- Beranda
- Stories from the Heart
Everytime
...
TS
robotpintar
Everytime

Song by : Britney Spears
Notice me
Take my hand
Why are we Strangers when
Our love is strong?
Why carry on without me?
Everytime I try to fly,
I fall without my wings,
I feel so small.
I guess I need you baby.
And everytime
I sleep your in my dreams,
I see your face, it's haunting me.
I guess I need you baby.
I make believe
That you are here.
It's the only way
That I see clear.
What have I done?
You seem to moveon easy.
Everytime I try to fly,
I fall without my wings,
I feel so small,
I guess I need you baby.
And everytime I sleep
your in my dreams,
I see your face, you're haunting me
I guess I need you baby.
I may have made it rain,
Please forgive me.
My weakness caused you pain,
And this song's my sorry...
At night I pray,
That soon your face
Will fade away.
Take my hand
Why are we Strangers when
Our love is strong?
Why carry on without me?
Everytime I try to fly,
I fall without my wings,
I feel so small.
I guess I need you baby.
And everytime
I sleep your in my dreams,
I see your face, it's haunting me.
I guess I need you baby.
I make believe
That you are here.
It's the only way
That I see clear.
What have I done?
You seem to moveon easy.
Everytime I try to fly,
I fall without my wings,
I feel so small,
I guess I need you baby.
And everytime I sleep
your in my dreams,
I see your face, you're haunting me
I guess I need you baby.
I may have made it rain,
Please forgive me.
My weakness caused you pain,
And this song's my sorry...
At night I pray,
That soon your face
Will fade away.
FAQ (Frequently asked questions)
Indeks Cerita :
Quote:
Episode 1
Bagian #1
Bagian #2
Bagian #3
Bagian #4
Bagian #5
Bagian #6
Episode 2
Bagian #7
Bagian #8
Bagian #9
Bagian #10
Bagian #11
Bagian #12
Bagian #13
Bagian #14
Bagian #15
Bagian #16
Bagian #17
Bagian #18
Bagian #19
Bagian #20
Episode 3
Bagian #20A
Bagian #20B
Bagian #20C
Bagian #20D
Episode 4
Bagian #21
Bagian #22
Bagian #23
Bagian #24
Bagian #25
Bagian #26
Bagian #27
Bagian #28
Bagian #29
Bagian #30
Episode 5
Bagian #31
Bagian #32
Bagian #33
Bagian #34
Bagian #35
Bagian #36
Bagian #37
Bagian #38
Episode 6
Bagian #39
Bagian #40
Bagian #41
Bagian #42
Bagian #43
Bagian #44
Bagian #45
Bagian #46
Bagian #47
Episode 7
Bagian #48
Bagian #49
Bagian #50
Bagian #51
Bagian #52 (End)
Bagian #1
Bagian #2
Bagian #3
Bagian #4
Bagian #5
Bagian #6
Episode 2
Bagian #7
Bagian #8
Bagian #9
Bagian #10
Bagian #11
Bagian #12
Bagian #13
Bagian #14
Bagian #15
Bagian #16
Bagian #17
Bagian #18
Bagian #19
Bagian #20
Episode 3
Bagian #20A
Bagian #20B
Bagian #20C
Bagian #20D
Episode 4
Bagian #21
Bagian #22
Bagian #23
Bagian #24
Bagian #25
Bagian #26
Bagian #27
Bagian #28
Bagian #29
Bagian #30
Episode 5
Bagian #31
Bagian #32
Bagian #33
Bagian #34
Bagian #35
Bagian #36
Bagian #37
Bagian #38
Episode 6
Bagian #39
Bagian #40
Bagian #41
Bagian #42
Bagian #43
Bagian #44
Bagian #45
Bagian #46
Bagian #47
Episode 7
Bagian #48
Bagian #49
Bagian #50
Bagian #51
Bagian #52 (End)
Quote:
Diubah oleh robotpintar 04-07-2014 13:30
gocharaya dan 103 lainnya memberi reputasi
102
600.1K
Kutip
1.5K
Balasan
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#560
Spoiler for Bagian #29:
Setelah hampir dua jam terjebak dalam guyuran hujan dan kemacetan kota Bogor, akhirnya gua dapat bernafas lega saat mobil yang gua kendarai mulai memasuki pelataran parkir hotel tempat gua dan Astrid menginap. Begitu turun dari mobil, Taufik langsung buru-buru pamit dan pergi meninggalkan kami, gua memanggilnya dengan tepukan tangan, Taufik menoleh kemudian berjalan cepat kembali menghampiri gua.
“Maen kabur aja lu...”
“Iyah.. ngantuk aa...”
Gua mengambil dompet dan mengeluarkan lima lembar ratusan ribu dan menyerahkannya ke Taufik. Dia nggak langsung mengambilnya, melainkan memandanginya terlebih dahulu.
“Euuh.. kebanyakan ini atuh aa..”
“Nggak papa, udah ambil..”
Gua mengambil tangannya dan meletakan paksa uang tersebut kedalam genggamannya.
“Deuh, nuhun ya aa..”
Taufik berterima kasih sambil sedikit membungkukan tubuhnya dan bergegas pulang.
Astrid turun dari mobil dan menarik tangan gua;
“Yuuk, capek dan laper nih..”
---
“Trid.. bangun.. katanya laper..”
Gua menepuk pelan pipi Astrid yang tengah tertidur di sofa kamar hotel.
Astrid membuka matanya sebentar, memutar tubuhnya menghadap ke punggung sofa dan kembali terlelap. Gua hanya bisa mengangkat bahu sambil memandang makanan pesanan yang baru saja diantar ke kamar.
Sambil duduk bersandar pada dinding kamar hotel gua menikmati menu masakan hotel yang terasa hambar, entah karena memang rasanya begini atau mungkin karena situasi ini yang membuat lidah dan mulut gua nggak sukses menyampaikan rasa nikmat ke otak. Gua berdiri kemudian meletakkan Nasi Hainan ala hotel berbintang tanpa rasa diatas meja kemudian kembali berusaha membangunkan Astrid. Kali ini sepertinya berhasil, Astrid bangun dan terduduk disofa, sambil mengucek-ngucek matanya dia bertanya;
“Jam berapa?”
“Jam sepuluh.. makan dulu tuh..”
“Laper sih, tapi ngantuk...”
Dia kemudian merebahkan tubuhnya dan kembali tertidur.
Gua menggeleng, kemudian mengangkat tubuhnya dari sofa ke atas kasur.
Setelah merebahkan Astrid diatas kasur, gua mengambil kunci kamar Astrid yang tergeletak diatas meja dan melangkah pelan keluar dari kamar gua, kemudian membuka pintu kamar yang terletak persis disebelah kamar gua, kamar yang seharusnya Astrid tempati. Nggak sampai menunggu beberapa lama, gua langsung terpejam saat tubuh ini baru saja menyentuh permukaan kasur.
---
Disebuah pantai, sore itu kala matahari hampir saja tenggelam. Gua duduk diatas sebuah batang pohon kering yang melintang sambil memandangi sosok siluet tengah berlarian menghindari ombak, sesekali terdengar suara tawa riang dari sosok perempuan yang masih gua pandangi, sosok yang diselimuti cahaya jingga ke cokelatan. Gua memicingkan mata sambil mengadahkan tangan mencoba menutupi silaunya sinar matahari sore, saat sosok perempuan itu berjalan pelan menghampiri gua, sosok wanita mungil dengan rambut sebahu.
“Des… pulang yuk..”
Gua berkata sambil menyodorkan kedua tangan kearahnya.
Sosok perempuan itu mengangkat kedua tangannya, seakan menyambut sodoran tangan gua. Sambil berjalan pelan, sosok siluet hitam tersebut semakin lama semakin jelas, sampai akhirnya tangan-nya berhasil meraih tangan gua. Dan gua memandang Astrid tengah tersenyum dihadapan gua.
---
Plak!!
Sebuah tamparan mendarat dipipi gua.
“Bangun.. bangun.. udah siang..”
Terdengar samar suara Astrid, sementara mata gua masih mencoba menyesuaikan diri dengan cahaya matahari yang dibiarkan masuk oleh Astrid melalui kaca jendela besar di sisi kamar hotel. Gua mengusap-usap bagian pipi yang terasa panas sambil meregangkan tubuh dan memandangi langit-langit kamar. Tamparan Astrid barusan benar-benar sukses membangunkan dan menyadarkan gua dari mimpi aneh tentang Pantai, tentang laut, tentang sosok siluet yang gua pikir adalah Desita, tentang dirinya, tentang Astrid.
“Kenapa.. Pusing?”
Astrid bertanya ketika melihat gua terduduk, sambil mengurut-urut pelan ujung hidung antara mata dan dahi.
“Nggak..”
Gua menjawab pelan dengan suara serak.
“Trus kenapa, kok kayaknya nggak enak badan..?”
“Gua mimpi aneh banget..”
“Hah mimpi apa? Ada penampakan angka atau semacam nomor-nomor gitu nggak?”
Astrid terlihat antusias, kemudian duduk disebelah gua.
“Gila! Emang kalo ada angka-angka dimimpi gua kenapa? Mau lu pasangin togel?”
Respon Astrid benar-benar bikin gua kehilangan feel terhadap mimpi barusan. Lagian cuma mimpi, mimpi kan kembang tidur. Gua berusaha menyangkal dan menolak mentah-mentah untuk mencoba mencari tau arti dan tafsiran dari mimpi tersebut. Gua bangun, mengambil dompet dari saku jaket yang tergeletak dilantai dan membuka-nya; Foto Desita terpampang didalamnya, gua memandangi foto tersebut, mencoba meresap dalam-dalam sosok wajahnya agar tidak terlupa ATAU berganti dengan sosok lain.
Tanpa gua sadari, sosok Astrid sudah berdiri disebelah gua sambil tersenyum memandangi foto Desita yang berada didompet gua.
“Ciee… yang udah kangen beraatt…, udah buruan mandi, abis itu kita berkelana lagi.. nyari tuan putri lo..”
Astrid berkata sambil mendorong tubuh gua menuju ke kamar mandi.
Dan beberapa jam kemudian gua dan Astrid sudah kembali berada di tengah-tengah kota Bogor, sambil menggigit roti isi yang baru tadi dia beli di sebuah warung dipinggir jalan, Astrid berlagak seperti navigator mobil rally, tangan kanannya menunjuk-nunjuk arah, sementara tangan kirinya memegang kertas print-out berisi daftar nama dan alamat yang saat ini tinggal tersisa lima alamat. Mulutnya berbicara, terdengar samar karena tersumbat roti dibibirnya.
Tanpa ragu, gua cuma mengikuti saja instruksi dan arahan darinya. Dan hasilnya …
“Abis waktu lima jam cuma muter disitu-situ aja…”
Gua bicara sewot sambil memainkan sendok diatas piring yang sudah kosong.
Siang itu, gua dan Astrid baru saja selesai makan siang disebuah rumah makan khas Sunda yang terletak dibilangan Taman Kencana, Jalan Ciremai kota Bogor.
“Ya maap, gua kan nggak paham banget daerah sini..”
Astrid meminta maaf sambil memasukan suapan terakhir potongan ayam bakar yang tadi dipesannya.
“Kalo cuma, ngikutin arah petunjuk jalan sih gua juga bisa..”
“Yauda sih, nggak usah pake urat.. gua kan udah minta maaf..”
Astrid berkata sambil memasang wajah memelas, sementara tangan kirinya tetap asik dengan ponselnya.
Gua mengeluarkan ponsel milik gua dan mulai menghubungi Taufik. Nada sambung terdengar cukup lama, sampai akhirnya sebuah suara unik terdengar di ujung sana.
“Halo..”
“Taufik?”
“Iyah, saha iee?”
“Solichin, yang kemaren..”
“Oooh.. iya aa.. kenapa?”
“Lu dimana?”
“Di kerjaan aa, kunaon?”
“Gua jemput sekarang ya, kita perlu elu banget nih..”
“Waduh.. saya juga baru aja masuk inih aa..”
“Udah pokoknya gua jemput sekarang..”
Gua mengakhiri pembicaraan dan buru-buru berdiri. Beberapa puluh menit kemudian gua dan Astrid sudah berada di pelataran parkir minimart tempat Taufik bekerja. Gua membunyikan klakson beberapa kali sampai akhirnya Taufik keluar tergopoh-gopoh dari dalam toko.
“Kerjaan saya gimana atuh, aa..?”
“Udah bolos deeh.. sehari lagi.. “
Taufik terlihat kebingungan, celinagk-celinguk sambil menggaruk-garuk kepalanya.
“Yaudah, saya ngomong ke temen saya dulu yah sekedap..”
Taufik bergegas masuk kembali kedalam minimart, beberapa menit kemudian dia sudah setengah berlari keluar, masih mengenakan seragamnya dan kali ini dengan menggendong tas ranselnya.
Dan ternyata proses dan hasilnya (dengan atau tanpa Taufik) benar-benara berbeda, kali ini nggak ada kejadian salah masuk gang, salah belok dan nggak lagi terdengar ; ‘eh ini bukan ya jalannya’, ‘eh kayaknya belokan yang satu lagi deh, cin’, ‘eh, kok kita balik lagi kesini deh..’ atau ‘eh, stop.. stop.. gua mau beli cimol dulu..’. Kali ini kami sudah berada di jalan raya puncak kemudian berbelok ke kiri, sebuah tempat bernama mega mendung, gua menggeleng-gelengkan kepala sambil menatap kaca spion ke arah bangku penumpang dibelakang, tempat Astrid duduk.
“Tadi mah gua cuma muter-muter di kota bogor doang fik, kalo ini mah kayaknya bener nih, jalannya..”
Mendengar perkataan gua, Astrid yang tengah asik dengan ponselnya, duduk menegakkan tubuh dan membalas omongan gua;
“Ya jelas, si Taufik kan anak sini..”
Nggak lama berselang, setelah beberapa kali bertanya, kami sudah tiba didepan sebuah rumah, Taufik turun dari mobil dan gua menyusulnya. Hampir sama dengan kemarin, bermodal keramahan dan kemampuan bahasa sunda yang dimiliki Taufik dia berbincang sopan dengan seorang ibu yang tengah berdiri sambil menjemur pakaian didepan rumah tersebut. Gua memandang dari jarak yang nggak begitu jauh, mereka tangah berbincang, dan sesaat kemudian Taufik berbalik dan berjalan ke arah kami.
“Gimana Fik?”
“Ituh, ibu itu namanya Desita… bukan yah?”
“Iya sayangnya bukan..”
Gua tertunduk lesu kemudian kembali ke mobil.
---
Waktu menunjukkan pukul 4 sore, saat gua dan Taufik tengah duduk di sebuah warung yang berada di daerah Jasinga, Bogor. Sedangkan Astrid berada didalam masih berada didalam mobil, tengah asik dan tenggelam bersama ponselnya. Ini adalah tempat terakhir dari daftar nama dan alamat yang tempo hari diberikan Ari ke gua. Gua memegang kertas yang sudah telihat lecek dan kumal sambil mengangkatnya dihadapan Taufik.
“Punten aa.. mau nanya… “
“…”
“Aa.. teh intel ya?”
“Hah intel? Maksudnya..?”
“Itu loh, polisi yang nyamar-nyamar..”
“Bukan”
“Oh.. Dep Visitor?”
“Hah? Mungkin maksud lu Debt Collector kali..?”
“Iyah.. ituh maksudnya..”
“Bukan..”
“Trus apa? Saya teh bingung, disuru bantu nyari orang, tapi nggak tau wajah orang yang dicari…”
Gua mengeluarkan dompet dan menunjukkan foto Desita kepada Taufik.
“Namanya Desita, pacar gua..”
“Trus yang dimobil itu siapa, aa..”
Taufik bertanya sambil menunjuk ke arah mobil dengan dagunya.
“Ooh.. apa ya.. bingung gua juga fik..”
“Kenapa bingung atuh aa.. Teh Astrid mah geulis.. tapi yang difoto juga geulis.. ih menih bingung urang kalo jadi si aa mah..”
Gua menyeruput tegukan kopi terakhir sebelum kemudian bersiap berjalan mendatangi sebuah rumah yang tadi telah ditunjukkan oleh si pemilik warung. Taufik menghabiskan kopi ditangannya kemudian bersiap mengikuti gua.
“Lu tunggu disini fik, temenin Astrid.. gua sendiri aja..”
“Oh.. iya..”
Gua pun melangkahkan kaki, melintasi jalan setapak kecil yang dipenuhi rumput-rumput besar dan pagar yang terbuat dari bamboo dikedua sisinya. Sambil menggenggam kertas berisi daftar nama dan alamat gua memejamkan mata sejenak, kemudian mempercepat langkah menuju ke sebuah rumah mungil yang semakin lama semakin dekat.
Suasana sore di salah satu sudut terjauh kabupaten Bogor semakin mendung dengan angin yang membawa rasa dingin, menembus kulit. Gua menetapkan hati, bersiap untuk kemungkinan terburuk. Tetinggal satu nama dalam daftar pada print-out yang diberikan Ari, gua meremas kertas berisi daftar nama tersebut dan menjatuhkannya kebawah, kemudian menuruni anak tangga batu dan mulai memasuki pekarangan rumah tersebut.
“Assalamualaikum…”
Gua mengetuk pintunya pelan sambil mengucap salam.
“Waalaikum salam… saha?..”
Terdengar suara wanita menjawab salam gua dari dalam rumah, beberapa detik kemudian pintu pun terbuka.
“Maen kabur aja lu...”
“Iyah.. ngantuk aa...”
Gua mengambil dompet dan mengeluarkan lima lembar ratusan ribu dan menyerahkannya ke Taufik. Dia nggak langsung mengambilnya, melainkan memandanginya terlebih dahulu.
“Euuh.. kebanyakan ini atuh aa..”
“Nggak papa, udah ambil..”
Gua mengambil tangannya dan meletakan paksa uang tersebut kedalam genggamannya.
“Deuh, nuhun ya aa..”
Taufik berterima kasih sambil sedikit membungkukan tubuhnya dan bergegas pulang.
Astrid turun dari mobil dan menarik tangan gua;
“Yuuk, capek dan laper nih..”
---
“Trid.. bangun.. katanya laper..”
Gua menepuk pelan pipi Astrid yang tengah tertidur di sofa kamar hotel.
Astrid membuka matanya sebentar, memutar tubuhnya menghadap ke punggung sofa dan kembali terlelap. Gua hanya bisa mengangkat bahu sambil memandang makanan pesanan yang baru saja diantar ke kamar.
Sambil duduk bersandar pada dinding kamar hotel gua menikmati menu masakan hotel yang terasa hambar, entah karena memang rasanya begini atau mungkin karena situasi ini yang membuat lidah dan mulut gua nggak sukses menyampaikan rasa nikmat ke otak. Gua berdiri kemudian meletakkan Nasi Hainan ala hotel berbintang tanpa rasa diatas meja kemudian kembali berusaha membangunkan Astrid. Kali ini sepertinya berhasil, Astrid bangun dan terduduk disofa, sambil mengucek-ngucek matanya dia bertanya;
“Jam berapa?”
“Jam sepuluh.. makan dulu tuh..”
“Laper sih, tapi ngantuk...”
Dia kemudian merebahkan tubuhnya dan kembali tertidur.
Gua menggeleng, kemudian mengangkat tubuhnya dari sofa ke atas kasur.
Setelah merebahkan Astrid diatas kasur, gua mengambil kunci kamar Astrid yang tergeletak diatas meja dan melangkah pelan keluar dari kamar gua, kemudian membuka pintu kamar yang terletak persis disebelah kamar gua, kamar yang seharusnya Astrid tempati. Nggak sampai menunggu beberapa lama, gua langsung terpejam saat tubuh ini baru saja menyentuh permukaan kasur.
---
Disebuah pantai, sore itu kala matahari hampir saja tenggelam. Gua duduk diatas sebuah batang pohon kering yang melintang sambil memandangi sosok siluet tengah berlarian menghindari ombak, sesekali terdengar suara tawa riang dari sosok perempuan yang masih gua pandangi, sosok yang diselimuti cahaya jingga ke cokelatan. Gua memicingkan mata sambil mengadahkan tangan mencoba menutupi silaunya sinar matahari sore, saat sosok perempuan itu berjalan pelan menghampiri gua, sosok wanita mungil dengan rambut sebahu.
“Des… pulang yuk..”
Gua berkata sambil menyodorkan kedua tangan kearahnya.
Sosok perempuan itu mengangkat kedua tangannya, seakan menyambut sodoran tangan gua. Sambil berjalan pelan, sosok siluet hitam tersebut semakin lama semakin jelas, sampai akhirnya tangan-nya berhasil meraih tangan gua. Dan gua memandang Astrid tengah tersenyum dihadapan gua.
---
Plak!!
Sebuah tamparan mendarat dipipi gua.
“Bangun.. bangun.. udah siang..”
Terdengar samar suara Astrid, sementara mata gua masih mencoba menyesuaikan diri dengan cahaya matahari yang dibiarkan masuk oleh Astrid melalui kaca jendela besar di sisi kamar hotel. Gua mengusap-usap bagian pipi yang terasa panas sambil meregangkan tubuh dan memandangi langit-langit kamar. Tamparan Astrid barusan benar-benar sukses membangunkan dan menyadarkan gua dari mimpi aneh tentang Pantai, tentang laut, tentang sosok siluet yang gua pikir adalah Desita, tentang dirinya, tentang Astrid.
“Kenapa.. Pusing?”
Astrid bertanya ketika melihat gua terduduk, sambil mengurut-urut pelan ujung hidung antara mata dan dahi.
“Nggak..”
Gua menjawab pelan dengan suara serak.
“Trus kenapa, kok kayaknya nggak enak badan..?”
“Gua mimpi aneh banget..”
“Hah mimpi apa? Ada penampakan angka atau semacam nomor-nomor gitu nggak?”
Astrid terlihat antusias, kemudian duduk disebelah gua.
“Gila! Emang kalo ada angka-angka dimimpi gua kenapa? Mau lu pasangin togel?”
Respon Astrid benar-benar bikin gua kehilangan feel terhadap mimpi barusan. Lagian cuma mimpi, mimpi kan kembang tidur. Gua berusaha menyangkal dan menolak mentah-mentah untuk mencoba mencari tau arti dan tafsiran dari mimpi tersebut. Gua bangun, mengambil dompet dari saku jaket yang tergeletak dilantai dan membuka-nya; Foto Desita terpampang didalamnya, gua memandangi foto tersebut, mencoba meresap dalam-dalam sosok wajahnya agar tidak terlupa ATAU berganti dengan sosok lain.
Tanpa gua sadari, sosok Astrid sudah berdiri disebelah gua sambil tersenyum memandangi foto Desita yang berada didompet gua.
“Ciee… yang udah kangen beraatt…, udah buruan mandi, abis itu kita berkelana lagi.. nyari tuan putri lo..”
Astrid berkata sambil mendorong tubuh gua menuju ke kamar mandi.
Dan beberapa jam kemudian gua dan Astrid sudah kembali berada di tengah-tengah kota Bogor, sambil menggigit roti isi yang baru tadi dia beli di sebuah warung dipinggir jalan, Astrid berlagak seperti navigator mobil rally, tangan kanannya menunjuk-nunjuk arah, sementara tangan kirinya memegang kertas print-out berisi daftar nama dan alamat yang saat ini tinggal tersisa lima alamat. Mulutnya berbicara, terdengar samar karena tersumbat roti dibibirnya.
Tanpa ragu, gua cuma mengikuti saja instruksi dan arahan darinya. Dan hasilnya …
“Abis waktu lima jam cuma muter disitu-situ aja…”
Gua bicara sewot sambil memainkan sendok diatas piring yang sudah kosong.
Siang itu, gua dan Astrid baru saja selesai makan siang disebuah rumah makan khas Sunda yang terletak dibilangan Taman Kencana, Jalan Ciremai kota Bogor.
“Ya maap, gua kan nggak paham banget daerah sini..”
Astrid meminta maaf sambil memasukan suapan terakhir potongan ayam bakar yang tadi dipesannya.
“Kalo cuma, ngikutin arah petunjuk jalan sih gua juga bisa..”
“Yauda sih, nggak usah pake urat.. gua kan udah minta maaf..”
Astrid berkata sambil memasang wajah memelas, sementara tangan kirinya tetap asik dengan ponselnya.
Gua mengeluarkan ponsel milik gua dan mulai menghubungi Taufik. Nada sambung terdengar cukup lama, sampai akhirnya sebuah suara unik terdengar di ujung sana.
“Halo..”
“Taufik?”
“Iyah, saha iee?”
“Solichin, yang kemaren..”
“Oooh.. iya aa.. kenapa?”
“Lu dimana?”
“Di kerjaan aa, kunaon?”
“Gua jemput sekarang ya, kita perlu elu banget nih..”
“Waduh.. saya juga baru aja masuk inih aa..”
“Udah pokoknya gua jemput sekarang..”
Gua mengakhiri pembicaraan dan buru-buru berdiri. Beberapa puluh menit kemudian gua dan Astrid sudah berada di pelataran parkir minimart tempat Taufik bekerja. Gua membunyikan klakson beberapa kali sampai akhirnya Taufik keluar tergopoh-gopoh dari dalam toko.
“Kerjaan saya gimana atuh, aa..?”
“Udah bolos deeh.. sehari lagi.. “
Taufik terlihat kebingungan, celinagk-celinguk sambil menggaruk-garuk kepalanya.
“Yaudah, saya ngomong ke temen saya dulu yah sekedap..”
Taufik bergegas masuk kembali kedalam minimart, beberapa menit kemudian dia sudah setengah berlari keluar, masih mengenakan seragamnya dan kali ini dengan menggendong tas ranselnya.
Dan ternyata proses dan hasilnya (dengan atau tanpa Taufik) benar-benara berbeda, kali ini nggak ada kejadian salah masuk gang, salah belok dan nggak lagi terdengar ; ‘eh ini bukan ya jalannya’, ‘eh kayaknya belokan yang satu lagi deh, cin’, ‘eh, kok kita balik lagi kesini deh..’ atau ‘eh, stop.. stop.. gua mau beli cimol dulu..’. Kali ini kami sudah berada di jalan raya puncak kemudian berbelok ke kiri, sebuah tempat bernama mega mendung, gua menggeleng-gelengkan kepala sambil menatap kaca spion ke arah bangku penumpang dibelakang, tempat Astrid duduk.
“Tadi mah gua cuma muter-muter di kota bogor doang fik, kalo ini mah kayaknya bener nih, jalannya..”
Mendengar perkataan gua, Astrid yang tengah asik dengan ponselnya, duduk menegakkan tubuh dan membalas omongan gua;
“Ya jelas, si Taufik kan anak sini..”
Nggak lama berselang, setelah beberapa kali bertanya, kami sudah tiba didepan sebuah rumah, Taufik turun dari mobil dan gua menyusulnya. Hampir sama dengan kemarin, bermodal keramahan dan kemampuan bahasa sunda yang dimiliki Taufik dia berbincang sopan dengan seorang ibu yang tengah berdiri sambil menjemur pakaian didepan rumah tersebut. Gua memandang dari jarak yang nggak begitu jauh, mereka tangah berbincang, dan sesaat kemudian Taufik berbalik dan berjalan ke arah kami.
“Gimana Fik?”
“Ituh, ibu itu namanya Desita… bukan yah?”
“Iya sayangnya bukan..”
Gua tertunduk lesu kemudian kembali ke mobil.
---
Waktu menunjukkan pukul 4 sore, saat gua dan Taufik tengah duduk di sebuah warung yang berada di daerah Jasinga, Bogor. Sedangkan Astrid berada didalam masih berada didalam mobil, tengah asik dan tenggelam bersama ponselnya. Ini adalah tempat terakhir dari daftar nama dan alamat yang tempo hari diberikan Ari ke gua. Gua memegang kertas yang sudah telihat lecek dan kumal sambil mengangkatnya dihadapan Taufik.
“Punten aa.. mau nanya… “
“…”
“Aa.. teh intel ya?”
“Hah intel? Maksudnya..?”
“Itu loh, polisi yang nyamar-nyamar..”
“Bukan”
“Oh.. Dep Visitor?”
“Hah? Mungkin maksud lu Debt Collector kali..?”
“Iyah.. ituh maksudnya..”
“Bukan..”
“Trus apa? Saya teh bingung, disuru bantu nyari orang, tapi nggak tau wajah orang yang dicari…”
Gua mengeluarkan dompet dan menunjukkan foto Desita kepada Taufik.
“Namanya Desita, pacar gua..”
“Trus yang dimobil itu siapa, aa..”
Taufik bertanya sambil menunjuk ke arah mobil dengan dagunya.
“Ooh.. apa ya.. bingung gua juga fik..”
“Kenapa bingung atuh aa.. Teh Astrid mah geulis.. tapi yang difoto juga geulis.. ih menih bingung urang kalo jadi si aa mah..”
Gua menyeruput tegukan kopi terakhir sebelum kemudian bersiap berjalan mendatangi sebuah rumah yang tadi telah ditunjukkan oleh si pemilik warung. Taufik menghabiskan kopi ditangannya kemudian bersiap mengikuti gua.
“Lu tunggu disini fik, temenin Astrid.. gua sendiri aja..”
“Oh.. iya..”
Gua pun melangkahkan kaki, melintasi jalan setapak kecil yang dipenuhi rumput-rumput besar dan pagar yang terbuat dari bamboo dikedua sisinya. Sambil menggenggam kertas berisi daftar nama dan alamat gua memejamkan mata sejenak, kemudian mempercepat langkah menuju ke sebuah rumah mungil yang semakin lama semakin dekat.
Suasana sore di salah satu sudut terjauh kabupaten Bogor semakin mendung dengan angin yang membawa rasa dingin, menembus kulit. Gua menetapkan hati, bersiap untuk kemungkinan terburuk. Tetinggal satu nama dalam daftar pada print-out yang diberikan Ari, gua meremas kertas berisi daftar nama tersebut dan menjatuhkannya kebawah, kemudian menuruni anak tangga batu dan mulai memasuki pekarangan rumah tersebut.
“Assalamualaikum…”
Gua mengetuk pintunya pelan sambil mengucap salam.
“Waalaikum salam… saha?..”
Terdengar suara wanita menjawab salam gua dari dalam rumah, beberapa detik kemudian pintu pun terbuka.
cotel79 dan 15 lainnya memberi reputasi
16
Kutip
Balas