
Sontak Desita terkejut bukan main mendengar perkataan yang spontan keluar dari mulut gua. Dia menoleh, kembali ke kesadarannya, menginggalkan tatapannya yang kosong. Kali ini dai menatap gua tajam.
“Lo...”
“...”
“Lo ngeledek gue?”
“Nggak.. gua serius.. gua suka sama elu..”
“Tapi,..”
“Tapi apa?”
“Kalo lo suka sama gue, perlakuan lo ke gue, selama ini tuh..”
Desita menggelengkan kepalanya, kemudian dia membuang muka dan kembali menatap kosong ke depan.
“Perlakuan lo selama ini tuh, nggak fair banget buat gue.. baru sekali lo bersikap nice ke gue malam ini.. dan lo langsung bilang suka sama gue..i don’t get it.. gue nggak ngerti..”
“Ya, gua tau kalo gue emang nyebelin.. tapi kan...”
Belum selesai gua berbicara Desita buru-buru memotongnya.
“Nggak.. nggak.. gue tau kalo ini semua cuma bagian dari jokes lo.. nanti saat gue bilang ‘iya’ terus lo bakal ketawa, dan besoknya gue bakal jadi bahan ejekan lo dikantor..”
“Nggak gitu Des,.. ini mah serius.. “
Kali ini gua yang menggeleng, berusaha keras mencari cara untuk meyakinkan Desita. Gua berusaha memegang tangannya, tapi dia buru-buru menariknya.
“Des.. suruh gua ngapain aja.., suruh gua ngapain aja untuk nge-buktiin kalo gua serius..”
Desita menatap gua, kemudian dia berdiri.
“Sol.. gue nggak pernah minta apapun dari lo, gue nggak pernah meminta apapun dari orang yang suka sama gue..”
“...”
“Kalo lo emang serius, gue mau lo nunjukkin satu aja.. cukup satu hal aja..dan itu bakal lebih dari cukup buat ngeyakinin gue..”
“Gua harus apa?”
“Kenali gue...”
“Makudnya?...”
“Cmon sol... i just met you and you event dont know my last name...lo belom tau siapa gue, berasal darimana gue..”
“Gua nggak perlu itu Des.. gue nggak perlu tau siapa elu, darimana elu, berasal dari keluarga manapun elu.. gua cuma.. gua cuma jatuh hati sama lu..”
“Gue perlu, sol.. Gue pelu lo tau semua hal tentang gue, baru lo bisa menilai gue, dan gue yakin setelah lo tau semua tentang gue.. lo bakalan ninggalin gue, lo bakal jauhin gue.. sama seperti cowok-cowok lainnya...”
“Oke.. kalo gitu, kita buktiin aja...”
“Udah sol, gue mau pulang...”
“Tapi, masih ujan.. tunggu reda nanti gue anter..”
“Nggak gue naek taksi aja...”
Desita kemudian berjalan pelan melintasi pelataran parkir ruko dimana kami berteduh. Dengan menggunakan jaket gua sebagai pelindung kepalanya dia memanggil taksi yang banyak mengantri di depan gereja. Beberapa menit berikutnya dia sudah masuk kedalam taksi yang membawanya melaju, melintasi jalan melawai.
Gua hanya terdiam, saat sadar perkataan Desita waktu awal kita bertemu tadi;
“Mau kemana...? gue nggak bawa dompet nih...”
Buru-buru gua menerobos hujan, menyalakan mesin motor dan berusaha menyusul taksi yang membawa Desita pulang. Dilampu merah perempatan Barito, gua berhenti tepat didepan taksi yang membawa Desita, nggak sulit untuk menemukan taksi berwarna mentereng tersebut di jam segini. Gua menghentikan motor didepan taksi tersebut dan mengetuk kaca depan bagian supir. Awalnya si supir terlihat ketakutan, tapi setelah gua menunjuk-nunjuk ke arah Desita yang duduk dikursi penumpang dibelakang, dia membuka kaca jendelanya. Gua mengeluarkan dompet, mengambil dua lembar ratusan ribu dan menyerahkannya ke supir taksi tersebut.
“Pak, anterin sampe rumah ya.. kembaliannya ambil aja..”
Si supir mengambil uang yang sudah terlanjur basah tersebut sambil bertanya ke gua.
“Lagi marahan ya mas?”
Gua cuma tersenyum kemudian memandang ke arah Desita yang membuang pandangannya ke sisi lain jendela. Kemudian taksi tersebut bergerak, melaju meninggalkan gua yang berdiri di tengah jalan sambil menerima makian dari pengendara mobil dibelakang.
---
Gua duduk diranjang kamar gua, memandang kearah jendela kamar yang gua biarkan terbuka. Hujan baru saja reda, menyisakan bau khas tanah yang terkena air hujan, gua menghirup aroma khas tersebut dalam-dalam, namun yang tercium hanya parfum dengan aroma permen, bau parfum Desita.
Gua mengambil ponsel dan menekan tombol berlambang telepon berwarna hijau; Redial. Kali ini bukan hanya kumpulan angka-angka, nama Desita muncul di layar ponsel gua. Berkali-kali nada sambung terdengar tapi nggak ada jawaban dari Desita, gua mencobanya beberapa kali dan hasilnya tetap sama. Gua panik!,
Gua bergegas mengambil jaket, bersiap menyusul Desita. Tapi kemana? Rumahnya pun gua nggak tau.
Gua terduduk didepan pintu kamar sambil mendekap jaket dan masih menggenggam ponsel. Nggak berapa lama ponsel gua berdering, gua melihat layarnya. Nama Desita muncul disana, gua menarik nafas lega kemudian menjawab panggilan tersebut.
“Halo..Sol.. gue udah dirumah...”
“Kapan sampe-nya?”
“Tadi, abis mandi dulu...”
“Emang nggak bisa ngasih kabar dulu!!!?”
“....”
“SMS kek kalo udah sampe daritadi.. gua kan panik...”
“Iya.. yaudah gue mau istirahat dulu..”
“Ya..”
“Eh.. sol...makasih ya udah traktir gue...
“Iya sama-sama...”
“Makasih juga udah mau repot-repot panik buat gue..”
“Ya..”
Gua menggenggam ponsel dan meletakkannya didada, sambil tersenyum gua memandang ke luar melalui jendela kamar yang terbuka.
Lagu Benci untuk Mencinta-nya Naif mengudara dari pos satpam disebelah rumah, berbarengan dengan suara biji karambol yang saling berbenturan diselingi gelak tawa, pak harjo dan mang diman si hansip yang sedang memulai tugas jaganya.
Oh, betapa ku saat ini
Ku cinta untuk membenci... membencimu...
Oh, betapa ku saat ini
Ku benci untuk mencinta... Mencintaimu...
Aku tak tau apa yang terjadi
Antara aku dan kau
Yang ku tau pasti...
Ku benci untuk mencintaimu.