“Cin, gua lapeer…”
Gua menoleh ke arah bangku penumpang disebelah kiri, Astrid duduk sambil meringkuk memainkan sabuk pengaman, sejak masuk tol Jagorawi tadi tak henti-hentinya dia mengeluh perihal ‘lelah’, ‘ngantuk’ dan ‘lapar’. Gua nggak menggubrisnya, hanya sesekali meliriknya sambil memperhatikannya menggigit-gigit sabuk pengaman.
“Rusak ntar tuh.. lu gigitin..”
“Biarin!!.. tuh.. tuh ada tulisannya 2 km lagi rest area.. laper nih..”
Astrid tiba-tiba melonjak dari kursinya saat melihat semacam papan marka berwarna biru bertuliskan ‘Rest Area 2 Km’. Gua menghela nafas panjang kemudian mengangguk. Tepat dua kilometer berikutnya gua membelokan kendaraan masuk kesebuah jalan yang bercabang, menuju ke Rest Area di Kilometer 10 Tol Jagorawi, Cibubur. Rest Area ini boleh dibilang sedikit berbeda dengan kebanyakan Rest Area yang berada disepanjang jalan Tol Jagorawi, direst area ini hampir semua fasilitas tersedia dari mulai masjid, mini market, tempat makan bahkan tempat pijat refleksi.
Gua memarkirkan kendaraan disalah satu sudut area parkir, saat itu jam menunjukkan pukul delapan malam. Astrid buru-buru keluar dari mobil, dengan setengah berlari dia bergegas menuju ke toilet sementara gua mengeluarkan kertas hasil print-out yang tadi pagi diberikan oleh Ari, kertas yang sudah penuh dengan coretan-coretan tinta pulpen berwarna biru. Gua memandang nama-nama yang tersisa, list nama yang nggak tercoret, ada 15 nama Desita disana lengkap dengan alamatnya; Bogor. Gua memandang nanar dan mencoba berfikir realistis, sambil memandang jam digital pada dashboard mobil, gua menggeleng, sepertinya nggak mungkin kalau pencarian harus dilakukan mala mini. Mungkin benar pendapat Astrid tadi; untuk mulai berangkat ke bogor dan mulai mencari besok pagi. Gua membuka pintu dan turun dari mobil, berjalan pelan ke arah deretan meja dan kursi dengan atap payung besar didepan Cibubur Square, Astrid datang menyusul gua sambil berlari-lari kecil kemudian buru-buru menjatuhkan diri disalah satu kursi disana.
“Kayaknya besok aja deh kita nyari-nya..”
Gua berkata sambil memandang Astrid yang sedang menikmati Nasi goreng sambil sesekali sibuk dengan ponselnya.
“Kan tadi gua udah bilang begitu, ngeyel.. lo nggak makan?”
“Nggak ah.. males..”
Gua menjawab. Dalam kondisi seperti ini, gua sanggup mengabaikan rasa lapar yang datang. Tapi, entah sampai berapa lama.
“Makan dong, ntar kalo lo sakit trus mati, siapa yang mulangin gua ke jogja?”
Gua hanya menggeleng lesu, sambil tetap memandangi kertas berisi list nama ditangan gua.
Astrid menghabiskan suapan terakhir nasi gorengnya, menyeruput cepat jus tomat dihadapannya dan beranjak pergi. Nggak lama dia sudah kembali dengan beberapa potong roti keju-cokelat dan sekotak susu dingin, kemudian menyodorkannya dihadapan gua.
“Tuh makan..”
Gua memandangnya.
“Apa? Disuruh makan malah melotot.. masih mending ada yang ngasih makan, noh orang-orang di etiopia, mau makan aja susah..”
Astrid bicara sambil bertolak pinggang, kemudian duduk sambil menyilangkan kaki dan senyum-senyum sendiri memandangi ponselnya. Sementara gua meraih roti dimeja, membuka kemasannya dan mulai memakannya.
---
Satu jam berikutnya, mobil yang gua kendarai mulai memasuki kota Bogor. Lalu lintas disini, di Bogor nggak jauh berbeda dengan di Jakarta, macet dimana-mana dan penyebabnya pun hampir sama; angkutan umum yang ‘ngetem’ dan berhenti seenaknya, tapi bedanya angkot-angkot disini terlihat lebih ‘gaul’, tampilannya lebih elegan, nggak terlihat bulukan dan kusam, bahkan sekilas gua melihat sebuah angkot biru dengan lampu led warna-warni didalamnya ditambah body-kit pada bumper, lengkap dengan dentuman sound system yang menggelegar.
Mobil gua mulai memasuki pelataran parkir sebuah hotel berbintang yang terletak persis dipusat kota Bogor. Setelah memarkirkan mobil, gua menyusul Astrid yang sudah lebih dulu tiba di –frontdesk lobi hotel.
“Selamat malam Bapak.. Ibu.. mau kamar yang Standart, Deluxe atau yang Superior..?”
Seorang wanita dengan rambut disanggul tinggi, mengapit kedua tangannya didada, persis seperti seorang tengah bersemedi sambil tersenyum dan menawarkan tipe kamar ke gua.
“Yang Superior-nya dua mbak…”
“Em..yang superior sudah untuk dua orang pak..”
Si wanita frontdesk officermencoba menjelaskan ke gua.
Gua hanya menggeleng dan kembali mengulang perkataan gua. Si wanita frontdesk officer terlihat sedikit bingung sampai Astrid maju ke depan meja dan menjelaskan kalau kami bukan pasangan suami istri. Wanita tersebut kemudian menundukkan kepala sambil berulangkali meminta maaf, gua hanya tersenyum kecil, kemudian mengambil dompet menyerahkan KTP dan kartu kredit keatas meja.
Dan malam itu, hampir sama dengan malam-malam sebelumnya. Gua berbaring diatas ranjang kingsize empuk memandang langit-langit kamar yang hanya diterangi lampu meja redup, sambil membalas senyum manis Desita yang muncul dilangit-langit kamar. Sesaat gua teringat dengan lembaran kertas yang berisi list nama-nama didalamnya, gua bangun dan mencoba mencari dalam saku jaket yang tergeletak disofa, nggak ada. Gua keluar dari kamar dan mencoba mengetuk pintu kamar Astrid yang terletak disebelah gua, nggak ada jawaban. Berulang kali gua mencoba dan masih belum ada jawaban, gua bergegas turun ke bawah, ke lobi.
“Mbak kamar 608, nitip kunci nggak?”
Gua bertanya kepada seorang pria yang berada di meja resepsionis sambil mencoba mengatur nafas. Pria itu mengecek bilik-bilik kecil kosong dibelakangnya dan menggeleng.
“Bisa tolong ditelponin ke kamarnya..”
“Bisa pak, sebentar ya..”
Pria itu kemudian mengangkat gagang telepon dan mencoba menghubungi kamar 608, kamarnya Astrid. Cukup lama gua menunggu sampai akhirnya pria tersebut menggeleng sambil meletakkan kembali gagang telepon.
“Nggak ada jawaban pak..”
Sementara wanita yang tadi sempat melayani proses check-in gua muncul dari sebuah ruanan dibalik meja resepsionis. Gua mengajukan pertanyaan ke wanita itu.
“Mbak, liat perempuan yang tadi sama saya?”
“Oh, tadi sih dia keluar pak, tapi nggak pesan apa-apa..”
“Bawa kertas?”
Gua bertanya, sementara wanita tersebut terlihat mencoba mengingat-ingat.
“Mmmm ….Kayaknya bawa deh pak..”
Deg.
Gua berjalan cepat menuju pintu keluar dan memandang ke sekeliling. Gua menggaruk-garuk kepala, mencoba berusaha berfikir kemana perginya si Astrid. Kalau dia hanya keluar sebentar, apa perlunya harus membawa kertas tersebut, atau jangan-jangan.. Astrid pergi.. Pergi meninggalkan gua dengan membawa lembaran kertas yang berisi list nama bersamanya?