Everytime I try to fly,
I fall without my wings,
I feel so small.
I guess I need you baby.
And everytime
I sleep your in my dreams,
I see your face, it's haunting me.
I guess I need you baby.
Gua berbaring menatap kosong ke langit-langit kamar, sementara stereo set disudut kamar melantunkan sebuah lagu; Everytime-nya Britney Spears.
Bayangan Desita yang selama ini berpijar nyata dilangit-langit kamar, yang selalu menemani waktu tidur gua perlahan mulai memudar, berpendar lembut dan perlahan menguap seperti asap. Gua bangkit mengambil sebuah foto seukuran postcard dengan frame cokelat muda dan memandanginya; didalamnya terdapat gambar seorang gadis tengah tersenyum, seorang gadis manis bermata biru dengan rambut sebahu, mata gua terpejam, mencoba menyerap dalam-dalam sosok dalam foto tersebut dan berusaha menyimpannya dalam memori agar tetap berada disana dan tak terlupa.
Sudah tiga tahun Desita pergi meninggalkan gua. Tanpa pamit, tanpa kata, dia menghilang, pergi dari kehidupan ini.
Bayangkan kalian berada ditengah samudera antah berantah, diatas sebuah kapal yang maha besar lengkap dengan fasilitas dan keperluan hidup yang berlimpah, tapi tidak tau harus berbagi ke siapa, karena elu hanya berada sendiran disana. Tanpa teman, tanpa tempat bercerita, tanpa sosok yang menertawai canda, tanpa orang yang bisa protes tentang kelalaian-kelalain lu, tanpa wanita yang bisa lu kagumi.
Dan gua berada diatas kapal itu selama tiga tahun.
Hari itu, hari dimana saat gua terbangun tanpa melihat adanya SMS ucapan ‘selamat pagi’, hari dimana gua datang ke kantor dan nggak mendapati Desita tengah tersenyum dari meja kerjanya sambil memandang gua yang tengah menggenggam secangkir kopi, hari dimana gua nggak lagi bertemu dengannya.
Dan hari ini, tepat tiga tahun yang lalu.
Benak gua membentuk sebuah lubang yang berputar membentuk sebuah lorong, menghisap pikiran gua kembali ke masa itu, masa yang nggak pernah gua inginkan untuk terjadi.
“Fit.. Desita nggak masuk?”
“Kayaknya nggak deh..”
“Oh oke deh, makasih..”
Gua meletakkan gagang telepon, mengambil jaket yang tersandar di kursi dan bergegas untuk turun.
Sejak pagi tadi gua berusaha menghubungi Desita dan nggak pernah bisa, siang itu saat jam istirahat makan siang, gua berjalan melalui gang sempit menuju ke rumah Desita. Gua mengetuk rumahnya berkali-kali. Tidak ada jawaban. Kemudian sosok pria setengah baya muncul dari balik pintu rumah yang bersebelahan dengan rumah Desita;
“Orangnya pergi mas..”
“Oh.. kemana ya pak..”
“Kayaknya pulang kampung deh.. tadi berangkat subuh-subuh..”
Gua terdiam mendengar keterangan pria tersebut, mengeluarkan ponsel dan (lagi) mencoba menghubunginya, sebuah tindakan yang gua pun tau kalau nggak bakal membuahkan hasil.
“Pulang kampung kemana ya pak?”
“Paling ke Bogor mas..”
“Tau alamatnya pak?”
Pria itu menggeleng.
“Orang sini mah nggak ada yang tau mas.. ya taunya Desi sama ibu-nya orang bogor, lengkapnya nggak pada tau..”
Gua hanya mengangguk, kemudian bergegas pergi setelah mengucapkan terima kasih kepada pria itu.
Seminggu setelah kejadian itu, gua masih belum bisa menghubungi Desita. Entah sudah berapa kali gua datang kerumahnya, mencoba mengorek informasi dari tetangga-nya bahkan samapi ke ketua RT nya dan tetap tanpa hasil.
Setahun berlalu, sampai akhirnya gua menyerah dan merelakan takdir yang sepertinya nggak sepaham dengan perasaan gua. Hidup gua sempat berantakan, amburadul, jungkir balik, semakin gua berusaha melupakan Desita, semakin gila gua dibuatnya.
Entah sudah berapa kali Si Bewok mencoba mengenalkan gua dengan beberapa wanita yang menurutnya sanggup membuat hidup gua normal kembali dan gagal. Entah sudah beberapa kali juga Salsa memaksa gua untuk ikut liburan bersama dengan teman-temannya untuk sedikit refresing dan sejenak melupakan Desita; gagal. Entah sudah berapa kali bapak dan ibu berusaha membujuk gua untuk melanjutkan studi S2 gua di Australia agar gua bisa move-on, gagal.
“Gua nggak mau, sa... gua cuma mau Desita, titik.. kalo kalian nggak bisa bantu gua ketemu Desita, jangan maksa gua melakukan hal lain..”
Gua setengah berteriak didepan forum keluarga yang sengaja dibentuk untuk menyamankan gua dan kembali gagal. Ibu hanya bisa terisak sambil memegangi lengan bapak yang menggelengkan kepalanya sementara Salsa berusaha menahan gua yang hendak kembali ke kamar.
Sampai pada puncaknya, gua memutuskan untuk resign dari tempat gua bekerja dan pindah ke Jogja. Ya, gua lari.. gua berusaha kabur dari kenyataan yang pada akhirnya tetap nggak berhasil, Desita dengan senyum-nya selalu berhasil menghantui gua.
---
Dan saat ini, hadir dalam kehidupan gua sosok perempuan yang hampir semua gelagat-nya mirip dengan Desita. Namanya Astrid. Walaupun perasaan ini sempat melawan tapi ada sebuah bisikan dihati kecil gua untuk setidaknya mencoba, mencoba membuka hati gua kembali untuk diisi dengan cinta. Dan Astrid-lah yang mendapat kesempatan itu.
Astrid memiliki banyak kesamaan dengan Desita, dia easy going, murah senyum, humoris, cantik dan sedikit menyebalkan. Ya walaupun Astrid nggak pandai berhitung dan memainkan logika. Tapi, semakin jauh Astrid mencoba masuk kedalam kehidupan gua, justru rindu gua akan Desita semakin besar.
Saat gua sedang bersama Astrid sesungguhnya, hanya tubuh gua yang bersama-nya sedangkan hati dan pikiran gua tetap berada di rumah, didalam kamar, berbaring bersama sebuah frame berukuran Postcard yang didalamnya terdapat foto Desita.
“Cin..”
“...”
“Gua boleh nanya nggak?”
“...”
“Desita siapa sih?”
Gua terperanjat saat mendengar Astrid menyebut nama Desita.
“Tau darimana lu?”
“Handphone lo.. di inbox handphone lo ada pesan yang udah lama banget, tapi nggak lo apus..”
“Ngapain lu ngeliat-liat hape gua?”
“Hehehe.. iseng..”
“Gila lu ya.. meriksa-meriksa hape orang..”
Gua berdiri dan mencak-mencak di hadapannya.
“Iya sorry sorry... eh siapa Desita..?”
“....”
“Mantan lo?”
Gua menggeleng.
“Trus siapa?”
“Cewek gua..”
“Hah.. kok lo nggak pernah bilang kalo udah punya pacar?”
“Karena lu nggak pernah nanya.. udah ah gua mau pulang..”
Gua kemudian naik ke atas sepeda motor dan menyalakan mesinnya.
“Lo.. gua nggak abis pikir deh, cin.. kok bisa-bisanya lo ngerayu cewek sementara lo masih punya pacar?”
“Gua udah nggak pernah ketemu dia lagi...”
“Tapi kata lo tadi dia pacar lo..”
“Iya emang, karena gua nggak pernah putus dari dia.. udah gua mau pulang”
Gua menutup kaca helm dan bergegas pergi meninggalkan Astrid yang masih berdiri didepan teras rumahnya.