- Beranda
- Stories from the Heart
THIS IS SO GRAY
...
TS
akelhaha
THIS IS SO GRAY
Spoiler for Intro:
INTRODUCTION
"Well, you know, life started with good things, your mama fed you, smiled
at you. Your papa played with you. Or, maybe some of us were having another
scene, like your mama just left you on your bed when you were crying, and
your papa? He left the house. But, you can't decide their life in the
future by looking at their childhood. No, man. They have their life, not
their parents'. They decide everything, even their future." –Anggina
***
"Alat musik gitar dimainkan dengan cara di petik, suling dimainkan dengan
cara di tiup..." Terdengar suara Augray yang sedang belajar kesenian.
"Sedang apa nak?" Tanya sang mama.
"Besok ulangan kesenian, ma." Jawab Augray yang pada saat itu masih duduk
di kelas 2 Sekolah Dasar.
"Kalau belajar terus nilainya bisa bagus dong ya?" Tanya mama yang hanya di
jawab Augray dengan senyuman.
***
Terdengar suara tamparan kuat dari ruang keluarga, dan terdengar suara
tangisan yang keluar dari mulut seorang bocah berusia 8 tahun. Televisi
menyala dan bervolume keras sekali, tapi seakan suara Televisi tersebut
kalah dengan tangisannya.
"Sabu! Kalau aku bilang cuci piring, cuci baju, dan mengepel rumah tolong
diturutin dong!!! Kamu gak punya telinga atau gak sayang mama? Kalau aku
tampar, kamu baru beri respon!" Teriak seorang ibu setelah menampar anaknya.
"Sabu ingin menonton kartun ma, Sabu sudah bosan setiap hari sehabis
sekolah mengerjakan semua pekerjaan dirumah. Sabu tidak sempat belajar
juga, apalagi kalau Sabu melihat mama sedang nonton TV dan tertawa, Sabu
juga ingin, ma." Jawab Sabu sambil menangis.
"Heh?! Ngejawab lagi! Ngerjain pekerjaan rumah tuh gak seberapa daripada
waktu aku mau melahirkan kamu ya! RASANYA HAMPIR MATI! Aku sama bapakmu
yang kurang ajar itu menamai kamu Sabu karena kami pikir kamu akan membuat
kami bahagia seperti sabu-sabu yang waktu itu suka kami konsumsi, sekarang?
KAMU CUMA BIKIN SUSAH!" Omel mamanya dengan nada tinggi sambil pergi
meninggalkan Sabu yang sedang menangis, sendirian.
***
17 tahun kemudian...
"Damn, man! Why do you work in here? I mean, you're so good looking to be a
cleaning service." Merupakan ucapan yang terlontar ketika Augray mendapati
salah satu cleaning servicenya di dalam kantornya, sedang membersihkan
lantai, sofa, dan meja. Percakapan monolog Augray terdengar cukup kuat di
ruang kantornya tersebut.
"Excuse me, sir. I am not good looking as you are. Thank you for letting me
have this job, it means a lot to me." Jawab sang cleaning service kepada
Augray.
Kontan Augray pun ternganga kemudian berkata, "Are you really my cleaning
service person? Your English is good. Pretty good. Your pronunciation and
the way you talking to me, the tone."
"I am. I learned it from movies I watched and from music I always hear. Saya
sekolah hanya sampai SMA kelas 2, pak. Saya belajar hanya sekedarnya, tapi
Alhamdulillah nilai saya tak pernah gagal. Termasuk bahasa asing." Jawab
sang cleaning service.
Augray pun mengangguk sambil keheranan. "Ok, nama kamu siapa? Memangnya gak ada
pekerjaan lain yang kamu bisa ambil di kantor ini?"
"Saya Sabu, pak. Zassabu Fattir. Saya tidak mengambil pekerjaan lain karena
saya tidak lulus SMA, tidak ada yang mau menerima saya jika saya melamar
pekerjaan yang lebih tinggi lagi dari pekerjaan ini pak, paling saya bisa
jadi office boy dan cleaning service, pak." Jawab Sabu.
Augray pun tersenyum, "Hey, I like you. Let's hangout sometime and talk
about things. Kalau sekarang kita kerjakan dulu pekerjaan masing-masing ya.
Bagaimana kalau sehabis Maghrib, saya dan kamu off, lalu kita pergi makan
malam bareng? Like a close friend?"
"Maaf, pak. Tapi nanti yang lain..." Jawab Sabu yang langsung di potong
Augray dengan, "Alah, sudah jangan dengarkan yang lain. My office, I decide.
"
Sabu hanya terdiam menandakan setuju, dan Augray terus tersenyum kagum
melihat Sabu yang pintar. Ya, Augray sangat senang sekali melihat
orang-orang yang pintar. Semasa sekolah dan kuliahnya dulu, teman-temannya
semua pintar. Pintar dalam pelajaran maupun pergaulan, maksudnya pintar
menjadi seperti sosok malaikat padahal dirinya sendiri... ya hanya Tuhan
yang bisa menilai.
Augray selalu saja pergi ke club-club malam, minum minuman beralkohol.
Sholat? Augray lupa akan hal itu. Ada satu hal yang di rahasiakan Augray
dari orang tuanya, Augray adalah seorang DJ, dengan nama panggung Kogreya.
Sebenarnya untuk sukses dengan meneruskan usaha ayahnya, ini adalah pilihan
orang tuanya. Sedangkan Augray? Dia bercita-cita ingin menjadi seseorang
yang bisa menghibur orang lain, termasuk nge-DJ.
Lain halnya dengan Sabu, dia memiliki banyak pilihan dalam hidupnya, dana?
Dia tak punya. Ingin sekali dia membuka usaha sehingga dia dapat
melanjutkan sekolahnya, tapi dana? Hanya cukup untuk keperluan sehari-hari.
Orang tuanya? Meninggalkannya semenjak dia mulai memasuki masa SMA.
Sebelumnya ane minta izin naro titipan temen buat om mod dan om min sekalian, juga buat temen temen kaskuser di sini.
THIS IS SO GRAY

Angginanggi
Fiksi remaja
*Maaf kalo berantakan, next bakal ane rapihin deh
Spoiler for INDEKS:
Diubah oleh akelhaha 08-12-2014 18:19
anasabila memberi reputasi
1
7.6K
Kutip
69
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
akelhaha
#23
Spoiler for PART VII:
SAHABAT
Pagi itu sekitar 2 jam Augray dan Sabu berbincang mengenai wanita yang bersama mereka saat kencan di malam minggu itu. Augray sangat bersemangat dalam berbicara, karena ini soal Shaulia. Seakan-akan hidupnya penuh dengan Shaulia sejak lama. Ya, Shaulia memang mengagumkan. Wanita idaman pikir Sabu dalam hati. Sedangkan Sabu, Sabu sangat tidak bersemangat ketika berbincang mengenai Giesta. Bukan tidak menyukainya, Sabu sangat menyukai gadis itu, tapi dia tidak tertarik untuk berhubungan lebih dengannya. Mungkin belum pikir Sabu dalam hati.
Cerita Augray tentang Shaulia membuat Sabu semakin suka dan semakin mengagumi Shaulia. Dia sangat ingin memiliki hubungan dekat dengan Shaulia, seperti Augray. Tapi dia tidak mungkin mengkhianati sahabatnya sendiri. Jadi dia hanya bisa menikmati setiap kisah yang terlontar dari mulut Augray mengenai Shaulia.
"Kalau lo jadi gue dan lo lagi di mobil pas Shaulia ngomong kayak gitu, lo pasti kayak gue deh, Sab! Melting! Tapi cuma bisa diem aja. Perfect reason!" Kata Augray menyudahi pembicaraan.
"She is a perfect human being, Gray. And I mean it. Saya akui dia itu seperti sosok yang sangat sempurna. Kalau kamu suka dan ingin melanjutkan dengan dia. Saya setuju!" Kata Sabu mencoba untuk terlihat bersemangat dalam menanggapi ceritanya.
"Dan lo sendiri sama Giesta, gimana?" Tanya Augray.
"Saya kemarin jalan sama dia, sebentar saja sih. Cuma makan malam saja. Kami lebih banyak diam, tapi dia terus memperhatikan saya. Saat saya bernafas, makan, minum, noleh, pokoknya semuanya deh! Saya jadi agak risih." Jawab Sabu.
"Kok lo gitu sih? Tandanya dia suka sama lo." Jelas Augray.
"Well, let's see. Saya butuh waktu kayaknya, Gray. Hehe yuk tidur." Kata Sabu untuk menyudahi pembicaraan mereka.
***
Hari senin ini Augray padat jadwal, Shaulia yang tidak mengetahui hal tersebut malah datang ke kantornya Augray, dia ingin mengajaknya makan siang.
"Sha, kok kamu disini?" Tanya Augray kebingungan. Bukan hanya Augray, Sabu pun bingung dan canggung melihat mereka.
"Aku mau ajak kamu makan siang. Aku masak loh, makan di kantor aja yuk biar Sabu juga ikutan. Mau cicip suasana kantor juga." Jawab Shaulia.
"Sha, maaf. Tapi aku ada makan siang sama klien. Harusnya Sabu ikut aku sih, tapi aku rasa aku bisa handle klien ini sendiri tanpa Sabu. Kalau gitu, kamu makan sama Sabu aja dulu aja, gak apa kan?" Kata Augray dengan nada segan. Dia tidak enak menyuruh Shaulia pulang dengan masakan yang sudah dia bawa, ini lah salah satu jalan keluar yang tepat. Pikirnya.
"Oh iya Sha. Sama saya saja." Timpal Sabu dengan senyuman canggung.
"Wah, maaf ya. Aku gak tau. Yaudah kalau gitu." Jawab Shaulia dengan nada sedikit kecewa.
***
"Kamu gimana sama Giesta?" Tanya Shaulia memulai pembicaraan dengan Sabu. Dia merasa agak canggung karena daritadi mereka hanya makan dengan ruangan yang sunyi tanpa suara. "Kalian dekat? Giesta bilang kemarin dia habis malam mingguan sama kamu." Tambahnya lagi.
"Iya, hehe." Jawab Sabu singkat. Dia terlalu malu berhadapan dengan Shaulia. Apalagi hanya berdua di ruang kantor yang sebesar ini.
"Kamu suka dia? Dia anaknya sangat baik. Dia banyak bantu aku, anaknya penyayang dan ramah. Aku sayang sama dia. Awas ya kalau kamu jahat sama dia." Kata Shaulia yang hanya di jawab dengan tertawa sebentar lalu senyum. "Eh, tapi kamu belum punya pacar kan?" Tambahnya lagi.
"Belum kok, Sha. Saya takut pacaran. Mau langsung nikah saja nanti." Jawab Sabu. "Makanya saya mau cari pasangan yang tepat, masih mencari sekarang. Hidup saya sudah penuh dosa, kalau pacaran kan malah bikin saya makin berdosa." Tambahnya lagi.
"Dulu pernah kan pacaran?" Tanya Shaulia lagi yang hanya di jawab dengan gelengan kepala oleh Sabu.
Shaulia kagum mendengar jawaban Sabu. Di umur yang ke-25 ini, masih ada laki-laki yang berfikiran seperti Sabu. Menghargai Tuhan, menghargai wanita. Shaulia tidak banyak berbicara lagi setelah Sabu menjawab seperti itu, dia lebih banyak memperhatikan Sabu. Lelaki yang manis, mungkin tidak setampan Augray, tapi dia manis dan baik tampaknya, pikirnya.
Menyadari Shaulia yang memperhatikannya, Sabu menjadi salah tingkah dan mulai mengalihkan pandangan Shaulia dengan pertanyaannya, "Kamu sama Augray sudah jadian ya? Akrab sekali sampai membawa makan siang kesini." Tanya Sabu.
Shaulia tersenyum, "Tidak, tapi dia baik sama aku. Aku mulai menyukai dia, Sab." Jawab Shaulia dengan senyuman.
Sabu tidak bisa membalas apa-apa. Yang bisa dia lakukan hanyalah senyum. Tidak, bukan senyuman senang, tapi senyuman yang ditujukan pada dirinya sendiri. Bodoh, kenapa menanyakan hal itu? Sakit hati sendiri kan saya. Pikirnya dalam hati.
***
"Giestaaa!" Teriak Shaulia ke arah kamar Giesta.
Setelah pulang sari kantor Augray, Shaulia bermain kerumah Giesta. Rumah Giesta merupakan rumah kedua baginya, bahkan semua pekerja Giesta sudah mengenal Shaulia dengan baik, dan rumah Giesta pun sudah di anggapnya sebagai rumah sendiri.
Kemudian Giesta yang kaget mendengar teriakan Shaulia langsung membuka pintu kamarnya dan melihat ke lantai bawah, "Sha! Kebiasaan deh, jangan teriak. Aku kira ada apa-apa." Jawabnya.
Shaulia kemudian mengisyaratkan bahwa dia ingin kesana dan menyuruh Giesta untuk tunggu sebentar.
Sesampainya ke depan kamar Giesta, Shaulia pun menggandeng tangan sahabatnya tersebut ke dalam kamar dan menyuruhnya duduk di atas kasur untuk menyimaknya bercerita.
"Excited banget kamu, Sha. Ada apa sih?" Tanya Giesta.
"Kamu gak tauuu! Aku tau apa yang kamu gak tau!" Jawab Shaulia yang makin membuat bingung Giesta. "Bingung kan? Aku juga! Hahaha." Tambahnya.
"Emangnya apaan sih, Sha? Jangan bikin bingung, please." Kata Giesta lagi.
Dengan senyuman gembira Shaulia mulai bercerita, "Tadi kan aku ke kantornya Augray, niatnya mau makan siang bareng Augray. Eh, Augray gak bisa. Jadi aku makan siang sama Sabu deh."
"Ya, terus?" Tanya Giesta.
"Taaa, dia orangnya baik banget! Kamu harus jadi sama dia! Tinggi, manis, baik, senyumannya menawan, dewasa. Ah, kamu sama dia deh ya!" Kata Shaulia yang semakin membuat Giesta bingung.
"Eh, sebentar. Emang dia ngapain sih sampai kamu bisa begini?" Tanya Giesta.
"Kamu sebenernya having a deep conversation gak sih waktu nge-date sama dia sabtu kemarin?" Tanya Shaulia kembali ke Giesta. Giesta hanya menjawab dengan gelengan bingung dan tatapan seolah berkata emang ada apaan sih?
Mulailah Shaulia bercerita tentang obrolannya dengan Sabu di kantor tadi. Giesta yang mendengarnya memang terkesima, akan tetapi dia juga khawatir. Dia takut kalau Shaulia suka dengan Sabu. Sabu memang begitu memikat. Shaulia juga bersemangat sekali dalam menceritakan Sabu, tidak seperti pada saat dia menceritakan tentang Augray. Jangan sampai dia menjadi kagum beneran dan lama-lama suka, habislah aku. Haaah, Giesta. Pikirnya dalam hati.
***
Keesokan harinya...
Apa aku harus bawa makan siang juga ke kantornya Sabu? Gak ada salahnya nyoba ah. Pikir Giesta dalam hati. Kemudian dia menyiapkan bekal makan siang untuk di makan bersama Sabu siang nanti.
12.00 Siang...
Aku di cafe kantor kamu, aku tunggu kamu disini ya. Bunyi sms Giesta setelah sampai ke kantor Sabu.
Ngapain Gies? Yaudah tunggu, aku kesana. Balas Sabu.
Tidak berapa lama kemudian Sabu muncul di hadapan Giesta. Bukan hanya membawa makanan, Giesta pun membawa dirinya dengan dandanan yang dia ingin tunjukkan kepada Sabu, dia ingin terlihat lebih cantik di mata Sabu. Dia juga memakai parfum, dengan tujuan Sabu menyukai harumnya.
Giesta tersenyum melihat Sabu yang datang menghampirinya. Senyuman yang sangat manis dan penuh harapan. Berharap agar Sabu merasakan apa yang dia rasakan. "Aku bawa makan siang buat kamu. Yuk makan." Ajak Giesta pada Sabu.
Sabu dengan muka bingung menjawab, "Ada apa ya wanita-wanita ini membawa makan siang terus dari kemarin ke kantor? Kalau seperti ini terus, aku bisa kaya raya karena hemat makan siang nih." Candanya yang di sambut tertawa oleh Giesta. "Ini kamu yang masak?" Tambahnya.
"Aku yang masak, spesial buat kamu. Semoga kamu suka ya." Jawab Giesta dengan senyuman sambil mempersiapkan makan siang mereka.
Sabu dengan wajah malu pun ikut tersenyum sambil melihat makanan yang di bawakan Giesta. "Wah, ini aku suka. Sebenarnya sih semua makanan aku suka. Aku coba ya." Jawabnya.
Seperti biasa, ketika Sabu sedang makan. Giesta sangat senang memperhatikannya. Sabu begitu menarik untuk Giesta. Giesta dibuatnya jatuh dalam lamunan, seakan Sabu memang miliknya.
"Kamu gak makan, Gies?" Tanya Sabu tiba-tiba yang membuat lamunan Giesta buyar.
Sambil tersenyum malu, Giesta pun mengambil makanan dan mulai memakan makan siangnya. Akan tetapi, ada satu yang mengganjal menurut Giesta. Sabu seakan tidak memperhatikan penampilannya, atau pun harum tubuhnya. Sabu terlihat sangat fokus dengan makanan. Giesta terus bertanya dalam hati, apakah aku sendiri yang harus pamer kalau aku dandan dan pakai parfum?
Benar saja, seusai makan, Giesta pun langsung bertanya kepada Sabu. "Sab, kamu gak notice?" Tanyanya.
"Notice apa, Gies?" Tanya Sabu kembali dengan wajah bingung.
Giesta tertawa malu, dia pun berkata "Aku dandan, tau. Pakai parfum lagi." Jelasnya.
Sabu tidak langsung menjawab, dia malah tertawa. Giesta lalu merasa malu. Tak sabar dia pun bertanya, "Hey, kamu kenapa? Jangan buat aku malu." Katanya.
Masih sambil agak tertawa, Sabu menjawab "Memangnya kalau kamu dandan dan pakai parfum kenapa?" Tanyanya.
Giesta malu dan hanya bisa terdiam.
"Buat aku ya?" Tambah Sabu. "Giesta, jangan pakai parfum sama make up. You' are beautiful just the way you are. Aku suka sama yang polos-polos saja, seperti dandanan kamu biasanya." Jawab Sabu yang membuat Giesta semakin malu, tapi bukan malu karena berbuat kesalahan. Giesta malu karena jawaban Sabu yang membuatnya semakin meleleh.
Giesta tertunduk malu, dia tidak ingin Sabu melihat mukanya yang memerah karena malu. Apakah Sabu sudah mulai menyukai aku? Tanyanya dalam hati. Giesta pun bersorak riang di dalam hati.
Sabu menyadari bahwa jawabannya membuat Giesta malu dan berhenti berbicara. Ah, kenapa aku berbicara seperti itu? Sudah jelas dia menyukaiku. Harusnya aku jangan terlalu welcome seperti ke teman-teman yang lain. Gerutunya dalam hati. Kebiasaan ramahnya kepada orang lain membuatnya salah langkah kali ini. Akan tetapi, Sabu pun merasa ada yang janggal di dalam hatinya. Dia merasa agak nyaman berada di dekat Giesta, tidak terlalu risih seperti awal-awal berjumpa.
"Gies, yaudah aku balik ke kantor ya?" Kata Sabu cepat-cepat, dia tidak ingin menjadi salah langkah lagi dan memiliki perasaan aneh lagi. Meskipun agak sedikit kecewa, Giesta meng-iya-kan pertanyaan Sabu.
Sesaat Sabu pergi, tiba-tiba Augray datang. Giesta yang memang semenjak tadi masih disitu karena terjebak dengan lamunan antara dia dan Sabu pun kaget karena kedatangan Augray yang mendadak. Ternyata Augray sedari tadi sudah melihat mereka dan sengaja membuntuti mereka. Augray merasa penasaran akan progress hubungan mereka, lebih tepatnya dia ingin perjodohan ini berhasil.
"Belum saatnya jam masuk kantor padahal." Kata Augray dengan nada agak kesal begitu sampai di hadapan Giesta.
"Eh, Gray? Kamu disini?" Tanya Giesta kaget.
"Dari tadi gue liatin kalian dari jauh." Jawabnya sambil senyum. "Terus gimanan nih? Ada sambutan?" Tambahnya lagi.
"Sambutan apa?" Tanya Giesta bingung.
"Ah elo. Sabu gimana ke elo?" Jawab Augray.
Tersenyum, "Mungkin aku ada harapan." Jawab Giesta lagi.
"Gue sekarang tinggal bareng Sabu. Kalau lo butuh spy, I am perfectly right here. Jangan malu-malu ya." Kata Sabu sambil mengelus rambut Giesta.
Pipi Giesta memerah lagi, ada apa ini? Pikirnya. Elusan Augray di rambut Giesta membuat degup jantungnya tidak beraturan. Disaat seperti ini, apakah rasa baik seseorang juga bisa menimbulkan degupan jantung yang tidak stabil? Tanyanya dalam hati.
Augray ternyata merasakan hal yang sama. Tidak, lebih tepatnya dia melihat Giesta hari ini terlihat lebih cantik, dan harum. Tak sadar, Augray terpesona oleh pesona Giesta. Wanita yang menarik, pikirnya. Akan tetapi di buangnya pikiran itu jauh-jauh, dia masih lebih fokus ke arah perjodohan Sabu dan Giesta. Harus berhasil, katanya dalam hati.
***
Malamnya, Shaulia mengundang Sabu, Augray, dan Giesta untuk makan malam di rumahnya. Ternyata hari ini adalah hari ulang tahunnya. Giesta sebenarnya sadar, dan sebenarnya lagi dia sudah menyiapkan kejutan untuk Shaulia. Akan tetapi Shaulia duluan yang memberi dia kejutan dengan undangan makan malamnya. Hadiahnya untuk Shaulia pun dia simpan, diberikan nanti saja, pikirnya.
Sabu datang bersama Augray, kemudian disusul dengan Giesta yang berpakaian sangat rapi, semi-formal. Giesta yang datang paling akhir pun akhirnya di sambut oleh Shaulia, Augray, dan Sabu yang sedari tadi menunggunya di ruang tamu.
"Aku rasa kita sudah bisa mulai makan malamnya, Yuk, keburu dingin makanannya." Ajak Shaulia sambil mengantar mereka ke ruang makan.
Suasana malam itu sangat akrab. Mereka berempat mengobrol dengan tema yang bermacam-macam. Tertawa, senyum, semua mereka lakukan bersama. Terkadang juga ada sedikit curahan hati yang mengikuti di antara obrolan mereka. Tidak ada lagi kecanggungan, yang ada bercandaan. Sabu tidak lagi malu-malu, Giesta tidak lagi takut akan Sabu yang menyukai Shaulia. Mereka semua seakan lupa dengan ketakutan-ketakutan mereka. Suasana hangat yang memang lama tidak mereka rasakan ini lah yang sedang mereka nikmati, ramai dan berteman, tidak sendiri. Mereka sangat menyukainya.
"Sudah ah bercandanya, aku capek tertawa." Kata Augray sambil tertawa. "Sebenarnya kalian kerja apa sih? Soalnya selama kita jalan, kita selalu saja tidak membicarakan mengenai kehidupan masing-masing. Hanya membahas masalah-masalah luar yang renyah dan tidak terlalu penting." Tambahnya.
"Kita? Hahaha." Jawab Giesta sambil tertawa, kemudian menoleh ke arah Shaulia, "Apa ya, Sha? Hm, bisa dibilang kita ini pemilik butik atau toko baju. Lokasinya sih di mall-mall. Kalian pasti tau, coba tebak." Tambahnya.
"Aku nyerah deh." Kata Sabu, "Gak pernah yang ke mall-mall begitu." Tambahnya.
"Zeus? Marchi? Turenne?" Jawab Augray.
Shaulia yang dari tadi memperhatikan sambil senyum pun menjawab, "Turenne, kita yang punya."
Sabu tidak memberikan respon karena memang dia tidak tahu apa itu Turenne. Lain halnya dengan Augray, dia terlihat kagum.
"Wah, aku suka lihat kalau lagi di mall! Hebat kalian pengusaha usia muda. Kamu ulang tahun yang ke 23 kan, Sha?" Kata Augray yang di jawab Shaulia dengan anggukan.
Giesta merasa canggung untuk membahas pekerjaan. Sebenarnya baik Giesta atau pun Shaulia agak malas apabila harus berbincang mengenai kehidupan pribadi mereka. "Sudah ah, ngapain juga bahas kerjaan. Bahas yang lain yuk." Alih Giesta.
"Aku sebenarnya sudah menyiapkan kue ulang tahun buat Shaulia." Kata Sabu tiba-tiba yang di sambut dengan wajah kaget Augray, Giesta, dan Shaulia. "Ada di mobil. Augray tidak tahu sih. Maaf ya, mau kasih tahu tadi tapi lupa." Tambahnya.
Augray memaklumi, kemudian Sabu memberi isyarat sebentar ke Shaulia dan Giesta, mereka pun menunggu. Augray menemani Sabu mengambil kue ulang tahun yang sedari tadi masih berasa di mobil.
"Lo beli kue harusnya bilang gue, bro. Kan bisa barengan kita belinya." Kata Augray.
"Tadi buru-buru, Gray." Jawab Sabu sambil mengambil dan menyiapkan kue ulang tahunnya. "Pas lagi ngobrol aja aku nggak inget kan?" Tambahnya.
Setelah kue siap, mereka pun masuk ke dalam rumah dan menjumpai Shaulia dan Giesta yang sudah menunggu kedatangan kue ulang tahun tersebut.
"Sekarang tiup lilinya, berdoa ya Bismillah." Kata Sabu kepada Shaulia.
Sinar lilin mengaburkan muka Shaulia yang merona merah. Dia tersanjung akan perbuatan Sabu, dan perkataan Bismillah-nya. Benar-benar lelaki idaman. Pantas untuk Giesta. Tapi kenapa aku merasa deg-degan? Katanya dalam hati. Tanpa berlama-lama Shaulia pun berdoa dan meniup lilin tersebut. Semua senang melihatnya, mereka tertawa dan melanjutkan acara dengan memakan kue bersama.
***
Setelah acara makan malam tersebut, jam 9 malam mereka semua pamit pulang dan berterima kasih atas undangan makan malamnya kepada Shaulia. Sepulangnya kerumah, Giesta langsung ke arah kamarnya dan berbaring di atas kasurnya. Pikirannya gelisah, sangat gelisah.
Mungkin Sabu dan Augray tidak sadar kalau tadi Shaulia merona merah saat Sabu menyuruhnya meniup lilin. Tapi aku sadar karena aku berada di sampingnya. Apakah Shaulia menyukai Sabu juga? Apakah yang aku takutkan selama ini benar? Ah, aku terlalu menyukai Sabu. Terlebih lagi kepribadiannya. Tuhan, bantu Giesta. Ucap Giesta dalam hati.
Lain halnya dengan Sabu, Sabu merasa tidak enak dengan Giesta karena memberikan Shaulia kue ulang tahun. Kenapa aku merasa tidak enak ya? Apa aku mulai menyukai Giesta? Ah, semua kebaikan Giesta membuat aku bingung. Katanya dalam hati.
Sedangkan Augray, dia tidak menaruh curiga kepada Sabu, akan tetapi dia gelisah akan perasaannya terhadap Shaulia. Malam ini dia terlalu fokus dengan Giesta, Giesta sangat ramah dan enak di ajak ngobrol. Pembawaannya yang asik membuatnya terpesona, terlebih lagi setelah diperhatikan, Giesta juga sangat cantik dan sopan. Sebenarnya sejak makan siang tadi, perasaan ini selalu menghantui Augray. Ah tapi tidak, Shaulia masih the best. Dia wanita yang sangat mengagumkan. Katanya dalam hati.
Pagi itu sekitar 2 jam Augray dan Sabu berbincang mengenai wanita yang bersama mereka saat kencan di malam minggu itu. Augray sangat bersemangat dalam berbicara, karena ini soal Shaulia. Seakan-akan hidupnya penuh dengan Shaulia sejak lama. Ya, Shaulia memang mengagumkan. Wanita idaman pikir Sabu dalam hati. Sedangkan Sabu, Sabu sangat tidak bersemangat ketika berbincang mengenai Giesta. Bukan tidak menyukainya, Sabu sangat menyukai gadis itu, tapi dia tidak tertarik untuk berhubungan lebih dengannya. Mungkin belum pikir Sabu dalam hati.
Cerita Augray tentang Shaulia membuat Sabu semakin suka dan semakin mengagumi Shaulia. Dia sangat ingin memiliki hubungan dekat dengan Shaulia, seperti Augray. Tapi dia tidak mungkin mengkhianati sahabatnya sendiri. Jadi dia hanya bisa menikmati setiap kisah yang terlontar dari mulut Augray mengenai Shaulia.
"Kalau lo jadi gue dan lo lagi di mobil pas Shaulia ngomong kayak gitu, lo pasti kayak gue deh, Sab! Melting! Tapi cuma bisa diem aja. Perfect reason!" Kata Augray menyudahi pembicaraan.
"She is a perfect human being, Gray. And I mean it. Saya akui dia itu seperti sosok yang sangat sempurna. Kalau kamu suka dan ingin melanjutkan dengan dia. Saya setuju!" Kata Sabu mencoba untuk terlihat bersemangat dalam menanggapi ceritanya.
"Dan lo sendiri sama Giesta, gimana?" Tanya Augray.
"Saya kemarin jalan sama dia, sebentar saja sih. Cuma makan malam saja. Kami lebih banyak diam, tapi dia terus memperhatikan saya. Saat saya bernafas, makan, minum, noleh, pokoknya semuanya deh! Saya jadi agak risih." Jawab Sabu.
"Kok lo gitu sih? Tandanya dia suka sama lo." Jelas Augray.
"Well, let's see. Saya butuh waktu kayaknya, Gray. Hehe yuk tidur." Kata Sabu untuk menyudahi pembicaraan mereka.
***
Hari senin ini Augray padat jadwal, Shaulia yang tidak mengetahui hal tersebut malah datang ke kantornya Augray, dia ingin mengajaknya makan siang.
"Sha, kok kamu disini?" Tanya Augray kebingungan. Bukan hanya Augray, Sabu pun bingung dan canggung melihat mereka.
"Aku mau ajak kamu makan siang. Aku masak loh, makan di kantor aja yuk biar Sabu juga ikutan. Mau cicip suasana kantor juga." Jawab Shaulia.
"Sha, maaf. Tapi aku ada makan siang sama klien. Harusnya Sabu ikut aku sih, tapi aku rasa aku bisa handle klien ini sendiri tanpa Sabu. Kalau gitu, kamu makan sama Sabu aja dulu aja, gak apa kan?" Kata Augray dengan nada segan. Dia tidak enak menyuruh Shaulia pulang dengan masakan yang sudah dia bawa, ini lah salah satu jalan keluar yang tepat. Pikirnya.
"Oh iya Sha. Sama saya saja." Timpal Sabu dengan senyuman canggung.
"Wah, maaf ya. Aku gak tau. Yaudah kalau gitu." Jawab Shaulia dengan nada sedikit kecewa.
***
"Kamu gimana sama Giesta?" Tanya Shaulia memulai pembicaraan dengan Sabu. Dia merasa agak canggung karena daritadi mereka hanya makan dengan ruangan yang sunyi tanpa suara. "Kalian dekat? Giesta bilang kemarin dia habis malam mingguan sama kamu." Tambahnya lagi.
"Iya, hehe." Jawab Sabu singkat. Dia terlalu malu berhadapan dengan Shaulia. Apalagi hanya berdua di ruang kantor yang sebesar ini.
"Kamu suka dia? Dia anaknya sangat baik. Dia banyak bantu aku, anaknya penyayang dan ramah. Aku sayang sama dia. Awas ya kalau kamu jahat sama dia." Kata Shaulia yang hanya di jawab dengan tertawa sebentar lalu senyum. "Eh, tapi kamu belum punya pacar kan?" Tambahnya lagi.
"Belum kok, Sha. Saya takut pacaran. Mau langsung nikah saja nanti." Jawab Sabu. "Makanya saya mau cari pasangan yang tepat, masih mencari sekarang. Hidup saya sudah penuh dosa, kalau pacaran kan malah bikin saya makin berdosa." Tambahnya lagi.
"Dulu pernah kan pacaran?" Tanya Shaulia lagi yang hanya di jawab dengan gelengan kepala oleh Sabu.
Shaulia kagum mendengar jawaban Sabu. Di umur yang ke-25 ini, masih ada laki-laki yang berfikiran seperti Sabu. Menghargai Tuhan, menghargai wanita. Shaulia tidak banyak berbicara lagi setelah Sabu menjawab seperti itu, dia lebih banyak memperhatikan Sabu. Lelaki yang manis, mungkin tidak setampan Augray, tapi dia manis dan baik tampaknya, pikirnya.
Menyadari Shaulia yang memperhatikannya, Sabu menjadi salah tingkah dan mulai mengalihkan pandangan Shaulia dengan pertanyaannya, "Kamu sama Augray sudah jadian ya? Akrab sekali sampai membawa makan siang kesini." Tanya Sabu.
Shaulia tersenyum, "Tidak, tapi dia baik sama aku. Aku mulai menyukai dia, Sab." Jawab Shaulia dengan senyuman.
Sabu tidak bisa membalas apa-apa. Yang bisa dia lakukan hanyalah senyum. Tidak, bukan senyuman senang, tapi senyuman yang ditujukan pada dirinya sendiri. Bodoh, kenapa menanyakan hal itu? Sakit hati sendiri kan saya. Pikirnya dalam hati.
***
"Giestaaa!" Teriak Shaulia ke arah kamar Giesta.
Setelah pulang sari kantor Augray, Shaulia bermain kerumah Giesta. Rumah Giesta merupakan rumah kedua baginya, bahkan semua pekerja Giesta sudah mengenal Shaulia dengan baik, dan rumah Giesta pun sudah di anggapnya sebagai rumah sendiri.
Kemudian Giesta yang kaget mendengar teriakan Shaulia langsung membuka pintu kamarnya dan melihat ke lantai bawah, "Sha! Kebiasaan deh, jangan teriak. Aku kira ada apa-apa." Jawabnya.
Shaulia kemudian mengisyaratkan bahwa dia ingin kesana dan menyuruh Giesta untuk tunggu sebentar.
Sesampainya ke depan kamar Giesta, Shaulia pun menggandeng tangan sahabatnya tersebut ke dalam kamar dan menyuruhnya duduk di atas kasur untuk menyimaknya bercerita.
"Excited banget kamu, Sha. Ada apa sih?" Tanya Giesta.
"Kamu gak tauuu! Aku tau apa yang kamu gak tau!" Jawab Shaulia yang makin membuat bingung Giesta. "Bingung kan? Aku juga! Hahaha." Tambahnya.
"Emangnya apaan sih, Sha? Jangan bikin bingung, please." Kata Giesta lagi.
Dengan senyuman gembira Shaulia mulai bercerita, "Tadi kan aku ke kantornya Augray, niatnya mau makan siang bareng Augray. Eh, Augray gak bisa. Jadi aku makan siang sama Sabu deh."
"Ya, terus?" Tanya Giesta.
"Taaa, dia orangnya baik banget! Kamu harus jadi sama dia! Tinggi, manis, baik, senyumannya menawan, dewasa. Ah, kamu sama dia deh ya!" Kata Shaulia yang semakin membuat Giesta bingung.
"Eh, sebentar. Emang dia ngapain sih sampai kamu bisa begini?" Tanya Giesta.
"Kamu sebenernya having a deep conversation gak sih waktu nge-date sama dia sabtu kemarin?" Tanya Shaulia kembali ke Giesta. Giesta hanya menjawab dengan gelengan bingung dan tatapan seolah berkata emang ada apaan sih?
Mulailah Shaulia bercerita tentang obrolannya dengan Sabu di kantor tadi. Giesta yang mendengarnya memang terkesima, akan tetapi dia juga khawatir. Dia takut kalau Shaulia suka dengan Sabu. Sabu memang begitu memikat. Shaulia juga bersemangat sekali dalam menceritakan Sabu, tidak seperti pada saat dia menceritakan tentang Augray. Jangan sampai dia menjadi kagum beneran dan lama-lama suka, habislah aku. Haaah, Giesta. Pikirnya dalam hati.
***
Keesokan harinya...
Apa aku harus bawa makan siang juga ke kantornya Sabu? Gak ada salahnya nyoba ah. Pikir Giesta dalam hati. Kemudian dia menyiapkan bekal makan siang untuk di makan bersama Sabu siang nanti.
12.00 Siang...
Aku di cafe kantor kamu, aku tunggu kamu disini ya. Bunyi sms Giesta setelah sampai ke kantor Sabu.
Ngapain Gies? Yaudah tunggu, aku kesana. Balas Sabu.
Tidak berapa lama kemudian Sabu muncul di hadapan Giesta. Bukan hanya membawa makanan, Giesta pun membawa dirinya dengan dandanan yang dia ingin tunjukkan kepada Sabu, dia ingin terlihat lebih cantik di mata Sabu. Dia juga memakai parfum, dengan tujuan Sabu menyukai harumnya.
Giesta tersenyum melihat Sabu yang datang menghampirinya. Senyuman yang sangat manis dan penuh harapan. Berharap agar Sabu merasakan apa yang dia rasakan. "Aku bawa makan siang buat kamu. Yuk makan." Ajak Giesta pada Sabu.
Sabu dengan muka bingung menjawab, "Ada apa ya wanita-wanita ini membawa makan siang terus dari kemarin ke kantor? Kalau seperti ini terus, aku bisa kaya raya karena hemat makan siang nih." Candanya yang di sambut tertawa oleh Giesta. "Ini kamu yang masak?" Tambahnya.
"Aku yang masak, spesial buat kamu. Semoga kamu suka ya." Jawab Giesta dengan senyuman sambil mempersiapkan makan siang mereka.
Sabu dengan wajah malu pun ikut tersenyum sambil melihat makanan yang di bawakan Giesta. "Wah, ini aku suka. Sebenarnya sih semua makanan aku suka. Aku coba ya." Jawabnya.
Seperti biasa, ketika Sabu sedang makan. Giesta sangat senang memperhatikannya. Sabu begitu menarik untuk Giesta. Giesta dibuatnya jatuh dalam lamunan, seakan Sabu memang miliknya.
"Kamu gak makan, Gies?" Tanya Sabu tiba-tiba yang membuat lamunan Giesta buyar.
Sambil tersenyum malu, Giesta pun mengambil makanan dan mulai memakan makan siangnya. Akan tetapi, ada satu yang mengganjal menurut Giesta. Sabu seakan tidak memperhatikan penampilannya, atau pun harum tubuhnya. Sabu terlihat sangat fokus dengan makanan. Giesta terus bertanya dalam hati, apakah aku sendiri yang harus pamer kalau aku dandan dan pakai parfum?
Benar saja, seusai makan, Giesta pun langsung bertanya kepada Sabu. "Sab, kamu gak notice?" Tanyanya.
"Notice apa, Gies?" Tanya Sabu kembali dengan wajah bingung.
Giesta tertawa malu, dia pun berkata "Aku dandan, tau. Pakai parfum lagi." Jelasnya.
Sabu tidak langsung menjawab, dia malah tertawa. Giesta lalu merasa malu. Tak sabar dia pun bertanya, "Hey, kamu kenapa? Jangan buat aku malu." Katanya.
Masih sambil agak tertawa, Sabu menjawab "Memangnya kalau kamu dandan dan pakai parfum kenapa?" Tanyanya.
Giesta malu dan hanya bisa terdiam.
"Buat aku ya?" Tambah Sabu. "Giesta, jangan pakai parfum sama make up. You' are beautiful just the way you are. Aku suka sama yang polos-polos saja, seperti dandanan kamu biasanya." Jawab Sabu yang membuat Giesta semakin malu, tapi bukan malu karena berbuat kesalahan. Giesta malu karena jawaban Sabu yang membuatnya semakin meleleh.
Giesta tertunduk malu, dia tidak ingin Sabu melihat mukanya yang memerah karena malu. Apakah Sabu sudah mulai menyukai aku? Tanyanya dalam hati. Giesta pun bersorak riang di dalam hati.
Sabu menyadari bahwa jawabannya membuat Giesta malu dan berhenti berbicara. Ah, kenapa aku berbicara seperti itu? Sudah jelas dia menyukaiku. Harusnya aku jangan terlalu welcome seperti ke teman-teman yang lain. Gerutunya dalam hati. Kebiasaan ramahnya kepada orang lain membuatnya salah langkah kali ini. Akan tetapi, Sabu pun merasa ada yang janggal di dalam hatinya. Dia merasa agak nyaman berada di dekat Giesta, tidak terlalu risih seperti awal-awal berjumpa.
"Gies, yaudah aku balik ke kantor ya?" Kata Sabu cepat-cepat, dia tidak ingin menjadi salah langkah lagi dan memiliki perasaan aneh lagi. Meskipun agak sedikit kecewa, Giesta meng-iya-kan pertanyaan Sabu.
Sesaat Sabu pergi, tiba-tiba Augray datang. Giesta yang memang semenjak tadi masih disitu karena terjebak dengan lamunan antara dia dan Sabu pun kaget karena kedatangan Augray yang mendadak. Ternyata Augray sedari tadi sudah melihat mereka dan sengaja membuntuti mereka. Augray merasa penasaran akan progress hubungan mereka, lebih tepatnya dia ingin perjodohan ini berhasil.
"Belum saatnya jam masuk kantor padahal." Kata Augray dengan nada agak kesal begitu sampai di hadapan Giesta.
"Eh, Gray? Kamu disini?" Tanya Giesta kaget.
"Dari tadi gue liatin kalian dari jauh." Jawabnya sambil senyum. "Terus gimanan nih? Ada sambutan?" Tambahnya lagi.
"Sambutan apa?" Tanya Giesta bingung.
"Ah elo. Sabu gimana ke elo?" Jawab Augray.
Tersenyum, "Mungkin aku ada harapan." Jawab Giesta lagi.
"Gue sekarang tinggal bareng Sabu. Kalau lo butuh spy, I am perfectly right here. Jangan malu-malu ya." Kata Sabu sambil mengelus rambut Giesta.
Pipi Giesta memerah lagi, ada apa ini? Pikirnya. Elusan Augray di rambut Giesta membuat degup jantungnya tidak beraturan. Disaat seperti ini, apakah rasa baik seseorang juga bisa menimbulkan degupan jantung yang tidak stabil? Tanyanya dalam hati.
Augray ternyata merasakan hal yang sama. Tidak, lebih tepatnya dia melihat Giesta hari ini terlihat lebih cantik, dan harum. Tak sadar, Augray terpesona oleh pesona Giesta. Wanita yang menarik, pikirnya. Akan tetapi di buangnya pikiran itu jauh-jauh, dia masih lebih fokus ke arah perjodohan Sabu dan Giesta. Harus berhasil, katanya dalam hati.
***
Malamnya, Shaulia mengundang Sabu, Augray, dan Giesta untuk makan malam di rumahnya. Ternyata hari ini adalah hari ulang tahunnya. Giesta sebenarnya sadar, dan sebenarnya lagi dia sudah menyiapkan kejutan untuk Shaulia. Akan tetapi Shaulia duluan yang memberi dia kejutan dengan undangan makan malamnya. Hadiahnya untuk Shaulia pun dia simpan, diberikan nanti saja, pikirnya.
Sabu datang bersama Augray, kemudian disusul dengan Giesta yang berpakaian sangat rapi, semi-formal. Giesta yang datang paling akhir pun akhirnya di sambut oleh Shaulia, Augray, dan Sabu yang sedari tadi menunggunya di ruang tamu.
"Aku rasa kita sudah bisa mulai makan malamnya, Yuk, keburu dingin makanannya." Ajak Shaulia sambil mengantar mereka ke ruang makan.
Suasana malam itu sangat akrab. Mereka berempat mengobrol dengan tema yang bermacam-macam. Tertawa, senyum, semua mereka lakukan bersama. Terkadang juga ada sedikit curahan hati yang mengikuti di antara obrolan mereka. Tidak ada lagi kecanggungan, yang ada bercandaan. Sabu tidak lagi malu-malu, Giesta tidak lagi takut akan Sabu yang menyukai Shaulia. Mereka semua seakan lupa dengan ketakutan-ketakutan mereka. Suasana hangat yang memang lama tidak mereka rasakan ini lah yang sedang mereka nikmati, ramai dan berteman, tidak sendiri. Mereka sangat menyukainya.
"Sudah ah bercandanya, aku capek tertawa." Kata Augray sambil tertawa. "Sebenarnya kalian kerja apa sih? Soalnya selama kita jalan, kita selalu saja tidak membicarakan mengenai kehidupan masing-masing. Hanya membahas masalah-masalah luar yang renyah dan tidak terlalu penting." Tambahnya.
"Kita? Hahaha." Jawab Giesta sambil tertawa, kemudian menoleh ke arah Shaulia, "Apa ya, Sha? Hm, bisa dibilang kita ini pemilik butik atau toko baju. Lokasinya sih di mall-mall. Kalian pasti tau, coba tebak." Tambahnya.
"Aku nyerah deh." Kata Sabu, "Gak pernah yang ke mall-mall begitu." Tambahnya.
"Zeus? Marchi? Turenne?" Jawab Augray.
Shaulia yang dari tadi memperhatikan sambil senyum pun menjawab, "Turenne, kita yang punya."
Sabu tidak memberikan respon karena memang dia tidak tahu apa itu Turenne. Lain halnya dengan Augray, dia terlihat kagum.
"Wah, aku suka lihat kalau lagi di mall! Hebat kalian pengusaha usia muda. Kamu ulang tahun yang ke 23 kan, Sha?" Kata Augray yang di jawab Shaulia dengan anggukan.
Giesta merasa canggung untuk membahas pekerjaan. Sebenarnya baik Giesta atau pun Shaulia agak malas apabila harus berbincang mengenai kehidupan pribadi mereka. "Sudah ah, ngapain juga bahas kerjaan. Bahas yang lain yuk." Alih Giesta.
"Aku sebenarnya sudah menyiapkan kue ulang tahun buat Shaulia." Kata Sabu tiba-tiba yang di sambut dengan wajah kaget Augray, Giesta, dan Shaulia. "Ada di mobil. Augray tidak tahu sih. Maaf ya, mau kasih tahu tadi tapi lupa." Tambahnya.
Augray memaklumi, kemudian Sabu memberi isyarat sebentar ke Shaulia dan Giesta, mereka pun menunggu. Augray menemani Sabu mengambil kue ulang tahun yang sedari tadi masih berasa di mobil.
"Lo beli kue harusnya bilang gue, bro. Kan bisa barengan kita belinya." Kata Augray.
"Tadi buru-buru, Gray." Jawab Sabu sambil mengambil dan menyiapkan kue ulang tahunnya. "Pas lagi ngobrol aja aku nggak inget kan?" Tambahnya.
Setelah kue siap, mereka pun masuk ke dalam rumah dan menjumpai Shaulia dan Giesta yang sudah menunggu kedatangan kue ulang tahun tersebut.
"Sekarang tiup lilinya, berdoa ya Bismillah." Kata Sabu kepada Shaulia.
Sinar lilin mengaburkan muka Shaulia yang merona merah. Dia tersanjung akan perbuatan Sabu, dan perkataan Bismillah-nya. Benar-benar lelaki idaman. Pantas untuk Giesta. Tapi kenapa aku merasa deg-degan? Katanya dalam hati. Tanpa berlama-lama Shaulia pun berdoa dan meniup lilin tersebut. Semua senang melihatnya, mereka tertawa dan melanjutkan acara dengan memakan kue bersama.
***
Setelah acara makan malam tersebut, jam 9 malam mereka semua pamit pulang dan berterima kasih atas undangan makan malamnya kepada Shaulia. Sepulangnya kerumah, Giesta langsung ke arah kamarnya dan berbaring di atas kasurnya. Pikirannya gelisah, sangat gelisah.
Mungkin Sabu dan Augray tidak sadar kalau tadi Shaulia merona merah saat Sabu menyuruhnya meniup lilin. Tapi aku sadar karena aku berada di sampingnya. Apakah Shaulia menyukai Sabu juga? Apakah yang aku takutkan selama ini benar? Ah, aku terlalu menyukai Sabu. Terlebih lagi kepribadiannya. Tuhan, bantu Giesta. Ucap Giesta dalam hati.
Lain halnya dengan Sabu, Sabu merasa tidak enak dengan Giesta karena memberikan Shaulia kue ulang tahun. Kenapa aku merasa tidak enak ya? Apa aku mulai menyukai Giesta? Ah, semua kebaikan Giesta membuat aku bingung. Katanya dalam hati.
Sedangkan Augray, dia tidak menaruh curiga kepada Sabu, akan tetapi dia gelisah akan perasaannya terhadap Shaulia. Malam ini dia terlalu fokus dengan Giesta, Giesta sangat ramah dan enak di ajak ngobrol. Pembawaannya yang asik membuatnya terpesona, terlebih lagi setelah diperhatikan, Giesta juga sangat cantik dan sopan. Sebenarnya sejak makan siang tadi, perasaan ini selalu menghantui Augray. Ah tapi tidak, Shaulia masih the best. Dia wanita yang sangat mengagumkan. Katanya dalam hati.
tengkyu agan agan buat responnya, nanti ane apdet lagi

0
Kutip
Balas