- Beranda
- Stories from the Heart
Everytime
...
TS
robotpintar
Everytime

Song by : Britney Spears
Notice me
Take my hand
Why are we Strangers when
Our love is strong?
Why carry on without me?
Everytime I try to fly,
I fall without my wings,
I feel so small.
I guess I need you baby.
And everytime
I sleep your in my dreams,
I see your face, it's haunting me.
I guess I need you baby.
I make believe
That you are here.
It's the only way
That I see clear.
What have I done?
You seem to moveon easy.
Everytime I try to fly,
I fall without my wings,
I feel so small,
I guess I need you baby.
And everytime I sleep
your in my dreams,
I see your face, you're haunting me
I guess I need you baby.
I may have made it rain,
Please forgive me.
My weakness caused you pain,
And this song's my sorry...
At night I pray,
That soon your face
Will fade away.
Take my hand
Why are we Strangers when
Our love is strong?
Why carry on without me?
Everytime I try to fly,
I fall without my wings,
I feel so small.
I guess I need you baby.
And everytime
I sleep your in my dreams,
I see your face, it's haunting me.
I guess I need you baby.
I make believe
That you are here.
It's the only way
That I see clear.
What have I done?
You seem to moveon easy.
Everytime I try to fly,
I fall without my wings,
I feel so small,
I guess I need you baby.
And everytime I sleep
your in my dreams,
I see your face, you're haunting me
I guess I need you baby.
I may have made it rain,
Please forgive me.
My weakness caused you pain,
And this song's my sorry...
At night I pray,
That soon your face
Will fade away.
FAQ (Frequently asked questions)
Indeks Cerita :
Quote:
Episode 1
Bagian #1
Bagian #2
Bagian #3
Bagian #4
Bagian #5
Bagian #6
Episode 2
Bagian #7
Bagian #8
Bagian #9
Bagian #10
Bagian #11
Bagian #12
Bagian #13
Bagian #14
Bagian #15
Bagian #16
Bagian #17
Bagian #18
Bagian #19
Bagian #20
Episode 3
Bagian #20A
Bagian #20B
Bagian #20C
Bagian #20D
Episode 4
Bagian #21
Bagian #22
Bagian #23
Bagian #24
Bagian #25
Bagian #26
Bagian #27
Bagian #28
Bagian #29
Bagian #30
Episode 5
Bagian #31
Bagian #32
Bagian #33
Bagian #34
Bagian #35
Bagian #36
Bagian #37
Bagian #38
Episode 6
Bagian #39
Bagian #40
Bagian #41
Bagian #42
Bagian #43
Bagian #44
Bagian #45
Bagian #46
Bagian #47
Episode 7
Bagian #48
Bagian #49
Bagian #50
Bagian #51
Bagian #52 (End)
Bagian #1
Bagian #2
Bagian #3
Bagian #4
Bagian #5
Bagian #6
Episode 2
Bagian #7
Bagian #8
Bagian #9
Bagian #10
Bagian #11
Bagian #12
Bagian #13
Bagian #14
Bagian #15
Bagian #16
Bagian #17
Bagian #18
Bagian #19
Bagian #20
Episode 3
Bagian #20A
Bagian #20B
Bagian #20C
Bagian #20D
Episode 4
Bagian #21
Bagian #22
Bagian #23
Bagian #24
Bagian #25
Bagian #26
Bagian #27
Bagian #28
Bagian #29
Bagian #30
Episode 5
Bagian #31
Bagian #32
Bagian #33
Bagian #34
Bagian #35
Bagian #36
Bagian #37
Bagian #38
Episode 6
Bagian #39
Bagian #40
Bagian #41
Bagian #42
Bagian #43
Bagian #44
Bagian #45
Bagian #46
Bagian #47
Episode 7
Bagian #48
Bagian #49
Bagian #50
Bagian #51
Bagian #52 (End)
Quote:
Diubah oleh robotpintar 04-07-2014 13:30
gocharaya dan 103 lainnya memberi reputasi
102
600.1K
Kutip
1.5K
Balasan
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#363
Spoiler for Bagian #20 E:
“Des.. Desita..”
Gua berusaha berjalan cepat bahkan hampir berlari mengejarnya. Yang dikejar malah tidak bergeming sama sekali, hanya menatap lurus kedepan sambil berjalan gontai.
---
Biasanya sepulang kerja, gua menghampiri Desita ke ruangannya. Tapi, sore itu meja kerja-nya telah kosong, gua bertanya ke salah satu rekan disebelahnya yang kemudian berkata kalau Desita baru saja turun. Buru-buru gua mengeluarkan ponsel dan mencoba menghubunginya, nada-nya tersambung tapi tetap belum ada jawaban. Gua menekan tombol turun di diantara pintu lift berkali-kali, sambil tetap berusaha menghubungi-nya.
Entah ada apa dengan Desita, sejak terakhir gua berpisah di muka gang rumahnya dia sedikit berubah. Ada yang berbeda dengan air muka-nya, ada yang disembunyikan dibalik mata-nya yang biru. Dia seperti kembali ke Desita yang pertama gua kenal dulu.
Pintu lift terbuka, gua menghambur keluar bersama dengan karyawan-karyawan lain yang juga memburu matahari agar bisa sampai dirumah sebelum gelap, walaupun itu mungkin hanya tinggal impian saat gua melihat jam digital besar yang tergantung di lobi, angkanya menunjukkan pukul 17.30. Sambil tetap menempelkan ponsel ditelinga gua celingukan mencoba mencari Desita diantara kerumunan orang yang memenuhi lobi. Sesaat mata gua tertuju pada sosok seorang perempuan mungil yang berjalan gontai menuruni tangga, menuju ke luar.
“Des.. Desita..”
Gua berusaha berjalan cepat bahkan hampir berlari mengejarnya. Yang dikejar malah tidak bergeming sama sekali, hanya menatap lurus kedepan sambil berjalan gontai. Gua meraih tangan kirinya, dia menoleh sebentar kemudian menghentikan langkahnya.
“Kenapa sih lu? Dari tadi pagi aneh banget..”
Gua bertanya masih sambil menggenggam tangannya.
“Ga papa..”
Desita menjawab sambil membetulkan letak poni yang menutupi wajahnya.
“Bo’ong.. Lu pasti ngumpetin sesuatu dari gua..”
“Nggak kok..”
“Terus kenapa lu jadi beda?”
“Beda apanya..”
“Beda aja.. kayak sekarang nih, lu maen kabur aja.. biasanya SMS..”
“Gue capek, sol.. pengen buru-buru pulang, pengen istirahat..”
“Yaudah tunggu didepan, gua ambil motor dulu.. gua anter..”
“Nggak usah deh, gue jalan aja..”
“Nggak..nggak.. pokoknya lu tunggu di depan, gua ngambil motor dulu dan lu jangan kemana-kemana.. awas..”
Gua berkata sambil berjalan mundur meninggalkan Desita yang masih berdiri dihadapan gua.
Menit berikutnya, Desita sudah duduk dibelakang jok motor sambil menggenggam jaket parasit yang gua kenakan. Saat hampir mendekati tujuan, gua memperlambat laju sepeda motor.
“Lu kenapa sih Des.. cerita dong..”
“Gue nggak apa-apa, sol.. ngerti nggak sih kalo dibilangin..”
“Gua tau lu bohong, des..”
“Ih… stop-stop berenti..”
Desita menepuk pundak gua, spontan gua menghentikan laju sepeda motor. Desita turun dari tumpangan, melepas helm dan menyerahkannya ke gua.
“Nih, gue jalan aja.. udah lo nggak usah nyusul.. males gue..”
“Lah.. Des.. des..”
Desita meninggalkan gua yang masih terduduk diatas sepeda motor sambil memegangi helm yang tadi dikenakannya.
Gua nggak bisa berkata-kata, hanya bisa terdiam sambil membuka lebar tabir imajiner dihadapan gua kemudian memutar ulangan kejadian-kejadian yang telah lalu dan mencari adakah part dimana ada kelakuan gua yang bikin dia marah. Gua menghabiskan sebatang rokok, sebelum akhirnya menutup tabir imajiner dihadapan gua, kemudian menyalakan mesin sepeda motor dan bergegas pulang.
---
Gua duduk diteras belakang rumah sambil memainkan ponsel antara bingung dan kesal dengan apa yang baru saja terjadi, tentang Desita. Gua memandang layar ponsel yang sedari tadi menampilkan ‘contact name’ Desita, sedangkan ibu jari tangan kanan gua bersiap menekan tombol panggil.
1 detik
2 detik
5 detik
20 detik
Jari jari gua hanya bermain-main dengan ujung tombol panggil.
Gua berdiri, kembali kekamar. Setelah berganti celana panjang, melengkapi diri dengan jaket dan helm, dengan mengendari sepeda motor gua malaju menuju ke Palmerah, ke rumah Desita.
Kurang dari empat puluh lima menit, gua sudah berdiri didepan pintu rumah Desita yang setengah terbuka. Dari sini dapat terdengar suara Desita yang tengah bercengkrama dan berbincang hangat dengan ibu-nya, hal yang jarang gua dan Ibu lakukan. Gua mengetuk pintunya pelan sambil mengucap salam, sontak suara perbincangan mereka terhenti disusul dengan suara Desita membalas salam.
“Waalaikumsalam..”
Sosok kepala muncul dari balik pintu, Desita mengernyitkan dahi sebentar kemudian berpaling dan menjatuhkan diri diatas sofa kecil disudut ruangan. Dari dalam si Ibu keluar dan membuka pintu lebar-lebar kemudian menatap gua dengan senyum.
“Malem.. bu..”
“Malem dek.. ayo masuk-masuk..”
“Makasih bu..”
Gua melangkah masuk kedalam dan kemudian duduk diatas lantai yang dingin ber-alas semacam karpet plastik berwarna cokelat. Desita kemudian bangun dari duduknya, dan melangkah keluar dari rumah, selang beberapa menit dia kembali sambil membawa teh botolan dan kantong plastik hitam. Dia duduk disebelah gua sambil menyodorkan minuman dan mengeluarkan kacang sukro dari dalam plastik hitam kecil tadi; jajanan favoritnya.
“Tumben nggak SMS dulu..?”
Desita bertanya sambil memenuhi mulutnya dengan kacang sukro.
“Takut nggak dibales.. malu gua kalo sampe SMS cewe nggak dibales..”
“Ooh.. kirain nggak punya pulsa..”
“Punya lah, pulsa gua mah kayak angin, nggak abis-abis..”
“Belagu..”
“Keluar yuk.. makan..”
“Nggak ah, nyokap sendirian..”
Mendengar jawaban Desita gua hanya manggut-manggut sambil mengusap-usap dagu.
Nggak seberapa lama, Ibu nya keluar dari dalam kamar dan duduk dihadapan kami, dia menyentuh lutut gua yang tengah duduk bersila sambil tersenyum kemudian berkata;
“Dek, Solichin…”
“Ya bu?”
Gua menjawab sambil sedikit menundukkan tubuh, mencoba mendengar suaranya yang terdengar lirih.
Belum sempat Ibu-nya berkata-kata lagi, Desita buru-buru menarik tangan gua dan menariknya keluar dari rumah. Gua sempat kebingungan sebelum akhirnya Desita bicara sambil tetap menarik lengan gua sepanjang gang;
“Ada apaan sih Des?”
“Ntar gue jelasin sambil makan?”
“Katanya tadi ogah..”
“Iya sekarang gue mau…”
Akhirnya kami berdua berjalan bersisian diatas trotoar sambil menuju ke warung tenda yang menjual pecel ayam diujung sudut jalan.
“Sekarang udah mau cerita, ada apa?”
“Ntar aja abis makan, sekarang belom bisa.. lemah lunglai tak ada tenaga..”
“Preett, tadi narik-narik gua kaya traktor..”
Gua menggapai pundaknya dan menariknya lebih dekat kemudian mengecup ujung kepalanya. Desita mendongak ke arah gua dan memandang ke sekeliling.
“Malu tau..”
“Biarin aja..”
---
Gua menyulut sebatang rokok setelah menghabiskan seporsi pecel ayam yang hampir beberapa bulan belakangan ini hampir menjadi menu utama gua kala bersama Desita. Sambil menghembuskan asap rokok ke dinginnya udara malam itu, gua menoleh ke arah Desita yang (masih, tetap dan sepertinya akan tetap begitu) menjilati sisa-sisa sambal dijarinya.
“Mau cerita sekarang apa besok?”
Desita bertanya sambil menyeka tangannya menggunakan tisu setelah membasuhnya di wadah plastik berisi air kobokan.
“Sekarang lah.. tadi katanya abis makan..”
Desita menggeser bangku plastik tempat dia duduk, kemudian memutar tubuhnya menghadap gua.
“Jadi begini ceritanya..”
“Serius apa becanda nih?”
“Serius laah.. makanya dengerin dulu..”
“Ya..”
“Suatu hari… pada saat…”
Gua melempar punting rokok kebawah dan menginjaknya dengan kaki kanan gua sambil berdiri, mengeluarkan dompet dan membayar makanan yang telah kami makan. Kemudian bergegas keluar dari dalam warung tenda tersebut, gua melambaikan tangan, memanggil Desita yang masih dalam posisi siap bercerita.
“Ayo cepet.. gua anter pulang..”
“Lah, katanya mau diceritain.. belum juga mulai cerita-nya.."
“Besok-besok aja, kalo lu udah serius.. sekarang mah males.. ngeliat dari tampang lu aja kayaknya ngeselin gitu..”
“Yaudah…”
Gua mengapit tangannya dan menggandeng-nya lalu berjalan melewati trotoar jalan yang mulai sepi. Sesekali Desita melompat menggapai dedaunan di dahan pohon yang rendah dan menyodorkannya ke depan lubang hidung gua.
Gua tau ada hal yang serius yang ingin diceritakan olehnya, gua juga tau kalau dia menyembunyikan sesuatu dibalik keceriaannya barusan. Gua hanya berusaha untuk tetap begini, biarkanlah. Gua ingin menikmati kesenangan ini lebih lama lagi, paling tidak sampai gua mati.
Gua berusaha berjalan cepat bahkan hampir berlari mengejarnya. Yang dikejar malah tidak bergeming sama sekali, hanya menatap lurus kedepan sambil berjalan gontai.
---
Biasanya sepulang kerja, gua menghampiri Desita ke ruangannya. Tapi, sore itu meja kerja-nya telah kosong, gua bertanya ke salah satu rekan disebelahnya yang kemudian berkata kalau Desita baru saja turun. Buru-buru gua mengeluarkan ponsel dan mencoba menghubunginya, nada-nya tersambung tapi tetap belum ada jawaban. Gua menekan tombol turun di diantara pintu lift berkali-kali, sambil tetap berusaha menghubungi-nya.
Entah ada apa dengan Desita, sejak terakhir gua berpisah di muka gang rumahnya dia sedikit berubah. Ada yang berbeda dengan air muka-nya, ada yang disembunyikan dibalik mata-nya yang biru. Dia seperti kembali ke Desita yang pertama gua kenal dulu.
Pintu lift terbuka, gua menghambur keluar bersama dengan karyawan-karyawan lain yang juga memburu matahari agar bisa sampai dirumah sebelum gelap, walaupun itu mungkin hanya tinggal impian saat gua melihat jam digital besar yang tergantung di lobi, angkanya menunjukkan pukul 17.30. Sambil tetap menempelkan ponsel ditelinga gua celingukan mencoba mencari Desita diantara kerumunan orang yang memenuhi lobi. Sesaat mata gua tertuju pada sosok seorang perempuan mungil yang berjalan gontai menuruni tangga, menuju ke luar.
“Des.. Desita..”
Gua berusaha berjalan cepat bahkan hampir berlari mengejarnya. Yang dikejar malah tidak bergeming sama sekali, hanya menatap lurus kedepan sambil berjalan gontai. Gua meraih tangan kirinya, dia menoleh sebentar kemudian menghentikan langkahnya.
“Kenapa sih lu? Dari tadi pagi aneh banget..”
Gua bertanya masih sambil menggenggam tangannya.
“Ga papa..”
Desita menjawab sambil membetulkan letak poni yang menutupi wajahnya.
“Bo’ong.. Lu pasti ngumpetin sesuatu dari gua..”
“Nggak kok..”
“Terus kenapa lu jadi beda?”
“Beda apanya..”
“Beda aja.. kayak sekarang nih, lu maen kabur aja.. biasanya SMS..”
“Gue capek, sol.. pengen buru-buru pulang, pengen istirahat..”
“Yaudah tunggu didepan, gua ambil motor dulu.. gua anter..”
“Nggak usah deh, gue jalan aja..”
“Nggak..nggak.. pokoknya lu tunggu di depan, gua ngambil motor dulu dan lu jangan kemana-kemana.. awas..”
Gua berkata sambil berjalan mundur meninggalkan Desita yang masih berdiri dihadapan gua.
Menit berikutnya, Desita sudah duduk dibelakang jok motor sambil menggenggam jaket parasit yang gua kenakan. Saat hampir mendekati tujuan, gua memperlambat laju sepeda motor.
“Lu kenapa sih Des.. cerita dong..”
“Gue nggak apa-apa, sol.. ngerti nggak sih kalo dibilangin..”
“Gua tau lu bohong, des..”
“Ih… stop-stop berenti..”
Desita menepuk pundak gua, spontan gua menghentikan laju sepeda motor. Desita turun dari tumpangan, melepas helm dan menyerahkannya ke gua.
“Nih, gue jalan aja.. udah lo nggak usah nyusul.. males gue..”
“Lah.. Des.. des..”
Desita meninggalkan gua yang masih terduduk diatas sepeda motor sambil memegangi helm yang tadi dikenakannya.
Gua nggak bisa berkata-kata, hanya bisa terdiam sambil membuka lebar tabir imajiner dihadapan gua kemudian memutar ulangan kejadian-kejadian yang telah lalu dan mencari adakah part dimana ada kelakuan gua yang bikin dia marah. Gua menghabiskan sebatang rokok, sebelum akhirnya menutup tabir imajiner dihadapan gua, kemudian menyalakan mesin sepeda motor dan bergegas pulang.
---
Gua duduk diteras belakang rumah sambil memainkan ponsel antara bingung dan kesal dengan apa yang baru saja terjadi, tentang Desita. Gua memandang layar ponsel yang sedari tadi menampilkan ‘contact name’ Desita, sedangkan ibu jari tangan kanan gua bersiap menekan tombol panggil.
1 detik
2 detik
5 detik
20 detik
Jari jari gua hanya bermain-main dengan ujung tombol panggil.
Gua berdiri, kembali kekamar. Setelah berganti celana panjang, melengkapi diri dengan jaket dan helm, dengan mengendari sepeda motor gua malaju menuju ke Palmerah, ke rumah Desita.
Kurang dari empat puluh lima menit, gua sudah berdiri didepan pintu rumah Desita yang setengah terbuka. Dari sini dapat terdengar suara Desita yang tengah bercengkrama dan berbincang hangat dengan ibu-nya, hal yang jarang gua dan Ibu lakukan. Gua mengetuk pintunya pelan sambil mengucap salam, sontak suara perbincangan mereka terhenti disusul dengan suara Desita membalas salam.
“Waalaikumsalam..”
Sosok kepala muncul dari balik pintu, Desita mengernyitkan dahi sebentar kemudian berpaling dan menjatuhkan diri diatas sofa kecil disudut ruangan. Dari dalam si Ibu keluar dan membuka pintu lebar-lebar kemudian menatap gua dengan senyum.
“Malem.. bu..”
“Malem dek.. ayo masuk-masuk..”
“Makasih bu..”
Gua melangkah masuk kedalam dan kemudian duduk diatas lantai yang dingin ber-alas semacam karpet plastik berwarna cokelat. Desita kemudian bangun dari duduknya, dan melangkah keluar dari rumah, selang beberapa menit dia kembali sambil membawa teh botolan dan kantong plastik hitam. Dia duduk disebelah gua sambil menyodorkan minuman dan mengeluarkan kacang sukro dari dalam plastik hitam kecil tadi; jajanan favoritnya.
“Tumben nggak SMS dulu..?”
Desita bertanya sambil memenuhi mulutnya dengan kacang sukro.
“Takut nggak dibales.. malu gua kalo sampe SMS cewe nggak dibales..”
“Ooh.. kirain nggak punya pulsa..”
“Punya lah, pulsa gua mah kayak angin, nggak abis-abis..”
“Belagu..”
“Keluar yuk.. makan..”
“Nggak ah, nyokap sendirian..”
Mendengar jawaban Desita gua hanya manggut-manggut sambil mengusap-usap dagu.
Nggak seberapa lama, Ibu nya keluar dari dalam kamar dan duduk dihadapan kami, dia menyentuh lutut gua yang tengah duduk bersila sambil tersenyum kemudian berkata;
“Dek, Solichin…”
“Ya bu?”
Gua menjawab sambil sedikit menundukkan tubuh, mencoba mendengar suaranya yang terdengar lirih.
Belum sempat Ibu-nya berkata-kata lagi, Desita buru-buru menarik tangan gua dan menariknya keluar dari rumah. Gua sempat kebingungan sebelum akhirnya Desita bicara sambil tetap menarik lengan gua sepanjang gang;
“Ada apaan sih Des?”
“Ntar gue jelasin sambil makan?”
“Katanya tadi ogah..”
“Iya sekarang gue mau…”
Akhirnya kami berdua berjalan bersisian diatas trotoar sambil menuju ke warung tenda yang menjual pecel ayam diujung sudut jalan.
“Sekarang udah mau cerita, ada apa?”
“Ntar aja abis makan, sekarang belom bisa.. lemah lunglai tak ada tenaga..”
“Preett, tadi narik-narik gua kaya traktor..”
Gua menggapai pundaknya dan menariknya lebih dekat kemudian mengecup ujung kepalanya. Desita mendongak ke arah gua dan memandang ke sekeliling.
“Malu tau..”
“Biarin aja..”
---
Gua menyulut sebatang rokok setelah menghabiskan seporsi pecel ayam yang hampir beberapa bulan belakangan ini hampir menjadi menu utama gua kala bersama Desita. Sambil menghembuskan asap rokok ke dinginnya udara malam itu, gua menoleh ke arah Desita yang (masih, tetap dan sepertinya akan tetap begitu) menjilati sisa-sisa sambal dijarinya.
“Mau cerita sekarang apa besok?”
Desita bertanya sambil menyeka tangannya menggunakan tisu setelah membasuhnya di wadah plastik berisi air kobokan.
“Sekarang lah.. tadi katanya abis makan..”
Desita menggeser bangku plastik tempat dia duduk, kemudian memutar tubuhnya menghadap gua.
“Jadi begini ceritanya..”
“Serius apa becanda nih?”
“Serius laah.. makanya dengerin dulu..”
“Ya..”
“Suatu hari… pada saat…”
Gua melempar punting rokok kebawah dan menginjaknya dengan kaki kanan gua sambil berdiri, mengeluarkan dompet dan membayar makanan yang telah kami makan. Kemudian bergegas keluar dari dalam warung tenda tersebut, gua melambaikan tangan, memanggil Desita yang masih dalam posisi siap bercerita.
“Ayo cepet.. gua anter pulang..”
“Lah, katanya mau diceritain.. belum juga mulai cerita-nya.."
“Besok-besok aja, kalo lu udah serius.. sekarang mah males.. ngeliat dari tampang lu aja kayaknya ngeselin gitu..”
“Yaudah…”
Gua mengapit tangannya dan menggandeng-nya lalu berjalan melewati trotoar jalan yang mulai sepi. Sesekali Desita melompat menggapai dedaunan di dahan pohon yang rendah dan menyodorkannya ke depan lubang hidung gua.
Gua tau ada hal yang serius yang ingin diceritakan olehnya, gua juga tau kalau dia menyembunyikan sesuatu dibalik keceriaannya barusan. Gua hanya berusaha untuk tetap begini, biarkanlah. Gua ingin menikmati kesenangan ini lebih lama lagi, paling tidak sampai gua mati.
cotel79 dan 18 lainnya memberi reputasi
17
Kutip
Balas