sama sekali bukan! Sungguh terlalu munafik dan naïf jika gua berani bilang nggak suka dipeluk oleh perempuan seperti Astrid, gua hanya berusaha untuk tetap dalam kondisi ‘normal’, gua enggan terperosok dalam apa yang namanya ‘Basic Instinct’-nya manusia, dimana kita, yang notabene buka wali, nabi atau rosul memiliki insting dasar yang isinya Ego, Seks dan Uang. Kalau salah satu , salah dua atau ketiga-tiganya tidak terpenuhi akan muncul yang keempat yaitu membunuh. Begitu pula jika memiliki ketiganya secara langsung makan akan muncul juga yang keempat yaitu membunuh. Nggak percaya, coba beli Koran kuning semacam Pos K*ta, Lampu *erah atau berita-berita kriminal ditelevisi, mayoritas kasus pembunuhan motifnya adalah tiga insting manusia yang gua sebutkan tadi; Ego, Seks dan Uang.
Kemudian coba tengok ke atas, ke para elite; mereka memiliki ketiganya sekaligus; Ego, Seks dan uang lalu apa lagi yang mereka cari? Tentu saja insting ke empat; membunuh, walaupun caranya berbeda dengan ‘membunuh’ secara harafiah tapi tetap saja punya makna yang relevan.
Dalam kasus gua ini tentu saja nggak sampai dengan insting yang ke empat; gua masih terlalu normal untuk itu. Tapi yang gua takutkan adalah terjebak dalam basic instinct manusia yang ke dua; Seks. Betapa kuatnya pertahanan manusia, apalagi manusia jahanam seperti gua yang tembok iman-nya cuma setebal kabut, bakalan runtuh saat dihadapkan dengan posisi seperti sekarang ini, Long Distance Relationship, jauh dari orang tua dan bersama dengan seorang perempuan cantik nun aduhai yang tergila-gila dengan gua. What can I do?
“Kenapa sih?”
Astrid bertanya ke gua sambil pasang tampang yang sepertinya sengaja dimuram-durja-kan.
“Gapapa.. just lil’ bit much....mmmm.”
Gua menjawab sambil mengankat jari telunjuk dan jempol yang hampir menyatu. Mengisyaratkah sesuatu hal yang ‘kecil’ melalui gerakan tangan.
“Yaealah.. biasa aja kali cin.. dulu-dulu juga gua sering meluk lo kalo naek motor, nggak masalah kan..”
“Sekarang beda trid..”
“Beda apanya? Lagian juga cuma pelukan doang, dimotor pula, lumrah lagi..”
“Buat elu mungkin lumrah, tapi buat gua.. emang lu mikirin gimana ntar kalo gua khilaf terus…”
Gua berhenti berbicara, teringat akan wajah Desita yang samar namun sukses menjaga gua.
“Terus apa?”
Astrid bertanya penasaran. Atau lebih tepatnya mungkin pura-pura penasaran.
“Udah ah.. pokoknya lagi naik motor, lagi jalan kek lo jangan meluk gua kenceng-kenceng..”
Gua akhirnya mengakhiri pembicaraan dan naik kembali ke atas sepeda motor.
“Yeee.. sok pede banget..”
Astrid membalas dengan sebuah cibiran kemudian menyusul naik ke atas jok belakang. Kali ini dia nggak memeluk, hanya menggenggam jaket parasit yang gua kenakan.
Nggak lama berselang hujan turun cukup deras, mengguyur kota Jogjakarta yang baru saja gua singgahi. Gua menepikan motor dan buru-buru menuju ke pelataran parkir sebuah ruko yang sedang bergegas tutup, disusul Astrid yang juga nggak kalah cepat berebut tempat berteduh bersama para pengendara motor lain yang bernasib sama. Sambil mengelap wajah yang basah terkena air huja, Astrid mencolek lengan gua – kemudian menunjuk dengan dagu sebuah warung tenda yang menjual aneka macam soto. Gua memandang sekilas ke Astrid kemudian berpaling ke warung tenda tersebut dan mengangguk; “Hayooo.. lari ya..”. Astrid balas mengangguk cepat kemudian menutupi kepala dengan tas-nya dia mulai berlari menuju ke warung tenda tersebut, gua menyusulnya dibelakang.
Setelah memesan dua porsi soto lamongan lengkap dengan teh hangat tawar, gua duduk bersisian dengan Astrid yang sepertinya terlihat kedinginan. Gua melepas jaket dan menyerahkannya kepadanya, dia menggeleng berusaha menolak, sementara gua tetap memaksa kemudian melingkari jaket gua ketubuhnya. Gua memandang wajahnya yang Nampak bergetar kedinginan, teringat kejadian beberapa tahun yang lalu, saat yang hampir sama seperti ini, didepan sebuah ruko, saat itu hanya suara hujan yang menemani gua bersama Desita. Dan saat ini, Astrid berada di posisi yang sama dengan gua berada disisinya, memaksa dia mengenakan jaket yang gua tawarkan. Sesaat kemudian mata gua terasa perih, kepala bagian belakang terasa seperti tertusuk, gua mengernyitkan dahi sebentar kemudian rubuh, jatuh dipelukan Astrid. Dan.. yang gua lihat hanya gelap, perlahan-lahan kehilangan rasa pada indera-indera gua, hanya tersisa sedikit suara-suara rebut dan teriakan panik ditelinga sebelum akhirnya semua menjadi hitam, tenang dan sendu.
---
Gua tersadar saat sebuah tusukan jarum suntuk besar menembus kulit lengan bagian dalam. Saat membuka mata, gua disambut senyum seorang wanita muda dengan seragam biru muda lengkap dengan maskernya. Belum sempat gua mencari tau apa yang terjadi dan berada dimana gua saat ini, rasa sakit yang sama, rasa seperti tertusuk-tusuk pada bagian kepala belakang gua mulai menyerang, namun kali ini sedikit lebih ringan. Suster yang baru saja memasang infus di lengan gua berusaha menenangkan sambil merebahkan tubuh gua kemudian memasangkan oksigen ke bagian mulut dan hidung. Seketika gua seperti terbius dan rasa sakit yang gua rasakan perlahan-lahan seperti menghilang bersamaan dengan kesadaran gua.
Saat bangun, Astrid sudah berada disebelah gua.
“Halooo.. hehehe.. bisa sakit juga lo cin..”
Gua hanya tersenyum memandangnya, kemudian memandang sekeliling. Ruangan dimana saat ini gua berada jauh berbeda dengan ruangan dimana gua sempat tersadar tadi.
“Dimana nih trid..?”
Gua bertanya ke Astrid sambil menaikkan posisi tubuh, hingga setengah duduk.
“Dirumah sakit lah, emang lo nggak inget kalo lo pingsan?”
“Inget.. trus yang bawa gua kesini siapa?”
“Gua..”
“Naik?”
“Taksi..”
“Trus motor gua?”
“Udah diambil sama Si Mursan..”
Gua mengangguk kemudian mengambil ponsel yang berada diatas meja disebelah ranjang tempat gua berbaring.
Gua melihat layarnya, gelap. Gua mencoba menekan-nekan tombolnya, tidak ada yang terjadi. Ok Batrai nya habis. Gua mengulurkan tangan ke arah Astrid kemudian memberi isyrat agar dia meminjamkan ponselnya.
“Mau nelpon siapa?”
Astrid bertanya sambil mengeluarkan ponsel dari saku celana-nya.
“Desita..”
Gua menjawab lirih.
“Oh.. kirain nelpon mbak salsa.. soalnya udah gua telpon tadi..”
“Hah lu nelpon Salsa?”
Gua bertanya sambil meraih ponsel yang disodorkan oleh Astrid.
“Dia mau kesini katanya..”
“Oh..”
Gua menjawab dengan sebuah ‘oh’ kecil dan singkat kemudian menekan nomor Desita di ponsel Astrid.
Nada sambung terdengar beberapa kali, sampai kemudian terdengar suara Desita diujung sana.
“Halo..”
“Halo Des, ini gua..”
Baru saja gua bicara, Desita langsung memberondong gua dengan banyak pertanyaan.
“Kemana aja sih.. nggak ngabarin? Tadi sampe jam berapa? Trus sekarang lagi dimana? Ini nomor siapa?”
“Nggak papa, iya ini mau ngabarin kalo udah sampe.. lu kok belum tidur..?”
“Mana bisa tidur, kamu ditelponin dari tadi nggak bisa-bisa, kamu nggak kenapa-kenapa kan?”
“Nggak..”
Gua menjawab, bohong. Gua nggak mau dia khawatir jika sampai tau gua berada dirumah sakit sekarang. Tapi, Astrid dengan cepat meraih ponsel ditangan gua dan bicara kepada Desita. Gua berusaha merebutnya kembali tapi terhalang oleh selang infus yang jarumnya tertancap dikulit lengan kanan.
“Halo.. Desita ya.. ini gua Astrid. Solichin dirawat dirumah sakit.. oh iya iya.. belum tau diagnosanya apa.. oh oke..oke..”
Astrid mengakhiri pembicaraan, tersenyum sebentar kemudian memasukkan ponselnya lagi kedalam saku celana. Dia melirik ke arah jam yang tergantung pada dinding ruang perawatan, jarumnya menunjukkan pukul dua dini hari, kemudian mengambil tasnya dan membungkuk dihadapan gua, wajahnya didekatkan dengan wajah gua.
“Gua pulang dulu ya.. besok pagi pagi balik lagi... takut kurang tidur.. ntar kalo ada Desita gua kalah cantik lagi kalo kurang tidur.. hehehe..”
“Lah.. Desita mau kesini?”
Gua bertanya ke Astrid yang mulai melangkah meninggalkan ruangan. Sambil tetap berjalan tanpa berpaling dia menjawab; “Iya”
Gua bicara, mencoba menghiburnya. Tapi, bukannya merasa terhibur, Astrid malah memandang gua tajam kemudian berkata; “Buat gua nggak cukup sekedar temen!!”. Kemudian dia berdiri dan berjalan masuk, terdengar suara langkah kaki menaiki tangga menuju ke lantai atas. Dan tinggalah gua terduduk sendiri meratapi betapa kompleksnya masalah yang tengah gua hadapi sekarang.
Bu Mardi datang tergopoh-gopoh, masih mengenakan celemek melapisi pakaiannya, dia menatap gua yang masih terduduk bersandar pada dinding tembok.
“Lho,.. kok linggih ning ngisor tho dek..”
Bu Mardi bertanya sedikit penasaran.
“Iya nggak apa-apa bu..”
Gua berdiri sambil mengibaskan celana dengan kedua tangan. Sementara Bu Mardi terlihat celingukan, sepertinya mencari Astrid.
“Weh.. lha Astrid endi? Ene’ dhayoh kok malah ‘ra dikancani..”
Bu Mardi bicara sambil berjalan ke arah bibir tangga yang menuju ke atas, kemudian berteriak memanggil Astrid. Walaupun sudah cukup berumur, teriakan Bu Mardi terbilang cukup keras, mungkin beliau dulunya adalah vokalis band rock atau mungkin kernet angkutan umum. Nggak lama berselang, terdengar suara langkah kaki menuruni tangga dengan cepat, Astrid turun dan menghampir ibunya, kemudian mencium tangannya. Kali ini dia sudah berganti pakaian dengan kaos hitam bergambar burung hantu dibalut cardigan putih dan celana denim biru panjang selutut dipadu dengan sepatu kanvas flat converse berwarna hitam. Dia berjalan pelan melewati gua sambil setengah berbisik; “Ayo..”. Kemudian menarik lengan gua.
Kalau seandainya gua punya kuasa untuk membanding-bandingkan ciptaan Tuhan, Desita memang nggak memiliki tubuh se-molek Astrid dan tentu saja Astrid juga nggak memiliki wajah dan pesona Desita. Pun begitu keduanya tetap sama-sama cantik dan menggemaskan. Tapi, itu hanyalah selintas bayangan dari gua yang mungkin mewakili para pria diluar sana, nggak ada niat sama sekali untuk mencoba membanding-bandingkan keduanya.
Gua hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala diatas motor saat Astrid mulai memeluk pinggang gua erat, sambil menghela nafas gua menghentikan laju motor dan berusaha melepaskan pelukannya, bukan gua nggak suka, sama sekali bukan! Sungguh terlalu munafik dan naïf jika gua berani bilang nggak suka dipeluk oleh perempuan seperti Astrid, gua hanya berusaha untuk tetap dalam kondisi ‘normal’, gua enggan terperosok dalam apa yang namanya ‘Basic Instinct’-nya manusia, dimana kita, yang notabene buka wali, nabi atau rosul memiliki insting dasar yang isinya Ego, Seks dan Uang. Kalau salah satu , salah dua atau ketiga-tiganya tidak terpenuhi akan muncul yang keempat yaitu membunuh. Begitu pula jika memiliki ketiganya secara langsung makan akan muncul juga yang keempat yaitu membunuh. Nggak percaya, coba beli Koran kuning semacam Pos K*ta, Lampu *erah atau berita-berita kriminal ditelevisi, mayoritas kasus pembunuhan motifnya adalah tiga insting manusia yang gua sebutkan tadi; Ego, Seks dan Uang.
Kemudian coba tengok ke atas, ke para elite; mereka memiliki ketiganya sekaligus; Ego, Seks dan uang lalu apa lagi yang mereka cari? Tentu saja insting ke empat; membunuh, walaupun caranya berbeda dengan ‘membunuh’ secara harafiah tapi tetap saja punya makna yang relevan.
Dalam kasus gua ini tentu saja nggak sampai dengan insting yang ke empat; gua masih terlalu normal untuk itu. Tapi yang gua takutkan adalah terjebak dalam basic instinct manusia yang ke dua; Seks. Betapa kuatnya pertahanan manusia, apalagi manusia jahanam seperti gua yang tembok iman-nya cuma setebal kabut, bakalan runtuh saat dihadapkan dengan posisi seperti sekarang ini, Long Distance Relationship, jauh dari orang tua dan bersama dengan seorang perempuan cantik nun aduhai yang tergila-gila dengan gua. What can I do?
“Kenapa sih?”
Astrid bertanya ke gua sambil pasang tampang yang sepertinya sengaja dimuram-durja-kan.
“Gapapa.. just lil’ bit much....mmmm.”
Gua menjawab sambil mengankat jari telunjuk dan jempol yang hampir menyatu. Mengisyaratkah sesuatu hal yang ‘kecil’ melalui gerakan tangan.
“Yaealah.. biasa aja kali cin.. dulu-dulu juga gua sering meluk lo kalo naek motor, nggak masalah kan..”
“Sekarang beda trid..”
“Beda apanya? Lagian juga cuma pelukan doang, dimotor pula, lumrah lagi..”
“Buat elu mungkin lumrah, tapi buat gua.. emang lu mikirin gimana ntar kalo gua khilaf terus…”
Gua berhenti berbicara, teringat akan wajah Desita yang samar namun sukses menjaga gua.
“Terus apa?”
Astrid bertanya penasaran. Atau lebih tepatnya mungkin pura-pura penasaran.
“Udah ah.. pokoknya lagi naik motor, lagi jalan kek lo jangan meluk gua kenceng-kenceng..”
Gua akhirnya mengakhiri pembicaraan dan naik kembali ke atas sepeda motor.
“Yeee.. sok pede banget..”
Astrid membalas dengan sebuah cibiran kemudian menyusul naik ke atas jok belakang. Kali ini dia nggak memeluk, hanya menggenggam jaket parasit yang gua kenakan.
Nggak lama berselang hujan turun cukup deras, mengguyur kota Jogjakarta yang baru saja gua singgahi. Gua menepikan motor dan buru-buru menuju ke pelataran parkir sebuah ruko yang sedang bergegas tutup, disusul Astrid yang juga nggak kalah cepat berebut tempat berteduh bersama para pengendara motor lain yang bernasib sama. Sambil mengelap wajah yang basah terkena air huja, Astrid mencolek lengan gua – kemudian menunjuk dengan dagu sebuah warung tenda yang menjual aneka macam soto. Gua memandang sekilas ke Astrid kemudian berpaling ke warung tenda tersebut dan mengangguk; “Hayooo.. lari ya..”. Astrid balas mengangguk cepat kemudian menutupi kepala dengan tas-nya dia mulai berlari menuju ke warung tenda tersebut, gua menyusulnya dibelakang.
Setelah memesan dua porsi soto lamongan lengkap dengan teh hangat tawar, gua duduk bersisian dengan Astrid yang sepertinya terlihat kedinginan. Gua melepas jaket dan menyerahkannya kepadanya, dia menggeleng berusaha menolak, sementara gua tetap memaksa kemudian melingkari jaket gua ketubuhnya. Gua memandang wajahnya yang Nampak bergetar kedinginan, teringat kejadian beberapa tahun yang lalu, saat yang hampir sama seperti ini, didepan sebuah ruko, saat itu hanya suara hujan yang menemani gua bersama Desita. Dan saat ini, Astrid berada di posisi yang sama dengan gua berada disisinya, memaksa dia mengenakan jaket yang gua tawarkan. Sesaat kemudian mata gua terasa perih, kepala bagian belakang terasa seperti tertusuk, gua mengernyitkan dahi sebentar kemudian rubuh, jatuh dipelukan Astrid. Dan.. yang gua lihat hanya gelap, perlahan-lahan kehilangan rasa pada indera-indera gua, hanya tersisa sedikit suara-suara rebut dan teriakan panik ditelinga sebelum akhirnya semua menjadi hitam, tenang dan sendu.
---
Gua tersadar saat sebuah tusukan jarum suntuk besar menembus kulit lengan bagian dalam. Saat membuka mata, gua disambut senyum seorang wanita muda dengan seragam biru muda lengkap dengan maskernya. Belum sempat gua mencari tau apa yang terjadi dan berada dimana gua saat ini, rasa sakit yang sama, rasa seperti tertusuk-tusuk pada bagian kepala belakang gua mulai menyerang, namun kali ini sedikit lebih ringan. Suster yang baru saja memasang infus di lengan gua berusaha menenangkan sambil merebahkan tubuh gua kemudian memasangkan oksigen ke bagian mulut dan hidung. Seketika gua seperti terbius dan rasa sakit yang gua rasakan perlahan-lahan seperti menghilang bersamaan dengan kesadaran gua.
Saat bangun, Astrid sudah berada disebelah gua.
“Halooo.. hehehe.. bisa sakit juga lo cin..”
Gua hanya tersenyum memandangnya, kemudian memandang sekeliling. Ruangan dimana saat ini gua berada jauh berbeda dengan ruangan dimana gua sempat tersadar tadi.
“Dimana nih trid..?”
Gua bertanya ke Astrid sambil menaikkan posisi tubuh, hingga setengah duduk.
“Dirumah sakit lah, emang lo nggak inget kalo lo pingsan?”
“Inget.. trus yang bawa gua kesini siapa?”
“Gua..”
“Naik?”
“Taksi..”
“Trus motor gua?”
“Udah diambil sama Si Mursan..”
Gua mengangguk kemudian mengambil ponsel yang berada diatas meja disebelah ranjang tempat gua berbaring.
Gua melihat layarnya, gelap. Gua mencoba menekan-nekan tombolnya, tidak ada yang terjadi. Ok Batrai nya habis. Gua mengulurkan tangan ke arah Astrid kemudian memberi isyrat agar dia meminjamkan ponselnya.
“Mau nelpon siapa?”
Astrid bertanya sambil mengeluarkan ponsel dari saku celana-nya.
“Desita..”
Gua menjawab lirih.
“Oh.. kirain nelpon mbak salsa.. soalnya udah gua telpon tadi..”
“Hah lu nelpon Salsa?”
Gua bertanya sambil meraih ponsel yang disodorkan oleh Astrid.
“Dia mau kesini katanya..”
“Oh..”
Gua menjawab dengan sebuah ‘oh’ kecil dan singkat kemudian menekan nomor Desita di ponsel Astrid.
Nada sambung terdengar beberapa kali, sampai kemudian terdengar suara Desita diujung sana.
“Halo..”
“Halo Des, ini gua..”
Baru saja gua bicara, Desita langsung memberondong gua dengan banyak pertanyaan.
“Kemana aja sih.. nggak ngabarin? Tadi sampe jam berapa? Trus sekarang lagi dimana? Ini nomor siapa?”
“Nggak papa, iya ini mau ngabarin kalo udah sampe.. lu kok belum tidur..?”
“Mana bisa tidur, kamu ditelponin dari tadi nggak bisa-bisa, kamu nggak kenapa-kenapa kan?”
“Nggak..”
Gua menjawab, bohong. Gua nggak mau dia khawatir jika sampai tau gua berada dirumah sakit sekarang. Tapi, Astrid dengan cepat meraih ponsel ditangan gua dan bicara kepada Desita. Gua berusaha merebutnya kembali tapi terhalang oleh selang infus yang jarumnya tertancap dikulit lengan kanan.
“Halo.. Desita ya.. ini gua Astrid. Solichin dirawat dirumah sakit.. oh iya iya.. belum tau diagnosanya apa.. oh oke..oke..”
Astrid mengakhiri pembicaraan, tersenyum sebentar kemudian memasukkan ponselnya lagi kedalam saku celana. Dia melirik ke arah jam yang tergantung pada dinding ruang perawatan, jarumnya menunjukkan pukul dua dini hari, kemudian mengambil tasnya dan membungkuk dihadapan gua, wajahnya didekatkan dengan wajah gua.
“Gua pulang dulu ya.. besok pagi pagi balik lagi... takut kurang tidur.. ntar kalo ada Desita gua kalah cantik lagi kalo kurang tidur.. hehehe..”
“Lah.. Desita mau kesini?”
Gua bertanya ke Astrid yang mulai melangkah meninggalkan ruangan. Sambil tetap berjalan tanpa berpaling dia menjawab; “Iya”
jiyanq dan 11 lainnya memberi reputasi
12
Kutip
Balas