- Beranda
- Stories from the Heart
Everytime
...
TS
robotpintar
Everytime

Song by : Britney Spears
Notice me
Take my hand
Why are we Strangers when
Our love is strong?
Why carry on without me?
Everytime I try to fly,
I fall without my wings,
I feel so small.
I guess I need you baby.
And everytime
I sleep your in my dreams,
I see your face, it's haunting me.
I guess I need you baby.
I make believe
That you are here.
It's the only way
That I see clear.
What have I done?
You seem to moveon easy.
Everytime I try to fly,
I fall without my wings,
I feel so small,
I guess I need you baby.
And everytime I sleep
your in my dreams,
I see your face, you're haunting me
I guess I need you baby.
I may have made it rain,
Please forgive me.
My weakness caused you pain,
And this song's my sorry...
At night I pray,
That soon your face
Will fade away.
Take my hand
Why are we Strangers when
Our love is strong?
Why carry on without me?
Everytime I try to fly,
I fall without my wings,
I feel so small.
I guess I need you baby.
And everytime
I sleep your in my dreams,
I see your face, it's haunting me.
I guess I need you baby.
I make believe
That you are here.
It's the only way
That I see clear.
What have I done?
You seem to moveon easy.
Everytime I try to fly,
I fall without my wings,
I feel so small,
I guess I need you baby.
And everytime I sleep
your in my dreams,
I see your face, you're haunting me
I guess I need you baby.
I may have made it rain,
Please forgive me.
My weakness caused you pain,
And this song's my sorry...
At night I pray,
That soon your face
Will fade away.
FAQ (Frequently asked questions)
Indeks Cerita :
Quote:
Episode 1
Bagian #1
Bagian #2
Bagian #3
Bagian #4
Bagian #5
Bagian #6
Episode 2
Bagian #7
Bagian #8
Bagian #9
Bagian #10
Bagian #11
Bagian #12
Bagian #13
Bagian #14
Bagian #15
Bagian #16
Bagian #17
Bagian #18
Bagian #19
Bagian #20
Episode 3
Bagian #20A
Bagian #20B
Bagian #20C
Bagian #20D
Episode 4
Bagian #21
Bagian #22
Bagian #23
Bagian #24
Bagian #25
Bagian #26
Bagian #27
Bagian #28
Bagian #29
Bagian #30
Episode 5
Bagian #31
Bagian #32
Bagian #33
Bagian #34
Bagian #35
Bagian #36
Bagian #37
Bagian #38
Episode 6
Bagian #39
Bagian #40
Bagian #41
Bagian #42
Bagian #43
Bagian #44
Bagian #45
Bagian #46
Bagian #47
Episode 7
Bagian #48
Bagian #49
Bagian #50
Bagian #51
Bagian #52 (End)
Bagian #1
Bagian #2
Bagian #3
Bagian #4
Bagian #5
Bagian #6
Episode 2
Bagian #7
Bagian #8
Bagian #9
Bagian #10
Bagian #11
Bagian #12
Bagian #13
Bagian #14
Bagian #15
Bagian #16
Bagian #17
Bagian #18
Bagian #19
Bagian #20
Episode 3
Bagian #20A
Bagian #20B
Bagian #20C
Bagian #20D
Episode 4
Bagian #21
Bagian #22
Bagian #23
Bagian #24
Bagian #25
Bagian #26
Bagian #27
Bagian #28
Bagian #29
Bagian #30
Episode 5
Bagian #31
Bagian #32
Bagian #33
Bagian #34
Bagian #35
Bagian #36
Bagian #37
Bagian #38
Episode 6
Bagian #39
Bagian #40
Bagian #41
Bagian #42
Bagian #43
Bagian #44
Bagian #45
Bagian #46
Bagian #47
Episode 7
Bagian #48
Bagian #49
Bagian #50
Bagian #51
Bagian #52 (End)
Quote:
Diubah oleh robotpintar 04-07-2014 13:30
gocharaya dan 103 lainnya memberi reputasi
102
600.3K
Kutip
1.5K
Balasan
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#95
Spoiler for Bagian #8:

“Oke, Des.. berapa 577 pangkat 2..”
“What? Lo ngetes gue?”
“Udah jawab aja..”
“Nggak! Gue nggak mau jawab sebelum tau, kenapa lo tiba-tiba nanya ke gue..”
“Udaah jawab aja!”
Gua setengah berteriak ke Desita
“Nggak!!”
Desita pun nggak mau kalah, dia berteriak sambil menepuk dashboard mobil.
Gua menepikan mobil disisi jalan yang hampir mendekati lokasi kantor BPOM yang terletak di daerah Cipinang, Jakarta Pusat. Gua mengaktifkan rem tangan dan memalingkan wajah gua ke hadapannya.
“Lu cukup jawab aja, Des.. berapa 577 pangkat dua..”
“Gue nggak mau jawab, sol… lagian kenapa gue harus jawab, buat apa?”
“Haaah.. tinggal jawab aja apa susahnya, jangan-jangan emang lo nggak bisa lagi, makanya nggak mau jawab..”
Gua menurunkan rem tangan mobil, memasukan perseneling dan kembali melaju di jalanan. Gua melirik Desita yang masih terlihat cemberut gara-gara kejadian barusan. Gua hanya ingin tau sejauh mana kecepatan dia dalam menghitung. Tiba-tiba tangan mungilnya menyentuh tangan kiri gua yang masih menggenggam perseneling.
“Ganti soalnya..”
“What?”
Gua bertanya penasaran.
“Ganti soal yang lain..”
“Oke, bentar..”
Gua mengeluarkan ponsel dari dalam saku, masuk ke mode kalkulator dan mulai menghitung.
“Nih.. 727 pangkat dua, berapa?”
Gua mengajukan satu pertanyaan dan gua sudah memegang hasilnya yang tertera di layar ponsel. Gua menatap Desita yang tengah memejamkan matanya, beberapa detik kemudian, dia berkata;
“528.529…”
Gua mengintip layar ponsel yang sedari tadi gua telungkupkan didashboard speedometer mobil, dan terkejut saat mencocokan angka yang disebut Desita dengan yang tertera di layar ponsel. Gua meminta Desita mengulangi jawabannya, dia mengucapkan angka-angka tersebut lagi dan jawabannya tetap sama.
“Oke, bener.. tapi bisa aja kebetulan.. nih lagi..”
Gua menekan tombol-tombol pada keypad ponsel, berusaha memberikan soal hitungan lagi ke Desita.
“Boleh…”
Desita tersenyum simpul, kemudian menyilangkan kedua lengannya diatas dada.
“97864 dikali Sembilan.. berapa? Makan tuh itungan…”
“No.. no.. jangan perkalian Sembilan, terlalu mudah.. ganti yang laen..”
Desita menggeleng-gelengkan jari telunjuknya sambil mengikuti gesture orang-orang India saat menggeleng.
“Yaudah.. 97864 dikali delapan..”
Desita kembali menutup matanya, kali ini sedikit mengernyitkan dahinya. Tampak dari sini, kecantikan alami yang nggak pernah gua lihat dari perempuan manapun di Dunia ini.
“782912.. nggak usah di cek, udah pasti bener..”
Desita berkata ke gua sambil tersenyum dan membuka matanya. Gua melotot, sedikit emosi mendengar nada dan gaya bicaranya yang sombong, disini yang boleh sombong hanya gua, nggak ada orang lain selain gua yang bisa menyombongkan diri, gua nggak suka itu.
Kemudian gua membalik ponsel dan angka yang sama dengan yang disebutkan Desita muncul di layar ponsel gua.
Mungkin jika ada yang sadar, akan terlihat kalau wajah gua menegang dan memerah, syaraf-syaraf mata gua membesar dan jantung gua berdetak cepat sambil memompa darah lebih banyak ke otak. Gua sepertinya masih belum bisa menerima kalau Desita bisa menghitung nominal besar tanpa alat bantu hanya dalam hitungan detik. Gua mengusap wajah sambil terus menyetir memasuki area parkir gedung BPOM.
Gua dan Desita berjalan cepat melintasi area parkir yang sedikit panas, menuju ke gedung B untuk mengurus dokumen pindah alamat. Sambil berjalan gua terus menanyakan perkalian-perkalian nominal besar ke Desita, semakin besar nominal yang gua sebut, dia terlihat semakin bersemangat memainkan ujung-ujung jarinya diudara, dia seperti menghitung dengan spidol dan papan tulis imajiner dimana hanya dia yang mampu melihatnya dan semuanya berlangsung cepat, hampir secepat kita; yang normal menghitung 12 x 12.
Gua menghentikan langkah kaki didepan sebuah tangga yang mengarah kepintu masuk kantor BPOM gedung B, Desita sudah berada didepan gua beberapa langkah ikut menghentikan kaki-nya kemudian menoleh ke arah gua.
“Kenapa?”
“Nggak papa.. gua cuma bingung aja sama elu”
“Hah, bingung?”
Desita meraih tangan gua dengan tangan mungilnya yang putih, kemudian dia membisikan sesuatu ke telinga gua;
“Lo seharusnya kagum, bukannya bingung..”
“Sombong banget sih lu jadi cewek, baru bisa itung-itungan begitu doang aja..”
Gua melepaskan tarikan tangannya dan mulai berjalan kembali meninggalkan Desita yang masih berdiri diam. Gua nggak terima, sama sekali nggak terima, ada orang yang bisa bersombong ria dihadapan gua, apalagi perempuan.
“Yaah, gitu aja marah.. kan bukan gue yang mau show-off, elo yang nanya-nanya duluan..”
Desita berlari kecil menyusul gua.
Gua memandang wajahnya sekilas dan muncul sedikit penyesalan menggerogoti perasaan gua.
“Udah jangan bawel.. sini..”
Gua mengajaknya masuk kedalam lift dan menekan tombol lantai 4, menuju ke atas. Didalam lift yang nggak begitu besar, yang saat ini hanya berisi kami berdua, Desita berdiri persis didepan gua, kami sama-sama menghadap ke pintu lift dan sama-sama hanyut dalam diam. Perlahan gua beranikan diri sedikit membungkuk, menciumi aroma rambutnya dan gua tau aroma ini hanyalah aroma dari shampoo rumahan biasa, dengan esensi yang biasa pula, aroma yang sering gua rasakan bau-nya tapi entah kenapa aroma nya begitu menggoda kali ini. Gua membungkuk lebih rendah, aroma tubuh Desita yang bergolak bercampur dengan parfum permen yang terasa manis begitu membius. Gua memejamkan mata, saat itu yang ada dipikiran gua hanya ingin memeluk gadis ini, memeluk Desita.
“Ngapain lo?”
Desita membuyarkan lamunan singkat gua. Dia menoleh, memandang gua dari atas kebawah seakan bertanya apa yang gua lakukan dalam posisi terpejam, setengah membungkuk dengan lutut sedikit tertekuk dan lengan menjuntai kebawah, mirip seperti kera.
“Lo mau nyium gue? Mau gue gampar lagi..”
Desita mengangkat tangan kanan-nya bersiap melayangkan tamparan ke gua, kemudian suara khas bel lift terdengar disusul kedua pintunya terbuka. Beberapa orang yang tengah menunggu lift memandang heran ke arah kami, sambil menahan malu kami pun bergegas keluar.
“Lo mo ngapain tadi? Mo ngelecehin gue?”
Desita menarik lengan gua ke arah sudut ruangan, sambil berbisik dia mencubit lengan gua.
“Sakiit, ngapain sih lu.. nyubit-nyubit segala? Eh gua kalo mau nyium cewek juga milih-milih kali..”
“Iya, dan lo milih gue..”
“Eeeh.. sorry ya Des, lu bukan tipe gua kali..”
Gua berbohong lagi, kebohongan kedua, sebuah kebohongan untuk menutupi kebohongan lainnya. Dan gua menyesal.
“Gue harus ngapain nih?”
Desita bertanya sambil mengangkat kedua bahunya. Gua hanya menunjuk dengan ujung dagu sebuah mesin tiket antrian otomatis di sebuah sudut ruangan. Desita berjalan cepat menghampiri mesin tersebut, sementara gua mencari-cari bangku kosong untuk duduk menunggu.
“Sol.. sol..!! yang merah apa biru?”
Desita berteriak memanggil dan bertanya ke gua, sementara seorang security bertubuh tegap datang menhampiri Desita sambil meletakkan jari telunjuk didepan mulutnya. Gua tersenyum melihat tingkahnya, dari gesturnya dia sepertinya meminta maaf ke security tersebut kemudian berlari menghampiri gua.
“Sol.. yang merah apa biru?”
Desita bertanya sambil setengah berbisik.
“Yang merah..”
Gua menjawab, Desita kemudian ngeloyor pergi kembali ke mesin tiket antrian. Selang beberapa saat dia sudah kembali sambil menggenggam dua buah tiket antrian, yang satu bernomor 35 yang satu lagi bernomor 38.
“Ngapain ngambil sampe dua begitu?”
“Nanti kalo ada pertanyaan yang nggak jelas tapi kita udah ninggalin loket, kan bisa ngantri lagi.. hehehe..”
Dia menjelaskan sambil duduk dibangku kosong di sebelah gua. Suasana di sini semakin ramai, banyak orang yang datang kesini pagi-pagi sekali untuk mengambil tiket kemudian pulang atau turun kekantin kemudian kembali saat loket sudah mulai dibuka. Rata rata yang datang untuk sekedar konsultasi atau mengurus perijinan edar makanan dan obat-obatan tapi, banyak juga yang namanya ‘calo’, hampir mirip dengan kantor-kantor pemerintahan lainnya, birokrasi-nya rumit dan bertele-tele hingga jasa ‘calo’ mampu berkembang biak dengan cepat.
Gua mengeluarkan ponsel, berniat memainkan game favorit gua sambil membunuh waktu. Desita melirik ke arah gua dan menggeser tubuhnya lebih dekat. Aroma tubuhnya kembali tercium, membuat gua menahan nafas sebentar, mencoba tetap bersikap normal.
“Gue pinjem dong, sol.. “
“Apaan?”
“Pinjem hape lo..”
“Buat?”
“Dengerin lagu.. ada earphone nya kan?”
Gua mengangguk kemudian mengeluarkan earphone dari kantong ransel dan menyerahkan ponsel beserta earphone-nya ke Desita. Dia menyambutnya, memasang earphone dan mulai memutar sebuah lagu. Dari tempat gua duduk, terdengar samar sebuah lagu diputar, sepertinya dia memutar lagu dengan volume maksimal, gua menggeleng sambil memandanginya. Desita mungkin sedang mendengar salah satu lagu yang ada di Ponsel gua, sedangkan gua; benak gua mulai memainkan lagu imajiner sendiri, sebuah lagu cantik sambil memandangi ciptaan Tuhan yang indah, yang tengah duduk disebelah gua;
Bait demi bait, berjalan seperti newstiker berita malam di kepala gua, sebuah lirik dari Kahitna;
Cantik...
Ingin rasa hati berbisik
Untuk melepas keresahan
Dirimu
Cantik...
Bukan ku ingin mengganggumu
Tapi apa arti merindu
Selalu...
Ingin rasa hati berbisik
Untuk melepas keresahan
Dirimu
Cantik...
Bukan ku ingin mengganggumu
Tapi apa arti merindu
Selalu...
---
Malam itu, malam setelah ‘kencan’ pertama gua dengan Desita. Ok, gua menyebutnya sebagai ‘kencan’ entah bagaimana Desita menyebutnya. Gua duduk di beranda belakang rumah gua, ditemani setengah cangkir kopi dan sebatang rokok, sambil sesekali memandang layar ponsel gua menunggu balasan SMS dari Bewok, yang katanya ingin mampir kesini.
‘Drtt..drrtttt..’
Sebuah pesan masuk; Dari Bewok;
“Gak Jd Cuy, Lembur nih”
Gua menghela nafas setelah membaca pesan dari Bewok, kemudian melemparkan ponsel ke kursi goyang yang terletak nggak jauh dari tempat gua duduk, diteras merah, beranda belakang rumah. Gua memandangi kolam yang berisi puluhan ikan koi yang tengah berebut roti yang sedari tadi gua lemparkan kedalam kolam, sambil memandangi sosok Desita yang terpantul didasarnya.
“Bleh.. anter ke Indomart dooong..”
Suara Salsa memecah lamunan gua, dia datang kemudian duduk disebelah gua, dengan dompet dijepit dilengannya.
“Ah males gua.., sama Oge aja noh..”
“Oge udah pulaang..”
Salsa menjawab. Oge adalah asisten rumah tangga jika menggunakan bahasa ‘pembantu’ terlalu kasar. Mpok Esih dan Oge adalah asisten rumah tangga kami sejak Salsa masih kecil, mereka sudah dianggap keluarga sendiri oleh Bapak dan Ibu, rumahnya pun hanya berjarak beberapa meter dari rumah kami. Jadi, mereka datang pagi-pagi dan pulang saat semua pekerjaan rumah telah selesai.
“Yaudah jalan sendiri sono, sekalian olahraga, katanya mau ngurusin badan?”
“Yeee.. gue kalo berani ngapain minta anterin lo..”
“Yaelah sa, baru juga jam tujuh.. masih rame kali jalanan..”
“Ah.. lo mah nggak asik banget jadi sodara..”
“Emang mao beli apaan sih?”
“Jajan..”
“Besok aja..”
“Ih...”
Salsa menggerutu sambil berdiri dan pergi meninggalkan gua. Nggak seberapa lama, Salsa kembali lagi dan duduk disebelah gua. Kali ini dia membawa segelas air dingin dan meletakkannya di lantai diantara kami.
“Sa..”
“Apa?”
“Gua nyebelin nggak?”
“Kenapa lo tau-tau nanya gitu?”
“Jawab aja..”
“Wah tumben serius nih.. mau jawaban yang jujur tapi nyakitin apa yang bohong apa enak didenger?”
“Gua serius nih..”
“Iya sama gue juga serius..”
Salsa menjawab sambil meletakkan kedua tangannya kebelakang dan meluruskan kedua kakinya.
“Yang jujur.. tapi nyakitin..”
“Bener? Nggak takut kecewa nih?”
“Buruan, jawab..”
“Hahahaha.. penasaran? Tunggu bentar, gue mau motongin kuku dulu..”
Salsa mengeluarkan kunci kamar yang juga terdapat guntingan kuku sebagai gantungan kunci dari dalam saku celananya. Gua mengernyitkan dahi dan merebut kunci tersebut dari tangannya.
“Bisa nggak sih lo nggak nyebelin, sa?”
“Nah itu lo tau..”
“...”
“Lo tuh sama kayak gue.. kalo lo mau tau betapa nyebelinnya elo, ya lu liat aja gue..kita ini sodara, kita sama-sama nyebelin.. cuma bedanya, gue nyebelin tapi nggemesin sedangkan elo nyebelin tapi sengak...”
Gua terdiam mendengar penjelasan Salsa, apa sebegitu menyebalkannya kah gua? Apa iya? Gua merenung sejenak sebelum akhirnya setuju dengan perkataan Salsa.
“Kenapa sih lo, bleh? Sok serius banget..”
“Gapapa..”
“Boong!”
“Gini Sa, gua lagi suka sama cewek.. tapi tuh cewek bukan tipe gua sama sekali dan.. apa ya.. nggak gua banget..”
“Ya, kenapa lo bisa suka kalo dia ‘nggak elo banget’?”
“Gua nggak tau.. tapi semakin kesini semakin parah suka nya”
“Udah kenal berapa hari?”
“Sebulan..”
“Tumbeeen.. biasanya baru kenal dua hari langsung lo tembak, seminggu kemudian lo putusin..”
“Dia ini beda, sa.. Beda..”
“Yaudah tembak..”
“Gua takut, sa..”
“Tumbeeeen, lo punya takut sama cewek..”
“Gua takut, kalo dia nolak gua, gua nggak bisa lagi deket sama dia...”
“Kok? Nggak biasa-biasanya lo takut ditolak..?”
“Kan udah gua bilang kalo dia ini beda..”
“Gue jadi penasaran.. ada fotonya nggak?”
Gua menggeleng.
“Trus, respon dia gimana ke elo?”
Salsa bertanya lagi dan gua kembali menggeleng.
Selama ini, semua perempuan yang gua dekati pasti menunjukkan respon positif, respon itulah yang membuat gua selalu percaya diri dalam menghadapi mereka. Tapi, kali ini beda. Desita sungguh berbeda dari kebanyakan perempuan yang sempat gua kenal, nggak cuma cantik, dia juga open minded, pintar dan arogan. Satu-satunya perempuan yang mampu ‘fight-back’ ke gua, perempuan yang mampu memberi perlawanan, nggak frontal tapi cukup mengena di hati.
“Lo mau saran dari gue nggak?”
Salsa berdiri, bertolak pinggang sambil menendang kaki gua.
“Hah..”
“Mau saran dari gue nggak?”
“Apa?”
Salsa mengambil ponsel gua yang tadi sempat gua lempar ke kursi goyang. Dan menyerahkannya ke gua.
“Telpon tuh cewek sekarang..”
“Trus?”
“Katro banget sih lo, kayak baru sekali kenal cewek aja.. ya ajak jalan kek, nonton kek, makan kek...”
Gua hanya diam memandangi layar ponsel sementara Salsa masuk kedalam sambil berteriak;
“...atau ajak ke hotel kek..”
“Gilaaa!!”
Gua terbengong-bengong sejenak, kemudian membulatkan teklad untuk mencoba menghubunginya. Masalah lain muncul; gua nggak punya nomor teleponnya. Gua menghela nafas dan meletakkan ponsel dilantai, kemudian muncul sebuah nama dan gua yakin nama itu bakal membantu gua.
‘Tut.. tut..”
“Halo..”
“Halo, Bu Indra.. malem bu..”
“Ya, hin.. kenapa?”
“Sorry ganggu malem-malem.. anu.. saya mau nanya..”
“Nanya apa hin?”
“Hmm.. punya nomornya Desita nggak?”
“Desita, mana ya hin?”
“Itu lho anak baru yang probation sama saya..”
“Oooh.. ada hin..”
“Boleh minta bu?”
“Boleh, besok Senin ya,, soalnya data-datanya di kantor..”
Gua menarik nafas sambil menggumam ‘yaelah’ kemudian, pamit sebelum akhirnya mengakhiri panggilan. Belum lengkap semenit setelah gua mengakhiri panggilan, ponsel gua berdering, nama Bu Indra muncul di layar ponsel, buru-buru gua mengangkatnya.
“Ya bu..?”
“Halo, hin... coba kamu tanya Fitri deh, soalnya dulu dia yang hubungi calon karyawan buat interview..”
“Oh iya bu, saya coba deh..”
“Punya nomornya fitri kan?”
“Punya bu..”
Gua menjawab sambil bergumam dalam hati, cewek cantik mana di kantor yang gua nggak punya nomor ponselnya; kecuali Desita.
Gua membuka deretan pesan masuk dan mencari nama Fitri disana. Setelah menemukan pesan dari Fitri yang belum gua masukkan namanya dalam kontak ponsel, pesan yang berisi rayuan-rayuan maut gua yang sekarang malah bakal menghantarkan gua ke perempuan lainnya. Haha, don juan.
“Halo, fit..”
“Ya, hin.. kenapa? Kangen?”
“Hahaha.. iya nih, lagi dimana?”
“Masih dikantor nih, lembur..”
“Wah kebetulan, minta nomornya Desita dong, ada?”
“Desita yang anak baru ya? Buat apa? Jangan-jangan...”
Belum selesai Fitri membuat asumsi, gua buru-buru memotong bicaranya;
“Gua mau nanya dokumen gua, kayaknya kebawa dia..”
“Oooh, bentar-benta.. nanti gua SMS deh..”
“OK..”
Gua buru-buru menutup telepon dan meletakkannya kembali dilantai. Satu menit, dua menit, lima menit, sepuluh menit, gua memandangi layar ponsel gua, menunggu SMS dari Fitri. Saat gua hampir putus asa, ponsel gua bergetar, sebuah pesan masuk, pesan dari fitri yang isinya sebuah nomor ponsel. Nggak menunggu lama, gua langsung menghubungi nomor tersebut.
Nada sambung berbunyi beberapa kali, sampai akhirnya disusul suara seorang operator wanita yang berkata kalau nomor yang anda hubungi tidak menjawab. Gua mencoba lagi, dan kejadian yang sama pun terulang, hingga percobaan yang ke lima, suara serak seorang perempuan terdengar diseberang sana.
“Haloo..”
“Halo, kemana aja sih lu.. ditelponin nggak dijawab-jawab..”
“Halo, sorry ini siapa ya?”
“Gua.. masa lu nggak kenal suara gua?”
“Solichin?”
“Iya.. abis ngapain sih lu, lama banget ngangkat telepon..”
“Ketiduran.. lagian kenapa lo jadi marah-marah sih.. ada apaan?”
“Ketiduran? Emang sekarang jam berapa hah?”
“Yee.. mau jam berapa kek, terserah gue.. gue mau tidur kek, mau makan kek.. ngapain sih lo, telpon langsung marah-marah.. nggak bosen apa lo ngomelin gue mulu?”
“Makanya kalo nggak mau diomelin....”
Tut tut tut tut
Belum selesai gua berbicara,telepon sudah ditutup oleh Desita.
rinandya dan 14 lainnya memberi reputasi
15
Kutip
Balas