Kata orang cinta itu bisa hadir karena terbiasa, kalau mendengar pepatah orang-orang Jogja ; “Witing Tresno Jalaran Soko Kulino”yang kurang lebih artinya “Cinta tumbuh karena terbiasa”. Memang kalau dipahami maksudnya, akan bisa dimengerti bahwa cinta itu akan bisa tumbuh karena terbiasa. Terbiasa bertemu, terbiasa bersama-sama. Kalaupun mungkin pada awalnya cinta itu belum tumbuh, tetapi karena sering bertemu dan sering bersama-sama akhirnya (bisa jadi) cinta itupun mulai tumbuh. Tapi, persetan dengan itu. Sudah hampir setengah bulan lebih gua bersama dengan Astrid, tapi nggak ada tanda-tanda cinta yang tumbuh. Yang hadir malah perasaan bosan setiap kali gua bertemu dengannya, tidak ada getaran, tidak ada perasaan bersemi-semi.
Dan sudah hampir satu minggu ini gua selalu berusaha menghindar dari Astrid. Gua tau rasanya ditinggalkan dan gua nggak mau mengecewakan orang dengan meninggalkannya. Desita memang meninggalkan gua, tapi Desita juga mengajarkan banyak hal; darinya gua tau bahwa uang bukan jawaban dari kebahagiaan, ya memang nggak bisa dipungkiri kalau uang itu bagian dari kebahagiaan tapi bukan segalanya. Dari dirinya gua belajar bagaimana menikmati hidup, bagaimana menghargai manusia lain tapi darinya juga gua malah menjadi sosok asing.
Gua berbaring diatas kasur sambil memeluk guling dan memandang foto Desita, sementara ponsel gua terus berdering, bergetar lembut diatas meja kayu, bersisian dengan foto Desita. Gua melihat layarnya, nama Astrid muncul disana. Gua menekan tombol power off dan meletakkannya kembali diatas meja. Nggak beberapa lama berselang, terdengan langkah kaki mendekati kamar gua dan mengetuk pintunya.
“Mas.. mas solichin.. dicari mbak Astrid.. ditunggu diluar..”
Terdengar suara Mursan; salah satu pekerja gua, pelan sambil mengetuk pintu.
Gua mengabaikannya. Tapi Mursan masih tak bergeming, dia tetap mengetuk pintu dan memanggil gua, suaranya memang lirih, tapi cukup mengganggu. Gua bangun, beranjak menghampiri pintu dan membukanya;
“Biarin aja..”
Gua menjawab sambil bersiap menutup pintu, kemudian tangan Mursan menahan pintunya.
“Nganu mas,.. mesak’e lho mash.. uwis ngenteni ket mau..” (Anu mas, kasian lho mas, sudah nunggu dari tadi)
Gua berdiri mematung. Kemudian membuka pintu lebar-lebar.
“Yaudah suru kesini deh..”
Suara langkah kaki perlahan terdengar mendekati kamar dan perlahan bayangan sosok seseorang menutupi cahaya yang masuk dari ruang tengah ke kamar gua, yang sengaja gua biarkan gelap. Astrid berjalan pelan melewati gua yang terduduk dilantai, dia membuka tirai jendela kamar, cahaya menyilaukan menerpa wajah, gua berusaha menghalaunya dengan telapak tangan, sambil memicingkan mata gua beringsut, berpindah ke tempat yang lebih teduh, ke sudut ruangan.
Setelah membuka tirai dan jendela, tanpa bicara Astrid membuang abu dan bungkus rokok yang berserakan, merapihkan kertas-kertas gambar kemudian duduk di kursi menghadap ke gua.
“Kenapa lo?”
“…”
Gua nggak menjawab, hanya berdiri kemudian mengambil sebatang rokok, menyulutnya dan menutup kembali tirai jendela.
Sementara Astrid memandang sekeliling, mengambil sebuah frame foto yang masih tergeletak dari atas tempat tidur gua dan meletakkannya di meja gambar gua.
“Cantik… ini yang namanya Desita?”
Gua menoleh, baru sadar kalu yang tadi diambil dan dipandanginya adalah foto Desita, buru buru gua mengambilnya dan menyimpannya kedalam lemari. No!, barang itu terlalu berharga untuk disentuh orang lain.
“Dia ninggalin lo? Atau …”
“….”
“Wajar sih kalo cowok kayak lo ditinggalin sama cewek.. “
“…”
Gua hanya terdiam, menghisap dalam-dalam rokok filter gua dan menghembuskannya ke dalam ruangan kamar yang gelap dan sumpek. Asapnya berputar-putar sebelum kemudian berbaur hilang. Sambil memainkan puntung rokok yang masih membara diantara sela-sela jari tangan kanan, gua duduk diatas kasur.
“Iya dia pergi, dan gua nggak tau kenapa dan kemana..?”
“Keluar negri?”
Gua menggeleng.
“Yaelah.. jadi cowo kok cemen banget..”
“Terakhir sih, informasi yang gua dapet, dia ke bogor..”
“Yaaaahhh, ciiiinn.. gua pikir mah kemana gitu, ke amerika, ostrali, maroko ato ke jerman.. timbangane bogor mah ciiil..”
Astrid berkata sambil menjentikkan jari kelingkingnya.
“Udah pernah nyoba nyari ke Bogor?”
Astrid bertanya dan gua hanya menggeleng. Memang gua belum pernah mencari Desita sampai ke Bogor, karena keterbatasan informasi.
Dengan asumsi jika Bogor yang dimaksud adalah kota Bogor; yang luasnya mencapai 118,50 dengan jumlah populasi sekitar 949.066 jiwa maka, mencari satu orang di bogor tanpa keterangan lengkap sama saja mencari satu jarum didalam gudang jarum yang dikelilingi tumpukan jerami. Apalagi kalau coba memasukkan Kabupaten Bogor (bukan kota bogor) kedalam parameter pencarian, maka ruang lingkup pencarian menjadi 2.071,21 km², dengan jumlah populasi 4.771.932 jiwa. Jika gua melakukan pencarian sendirian, manual, dengan mendata satu persatu kecamatan, kelurahan atau RT/RW setempat hanya dengan bermodal sebuah nama, maka hal tersebut hampir mustahil dilakukan, jika dilakukan pun persentasi berhasilnya hanya sekitar 0,7% itupun sukur-sukur gua belum mati ditengah pencarian.
Dulu gua pernah sempat mendapatkan Ide untuk memasang iklan diberbagai media cetak, semacam obituary tapi isinya informasi tentang Gua yang tengah mencari sosok Desita. Tapi, setelah berfikir efeknya bakal mengganggu ketentraman bisnis keluarga, gua membatalkannya.
“Oke sekarang, apa aja data-data yang lo punya dari Desita..?”
Astrid mengeluarkan ponselnya, bersiap mencatat. Gua hanya menggeleng lagi.
“Wah susah juga ya.. udah berapa lama dia pergi?”
Gua mengacungkan tiga jari gua. Astrid mengangguk sambil mengusap-usap dagunya.
“Udah lama juga ya… pernah nyoba hubungin nomornya lagi setelah sekian lama?”
Gua bengong, menggeleng, kemudian buru-buru menyalakan kembali ponsel yang tadi sempat gua matikan dan mencoba menghubungi nomor lama Desita.
Terlihat Astrid mengetuk-ngetukan jari dilututnya, kelihatanya dia tengah berfikir. Semenit kemudian dia membuka suara;
“Kalo dipikir-pikir, aneh juga ya.. seharusnya kalau ada nomor ponsel yang udah nggak aktif sampe tiga tahun, pasti dicabut sama pihak provider trus dijual lagi….”
Mendengar perkataan Astrid, sontak gua menjatuhkan rokok dari jari-jari tangan. Gua memandang Astrid tajam, menghampirinya kemudian mencium ujung kepalanya.
“Tumben pinter lu..”
Kemudian gua buru-buru keluar dari kamar, kembali lagi dengan sebuah koper berukuran sedang dan mulai memasukkan beberapa pakaian kedalamnya. Melihat hal tersebut Astrid hanya tersenyum ringan sambil mengetik sesuatu diponselnya.
---
Tiga jam berikutnya gua sudah duduk diantara deretan gerbong Taksaka Malam menuju ke Jakarta.