
Gua duduk terdiam di teras belakang rumah gua sambil menghabiskan sebatang rokok dan memandang ke arah kolam yang berisi ikan koi.
Gua nggak habis pikir dengan Desita, cewek yang begitu kuat menghadapi kerasnya hidup. Tinggal dipemukiman padat, dengan rumah yang mungkin nggak layak gua sebut rumah, merawat ibu yang sakit dan parahnya... Desita harus menghadapi orang yang menyebalkan seperti gua ditempat kerjanya. Gua menyesali diri sendiri, semakin teringat Desita, semakin menyesal gua dibuatnya. Gua berdiri dan berjalan menuju ke ruang keluarga, kemudian duduk di kursi yang berhadapan dengan meja telepon dan mulai menekan tombol-tombol dipesawat telepon, menghubungi nomor ponsel gua.
“Halo..”
“Halo, Des...”
“Ya..”
“Udah makan..”
“Udah kok.. lo?”
“Hehe udah juga..”
Saat gua tengah asik bertelpon ria dengan Desita, Salsa dengan suara cemprengnya berteriak teriak.
“Cie yang lagi pacaran.... pake telepon rumah lagi..”
Gua menghela nafas dan kembali menghadapi gagang telepon.
“Suara siapa tuh sol.. kayak suara perempuan..”
“Iya, suara kakak gua.. “
“Yaudah deh, gua tutup ya.. soalnya reseh kalo ada dia..”
“Oh yaudah..”
“Besok masuk kerja kan?”
“Mmm.. masuk..”
“Oke, bye..”
“Bye.. eh sol.. makasih ya..”
“Iya..”
Gua menutup gagang telepon kembali ditempatnya. Melepas sebelah sendal jepit yang gua pakai dan melemparkannya ke arah Salsa yang masih berteriak teriak nggak keruan.
---
Dikamar gua berbaring memandang langit-langit kamar sambil tak henti-hentinya memikirkan Desita. Membayangkan betapa besar beban hidup yang harus ditanggungnya, membayangkan kesulitan yang terus menghantuinya dan sekali lagi gua menyesali apa yang sudah gua pernah lakukan ke dia.
Selama hidup, gua jarang sekali menyesali sesuatu. Hal terakhir yang gua ingat adalah penyesalan gua perkara beberapa tato yang saat ini menghiasai punggung dan lengan atas sebelah kanan. Waktu itu ibu sampai nangis-nangis pas tau kalo anak laki satu-satunya ditato, tato yang gua buat sewaktu liburan bareng Salsa dan beberapa sepupu ke Amerika. Bapak yang biasanya nggak pernah marah, pas melihat tato dipunggung gua dia langsung bergegas mengambil setrikaan, berniat menempelkan setrikaan panas dipunggung gua, seingat gua Bapak bilang begini;
“Pikir dulu kalo mau buat Tato.. itu dibawa sampe mati..”
Ya tapi mau bagaimana lagi, tinta sudah meresap kedalam kulit menembus daging. Gua hanya bisa duduk merenung berhari-hari menyesali keteledoran dalam gejolak kawula muda gua saat itu.
Dan saat ini, penyesalan seperti itu datang kembali.
Penyesalan karena sudah tidak berlaku ‘nice’ terhadap Desita dan ditambah sebuah penyesalan tentang perilaku gua yang suka nggak bijak saat mengeluarkan uang, padahal masih banyak orang diluar sana yang hidupnya serba terbatas. Seringkali gua memandang rendah Desita yang sehari-hari menikmati makan siang-nya dimeja kerja gua dengan bekal yang dibawa-nya dari rumah.
Menyesal, saat ingat gua dulu seringkali membolos sekolah hanya untuk bermain billiard, menghabiskan uang saku untuk mentraktir cewek-cewek dan bahkan gua pernah menjual jam tangan hadiah ulang tahun dari Bapak hanya untuk membayar Villa di anyer untuk traktir teman-teman.
---
Pagi itu gua tiba dikantor seperti biasa, gua berjalan semakin cepat saat melihat sosok Desita tengah duduk dikursinya menghadap ke layar monitor.
“Hi There..”
Gua menyapa Desita.
“Oh.. hai.. udah dateng...”
Desita menjawab, tersenyum kemudian menyodorkan sebuah bungkusan korang yang sedikit berminyak kehadapan gua.
“Apaan nih..?”
“Buka aja..”
Gua membuka bungkusan tersebut, didalamnya terdapat dua buah kue cokelat berbentuk lonjong yang berbalut gula merah.
“Wah.. kemplong..”
“Bukaaan... bukan kemplong, tapi Gemblong..”
“Ooh.. Gemblong..”
Gua celingak celinguk mencari tissue, kemudian secara sadar gua melupakan tissue dan mengambil Gemblong dengan tangan kosong dan mulai melahapnya. Ah.. belum pernah seumur hidup gua merasakan kue yang senikmat ini, sambil sesekali menatap kue yang gua makan, gua bertanya ke Desita;
“Ini dibikin dari apa? Dari ketan ya?”
“Dari singkong..”
“Hah.. singkong? Kok bisa seenak ini..”
“Yee.. norak..”
Sesaat kemudian gua mulai larut lagi dalam aroma tubuh dan parfum-nya Desita. Seakan nggak ingin kehilangan aroma tersebut, gua menghirupnya dalam-dalam tanpa mau menghembuskannya lagi.
Desita mengeluarkan ponsel gua dari dalam tasnya, lengkap dengan charger dan earphone-nya.
“Nih.. sol, makasih ya udah minjemin..”
“Laah, handphone lu emang udah bener?”
Desita menggeleng, kemudian tersenyum.
“Handphone gue nggak rusak kok, tapi gue jual...”
“Lho kenapa dijual, nanti lu pake apa?”
“Nggak papa, lagian sekarang gue belom butuh-butuh banget kok...”
“Ya elu nggak butuh, trus gua apa kabar.. gua kalo mau hubungin lu gimana?”
“Kan kita ketemu setiap hari disini, dikantor..emang masih kurang delapan jam ketemu gue?”
Gua memajukan bibir, mengernyitkan dahi kemudian mengangguk sambil berkata lirih; “Iya, kurang..”
“Kalo dijual, berarti simcard nya masih ada dong?”
Gua bertanya ke Desita. Dia cuma mengangguk kemudian mengeluarkan Sebuah kartu kecil dari dalam saku dompetnya dan meletakkannya diatas meja. Dengan cepat gua menyambar kartu simcard tersebut, membuka casing ponsel gua, melepas simcard milik gua dan menggantinya dengan milik Desita kemudian menyodorkan kembali kepadanya.
“Nih.. lu pake aja dulu sementara...”
“Ah nggak ah.. gue nggak mau utang budi sama elo..”
Desita menyodorkan kembali ponsel tersebut kearah gua. Gua bersikeras tapi Desita tetap menolak. Akhirnya setelah berfikir sejenak gua mendapatkan sebuah Ide brilian.
“Yaudah, nih lu bayarin deh handphone gua.. kalo lu nggak mau cuma-cuma..”
“Idih.. mana kuat gue bayarin handphone kayak begini...”
“Des.. nggak semuanya harus dibayar pake duit kali..”
“Trus pake apa? Pake daon?”
“Pake Cinta...”
“Idiih.. ogah.. masa cinta gue cuma dihargain sama handphone...”
“Hahaha.. nggak nggak becanda.. dibayar pake gemblong aja..”
“Hah? Serius..”
“Iya serius.. besok sabtu lu bikinin gua gemblong..”
Nggak menunggu jawaban dari Desita gua buru-buru memasukkan ponsel yang sudah gua berikan kedalam tas nya, beserta charger dan earphone nya.
Dan disisa hari itu, gua menghabiskan waktu kerja dengan semangat. Perlu diketahui, kalau gua nggak pernah sesemangat seperti hari ini selama gua bekerja disini. Semua karena seseorang dan orang itu bernama Desita.