- Beranda
- Stories from the Heart
Everytime
...
TS
robotpintar
Everytime

Song by : Britney Spears
Notice me
Take my hand
Why are we Strangers when
Our love is strong?
Why carry on without me?
Everytime I try to fly,
I fall without my wings,
I feel so small.
I guess I need you baby.
And everytime
I sleep your in my dreams,
I see your face, it's haunting me.
I guess I need you baby.
I make believe
That you are here.
It's the only way
That I see clear.
What have I done?
You seem to moveon easy.
Everytime I try to fly,
I fall without my wings,
I feel so small,
I guess I need you baby.
And everytime I sleep
your in my dreams,
I see your face, you're haunting me
I guess I need you baby.
I may have made it rain,
Please forgive me.
My weakness caused you pain,
And this song's my sorry...
At night I pray,
That soon your face
Will fade away.
Take my hand
Why are we Strangers when
Our love is strong?
Why carry on without me?
Everytime I try to fly,
I fall without my wings,
I feel so small.
I guess I need you baby.
And everytime
I sleep your in my dreams,
I see your face, it's haunting me.
I guess I need you baby.
I make believe
That you are here.
It's the only way
That I see clear.
What have I done?
You seem to moveon easy.
Everytime I try to fly,
I fall without my wings,
I feel so small,
I guess I need you baby.
And everytime I sleep
your in my dreams,
I see your face, you're haunting me
I guess I need you baby.
I may have made it rain,
Please forgive me.
My weakness caused you pain,
And this song's my sorry...
At night I pray,
That soon your face
Will fade away.
FAQ (Frequently asked questions)
Indeks Cerita :
Quote:
Episode 1
Bagian #1
Bagian #2
Bagian #3
Bagian #4
Bagian #5
Bagian #6
Episode 2
Bagian #7
Bagian #8
Bagian #9
Bagian #10
Bagian #11
Bagian #12
Bagian #13
Bagian #14
Bagian #15
Bagian #16
Bagian #17
Bagian #18
Bagian #19
Bagian #20
Episode 3
Bagian #20A
Bagian #20B
Bagian #20C
Bagian #20D
Episode 4
Bagian #21
Bagian #22
Bagian #23
Bagian #24
Bagian #25
Bagian #26
Bagian #27
Bagian #28
Bagian #29
Bagian #30
Episode 5
Bagian #31
Bagian #32
Bagian #33
Bagian #34
Bagian #35
Bagian #36
Bagian #37
Bagian #38
Episode 6
Bagian #39
Bagian #40
Bagian #41
Bagian #42
Bagian #43
Bagian #44
Bagian #45
Bagian #46
Bagian #47
Episode 7
Bagian #48
Bagian #49
Bagian #50
Bagian #51
Bagian #52 (End)
Bagian #1
Bagian #2
Bagian #3
Bagian #4
Bagian #5
Bagian #6
Episode 2
Bagian #7
Bagian #8
Bagian #9
Bagian #10
Bagian #11
Bagian #12
Bagian #13
Bagian #14
Bagian #15
Bagian #16
Bagian #17
Bagian #18
Bagian #19
Bagian #20
Episode 3
Bagian #20A
Bagian #20B
Bagian #20C
Bagian #20D
Episode 4
Bagian #21
Bagian #22
Bagian #23
Bagian #24
Bagian #25
Bagian #26
Bagian #27
Bagian #28
Bagian #29
Bagian #30
Episode 5
Bagian #31
Bagian #32
Bagian #33
Bagian #34
Bagian #35
Bagian #36
Bagian #37
Bagian #38
Episode 6
Bagian #39
Bagian #40
Bagian #41
Bagian #42
Bagian #43
Bagian #44
Bagian #45
Bagian #46
Bagian #47
Episode 7
Bagian #48
Bagian #49
Bagian #50
Bagian #51
Bagian #52 (End)
Quote:
Diubah oleh robotpintar 04-07-2014 13:30
gocharaya dan 103 lainnya memberi reputasi
102
600.1K
Kutip
1.5K
Balasan
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#869
Spoiler for Bagian #40:
Gua terus memandangi Desita yang tengah asik menikmati asinan, entah kenapa saat memandangnya sepertinya semua masalah yang gua punya terasa seperti menguap hilang.
“Des.. besok libur kan?”
Gua bertanya sambil tetap memandanginya.
“Libur.., kenapa?”
“Besok ikut ke Jakarta ya..”
“Hah, ngapain?”
“Kerumah gua, ketemu bokap..”
“Hah..”
Desita terlihat kaget dan terkejut mendengar perkataan gua.
“Ikut kerumah gua, ketemu sama bokap..”
Gua mengulang omongan.
“Sol.. kamu kan udah tau kalau Bapak nggak setuju sama aku, sama hubungan kita.. trus kita kesana mau ngapain?”
“Ya kita coba aja dulu Des.. siapa tau bapak berubah pikiran..”
“Aku takut sol.. takut kalau harus terpisah lagi dari kamu, padahal baru aja ketemu sebentar, aku nggak bisa kalau harus jauh lagi dari kamu...”
Gua terdiam mendengar alasan yang dikatakan Desita. Memang sempat terbesit juga pikiran itu di pikiran gua, tapi gua juga takut jika harus terus hidup dalam bayang-bayang ‘restu’ bokap.
Desita meraih tangan gua, kemudian berkata; “Sabar ya sol.. kata orang sabar itu buahnya manis”
“Yaudah deh, nanti aja ketemu sama bokap-nya..”
Desita mengangguk sambil tersenyum.
Gua membalas senyumnya sambil mengingat betapa sabarnya Desita menunggu gua selama tiga tahun. Gua yakin kalau pengalaman selama itu mengajarkan-nya banyak hal.
“Sol..”
“Ya..”
“Kamu nggak bakalan balik ke Jogja lagi kan?”
“Kenapa?”
“Ga papa..”
Desita menjawab datar, gua tau kalau dia menyembunyikan rasa cemas-nya. Cemas kalau gua bakalan bertemu lagi dengan Astrid jika kembali ke Jogja.
“Tenang aja, gua gak bakal macem-macem kok..”
“Yee.. macem-macem juga nggak papa..”
Desita menjawab sambil menjulurkan lidahnya, meledek gua.
Ah enggan rasanya gua untuk mengakhiri semua ini, mengakhiri kebersamaan yang sudah lama sekali nggak gua rasakan. Gua menggenggam erat tangannya, terasa semakin erat pula Desita membalas genggaman tangan gua. Kami saling pandang, hanyut dalam emosi rindu yang sudah lama terpendam.
“Des..”
“Ya..”
“Desita..”
“Iyaah.. apaa..?”
“Gua sayang banget sama elu..”
“Hehehe..”
“Kenapa cuma ketawa?”
“Haha, itu kan pernyataan, jadi nggak membutuhkan jawaban..”
“Damn.. “
Dan malam itu kami larut dalam bahasan-bahasan masa lalu, dimana dulu kami saling ejek, saling membenci dan akhirnya mencinta. Benci untuk Mencinta.
Gua melirik kearah jam tangan, waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Sial, kenapa sih waktu terasa begitu cepat disaat saat seperti ini. Dan sepuluh menit berikutnya kami sudah berada didalam mobil menuju kerumah Desita.
“Besok kamu nggak usah kesini sol, takut kamu kecapean, bolak-balik jakarta-bogor..”
Desita bicara sambil melepas sabuk pengaman dari jok.
“Nggak apa-apa.. cape sedikit, kan obatnya elu..”
“Gombal..”
“...”
“Terus kamu kapan mau balik ke Jogja?”
“Belum tau nih..”
“Oh..”
Desita hanya menjawab dengan sebuah ‘Oh’ besar kemudian turun dari mobil. Gua memanggilnya pelan, kemudian menunjuk pipi kiri gua dengan telunjuk. Memberi isyarat agar Desita memberikan kecupan dipipi. Dia hanya tertawa nyaring kemudian mengepalkan tangan dan meninju pipi kiri gua.
“Ati-ati, jangan ngebut.. kalo ngantuk istirahat dulu”
“Siap bos..”
Desita menutup pintu mobil, sementara gua hanya duduk terdiam sambil mengelus pipi gua yang terkena tinjunya. Gua menunggu sampai Desita masuk kedalam rumah kemudian bergegas kembali ke Jakarta.
---
Waktu menunjukkan pukul satu dini hari saat gua tiba dirumah. Dengan langkah gontai kelelahan gua melangkahkan kaki menapaki anak tangga menuju ke kamar. Terdengar suara pintu berrdecit disusul suara langkan sandal teplek yang biasa digunakan Salsa. Dia muncul dari dalam kamar, sambil menempelkan telunjuk dbibir dia memanggil gua.
“Apaan?”
“Sini..”
“Gua capek banget sa.. kalo nggak penting-penting banget.. besok aja deh, ngomongnya..”
Salsa mengabaikan ucapan gua, meraih tangan dan menyeret gua kedalam kamar.
“Lo nggak niat ngajak Desita kesini kan?”
Salsa bertanya, tampangnya terlihat serius.
“Tadinya sih pengen..”
“Et et.. jangan!!”
“Iya emang nggak jadi kok..”
“Percuma dong semua rencana-rencana gua kalo ujung-ujungnya lo berlaku sporadis dengan bawa Desita kesini trus konfrontasi sama bokap..”
“...”
“.. nanti kalo bokap nggak berubah pikiran, amsiong.. sia-sia semua rencana gua dan kalian tetep nggak bisa sama-sama, ngerti?”
Gua mengangguk mendengarkan penjelasan Salsa. Dalam hati gua bersyukur rencana untuk membawa Desita bertemu bokap tadi batal terlaksana.
“Terus harusnya gimana?”
Gua bertanya ke Salsa.
“Ya nggak tau juga sih, tadinya sih gua berharap setelah lo gua pisahin sama Desita trus lo jadi stress gitu, bokap galau dan akhirnya menyetujui hubungan kalian.. tapi kayaknya bokap masih belum bergeming deh..”
“Yaah.. sia-sia.. sia sia.. sia sia...”
Gua bicara seperti orang ngelantur sambil berjalan keluar meninggalkan Salsa yang masih berdiri didalam kamarnya.
“Bleh.. bleh..”
“Udah besok terusin lagi, gua ngantuk abis..”
Gua nggak menghiraukan panggilan Salsa dan tetap berjalan memunggunginya sambil melambaikan tangan. Kemudian masuk kekamar dan merebahkan diri diatas kasur.
Ah.. baru kali ini sepetinya tidur gua bakalan nyenyak.
---
Tepat seminggu setelah rencana gua mengajak Desita bertemu bokap yang urung terlaksana. Hari ini gua tengah bersiap untuk kembali ke Jogja, sudah cukup lama sepertinya gua meninggalkan kesibukan-kesibukan yang dulu pernah membuat pikiran gua teralihkan dari Desita. Tapi, kali ini sedikit berbeda, ada semangat lain yang memompa gua dengan bahan bakar cinta, ada semacam dorongan yang membuat gua seperti memiliki jiwa yang baru, sesuatu yang memaksa gua untuk memperbaiki apa yang telah gua rusak dan meneruskan apa yang telah gua mulai.
Gua mengambil ponsel dan mulai mengetik SMS; “Gw jalan skrng, Kiss”
Send!
Drrt..drrt..
Ponsel gua bergetar, sebuah pesan masuk, Dari Desita; “Yup, tk care.. kiss n lope”
Gua tersenyum membaca-nya, tanpa sadar kami hanyut dalam tingkah-polah remaja belasan tahun yang seperti baru mengenal cinta. Tapi, ah peduli setan. Gua mengenakan tas ransel dipunggung dan bergegas turun untuk kemudian menuju ke bandara.
Semakin jauh pesawat membawa gua, semakin besar rindu ini merekah. Ternyata benar apa yang banyak orang katakan tentang Cinta. Cinta itu tidak mengenal logika, tanpa aturan baku, jauh dari sistem dan anti terhadap pola tertentu. Cinta dapat menjungkir-balikan keadaan, cinta juga mampu merugah perilaku seseorang dan anehnya, cinta juga bisa membuat kalian melakukan apapun, apapun!
---
Gua turun dari taksi yang mengantar gua dari bandara menuju ke tempat dimana gua tinggal dulu. Gua berdiri memandang rumah kecil minimalis yang terlihat begitu rapi. Mursan si gembul yang memang bertugas menjaga rumah sekaligus menjadi asisten rumah tangga gua selama disini pasti benar-benar menjalankan tugasnya dengan baik. Bahkan rumput-rumput di pekarangan yang cuma sebesar kuburan pun terlihat rapi-jali, hampir tidak ada rumput liar atau daun kering yang berserakan. Gua membuka gerbang dan masuk kedalam, Mursan terlihat berjalan cepat menyambut gua.
“Baru pulang mas?”
Dia bertanya dengan dialeg khas nya yang medok, sambil meletakkan sapu yang sejak tadi dibawa-bawa.
“Menurut lu?”
“Hehe iya mas, baru pulang..”
“San.. sepeda gua keluarin dong, gua mau ke workshop..”
Gua menyuruh Mursan untuk mengeluarkan sepeda, ingin segera menuju ke workshop sambil merancang ulang rencana bisnis yang sempat terhenti.
“Siap mas,.. “
Mursan kemudian ngeloyor pergi.
Beberapa saat kemudian gua sudah berganti baju dengan celana pendek dan kaos oblong, sementara dihalaman depan, Mursan tengah membersihkan sepeda BMX dengan kemoceng.
Dan beberapa menit kemudian gua sudah berada di workshop yang memang letaknya nggak begitu jauh dari rumah tempat gua tinggal. Tempat yang gua sebut workshop ini sebenarnya adalah sebuah rumah dengan tipe yang hampir sama dengan yang gua tempati. Bedanya disini hampir tidak ada furniture yang biasa terdapat dalam sebuah rumah, terkecuali sebuah kasur besar yang digunakan para pekerja gua untuk tidur dan sebuah meja bundar besar yang diatasnya terdapat dua unit PC berlayar besar.
Gua menyandarkan sepeda disisi luar pagar kemudian masuk kedalam, dihari-hari normal, pada jam segini para pekerja biasanya tengah bekerja menyablon kaos-kaos di carport yang disulap menjadi bengkel sablon sementara lainnya berada didalam, memasang hang-tag pricelist dan packing. Tapi, hari ini terlihat sepi, hanya terdengar sesekali suara tawa membahana dari dalam ruangan. Gua melangkah masuk dan kemudian memasang senyum sinis kepada para pekerja yang beberapa diantaranya tengah asik menyaksikan video porno dari PC yang berada disana. Seketika, mereka langsung tertegun memandang nanar ke arah gua dan sekedipan mata ruangan menjadi kosong, semua berhamburan mencari kesibukan. Gua hanya mengangkat bahu dan menghela nafas, memang bukan salah mereka sampai nggak memiliki sesuatu untuk dikerjakan, sampai saat ini gua nggak memiliki seorang asisten yang bisa gua serahkan tanggung jawab menjalankan bisnis clothingan yang terbilang baru ini. Dan, akhirnya disisa hari itu gua habiskan untuk memulai kembali semuanya, dari awal.
Sore harinya, pak Mardi datang ke workshop mengantar kaos pesanan gua.
“Lho Astridnya kemana pak?”
Gua bertanya ke pak mardi.
“Ora gelem kon nganter..”
“Oh.. tapi sehat kan?”
“Sehaat..”
“Sekarang ada orangnya dirumah?”
“Ada..”
Gua tersenyum kemudian setelah selesai mengurus pembayaran kepada pak Mardi, gua buru-buru mengambil sepeda dan kembali ke rumah.
Satu jam berikutnya gua sudah berada di beranda depan rumah Pak Mardi yang juga merupakan rumah Astrid, duduk disebuah bangku panjang ditemani secangkir kopi dan sepiring singkong rebus yang tadi disediakan Bu Mardi. Astrid muncul dari balik pintu, dia menatap gua lesu kemudian kembali masuk kedalam. Gua berdiri, buru-buru menyusulnya dan menggapai lengannya.
“Lepas ah..”
Astrid berusaha melepaskan tangan gua yang menggenggam lengannya.
“Tunggu dulu dong, trid.. lu kenapa?”
“Hah? Kenapa? Lu pikir aja sendiri..”
Astrid berhasil melepaskan tangan gua dari lengannya. Tapi dia nggak lagi berusaha untuk menghindar, dia mundur beberapa langkah, bersandar pada dinding dan menggelosorkan punggungnya hingga terduduk dilantai. Gua hanya berdiri memandang gadis berambut panjang terurai, dengan celana denim pendek sepaha dan kaos putih kebesaran yang tengah duduk tertunduk dihadapan gua.
“Trid.. sorry..”
“Nggak perlu, cin.. lagian emang gua-nya yang salah, kegatelan sama cowo orang..”
“Bukan, bukan gitu..”
Entah apa yang salah, selama ini gua sudah sangant terlatih mengabaikan wanita-wanita yang berhamburan meronta-ronta setelah gua tolak cinta-nya. Tapi, kali ini berbeda. Ada perasaan seperti mencekat hati yang membuat gua merasa bersalah kepadanya.
“Bukan lu yang salah trid.. bukan.. gua yang salah.. gua yang udah berani-beraninya mainin hati buat lu..”
Gua duduk disebelahnya sambil berkata lirih.
“Iya dan gua nya yang bego.. bisa-bisanya jatuh hati sama lo, padahal udah berkali-kali diingetin sama mbak Salsa..”
“...”
Gua terdiam.
“Gua emang begoo...”
Astrid bicara sambil terisak, terlihat samar melalui helaian rambutnya yang menjuntai menutupi wajah, air matanya mulai mengalir. Sementara gua nggak bisa bebuat dan berkata apa-apa, gua seperti terjebak dalam sebuah situasi dimana gua nggak bisa menjanjikan apapun kepadanya.
“Kita tetep bisa jadi temen kok, trid..”
Gua bicara, mencoba menghiburnya. Tapi, bukannya merasa terhibur, Astrid malah memandang gua tajam kemudian berkata; “Buat gua nggak cukup sekedar temen!!”. Kemudian dia berdiri dan berjalan masuk, terdengar suara langkah kaki menaiki tangga menuju ke lantai atas. Dan tinggalah gua terduduk sendiri meratapi betapa kompleksnya masalah yang tengah gua hadapi sekarang.
“Des.. besok libur kan?”
Gua bertanya sambil tetap memandanginya.
“Libur.., kenapa?”
“Besok ikut ke Jakarta ya..”
“Hah, ngapain?”
“Kerumah gua, ketemu bokap..”
“Hah..”
Desita terlihat kaget dan terkejut mendengar perkataan gua.
“Ikut kerumah gua, ketemu sama bokap..”
Gua mengulang omongan.
“Sol.. kamu kan udah tau kalau Bapak nggak setuju sama aku, sama hubungan kita.. trus kita kesana mau ngapain?”
“Ya kita coba aja dulu Des.. siapa tau bapak berubah pikiran..”
“Aku takut sol.. takut kalau harus terpisah lagi dari kamu, padahal baru aja ketemu sebentar, aku nggak bisa kalau harus jauh lagi dari kamu...”
Gua terdiam mendengar alasan yang dikatakan Desita. Memang sempat terbesit juga pikiran itu di pikiran gua, tapi gua juga takut jika harus terus hidup dalam bayang-bayang ‘restu’ bokap.
Desita meraih tangan gua, kemudian berkata; “Sabar ya sol.. kata orang sabar itu buahnya manis”
“Yaudah deh, nanti aja ketemu sama bokap-nya..”
Desita mengangguk sambil tersenyum.
Gua membalas senyumnya sambil mengingat betapa sabarnya Desita menunggu gua selama tiga tahun. Gua yakin kalau pengalaman selama itu mengajarkan-nya banyak hal.
“Sol..”
“Ya..”
“Kamu nggak bakalan balik ke Jogja lagi kan?”
“Kenapa?”
“Ga papa..”
Desita menjawab datar, gua tau kalau dia menyembunyikan rasa cemas-nya. Cemas kalau gua bakalan bertemu lagi dengan Astrid jika kembali ke Jogja.
“Tenang aja, gua gak bakal macem-macem kok..”
“Yee.. macem-macem juga nggak papa..”
Desita menjawab sambil menjulurkan lidahnya, meledek gua.
Ah enggan rasanya gua untuk mengakhiri semua ini, mengakhiri kebersamaan yang sudah lama sekali nggak gua rasakan. Gua menggenggam erat tangannya, terasa semakin erat pula Desita membalas genggaman tangan gua. Kami saling pandang, hanyut dalam emosi rindu yang sudah lama terpendam.
“Des..”
“Ya..”
“Desita..”
“Iyaah.. apaa..?”
“Gua sayang banget sama elu..”
“Hehehe..”
“Kenapa cuma ketawa?”
“Haha, itu kan pernyataan, jadi nggak membutuhkan jawaban..”
“Damn.. “
Dan malam itu kami larut dalam bahasan-bahasan masa lalu, dimana dulu kami saling ejek, saling membenci dan akhirnya mencinta. Benci untuk Mencinta.
Gua melirik kearah jam tangan, waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Sial, kenapa sih waktu terasa begitu cepat disaat saat seperti ini. Dan sepuluh menit berikutnya kami sudah berada didalam mobil menuju kerumah Desita.
“Besok kamu nggak usah kesini sol, takut kamu kecapean, bolak-balik jakarta-bogor..”
Desita bicara sambil melepas sabuk pengaman dari jok.
“Nggak apa-apa.. cape sedikit, kan obatnya elu..”
“Gombal..”
“...”
“Terus kamu kapan mau balik ke Jogja?”
“Belum tau nih..”
“Oh..”
Desita hanya menjawab dengan sebuah ‘Oh’ besar kemudian turun dari mobil. Gua memanggilnya pelan, kemudian menunjuk pipi kiri gua dengan telunjuk. Memberi isyarat agar Desita memberikan kecupan dipipi. Dia hanya tertawa nyaring kemudian mengepalkan tangan dan meninju pipi kiri gua.
“Ati-ati, jangan ngebut.. kalo ngantuk istirahat dulu”
“Siap bos..”
Desita menutup pintu mobil, sementara gua hanya duduk terdiam sambil mengelus pipi gua yang terkena tinjunya. Gua menunggu sampai Desita masuk kedalam rumah kemudian bergegas kembali ke Jakarta.
---
Waktu menunjukkan pukul satu dini hari saat gua tiba dirumah. Dengan langkah gontai kelelahan gua melangkahkan kaki menapaki anak tangga menuju ke kamar. Terdengar suara pintu berrdecit disusul suara langkan sandal teplek yang biasa digunakan Salsa. Dia muncul dari dalam kamar, sambil menempelkan telunjuk dbibir dia memanggil gua.
“Apaan?”
“Sini..”
“Gua capek banget sa.. kalo nggak penting-penting banget.. besok aja deh, ngomongnya..”
Salsa mengabaikan ucapan gua, meraih tangan dan menyeret gua kedalam kamar.
“Lo nggak niat ngajak Desita kesini kan?”
Salsa bertanya, tampangnya terlihat serius.
“Tadinya sih pengen..”
“Et et.. jangan!!”
“Iya emang nggak jadi kok..”
“Percuma dong semua rencana-rencana gua kalo ujung-ujungnya lo berlaku sporadis dengan bawa Desita kesini trus konfrontasi sama bokap..”
“...”
“.. nanti kalo bokap nggak berubah pikiran, amsiong.. sia-sia semua rencana gua dan kalian tetep nggak bisa sama-sama, ngerti?”
Gua mengangguk mendengarkan penjelasan Salsa. Dalam hati gua bersyukur rencana untuk membawa Desita bertemu bokap tadi batal terlaksana.
“Terus harusnya gimana?”
Gua bertanya ke Salsa.
“Ya nggak tau juga sih, tadinya sih gua berharap setelah lo gua pisahin sama Desita trus lo jadi stress gitu, bokap galau dan akhirnya menyetujui hubungan kalian.. tapi kayaknya bokap masih belum bergeming deh..”
“Yaah.. sia-sia.. sia sia.. sia sia...”
Gua bicara seperti orang ngelantur sambil berjalan keluar meninggalkan Salsa yang masih berdiri didalam kamarnya.
“Bleh.. bleh..”
“Udah besok terusin lagi, gua ngantuk abis..”
Gua nggak menghiraukan panggilan Salsa dan tetap berjalan memunggunginya sambil melambaikan tangan. Kemudian masuk kekamar dan merebahkan diri diatas kasur.
Ah.. baru kali ini sepetinya tidur gua bakalan nyenyak.
---
Tepat seminggu setelah rencana gua mengajak Desita bertemu bokap yang urung terlaksana. Hari ini gua tengah bersiap untuk kembali ke Jogja, sudah cukup lama sepertinya gua meninggalkan kesibukan-kesibukan yang dulu pernah membuat pikiran gua teralihkan dari Desita. Tapi, kali ini sedikit berbeda, ada semangat lain yang memompa gua dengan bahan bakar cinta, ada semacam dorongan yang membuat gua seperti memiliki jiwa yang baru, sesuatu yang memaksa gua untuk memperbaiki apa yang telah gua rusak dan meneruskan apa yang telah gua mulai.
Gua mengambil ponsel dan mulai mengetik SMS; “Gw jalan skrng, Kiss”
Send!
Drrt..drrt..
Ponsel gua bergetar, sebuah pesan masuk, Dari Desita; “Yup, tk care.. kiss n lope”
Gua tersenyum membaca-nya, tanpa sadar kami hanyut dalam tingkah-polah remaja belasan tahun yang seperti baru mengenal cinta. Tapi, ah peduli setan. Gua mengenakan tas ransel dipunggung dan bergegas turun untuk kemudian menuju ke bandara.
Semakin jauh pesawat membawa gua, semakin besar rindu ini merekah. Ternyata benar apa yang banyak orang katakan tentang Cinta. Cinta itu tidak mengenal logika, tanpa aturan baku, jauh dari sistem dan anti terhadap pola tertentu. Cinta dapat menjungkir-balikan keadaan, cinta juga mampu merugah perilaku seseorang dan anehnya, cinta juga bisa membuat kalian melakukan apapun, apapun!
---
Gua turun dari taksi yang mengantar gua dari bandara menuju ke tempat dimana gua tinggal dulu. Gua berdiri memandang rumah kecil minimalis yang terlihat begitu rapi. Mursan si gembul yang memang bertugas menjaga rumah sekaligus menjadi asisten rumah tangga gua selama disini pasti benar-benar menjalankan tugasnya dengan baik. Bahkan rumput-rumput di pekarangan yang cuma sebesar kuburan pun terlihat rapi-jali, hampir tidak ada rumput liar atau daun kering yang berserakan. Gua membuka gerbang dan masuk kedalam, Mursan terlihat berjalan cepat menyambut gua.
“Baru pulang mas?”
Dia bertanya dengan dialeg khas nya yang medok, sambil meletakkan sapu yang sejak tadi dibawa-bawa.
“Menurut lu?”
“Hehe iya mas, baru pulang..”
“San.. sepeda gua keluarin dong, gua mau ke workshop..”
Gua menyuruh Mursan untuk mengeluarkan sepeda, ingin segera menuju ke workshop sambil merancang ulang rencana bisnis yang sempat terhenti.
“Siap mas,.. “
Mursan kemudian ngeloyor pergi.
Beberapa saat kemudian gua sudah berganti baju dengan celana pendek dan kaos oblong, sementara dihalaman depan, Mursan tengah membersihkan sepeda BMX dengan kemoceng.
Dan beberapa menit kemudian gua sudah berada di workshop yang memang letaknya nggak begitu jauh dari rumah tempat gua tinggal. Tempat yang gua sebut workshop ini sebenarnya adalah sebuah rumah dengan tipe yang hampir sama dengan yang gua tempati. Bedanya disini hampir tidak ada furniture yang biasa terdapat dalam sebuah rumah, terkecuali sebuah kasur besar yang digunakan para pekerja gua untuk tidur dan sebuah meja bundar besar yang diatasnya terdapat dua unit PC berlayar besar.
Gua menyandarkan sepeda disisi luar pagar kemudian masuk kedalam, dihari-hari normal, pada jam segini para pekerja biasanya tengah bekerja menyablon kaos-kaos di carport yang disulap menjadi bengkel sablon sementara lainnya berada didalam, memasang hang-tag pricelist dan packing. Tapi, hari ini terlihat sepi, hanya terdengar sesekali suara tawa membahana dari dalam ruangan. Gua melangkah masuk dan kemudian memasang senyum sinis kepada para pekerja yang beberapa diantaranya tengah asik menyaksikan video porno dari PC yang berada disana. Seketika, mereka langsung tertegun memandang nanar ke arah gua dan sekedipan mata ruangan menjadi kosong, semua berhamburan mencari kesibukan. Gua hanya mengangkat bahu dan menghela nafas, memang bukan salah mereka sampai nggak memiliki sesuatu untuk dikerjakan, sampai saat ini gua nggak memiliki seorang asisten yang bisa gua serahkan tanggung jawab menjalankan bisnis clothingan yang terbilang baru ini. Dan, akhirnya disisa hari itu gua habiskan untuk memulai kembali semuanya, dari awal.
Sore harinya, pak Mardi datang ke workshop mengantar kaos pesanan gua.
“Lho Astridnya kemana pak?”
Gua bertanya ke pak mardi.
“Ora gelem kon nganter..”
“Oh.. tapi sehat kan?”
“Sehaat..”
“Sekarang ada orangnya dirumah?”
“Ada..”
Gua tersenyum kemudian setelah selesai mengurus pembayaran kepada pak Mardi, gua buru-buru mengambil sepeda dan kembali ke rumah.
Satu jam berikutnya gua sudah berada di beranda depan rumah Pak Mardi yang juga merupakan rumah Astrid, duduk disebuah bangku panjang ditemani secangkir kopi dan sepiring singkong rebus yang tadi disediakan Bu Mardi. Astrid muncul dari balik pintu, dia menatap gua lesu kemudian kembali masuk kedalam. Gua berdiri, buru-buru menyusulnya dan menggapai lengannya.
“Lepas ah..”
Astrid berusaha melepaskan tangan gua yang menggenggam lengannya.
“Tunggu dulu dong, trid.. lu kenapa?”
“Hah? Kenapa? Lu pikir aja sendiri..”
Astrid berhasil melepaskan tangan gua dari lengannya. Tapi dia nggak lagi berusaha untuk menghindar, dia mundur beberapa langkah, bersandar pada dinding dan menggelosorkan punggungnya hingga terduduk dilantai. Gua hanya berdiri memandang gadis berambut panjang terurai, dengan celana denim pendek sepaha dan kaos putih kebesaran yang tengah duduk tertunduk dihadapan gua.
“Trid.. sorry..”
“Nggak perlu, cin.. lagian emang gua-nya yang salah, kegatelan sama cowo orang..”
“Bukan, bukan gitu..”
Entah apa yang salah, selama ini gua sudah sangant terlatih mengabaikan wanita-wanita yang berhamburan meronta-ronta setelah gua tolak cinta-nya. Tapi, kali ini berbeda. Ada perasaan seperti mencekat hati yang membuat gua merasa bersalah kepadanya.
“Bukan lu yang salah trid.. bukan.. gua yang salah.. gua yang udah berani-beraninya mainin hati buat lu..”
Gua duduk disebelahnya sambil berkata lirih.
“Iya dan gua nya yang bego.. bisa-bisanya jatuh hati sama lo, padahal udah berkali-kali diingetin sama mbak Salsa..”
“...”
Gua terdiam.
“Gua emang begoo...”
Astrid bicara sambil terisak, terlihat samar melalui helaian rambutnya yang menjuntai menutupi wajah, air matanya mulai mengalir. Sementara gua nggak bisa bebuat dan berkata apa-apa, gua seperti terjebak dalam sebuah situasi dimana gua nggak bisa menjanjikan apapun kepadanya.
“Kita tetep bisa jadi temen kok, trid..”
Gua bicara, mencoba menghiburnya. Tapi, bukannya merasa terhibur, Astrid malah memandang gua tajam kemudian berkata; “Buat gua nggak cukup sekedar temen!!”. Kemudian dia berdiri dan berjalan masuk, terdengar suara langkah kaki menaiki tangga menuju ke lantai atas. Dan tinggalah gua terduduk sendiri meratapi betapa kompleksnya masalah yang tengah gua hadapi sekarang.
Diubah oleh robotpintar 19-06-2014 23:28
jiyanq dan 12 lainnya memberi reputasi
13
Kutip
Balas