
Nggak terasa, kami sudah berada di sebuah mall dibilangan Pondok Indah, gua memarkirkan dan mematikan mesinnya. Nggak ada satupun diantara kami yang begegas keluar dari mobil, gua hanya memandangi Desita yang terlihat termenung menatap bayangan dirinya dijendela.
“Sol..”
Desita membuka suaranya, dia bicara sementara wajahnya masih tetap terpaku memandang pantulan dirinya di kaca jendela.
“Desita Rahmawati..”
“Hah..”
Pada awalnya gua sempat kebingungan saat tiba-tiba Desita bicara seperti itu, tapi pada akhirnya gua sadar, kalau Desita menyebutkan nama lengkapnya.
“Hmmm.. kita mau ngobrol-ngobrol aja disini apa mau nonton?”
Gua bertanya sambil melepas sabuk pengaman dan bersiap keluar dari mobil, Desita pun melakukan hal yang sama. Beberapa saat kemudian kami sudah berjalan di basement sebuah mall yang pengap dan berbau apek menuju ke lobi lift yang terlihat berpendar, bercahaya dilihat dari tempat kami berdiri.
Disaat kami tengah berada di eskalator menuju ke lantai atas, entah beberapa kali kami berpapasan dengan pasangan-pasangan tua, muda, yang tengah asik berpacaran ,berangkulan dan bergandengan tangan. Desita menatap gua, dia berdiri satu anak tangga diatas sehingga tatapan kami saat ini sama, saling beradu;
“Lo nggak mao gandeng gue?”
Desita bertanya lirih.
“Hah, emang boleh?”
“Selama niat lo untuk melindungi gue, I think its fine..”
Nggak menunggu lama gua buru-buru menyambar tangan mungilnya dan menggenggamnya erat, kemudian kami berjalan layaknya sepasang muda-mudi yang tengah dimabuk asmara, Ok mungkin hanya gua yang dimabuk asmara entah bagaimana dengan Desita.
“Jangan disalah artikan lho sol..”
“Apanya?”
“Ini..”
Desita mengangkat tangan kami yang saling bertautan, gua paham apa yang dimaksud Desita; Genggaman tangan ini mungkin nggak ada artinya buat dia. Tapi, buat gua ini adalah sebuah ‘pengakuan’, sebuah awal yang baik dan tinggal beberapa langkah kecil lagi Desita bakalan luluh. Pasti!
Gua menggandeng tangan mungil Desita melintasi pintu kaca memasuki sebuah ruangan besar dengan karpet beludru tebal berwarna merah. Dari kejauhan Nampak beberapa baris antrian didepan sebuah loket, gua memandang sekeliling, banyak terlihat poster-poster, x-banner dan berbagai media promosi lainnya terpampang dilobi bioskop ini, sepertinya disini tengah diadakan pemutaran perdana sebuah film, dari poster dan kaos-kaos yang banyak dipakai pengunjung sepertinya film bertajuk erotic-horor khas produser-produser dari India. Desita menarik bagian belakang kaos gua;
“Sol.. balik aja yuk.. rame begini..”
Gua hanya tersenyum mendengar permintaannya, masih menggandeng tangannya gua bergerak melewati kerumunan orang menuju ke salah satu lorong yang berada diujung ruangan. Tanpa permisi gua membuka sebuah pintu, sebuah pintu yang sedikit tersembunyi dari pandangan pengunjung. Didalamnya terdapat beberapa wanita berpakaian hitam-hitam lengkap dengan sanggul dan riasan yang tengah berbincang-bincang sambil mungkin menunggu giliran jaga. Mereka adalah para karyawan bioskop yang biasa bertugas menjaga loket dan pintu masuk. Salah satu dari mereka, yang paling cantik diantaranya, berdiri, membetulkan sanggulnya sambil membelalakan matanya.
“Eh ya ampun Ableh.. ngapain?”
“Ada perlu sama lu, sebentar..”
Wanita bersanggul tersebut berjalan cepat menuju ke pintu. Dia berdiri dihadapan gua, masih membenahi sanggulnya dan tersenyum. Senyumnya mulai memudar saat melihat Desita disebelah gua.
“Ada apa, bleh..”
“Gua mau nonton, tapi ngantri parah… “
“Oh studio berapa?”
“The Prestige, studio tiga..”
“Buat berapa orang?”
Wanita itu bertanya sambil menatap Desita, sinis.
“Dua..”
Gua menjawab sambil mengacungkan dua jari gua.
“Mmm.. tunggu disini ya…”
Wanita bersanggul itu kemudian berjalan cepat pergi meninggalkan kami, menuju ke arah dari mana kami tadi datang. Nggak seberapa lama, dia sudah kembali dan menyerahkan dua tiket berwarna kuning-abu-abu ketangan gua, kemudian buru-buru ngeloyor pergi dan masuk kedalam ruangan tadi.
Gua hanya terdiam, mengangkat bahu kemudian menggandeng tangan Desita.
“Siapa Sol?”
“Haha.. biasa..”
“Siapa??..”
“
One of my… ummm.. apa ya disebutnya..
fans..”
“Mantan.. ?”
“Oh.. bukan, bukan.. cuma dulu pernah jalan sekali…”
“Oooh..”
Desita melepaskan genggaman tangannya.
“Nanti kalo lo udah bosen jalan sama gue, apa nasib gue bakal sama kayak perempuan tadi?”
Desita bertanya sambil menatap gua tajam.
“Eh, nggak-nggak.. buka-bukan… nggak begitu des.. yah.. salah dah..”
Gua kembali meraih tangannya dan berusaha meyakinkan Desita, kalau gua nggak bakal pernah meninggalkan dia.
“Des…”
“Gimana gue bisa percaya..”
“Suer deh..”
“…”
Desita nggak menjawab, dia hanya berjalan pelan mengabaikan gua.
“Des…”
“Apa?!”
“Jangan putusin gua yaaa..”
“
What.. kita jadian aja belom kok putus.. aneh..”
“…”
“Lo tuh cowo paling aneh yang pernah gue temuin, pernah nggak sih lo mikir gimana rasanya jadi cewek tadi? Cewek yang cuma lo manfaatin doang,…”
“….”
“Mikir nggak lo sol?”
“Iya gua salah.. tapi gua ngelakuin itu kan supaya bisa bikin lo bahagia Des..”
“Ya gue lebih baik nggak bahagia daripada ngorbanin perasaan orang laen kayak tadi..”
“…”
“Gue cuma mikir, gimana ya misalnya akhirnya gue berada diposisi cewek tadi.. yang cuma dimanfaatin sama lo buat nyari keuntungan sama pacar barunya…”
Desita bicara sambil menggeleng-geleng kan kepalanya. Sedangkan gua cuma bisa berdiri dalam diam sambil memandanginya.
“Pokoknya sekarang gue nggak mau nonton… gue mau pulang, kalo lo nggak mau nganterin gue, gue pulang sendiri..”
Kemudian Desita mulai berjalan cepat meninggalkan gua. Sementara gua cuma bisa menendang udara kosong sambil menggeram; “Bangke!!” dan berlari kecil menyusulnya.
Sambil berusaha mengejar Desita yang melesat cepat bagai kancil, gua menyerahkan dua potongan tiket ke petugas keamanan yang bertugas di pintu masuk bioskop. Petugas tersebut hanya melongo memandangi tiket yang kini berada ditangannya.
“Des.. tunggu..”
Gua masih berusaha mengejarnya, jarak antara gua dan Desita kini nggak terlalu jauh, hanya beberapa langkah.
“Des.. iya gua anterin pulang.. tapi tunggu dulu dong..”
Sejenak, Desita memperlambat langkahnya. Gua menyusul dan berjalan pelan disisinya.
“Lu kenapa sih, Des.. kayak gitu aja ngambek?”
“Gue udah jelasin tadi, kalo lo masih belom ngerti, ya lo pikir aja sendiri..”
“Trus, nasib kencan kita gimana, nih?”
“Terserah, lagian dari awal kan emang ini bukan kencan..”
Sesampainya di basement, tempat dimana gua memarkirkan mobil. Gua mendahuluinya dan berjalan mundur sambil menghadapnya. Desita hanya menundukkan wajahnya dalam diam.
“Yaah Des.. cmoon.. “
“Gue mau pulang aja sool..”
Gua berhenti, sementara Desita tetap berjalan melewati gua yang terdiam mematung. Rasanya hampir habis kesabaran ini menghadapi dia, ingin rasanya gua berteriak, marah ke Desita. Setelah semua ini, setelah gua ‘digantung’, setelah gua menanggalkan atribut keegoisan gua, setelah semua yang sudah gua lakukan untuknya. Tapi, seperti ada sebuah dinding tebal yang menahannya, yang membuat gua merasa seperti dikendalikan, seperti sihir.