
Gua melajukan mobil, melintasi jalan raya arteri Pondok Indah, malam itu selepas maghrib gua dan Desita terduduk didalam mobil, terbias lampu rem mobil didepan kami yang berpendar merah, sambil mengutuki kemacetan lalu-lintas malam itu, kemacetan yang seakan melengkapi kencan gua yang tiba-tiba berantakan, gua mematikan radio yang sedari tadi menyala.
“Lo mau diem aja, Des..?
“...”
Mobil gua melaju melintasi kemacetan yang mulai terurai, gua menepikan mobil disalah satu sudut jalan raya, turun sambil membanting pintu. Dan gua mulai menendangi pot kaleng besar yang terdapat disisi trotoar yang sepi. Seakan kurang puas, gua beralih ke bemper mobil dan puncaknya saat gua memukul keras spion sebelah kanan mobil hingga patah, menggelayut dan akhirnya jatuh. Gua mengambilnya dan membantingnya berkali-kali hingga hancur.
Terdengar suara pintu disisi penumpang terbuka, Desita keluar menghampiri gua. Dia mengambil paksa spion mobil yang sudah hancur, membuka pintu dan melemparkannya kejok belakang mobil gua. Dia memandang punggung tangan gua yang sedikit lecet dan berdarah kemudian membuka pintu penumpang dan kembali lagi dengan kotak p3k yang terletak di bagian belakang mobil.
Desita meraih telapak tangan kanan gua dan mulai membersihkannya dengan alkohol. Gua hanya memandangi wajahnya yang teduh sambil menahan perih.
“Udah? Udah puas marahnya? Udah puas mukulin mobil?”
Gua nggak menjawab, hanya terus memandangi wajahnya. Perlahahan tangan kiri gua menyentuh wajahnya, membelai pipi-nya yang lembut.
“Des.. jadi pacar gua ya?”
“Hah? Kok bisa sih lo abis ngamuk-ngamuk nggak jelas trus tiba-tiba nembak gue?”
“Mau ya..”
“Nggak.. takut gue jadi pacar lo, ntar berantem dikit, properti orang lo ancur-ancurin..”
Gua hanya tersenyum, sambil memperhatikan Desita yang tengah meniup bekas luka gua yang baru saja dioleskan obat merah.
“Sakit nggak?”
“Biasanya sih sakit, tapi kok pas lu yang ngobatin, jadi nggak sakit ya..”
“Gombal!!”
Desita kemudian menampar lembut pipi gua kemudian bergegas masuk kedalam mobil. Gua tersenyum sambil menatap luka di punggung tangan gua.
‘Tin Tin’
Desita membunyikan klakson mobil. Gua membuka pintu dan masuk kedalam. Dan beberapa saat kemudian gua dan Desita sudah duduk didalam warung tenda tengah menikmati pecel ayam ditepi jalan. Jujur, mungkin ini jadi kali pertama gua kencan sama perempuan dan makan malam ditempat yang biasa Desita sebut sebagai ‘Amigos’, Agak Minggir Got Sedikit. Entah apa yang berbeda, tapi saat bersama Desita gua merasa lebih ‘hidup’, nggak pernah gua se-bahagia ini saat keluar dari pola-pola dan semua aturan-aturan yang gua buat sendiri.
“Sol, lo tadi marah sama gue?”
Gua menggeleng, sambil mencuci tangan disebuah tempat semacam baskom kecil yang sudah disediakan dan mengelapnya dengan tissue.
“Gua kayaknya nggak bakal bisa marah deh sama elu..”
“Kenapa?”
“Nggak tau..”
Gua menjawab sambil mengangkat bahu. Kemudian mengambil sebatang rokok dan menyulutnya.
“Oiya, lu masih utang nonton lho sama gua?”
“Iya gampang, kapan-kapan..”
Desita menjawab sambil menjilati jari-jarinya dari sisa-sisa sambal pecel yang menempel.
“Besok ya? Mau?”
“Nggak ah, hari ini gue udah ninggalin nyokap cukup lama, besok gue mau nemenin nyokap aja dirumah..”
“Yaaah.. kalo besok gua maen kerumah lu, nggak papa kan?”
“Emang lo nggak risih maen kerumah gue? Rumah gue kan kecil, kotor.. beda jauh sama rumah lo yang gede, nyaman, apa-apa udah ada yang nyiapin..”
“Nggak kok, biasa aja..”
Gua menjawab, menutupi perasaan bergidik gua membayangkan gang sempit dengan selokan beraroma busuk disekitar rumah Desita. Tapi, entah kenapa perasaanitu mendadak hilang dan terobati saat gua bertemu dengannya. Ah, God Damnit, Desita, elu udah sukses banget membuat hidup gua jungkir-balik.
---
Gua memarkir mobil dipelataran Indomart tempat gua tadi siang memarkirkan sepeda motor. Kali ini, sosok pria tua situkang parkir sudah berganti dengan gerombolan anak-anak muda berkalung peluit. Gua mengeluarkan selembar uang dua puluh ribu dan menyerahkan ke salah satunya.
“Nitip ya..”
“Wah.. siap bos..”
Anak itu gesit menyambar uang yang gua berikan kemudian memperagakan gerakan ‘hormat’ ala militer. Lagi lagi
The Power Of Money, siapa yang punya uang, dia yang dihormati.
Niatnya, gua ingin mengantar Desita sampai ke depan pintu rumahnya. Tapi Desita menolak, katanya “Udah sampe sini aja, ntar lo jauh jalannya..”. Saat hendak pergi, gua meraih tangannya, menariknya hingga tubunya berada sangat dekat dengan tubuh gua.
“Maaf ya Des kalo tadi gua udah bikin lu bete..”
Desita nggak menjawab, dia hanya mengangguk pelan kemudian menjatuhkan kepalanya ke dada gua.
“Sabar ya Sol.. sabar ya ngadepin gue..”
Perlahan, gua menunduk dan mengecup kepalanya. Desita mundur beberapa langkah sampai akhirnya berbalik dan melangkah pergi, hilang dalam kegelapan malam di gang sempit menuju rumahnya. Sementara gua masih berdiri, mencoba menghirup sisa-sisa aroma parfumnya yang semakin lama tercampur dengan aroma tak sedap dari selokan.
Gua mengeluarkan ponsel, mencari nama Desita dan menekan tombol ‘panggil’.
“Halo..”
“Kenapa?”
Desita bertanya, dari nada suaranya sepertinya dia keheranan.
“Nggak papa, belom ada lima menit, gua udah kangen sama elu..”
“Gombal!!, udah dimana?”
“Gua belom kemana-mana, masih berdiri disini..ditempat tadi..”
“Hah, ngapaiiiiin?”
“Nggak, gua cuma mau mastiin lu udah sampe rumah, abis itu gua balik...”
“Ya ampun, sol... iya ini gue udah dirumah..”
“Yaudah gua balik ya..”
“Iya.... “
“....”
“Sol...”
“Ya..”
“Ati-ati ya..”
“Iya sayang..”
“Sayang-sayang, pala lo..”
Gua mengakhiri panggilan kemudian tersenyum senyum sendiri memandang layar ponsel.
---
Sepanjang perjalanan pulang, nggak henti-hentinya gua tersenyum sendiri. Baru kali ini gua pulang dari ‘kencan’ dan merasa sangat bahagia, padahal Desita juga belum resmi jadi pacar gua. Dan sepanjang perjalanan pulang,
Can't Stop Loving You-nya Van Halen menemani gua yang masih tersenyum.
I wanna hold you and say
We can't throw this all away
Tell me you won't go, you won't go
Do you have to hear me say
I can't stop lovin' you