Selama perjalanan Desita terlihat diam, sesekali dia memandang ke arah gua, begitu gua sadar kalau dia tengah memandang ke gua, dia membuang muka, memalingkan wajahnya menghadap ke jendela mobil. Satu hal yang membuat gua selalu penasaran tentang Desita adalah warna matanya yang biru. Dalam budaya orang timur, mungkin agak sedikit canggung jika kita harus bertanya tentang kondisi fisik seseorang, misalnya ; kenapa kok kulit lu item, kok gigi lu tonggos, kok mata lu juling, kok mata lu biru dan berdasarkan budaya itulah gua urung bertanya tentang matanya yang biru.
Tapi, semua orang pasti setuju jika kita bertanya mengenai fisik seseorang yang notabene adalah sebuah kelebihan, misalnya; Kulit lo putih deh, cakep. Dan akhirnya gua malah tenggelam dalam dilemma rasa penasaran yang memuncak.
Akhirnya setelah, sekian lama menimbang-nimbang, gua memutuskan untuk nekad dan bertanya ke Desita.
“Des..”
“Ya..”
“Gua boleh nanya kan?”
“Boleh..”
“Kok mata lu biru sih? Lu indo* ya?”
*Indo : maksudnya keturunan Indonesia-bule.
“Hah.. bukan.. bukan..”
“Trus, kok bisa biru? Setau gua tipikal ras orang asia-melayu nggak ada yang matanya biru..”
“Hahaha.. ada noh di Aceh..”
Mendengar perkataan Desita, gua jadi teringat tentang sebuah suku di Aceh dimana disana orang-orangnya banyak yang memiliki mata biru yang Indah. Pernah suatu waktu gua membaca tentang asal-usul suku tersebut, biasa disebut suku Lamno. Ternyata menurut keterangan yang gua dapat dari sebuah buku; mereka adalah keturunan dari rombongan pelarian masyarakat Muslim Eropa yang terusir dari Andalusia (sekarang spanyol) ketika disana sedang terjadi invasi besar-besaran oleh pasukan Salib.
“Oh iya gua tau itu yang di Aceh.. Tapi, lu bukan keturunan Aceh kan?”
“Bukaaan.. Gue sih sunda Aseli..”
Desita berkata sambil menepuk dada-nya.
“Lah terus kenapa mata lu biru?”
“Boleh nggak, gue nggak jawab?”
“Boleh aja sih… tapi..”
“Tapi apa? Penasaran?”
“Banget..”
Gua menjawab cepat
Gua memandang Desita yang menghela nafas pelan kemudian menyandarkan kepalanya diantara jok dan jendela mobil. Entah, mungkin keputusan gua untuk menanyakan perihal warna matanya yang biru itu salah. bodoh!! Gua memaki diri sendiri, apa yang salah sih dengan warna mata seseorang, ngapain gua malah menanyakan hal yang kurang penting seperti ini.
“Err.. mm.. Des..”
“…”
Desita nggak menyahut, dia hanya terdiam sambil memandang keluar melalui jendela mobil.
“Sorry ya, gua udah nanya macem-macem ke elu..”
Gua meminta maaf ke Desita.
“Nggak papa, sol.. santai aja.. justru gue nya yang nggak enak sama lu, karena nggak bisa ngasih jawaban yang memuaskan ke lo..”
“…”
“..jujur aja sol, lu satu-satunya orang yang pernah nanya itu secara langsung ke gua loh..”
“Hah.. masa sih? Emang orang-orang nggak ada yang penasaran?”
“Ada sih beberapa, tapi jaman sekarang orang banyak yang mikir kalo mata gua ini cuma softlens..”
“Tapi, itu asli kan?”
“Ya asli lah.. kalo palsu gimana gue ngeliat, aneh deh pertanyaan lo..”
“Hahaha… “
“Justru gua lebih suka orang kayak lo yang langsung Tanya ke gue, walaupun gue nggak tau harus jawab apa.. daripada banyak orang yang bergunjing dibelakang gua, bilang kalo gua anak haram lah, dari hasil rudapaksaan nyokap sama bule.. sakit nggak tuh denger kayak gitu?”
“Hah?!!” Serius, ada yang ngomong gitu?”
“Ada.. tapi ya gitu.. mereka cuma nebak-nebak aja sambil nge-gosip.. nggak pernah gue ladenin..”
Gua menggelengkan kepala mendengar penjelasan dari Desita, gua benar-benar tidak menyangka begitu berat beban hidup yang harus ditanggungnya. Ah, di titik ini gua sempat berfikir kalau Tuhan itu tidak adil, betapa gua hidup bergelimang harta, tanpa kurang apapun, bahkan tanpa bekerja keras pun gua bisa mendapatkan apa yang gua mau. Sedangkan dilain sisi, ada Desita dan mungkin ratusan bahkan ribuan orang yang ‘kurang beruntung’ sepertinya yang hidup berselimut dingin, beratap mendung, bahkan untuk sekedar bermimpi pun mereka takut, takut tidak terpenuhi.
“Mikir apa sol?”
Desita bicara membuyarkan lamunan gua.
“Tuhan itu maha Adil, sol.. tapi otak kita, otak manusia tuh nggak sebanding buat ngukur tingkat ‘adil’ nya Tuhan dengan kita..”
“Iya sih..”
“Adil buat menurut lo aja bisa berbeda artian dengan adil menurut gua.. “
“Masa?”
“Iya.. adil itu bukan ‘bagi rata’, si anak SMA dapet jajan 15000 si anak SD dapet jajan 15000 apakah itu adil buat lo?”
“Adil.. sama-sama lima ribu..”
Gua menjawab santai.
“Tuhkan.. beda,.. buat gua jawabannya nggak adil, karena lima ribu buat si anak SD tentu saja terlalu banyak, nggak sesuai porsi dan mubazir.. “
Gua hanya bisa manggut-manggut mendengar jawaban Desita, sambil mengaggumi betapa bijaksana-nya dia. Pintar, bijaksana, jago masak, cantik, putih dan bermata biru. Ah, pria mana yang sanggup menolak wanita dengan kriteria seperti itu.
“Oiya Satu lagi Des…”
“Apa?”
“Nama panjang lo siapa sih?”
“Hahaha… mau tau banget sih lo”
“Ya iyalah.. masa iya nama doang lu nggak mau ngasih tau..”
“Eh sol, udah pernah nonton film horror ‘The Eye’ belum?”
Desita balik bertanya, gua tau ini trik untuk mengalihkan pembicaraan, nggak mau terkecoh, gua mengabaikannya.
“Yaudah kalo nggak mau ngasih tau..”
Gua bicara, kemudian disusul keheningan yang merayapi kami berdua.