Terlihat beberapa ibu-ibu tengah duduk ditepi kasur dimana ibu berbaring. Lutut gue mulai bergetar, tubuh ini mulai lemas dan gue menjatuhkan diri di tepian kasur mencoba meraih tangan ibu yang mulai dingin.
Gue bertanya ke seorang perempuan tua yang tengah berdiri disisi tempat tidur; Mpok Imah.
“Kenapa mpok?”
“Tadi abis pulang bantu-bantu masak ditempat hajatan, ibu kamu tau-tau roboh, pingsan.. terus dibopong rame-rame kesini.. tadi sih bidan Dwi udah meriksa, katanya ngga apa-apa, cuma kecapean doang..”
“Makasih ya mpok...”
Gue berterima kasih kepada Mpok Imah sambil berlinang air mata menatap Ibu yang tengah berbaring lemah diatas tempat tidur.
---
Sejenak gue terduduk, disudut ruangan sambil memandangi Ibu saat para tetangga yang tadi menolong Ibu satu persatu pamit pulang dan akhirnya yang tersisa hanya udara pengap ruangan beserta ibu dan gue yang tenggelam dalam diam.
Dalam hati gue mengutuki diri sendiri yang malah asik-asikan ‘pacaran’ sementara Ibu terbaring sakit dirumah.
‘Drrrttt..Drttt..’ Ponsel gue bergetar. Dilayarnya tertera nama Solichin. Gue menekan tombol berlambang telepon berwarna merah, me-reject-nya.
---
Gue merasakan sentuhan lembut membelai rambut saat terbangun disisi tempat tidur. Gue menggapai tangan Ibu yang baru saja bangun dan berkali kali mengucapkan maaf kepadanya, karena nggak bisa berada disisinya saat dia memerlukan gue.
“Belakangan ini kayaknya kamu makin deket ya sama dia?”
“...”
“..kamu suka sama dia?...”
“...”
“.. hati- hati lho des, bergaul sama orang kaya..”
“...”
“...terkadang mereka nggak bener-bener membutuhkan kita..”
“Tapi, solichin beda bu..”
“Ya, kalau sama solichin sih ibu percaya, tapi keluarganya? Apa mereka bener-bener mau nerima kamu..?
“...”
“.. ibu sih ikut seneng kalau kamu seneng, tapi apa kamu udah pikir mateng-mateng? Apa kamu udah tau akibat-akibatnya kalo kamu terlalu deket sama dia?...”
“...”
“..kenapa kamu nggak nyari calon atau pacar yang sama dengan kita?”
“...”
“..kalo kamu nikah sama solichin dan dibawa untuk tinggal sama dia, siapa yang mau ngurus ibu?”
“Desita bu yang bakal ngurus ibu..”
“Bener? Bisa? Kamu baru deket sama dia aja, beberapa bulan belakangan ini ibu perhatiin kamu jarang dirumah, bahkan udah hampir nggak pernah bantu ibu bikin gorengan lagi..”
“Maafin Desita ya bu, Desi janji bakal bantu ibu..”
“Ibu cuma mau kamu nggak terjebak semakin jauh sama Solichin, des.. ibu takut..”
Kali ini gue benar-benar nggak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan dari Ibu. Gue hanya mampu menutup mulut dengan telapak tangan berusaha menahan agar tangis gue nggak pecah. Sesuatu yang gue takutkan terjadi, sebuah tembok tinggi yang bernama strata sosial menjulang diantara gue dan Solichin. Ironisnya, halangan tersebut malah bukan datang dari orangtua Solichin melainkan dari Ibu gue sendiri. Ibu yang sudah bersusah payah membesarkan, merawat dan menyekolahkan gue, Ibu yang begitu menyayangi gue, Ibu yang selalu rela mengorban segala dan sekarang, apa gue berani membantah ibu?
Gue merebahkan kepala ditepi kasur, sambil menangis sesenggukan dan mencoba untuk tidur dalam pelukan Ibu, berharap saat bangun nanti gue sadar kalau ini semua hanya mimpi.
---
Pagi itu, Solichin berdiri di pintu masuk ruangan gue sambil menebar senyum memandang gue seraya bersandar pada dinding. Tangan kanan-nya menggenggam cangkir sedangkan tangan kirinya dimasukkan kedalam saku celana-nya. Senyum itu, senyum yang membuat gue jatuh hati setiap hari. Dia melangkah pelan menghampiri dan berdiri dibelakang gue.
“Selamat pagi..”
“Pagi”
Gue menjawab tanpa berpaling
“Kemaren seharian ditelpon nggak diangkat kenapa?”
Solichin bertanya, gue memandang wajahnya yang berubah serius dari pantulan layar monitor.
“Nggak apa-apa? Lagi sibuk bantuin ibu..”
“Oh.. kirain marah?”
“Nggak, kenapa harus marah?”
“Trus kenapa nggak mau mandang gua?”
Solichin mundur sedikit kemudian bersandar pada kaca jendela gedung sambil menyilangkan kaki-nya. Perlahan gue memutar kursi dan berhadapan dengannya, masih belum berani menatap kearahnya. Gue sadar, kalau gue harus menjaga jarak dengannya mulai saat ini. Walaupun gue harus mengorbankan perasaan, walaupun gue harus merelakan Solichin, walaupun ini nggak gampang. Walaupun gue harus menanggung sakit dan yang gue tau Solichin pun akan merasakan yang sama.