- Beranda
- Stories from the Heart
Everytime
...
TS
robotpintar
Everytime

Song by : Britney Spears
Notice me
Take my hand
Why are we Strangers when
Our love is strong?
Why carry on without me?
Everytime I try to fly,
I fall without my wings,
I feel so small.
I guess I need you baby.
And everytime
I sleep your in my dreams,
I see your face, it's haunting me.
I guess I need you baby.
I make believe
That you are here.
It's the only way
That I see clear.
What have I done?
You seem to moveon easy.
Everytime I try to fly,
I fall without my wings,
I feel so small,
I guess I need you baby.
And everytime I sleep
your in my dreams,
I see your face, you're haunting me
I guess I need you baby.
I may have made it rain,
Please forgive me.
My weakness caused you pain,
And this song's my sorry...
At night I pray,
That soon your face
Will fade away.
Take my hand
Why are we Strangers when
Our love is strong?
Why carry on without me?
Everytime I try to fly,
I fall without my wings,
I feel so small.
I guess I need you baby.
And everytime
I sleep your in my dreams,
I see your face, it's haunting me.
I guess I need you baby.
I make believe
That you are here.
It's the only way
That I see clear.
What have I done?
You seem to moveon easy.
Everytime I try to fly,
I fall without my wings,
I feel so small,
I guess I need you baby.
And everytime I sleep
your in my dreams,
I see your face, you're haunting me
I guess I need you baby.
I may have made it rain,
Please forgive me.
My weakness caused you pain,
And this song's my sorry...
At night I pray,
That soon your face
Will fade away.
FAQ (Frequently asked questions)
Indeks Cerita :
Quote:
Episode 1
Bagian #1
Bagian #2
Bagian #3
Bagian #4
Bagian #5
Bagian #6
Episode 2
Bagian #7
Bagian #8
Bagian #9
Bagian #10
Bagian #11
Bagian #12
Bagian #13
Bagian #14
Bagian #15
Bagian #16
Bagian #17
Bagian #18
Bagian #19
Bagian #20
Episode 3
Bagian #20A
Bagian #20B
Bagian #20C
Bagian #20D
Episode 4
Bagian #21
Bagian #22
Bagian #23
Bagian #24
Bagian #25
Bagian #26
Bagian #27
Bagian #28
Bagian #29
Bagian #30
Episode 5
Bagian #31
Bagian #32
Bagian #33
Bagian #34
Bagian #35
Bagian #36
Bagian #37
Bagian #38
Episode 6
Bagian #39
Bagian #40
Bagian #41
Bagian #42
Bagian #43
Bagian #44
Bagian #45
Bagian #46
Bagian #47
Episode 7
Bagian #48
Bagian #49
Bagian #50
Bagian #51
Bagian #52 (End)
Bagian #1
Bagian #2
Bagian #3
Bagian #4
Bagian #5
Bagian #6
Episode 2
Bagian #7
Bagian #8
Bagian #9
Bagian #10
Bagian #11
Bagian #12
Bagian #13
Bagian #14
Bagian #15
Bagian #16
Bagian #17
Bagian #18
Bagian #19
Bagian #20
Episode 3
Bagian #20A
Bagian #20B
Bagian #20C
Bagian #20D
Episode 4
Bagian #21
Bagian #22
Bagian #23
Bagian #24
Bagian #25
Bagian #26
Bagian #27
Bagian #28
Bagian #29
Bagian #30
Episode 5
Bagian #31
Bagian #32
Bagian #33
Bagian #34
Bagian #35
Bagian #36
Bagian #37
Bagian #38
Episode 6
Bagian #39
Bagian #40
Bagian #41
Bagian #42
Bagian #43
Bagian #44
Bagian #45
Bagian #46
Bagian #47
Episode 7
Bagian #48
Bagian #49
Bagian #50
Bagian #51
Bagian #52 (End)
Quote:
Diubah oleh robotpintar 04-07-2014 13:30
gocharaya dan 103 lainnya memberi reputasi
102
600.3K
Kutip
1.5K
Balasan
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#545
Spoiler for Bagian #28:
Taufik, pria muda si kasir minimart sudah berdiri didepan pintu hotel saat gua turun, gua memberikan kode kepadanya dengan lambaian tangan agar masuk kedalam lobi. Dengan canggungnya, Taufik melintasi pintu kaca besar otomatis dan berjalan menghampiri gua.
“Saya tunggu diluar ajah atuh, aa..”
“Udah sarapan?”
Taufik menggeleng, gua meraih bahunya dan mengajaknya masuk kedalam restaurant buffet yang berada disudut belakang lobi hotel, sambil menunggu Astrid yang masih belum selesai bersiap-siap gua duduk disalah satu meja makan yang tersedia. Taufik baru saja kembali dari meja prasmanan yang menyajikan berbagai menu makan pagi yang sudah disediakan dan duduk disebelah gua.
“Ini nggak apa-apa aa, saya teh makan disini..”
“Nggak papa..”
Gua memandang piring lebar yang digunakan Taufik namun hanya terisi sedikit. Gua berdiri dan menariknya kembali ke meja tempat hidangan tersedia, kemudian meletakkan beraneka roti, kue-kue dan salad memenuhi piringnya.
“Ini udah gua bayar, lu makan sampe muntah juga nggak papa, justru kalo lu ngambilnya sedikit malah rugi...”
Taufik cuma tersenyum kemudian duduk kembali dan mulai menikmati sarapannya.
Gua mengeluarkan print-out daftar alamat dan merentangkannya dimeja, Taufik melihat sekilas, kemudian wajahnya berubah menjadi sedikit bingung.
“Kita mulai dari yang mana dulu, fik?”
Gua bertanya sambil meletakkan telapak tangan diujung kertas.
“Waduh.. kok sekarang jadi banyak gini, aa.. perasaan kemaren teh cuma lima..”
Taufik menjelaskan sebab kebingungannya sambil mulutnya tetap mengunyah makanan.
“Pokoknya tenang aja, ntar duitnya gua tambahin.. yang penting lu bantu gua, sampe selesai..”
“Bukan masalah duitnya aa.. saya kan nggak bisa bolos terus atuh..”
“Yaudah sebisa-nya lu aja deh..”
Taufik mengangguk setuju.
Nggak seberapa lama, gua dikejutkan dengan kehadiran seorang gadis cantik yang tampil sporty dengan balutan kaos krem, celana denim biru muda dan sepatu kanvas hitam. Astrid berdiri sambil berkacak pinggang dihadapan gua, sementara gua hanya bisa mengerynitkan dahi. Astrid memandang heran ke arah Taufik kemudian menunjuk dengan jarinya, sementara bibirnya digerakan tanpa suara, yang kurang lebih bilang; “itu siapa?”
“Fik..kenalin nih.. Astrid... Astrid kenalin ini akamsi..”
“Hah akamsi?”
“Anak Kampung Sini..”
“Oh orang bogor ya?”
Astrid bertanya sambil menyalami Taufik, yang kini sudah selesai dengan sarapannya.
“Eh, katanya orang sunda nggak bisa ngomong ‘F’ ya..”
“Ah bisa kok teh..”
Taufik menjawab pertanyaan Astrid yang seperti meledek.
“Nama lo siapa?”
“Taupik..”
Hening sebentar, kemudian kami bertiga tersenyum.
“Terbukti kan..?”
Astrid bicara sambil berdiri kemudian bergegas menuju ke meja prasmanan untuk sarapan.
---
Jam digital didashboard mobil gua berkedip kedip, angkanya menunjukkan angka 10. Kami bertiga sudah berada di jalan kota bogor, mengikuti instruksi Taufik yang duduk disebelah gua sambil sesekali bilang; “kiri aa..”, “Kanan..”, “Etaa..etaa..aya pos ke kiri..”. Gua dan Astrid hanya bisa tersenyum kecil mendengar gaya bicara Taufik yang penuh ekspresi apalagi saat dia mulai mengutuki motor-motor yang berseliweran dan hampir menyenggol mobil dengan logat sunda-nya yang kental.
Memang ada beberapa orang yang pernah bilang ke gua, kalau orang sunda itu kurang cocok jika berpacaran bahkan sampai menikah dengan orang jawa. Coba bayangkan jika ada sepasang suami-istri, suaminya jawa sedangkan istrinya sunda; si istri sedang menyiapkan makan untuk suaminya tercinta, kemudian si istri bilang;
“Pah.. tolong eta piring na di cokot keun..” (Pah, tolong itu ambilkan piring *cokot dalam bahasa sunda artinya ‘ambil’)
Si Suami bingung, bercampur kesal. Kemudian membanting piring, keributan pun terjadi.
“Edaan.. bojo edan.. moso suami kok dikon nyokot piring” (Gila.. istri gila.. masa suami kok disuruh gigit piring *cokot dalam bahasa jawa artinya ‘gigit’).
Pernah juga ada kejadian disalah satu toilet umum; seorang jawa tengah diare dan buang hajat. Sementara diluar orang sunda tengah mengantri, menunggu giliran untuk buang hajat (juga). Setelah selesai, karena mungkin ingin bermaksud ramah, si sunda berkata ke si jawa;
“Atos pak?” (Sudah selesai pak? *Atos dalam bahasa sunda artinya ‘sudah’)
“Ndasmu! Boro-boro atos.. mencret!!” (Palalu! Boro-boro keras.. mencret!! *Atos dalam bahasa jawa artinya ‘keras’)
Tapi, itu semua hanya guyon dan candaan yang pernah disampaikan oleh salah satu guru bahasa Indonesia gua waktu SMP dulu, perihal pentingnya penggunaan bahasa Indonesia. Saat ini buat gua nggak penting siapa dan dari suku apa dia, selama seseorang mampu menerima pasangan apa adanya maka bahasa, suku, ras, adat istiadat bukanlah halangan, karena cinta bisa menyelaraskan semua; sepertinya begitu dan mudah-mudahan bisa begitu.
---
Gua memperlambat laju mobil dan menepikannya disisi jalan sesuai yang diinstruksikan oleh Taufik. Kami bertiga turun dari mobil, sementara Taufik sambil menatap keratas berisi daftar nama dan alamat berjalan cepat menuju ke ujung jalan yang semakin menyempit. Gua dan Astrid mengikutinya. Taufik menghentikan langkahnya didepan sebuah warung, kemudian bertanya kepada orang yang berada didalamnya, dia keluar lagi sambil menunjukkan sebuah gang dan kami bertiga berjalan menuju ke gang tersebut. Setelah melalui jalan kecil berliku dan beberapa kali bertanya kami akhirnya sampai didepan sebuah rumah mungil, dimana dibagian depannya tengah duduk seorang pria tua sambil membaca koran. Taufik menghampiri pria tua tersebut.
“Punten, Bapak..., Desita na nyondong?”
Taufik bertanya ke pria tersebut sambil sedikit membungkukkan tubuhnya.
“Oh.. nya muhun, mangga kalebet.. ..des..des..aya nu milarian..”
Pria tersebut menjawab kemudian berteriak kearah dalam rumah dengan bahasa yang gua nggak mengerti. Beberapa detik kemudian seorang wanita muda muncul dari dalam rumah.
“Iyak.. rupina aya naon kitu..?”
“Ibu nu namina, Desita, sanes..?”
Taufik bertanya ke wanita itu.
“Muhun..”
Wanita muda itu menjawab sambil mengangguk dan menatap kami heran.
Taufik berbalik dan menatap gua, dia mengangkat kedua matanya, sebuah isyarat yang gua tangkap sebagai pertanyaan ; ‘ini bukan orangnya?’, gua menggeleng pelan kemudian buru-buru menarik lengan Astrid dan pergi meninggalkan Taufik yang terlihat masih bicara sopan sambil berkali kali membungkuk kemudian berjalan cepat menyusul gua.
Satu jam berikutnya kami bertiga sudah berada disebuah komplek perumahan yang letaknya nggak begitu jaug dari stasiun Bogor. Taufik menepuk-nepuk lengan kiri gua, memberikan isyarat untuk berhenti. Gua menepikan mobil dan mematikan mesin, kemudian menyusul Taufik yang sudah turun lebih dahulu. Pria muda asli bogor ini benar-benar cekatan, gesit, tidak banyak ‘cingcong’ dan sepertinya bisa diandalkan. Gua dan Astrid berjalan menyusul Taufik yang sudah berdiri didepan pagar hijau sebuah rumah, didalamnya berdiri seorang ibu yang tengah menggendong bayi. Dengan sedikit berbasa-basi Taufik mulai mengeluarkan ‘jurus’ pertanyaan yang sama dengan yang tadi dia tujukan di alamat sebelumnya.
Ibu itu, mengangguk. Mengakui dirinya bernama Desita, gua hanya menatap Taufik sambil menggeleng kemudian berbalik dan berjalan lesu kembali ke mobil.
Didalam mobil, Taufik dengan penuh semangat mengeluarkan kertas print-out yang berisi daftar nama dan alamat kemudian mencoret dua nama. Dia tersenyum kemudian memandang gua;
“Masih.. tiga belas lagi aa.. tenang aja.. pasti ketemu...”
Gua tersenyum kecut. Kembali terngiang dibenak gua pertanyaan Astrid semalam;
“Kalo seandainya.. seandainya lho… lo udah nyari dan ternyata cewek yang lo cari nggak ketemu, gimana?...”
Gua memandang Astrid yang duduk dibangku penumpang dibelakang melalui kaca spion, dan mata kamu beradu. Dia tersenyum kemudian menepuk pundak gua sambil berbisik; “Semangatt!!...”.
---
Siang menjelang sore; gua mengusap wajah kemudian menoleh ke arah Astrid yang kini bertukar posisi dengan Taufik yang katanya nggak kuat duduk didepan karena dinginnya AC, Astrid tengah duduk sambil memandang keluar jendela yang basah terkena tetesan-tetesan air hujan.
Sore itu, kota bogor diguyur hujan yang cukup deras ditambah terjebak dalam kemacetan dalam jalanan kota yang nggak begitu familiar membuat tingkat stress kami berdua memuncak, tapi tidak begitu halnya dengan Taufik, dibangku penumpang bagian belakang dia sedang duduk santai sambil mendengarkan lagu-lagu melalui headset dari ponselnya.
Gua mengambil kertas print-out yang berisi daftar nama dan alamat, memandangi beberapa nama yang sudah dicoret oleh Taufik dan kini menyisakan 5 nama. Gua menyerahkan kertas tersebut ke Taufik, dia menerimanya kemudian melepas headset dari telinganya;
“Kenapa Aa?”
“Itu sisa lima nama, kira-kira keburu nggak hari ini..?”
Gua bertanya sambil memandang wajah Taufik melalui kaca spion.
“Hese.. atuh aa.. ini kan emang saya sisain yang jauh-jauh.. yang disekitar kota bogor mah sudah semuanya..”
“Maksudnya? Nggak keburu gitu...?”
Gua menoleh kebelakang sambil bertanya.
“Hooh.. esuk aja dilanjut lagi aa.. “
“Oh gitu..”
“Ini sisanya didaerah Gadog, Cisarua, Leuwiliang sama Jasinga.. ”
“Jauh, fik..?”
“Lumayan Aa..”
Gua menggaruk-garuk kepala sambil mengangguk.
Sesiangan ini gua, Astrid dan Taufik sudah berkeliling hampir kepelosok kota bogor, menghampiri sepuluh nama ‘Desita’ yang tertera pada print-out.
Secara perhitungan, kemungkinan gua bisa menemukan Desita dengan metode tracking melalui nomor ponsel tersisa sekitar 33%. Dalam dunia perbankan mungkin angak 33% tergolong besar tapi dalam hal analisa probabilitas angka tersebut bisa membuat ketar-ketir banyak orang, dan hal itu yang gua rasakan sekarang. Hidup gua kedepannya ditentukan oleh sebuah angka; 33%.
“Saya tunggu diluar ajah atuh, aa..”
“Udah sarapan?”
Taufik menggeleng, gua meraih bahunya dan mengajaknya masuk kedalam restaurant buffet yang berada disudut belakang lobi hotel, sambil menunggu Astrid yang masih belum selesai bersiap-siap gua duduk disalah satu meja makan yang tersedia. Taufik baru saja kembali dari meja prasmanan yang menyajikan berbagai menu makan pagi yang sudah disediakan dan duduk disebelah gua.
“Ini nggak apa-apa aa, saya teh makan disini..”
“Nggak papa..”
Gua memandang piring lebar yang digunakan Taufik namun hanya terisi sedikit. Gua berdiri dan menariknya kembali ke meja tempat hidangan tersedia, kemudian meletakkan beraneka roti, kue-kue dan salad memenuhi piringnya.
“Ini udah gua bayar, lu makan sampe muntah juga nggak papa, justru kalo lu ngambilnya sedikit malah rugi...”
Taufik cuma tersenyum kemudian duduk kembali dan mulai menikmati sarapannya.
Gua mengeluarkan print-out daftar alamat dan merentangkannya dimeja, Taufik melihat sekilas, kemudian wajahnya berubah menjadi sedikit bingung.
“Kita mulai dari yang mana dulu, fik?”
Gua bertanya sambil meletakkan telapak tangan diujung kertas.
“Waduh.. kok sekarang jadi banyak gini, aa.. perasaan kemaren teh cuma lima..”
Taufik menjelaskan sebab kebingungannya sambil mulutnya tetap mengunyah makanan.
“Pokoknya tenang aja, ntar duitnya gua tambahin.. yang penting lu bantu gua, sampe selesai..”
“Bukan masalah duitnya aa.. saya kan nggak bisa bolos terus atuh..”
“Yaudah sebisa-nya lu aja deh..”
Taufik mengangguk setuju.
Nggak seberapa lama, gua dikejutkan dengan kehadiran seorang gadis cantik yang tampil sporty dengan balutan kaos krem, celana denim biru muda dan sepatu kanvas hitam. Astrid berdiri sambil berkacak pinggang dihadapan gua, sementara gua hanya bisa mengerynitkan dahi. Astrid memandang heran ke arah Taufik kemudian menunjuk dengan jarinya, sementara bibirnya digerakan tanpa suara, yang kurang lebih bilang; “itu siapa?”
“Fik..kenalin nih.. Astrid... Astrid kenalin ini akamsi..”
“Hah akamsi?”
“Anak Kampung Sini..”
“Oh orang bogor ya?”
Astrid bertanya sambil menyalami Taufik, yang kini sudah selesai dengan sarapannya.
“Eh, katanya orang sunda nggak bisa ngomong ‘F’ ya..”
“Ah bisa kok teh..”
Taufik menjawab pertanyaan Astrid yang seperti meledek.
“Nama lo siapa?”
“Taupik..”
Hening sebentar, kemudian kami bertiga tersenyum.
“Terbukti kan..?”
Astrid bicara sambil berdiri kemudian bergegas menuju ke meja prasmanan untuk sarapan.
---
Jam digital didashboard mobil gua berkedip kedip, angkanya menunjukkan angka 10. Kami bertiga sudah berada di jalan kota bogor, mengikuti instruksi Taufik yang duduk disebelah gua sambil sesekali bilang; “kiri aa..”, “Kanan..”, “Etaa..etaa..aya pos ke kiri..”. Gua dan Astrid hanya bisa tersenyum kecil mendengar gaya bicara Taufik yang penuh ekspresi apalagi saat dia mulai mengutuki motor-motor yang berseliweran dan hampir menyenggol mobil dengan logat sunda-nya yang kental.
Memang ada beberapa orang yang pernah bilang ke gua, kalau orang sunda itu kurang cocok jika berpacaran bahkan sampai menikah dengan orang jawa. Coba bayangkan jika ada sepasang suami-istri, suaminya jawa sedangkan istrinya sunda; si istri sedang menyiapkan makan untuk suaminya tercinta, kemudian si istri bilang;
“Pah.. tolong eta piring na di cokot keun..” (Pah, tolong itu ambilkan piring *cokot dalam bahasa sunda artinya ‘ambil’)
Si Suami bingung, bercampur kesal. Kemudian membanting piring, keributan pun terjadi.
“Edaan.. bojo edan.. moso suami kok dikon nyokot piring” (Gila.. istri gila.. masa suami kok disuruh gigit piring *cokot dalam bahasa jawa artinya ‘gigit’).
Pernah juga ada kejadian disalah satu toilet umum; seorang jawa tengah diare dan buang hajat. Sementara diluar orang sunda tengah mengantri, menunggu giliran untuk buang hajat (juga). Setelah selesai, karena mungkin ingin bermaksud ramah, si sunda berkata ke si jawa;
“Atos pak?” (Sudah selesai pak? *Atos dalam bahasa sunda artinya ‘sudah’)
“Ndasmu! Boro-boro atos.. mencret!!” (Palalu! Boro-boro keras.. mencret!! *Atos dalam bahasa jawa artinya ‘keras’)
Tapi, itu semua hanya guyon dan candaan yang pernah disampaikan oleh salah satu guru bahasa Indonesia gua waktu SMP dulu, perihal pentingnya penggunaan bahasa Indonesia. Saat ini buat gua nggak penting siapa dan dari suku apa dia, selama seseorang mampu menerima pasangan apa adanya maka bahasa, suku, ras, adat istiadat bukanlah halangan, karena cinta bisa menyelaraskan semua; sepertinya begitu dan mudah-mudahan bisa begitu.
---
Gua memperlambat laju mobil dan menepikannya disisi jalan sesuai yang diinstruksikan oleh Taufik. Kami bertiga turun dari mobil, sementara Taufik sambil menatap keratas berisi daftar nama dan alamat berjalan cepat menuju ke ujung jalan yang semakin menyempit. Gua dan Astrid mengikutinya. Taufik menghentikan langkahnya didepan sebuah warung, kemudian bertanya kepada orang yang berada didalamnya, dia keluar lagi sambil menunjukkan sebuah gang dan kami bertiga berjalan menuju ke gang tersebut. Setelah melalui jalan kecil berliku dan beberapa kali bertanya kami akhirnya sampai didepan sebuah rumah mungil, dimana dibagian depannya tengah duduk seorang pria tua sambil membaca koran. Taufik menghampiri pria tua tersebut.
“Punten, Bapak..., Desita na nyondong?”
Taufik bertanya ke pria tersebut sambil sedikit membungkukkan tubuhnya.
“Oh.. nya muhun, mangga kalebet.. ..des..des..aya nu milarian..”
Pria tersebut menjawab kemudian berteriak kearah dalam rumah dengan bahasa yang gua nggak mengerti. Beberapa detik kemudian seorang wanita muda muncul dari dalam rumah.
“Iyak.. rupina aya naon kitu..?”
“Ibu nu namina, Desita, sanes..?”
Taufik bertanya ke wanita itu.
“Muhun..”
Wanita muda itu menjawab sambil mengangguk dan menatap kami heran.
Taufik berbalik dan menatap gua, dia mengangkat kedua matanya, sebuah isyarat yang gua tangkap sebagai pertanyaan ; ‘ini bukan orangnya?’, gua menggeleng pelan kemudian buru-buru menarik lengan Astrid dan pergi meninggalkan Taufik yang terlihat masih bicara sopan sambil berkali kali membungkuk kemudian berjalan cepat menyusul gua.
Satu jam berikutnya kami bertiga sudah berada disebuah komplek perumahan yang letaknya nggak begitu jaug dari stasiun Bogor. Taufik menepuk-nepuk lengan kiri gua, memberikan isyarat untuk berhenti. Gua menepikan mobil dan mematikan mesin, kemudian menyusul Taufik yang sudah turun lebih dahulu. Pria muda asli bogor ini benar-benar cekatan, gesit, tidak banyak ‘cingcong’ dan sepertinya bisa diandalkan. Gua dan Astrid berjalan menyusul Taufik yang sudah berdiri didepan pagar hijau sebuah rumah, didalamnya berdiri seorang ibu yang tengah menggendong bayi. Dengan sedikit berbasa-basi Taufik mulai mengeluarkan ‘jurus’ pertanyaan yang sama dengan yang tadi dia tujukan di alamat sebelumnya.
Ibu itu, mengangguk. Mengakui dirinya bernama Desita, gua hanya menatap Taufik sambil menggeleng kemudian berbalik dan berjalan lesu kembali ke mobil.
Didalam mobil, Taufik dengan penuh semangat mengeluarkan kertas print-out yang berisi daftar nama dan alamat kemudian mencoret dua nama. Dia tersenyum kemudian memandang gua;
“Masih.. tiga belas lagi aa.. tenang aja.. pasti ketemu...”
Gua tersenyum kecut. Kembali terngiang dibenak gua pertanyaan Astrid semalam;
“Kalo seandainya.. seandainya lho… lo udah nyari dan ternyata cewek yang lo cari nggak ketemu, gimana?...”
Gua memandang Astrid yang duduk dibangku penumpang dibelakang melalui kaca spion, dan mata kamu beradu. Dia tersenyum kemudian menepuk pundak gua sambil berbisik; “Semangatt!!...”.
---
Siang menjelang sore; gua mengusap wajah kemudian menoleh ke arah Astrid yang kini bertukar posisi dengan Taufik yang katanya nggak kuat duduk didepan karena dinginnya AC, Astrid tengah duduk sambil memandang keluar jendela yang basah terkena tetesan-tetesan air hujan.
Sore itu, kota bogor diguyur hujan yang cukup deras ditambah terjebak dalam kemacetan dalam jalanan kota yang nggak begitu familiar membuat tingkat stress kami berdua memuncak, tapi tidak begitu halnya dengan Taufik, dibangku penumpang bagian belakang dia sedang duduk santai sambil mendengarkan lagu-lagu melalui headset dari ponselnya.
Gua mengambil kertas print-out yang berisi daftar nama dan alamat, memandangi beberapa nama yang sudah dicoret oleh Taufik dan kini menyisakan 5 nama. Gua menyerahkan kertas tersebut ke Taufik, dia menerimanya kemudian melepas headset dari telinganya;
“Kenapa Aa?”
“Itu sisa lima nama, kira-kira keburu nggak hari ini..?”
Gua bertanya sambil memandang wajah Taufik melalui kaca spion.
“Hese.. atuh aa.. ini kan emang saya sisain yang jauh-jauh.. yang disekitar kota bogor mah sudah semuanya..”
“Maksudnya? Nggak keburu gitu...?”
Gua menoleh kebelakang sambil bertanya.
“Hooh.. esuk aja dilanjut lagi aa.. “
“Oh gitu..”
“Ini sisanya didaerah Gadog, Cisarua, Leuwiliang sama Jasinga.. ”
“Jauh, fik..?”
“Lumayan Aa..”
Gua menggaruk-garuk kepala sambil mengangguk.
Sesiangan ini gua, Astrid dan Taufik sudah berkeliling hampir kepelosok kota bogor, menghampiri sepuluh nama ‘Desita’ yang tertera pada print-out.
Secara perhitungan, kemungkinan gua bisa menemukan Desita dengan metode tracking melalui nomor ponsel tersisa sekitar 33%. Dalam dunia perbankan mungkin angak 33% tergolong besar tapi dalam hal analisa probabilitas angka tersebut bisa membuat ketar-ketir banyak orang, dan hal itu yang gua rasakan sekarang. Hidup gua kedepannya ditentukan oleh sebuah angka; 33%.
cotel79 dan 16 lainnya memberi reputasi
17
Kutip
Balas