Kaskus

Story

andihuntAvatar border
TS
andihunt
2 CINTA DI NUSA BUNGA
2 CINTA DI NUSA BUNGA
Sepenggal Kisah Tentang Kacamata Berbingkai Hitam & Kerudung Putih yang Anggun
emoticon-roseemoticon-rose

2 CINTA DI NUSA BUNGA


emoticon-heartemoticon-roseemoticon-roseemoticon-roseemoticon-roseemoticon-roseemoticon-norose


PROLOG


Dulu....

Sebelum aku meneruskan kuliah di salah satu Universitas di Surabaya, aku mengambil kursus Bahasa Inggris di Kota Kediri untuk bekal kuliahku nanti. Namun pada kenyataanya aku terpaksa harus mengubur mimpi untuk kuliah di jawa dan pergi sekian mil jauhnya meninggalkan kampung halaman, sahabat bahkan Ibuku sendiri untuk memenuhi keinginanku melanjutkan kuliah.

Saat itu aku sadar kondisi ekonomi keluarga kami di kampung tidak cukup untuk memenuhi ambisiku meneruskan kuliah di kota besar seperti Surabaya. Jadi, aku akhirnya menerima tawaran kakakku untuk meneruskan kuliah di pulau antah berantah. Sebuah pulau yang tak pernah terbayangkan bahwa aku akan terdampar disana.

Dan sekarang aku akan bercerita tentang kisah perjalananku di pulau seberang, salah satu pulau di Nusa Tenggara yang dikenal sebagai Pulau Bunga, sebagian ada juga yang menyebutnya sebagai Nuca Nepa (Pulau Ular).

Dari sana awal petualanganku dimulai, ketika akhirnya aku harus menerima kenyataan bahwa aku telah terdampar terlalu jauh dan bertarung dengan kegelisahan yang muncul di setiap saat, kegelisahan tentang nasib kuliahku disana dan juga ketergantungan hidup pada orang lain.

Namun dari kegelisahan ini akhirnya mengajari aku satu hal bahwa dalam perantauan aku harus berani mengambil resiko keluar dari gejolak hati yang sengaja aku ciptakan sendiri dan mencari jati diriku sebenarnya.

Kehidupan memang seperti semangkuk buah ceri, selalu ada rasa asem dan manis. Seperti kisah perjalananku ini yang telah membawaku bertemu dengan dua sosok wanita yang selalu memberi kedamaian dan mengajari aku tentang arti dari sebuah cinta dan persahabatan. Meskipun pada akhirnya, kita tak pernah bertemu lagi dan pulau itu hanya sebagai pulau transit saja. Kita mempunyai tujuan akhir yang berbeda, namun rasa cinta itu selalu ada di masing-masing potongan hati kita, dan selalu ada....selamanya.

And... the story goes.....

"..................."

Surabaya, 22 Maret 2014

Di hari yang kuimpikan, langit biru yang menawan seakan ku terbang melayang.

Kusambut cerahnya mentari, kutinggalkan semua mimpi seakan ku masih berlari.

Malam yang terus membisu, kota yang tampak membeku seakan kau ada didekatku.


Ah, sudah tak terhitung berapa kali aku menyanyikan lagu ini di teras rumah ketika rintik hujan dan malam yang sepi menggoda pikiran untuk membayangkan sosok yang pernah ada mengisi lembaran hati kala itu. Sosok wanita yang memiliki hati seputih salju dan senyum indah seperti bunga sakura yang berguguran di musim semi.

Surabaya terlihat sepi, sunyi dan semua yang terlihat hanya gelap malam dan kerlipan lampu yang nampak samar. Suara rintikan hujan menari nari di genting teras berlari beriringan dengan petikan gitarku yang semakin terdengar lirih. Sebuah malam yang menuntunku kembali ke suatu kisah yang menyisakan senyum kecil direlung hati ketika aku mengingatnya.

Entah kenapa aku menciptakan lagu itu beberapa tahun silam. Sebuah lagu yang kutulis melawan hati nurani untuk memilikinya dengan utuh. Ya, sebuah lagu yang menceritakan tentang seseorang yang mengagumi keindahan bunga mawar tanpa bisa memilikinya.

Di malam yang sunyi ini, sebuah gitar kembali memaksa aku bercerita tentang kisah cinta seorang pemuda di pulau seberang, tentang kacamata berbingkai hitam dan kerudung putih yang anggun.

Di suatu pulau di bagian tenggara Indonesia yang dikenal sebagai Pulau Ular awal cerita ini dimulai. Yah, Pulau Ular yang telah melilit aku dalam cintanya dan membius aku dengan bisanya yang melumpuhkan sendi-sendi tulangku hingga kini. Pulau itu.... adalah Nusa Bunga yang memiliki kota Maumere dengan segala hiruk pikuknya.

Hujan semakin deras menyisakan dingin menyelimuti kalbu. Senar gitarku masih begetar dengan nada yang sumbang. Kesendirian ini bertemankan gitar dan secangkir kopi yang siap mengantarkan aku pada suatu memori yang tersimpan rapi di relung hati terdalam. Dan, asap tipis dari secangkir kopi ini mulai memudar dan bercerita tentang kisah masa lalu. Tentang sebuah Kota yang mempertemukan aku dan mereka, dan dengan segala harapan yang pupus disana.

.........................

--Di suatu tempat di seberang samudera, ada sebuah pulau nan indah, pulau yang dikenal sebagai pulau bunga. Sebuah pulau di Nusa Tenggara yang menjadi dermaga cinta ini berlabuh pada dua hati. Namun, hanya ada satu cinta yang mengajari aku tentang arti dari sebuah perpisahan.--


Soundtrack


INDEX


Spoiler for INDEX:

Diubah oleh andihunt 05-09-2014 18:50
anasabilaAvatar border
nona212Avatar border
nona212 dan anasabila memberi reputasi
3
28.3K
210
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread52KAnggota
Tampilkan semua post
andihuntAvatar border
TS
andihunt
#60
Sebuah Awal. Part 11
NGIK!

Dari kejauhan kudengar engsel pintu rapuh itu terdengar, sedetik kemudian terdengar bunyi langkah kaki semakin mendekat, membuat mataku yang masih terpejam terbuka sekian senti memastikan siapakah dibalik langkah yang saling beradu itu. Tanganku tergerak perlahan, membuka sedikit perban yang menghalangi mataku melihat bayangan manusia yang berjalan semakin mendekat.

Ruangan ini tampak gelap dan pengap, tidak ada sorot cahaya matahari yang masuk dari sela-sela lubang fentilasi kamar seperti tadi siang. Kini hanya terlihat gradiasi senja yang semakin memerah menerangi samar bayangan itu dari balik kaca jendela tebal tertutupi gorden putih tipis yang agak sobek disetiap sisi kainnya.

"Kalian???"

Aku membuka suara sedikit serak melihat bayangan mereka berjalan semakin mendekat dan menampakkan wajah mereka bertiga yang diterangi cahaya redup pemantik rokok.

"Udah bangun ndi?" tanya evan disampingku. Tangannya kulihat memegang sebotol air mineral yang nampak berembun seperi buliran air membeku.

"Haus van!" jawabku serak meraih sebotol air mineral itu dari tangan evan. Kini aku bisa merasakan dinginnya air itu merasuk ke telapak tanganku, merayu aku untuk segera menegaknya.

GLEK!

Cairan dingin itu lantas menerobos kerongkonganku yang mengering dan menghapus dahagaku yang telah menyiksa sejak sekian jam yang lalu. Ku tegak lagi air itu dan sesekali kucium botolnya yang berembun membasahi bibirku yang nampak memutih sedikit pecah-pecah.

"Sorry ndi kami mengunci kamu dari luar!" Melki membuka suara sambil kulihat tangannya sibuk memantik korek api mencoba membuatnya tetap menyala setelah digoyang hembusan angin dari luar jendela ini.

"Ah... ga apa" Jawabku sedikit serak lalu bangkit dari kasur pesakitan ini. Nampaknya aku tidur terlalu lama sampai kulihat ruangan ini semakin gelap dan sunyi

"Udah ga sakit lagi ndi?" tanya evan disebelahku

"Uhm...." kugerakkan semua persendian tulangku seraya mengangkat kedua jempol keatas kepala.

"Sudah agak mendingan van" lanjutku lantas berdiri diantara mereka

"Ospeknya baru selesai ndi, masih ada dua hari lagi. Besok kalo kamu ga masuk juga ga apa" bisik evan disampingku

"Ga apa kok van, udah baikan aku"

"Perbannya dilepas aja ndi, nih aku bawain hansaplast. Ga enak nanti kalo ketauan keluargamu dirumah" jawab dodi menyodorkan pita itu kearahku

"Hm... terimakasih kawan, aku ngekos sekarang kok. Jadi ga bakal ketahuan orang rumah" jawabku sambil tersenyum

"Ok, yuk kita pulang ndi!, udah jam 5 nih" ajak evan sambil menyingkirkan beberapa potongan kayu yang menghalangi langkahku menuju pintu luar kamar ini.

Kita melangkah menjauhi ruangan kosong itu yang telah menemaniku terbaring sekian jam lamanya. Aku yakin masih ada tetesan darah diatas kasur itu yang telah mengering. Aku juga yakin masih ada sisi kemanusiaan di pulau ini yang telah menolongku menyambung nafas sampai detik ini. Aku lihat raut wajah mereka bertiga yang berjalan beriringan disebelahku. Tak hentinya aku memuji mereka.

"Terimakasih Kawan!" kusungingkan senyum semanis mungkin sebagai bentuk kehormatan atas ketulusan hati mereka.

.......

"Van berhenti!" ujarku sedikit menarik tangannya yang berjalan mendahuluiku

"Kenapa ndi?" ujar evan dan dodi bersamaan.

Sedetik kemudian mereka keheranan melihat mataku terpaku pada sosok berkerudung putih yang duduk sendirian tidak jauh dari gerbang kampus ini.

"Kamu mau menghampirinya?" tanya evan disebelahku

"Eh... iiiyyyaaa van" ujarku terbata bata

"Dia menunggu suaminya ndi, polisi itu. Kamu sudah lebam begini, jangan lagi nyari masalah" ujar evan ngotot memintaku berjalan mengikuti langkahnya menuju tempar parkir motor

"Kalian pulang aja duluan. Aku naik angkot aja" pintaku sedikit memelas. Aku tahu mereka akan khawatir dengan kondisiku seperti ini. Tapi ini salah satu kesempatan aku bisa mengamati gadis itu lebih dekat, aku ingin menghilangkan rasa penasaranku tentang dia, tentang kemiripannya sama rahma.

"Hm.... terserahlah ndi. Satu hal yang harus kamu tau, jangan libatkan kami jika ada keributan lagi." ujar evan sedikit membentak lantas diikuti dodi bersuara lirih...

"Cantik itu menyakitkan kawan, kalau kamu siap merasa kesakitan. Temui dia!" ujarnya sambil berlalu menuju tempat parkir motor di ujung sebelah bangunan tua tempat aku pernah berteduh dulu.

"Maafkan aku telah membuat kecewa kalian kawan, aku sudah terlanjur sakit dan aku mau menghabiskan rasa sakit ini dengannya. Mungkin hanya dengan rasa sakit seperti ini aku bisa menikmati kehidupan" gumamku dalam hati lantas berjalan menghampiri gadis itu.

Dengan langkah agak gontai dan sedikit kuseret kaki kiriku. Kini aku duduk disebelahnya, mencoba menyapa dia yang masih diam menatap kedua tangannya diatas lutut.

"Hi...." sapaku sopan tapi dia masih diam membisu

"Andi...." ujarku sekali lagi sambil menengok wajahnya yang tersembuyi dibalik kerudung putih dengan pin berbunga yang terjepit di lehernya.

"............" gadis itu masih diam sambil menatap lurus ke jari jemarinya yang kukunya dicat warna kemerahan. Saat itu aku lantas ikut diam kehabisan bahan bicara, entah bagaimana aku bisa mengajaknya ngobrol melepaskan momen aneh ini.

Sekian menit aku duduk mematung disebelahnya tanpa ada pembicaraan lebih lanjut. Dia masih sibuk memandangi kedua tanganya tanpa menoleh kearahku sedikitpun. Aku yakin dia kenal aku dan suara berontakku ketika aku ditendang senior cewek didepannya. Kita juga pernah saling curi pandang sesaat di kelas itu. Dia pasti sadar yang duduk disebelahnya adalah sosok pria yang rela menemaninya membatu menatap kosong kesebuah papan hitam polos di kelasnya.

Ya,... mungkin hanya dengan diam kita bisa saling memahami. Biarlah hati ini yang mengajaknya bicara dalam diam,

dalam keheningan,

dan dibalik bayang-bayang gradiasi senja sore itu.

"Hi....." untuk kesekian kalinya aku membuka suara mencoba mengajaknya bicara. Dan untuk kesekian kalinya juga aku harus rela menerima kenyataan bahwa aku ngomong sendirian tanpa ada yang menjawab.

Gadis itu terus terdiam dalam lamunanya. Sejenak aku raih seutas ranting pohon bidara di sampingku dan mengambar sebuah rumah di atas tanah merah sedikit berdebu, tepat di hadapannya. Waktu terus berputar membuat senja sore ini semakin memerah dan tersunging seperti sebuah senyuman simpul mengintip di balik pohon cemara di pinggir kampus ini.

Aku masih mengayunkan ranting itu, menggambar bangunan rumah agak memanjang di hadapannya. Suatu lukisan sederhana yang aku tirukan dari coretan tangannya di bawah pohon bidara tadi siang, ketika aku terjatuh tak berdaya disamping lukisan itu, ketika empat pria itu menghajarku bertubi tubi.

"Andi...."

Kudengar dia berkata lirih memanggil namaku. Saat itu hatiku mencelos seakan mau lompat keluar.

Bibir tipis gadis itu terbuka sedikit dan bersuara parau seraya memegang tanganku yang masih menggambar suatu bangunan rumah yang hampir selesai.

"Jangan lagi gambar rumah itu!" ujarnya sekali lagi lantas menatap aku sekian menit. Kita kemudian saling bertatap mata dan tak lama setelah itu menetes buliran bening di kedua mata indah itu. Dia menangis tanpa ratapan, padahal matanya sangat indah. Seharusnya pelangi yang ada disana, bukan air mata itu yang semakin deras menetes membasahi pipinya.

"kamu kangen rumahmu?" selidikku keheranan. Saat itu aku lantas bertanya bodoh menduga kalau dia bukan orang sini.

"............" dia masih diam dan terus memandang heran kewajahku, mengamati setiap memar hitam dipelipisku. Semakin lama kita saling pandang, saat itu aku sadar kalo dia berbeda dengan Rahma. Dia sedikit berwajah indo sementara rahma lebih oriental.

"Sakit?" tanya dia sambil memegang memar hitam di pipiku. Kulihat sejenak matanya menatap aku serius seperti mengingat sesuatu dikepalanya

"Kamu yang pernah aku lihat dikelas itu?" tanya dia lagi sambil menyeka air mata dengan kerudung putihnya. Aku lantas tersenyum menatap wajahnya yang kini kembali ceria, seperti muncul pelangi nan indah dibalik kerlingan mata yang sempat tergenang itu.

"Iya, aku andi" jawabku sedikit grogi. Entah, kenapa aku mulai agak gugup

"Terimakasih ya. Udah nolongin aku"

"Ehh... mmmm... ga apa, aku ga tega liat kamu diperlakukan kayak tadi"

"......." dia lantas kembali diam, menampakkan wajah sayu seperti sebelumnya

"Kenapa diam? namamu siapa?" tanyaku lagi memecah keheningannya

"........" dia masih terdiam membisu sambil mengambil sesuatu di tas slempangnya.

"Sudah makan?" tanya dia sambil membuka lunch box berwarna merah

Sejurus kemudian kulihat nasi lengkap dengan lauknya di dalam kotak itu. Dia mengambil sesendok nasi lantas menyuapkan ke mulutku, padahal aku belum sempet jawab kalo aku tidak lapar.

"Gak, aku sudah kenyang" tolakku sopan menepis suapan dia.

"Ga apa" jawab dia lirih keburu memasukkan sendok itu kemulutku

"........" aku diam sejenak sambil mengunyah nasi itu. "hm... enak!" batinku lirih sambil menatap matanya yang mulai menyorot tajam kemataku.

"Enak? aku memasaknya sendiri." ujarnya lagi sambil menyendok beberapa nasi di pangkuannya

"Kamu belum makan bekalmu itu dari tadi?" tanyaku keheranan melihat nasi itu yang kelihatan utuh

"Entahlah.... aku males makan ndi" jawab dia datar sambil menatap kosong kedepan. Dia memanggil namaku lagi dan itu sudah cukup membuatku salah tingkah dibuatnya.

"Uhuk.... greg!" aku tersedak sambil menahan nafas sesaat

"Kenapa?" tanya dia lantas menoleh kearahku

"Uhm... ga kenapa. Ngomong-ngomong nungguin polisi itu?" tanyaku sedikit heran

"iya" jawabnya singkat sambil menyuapiku sekali lagi

Hari ini aku terlihat seperti anak kecil yang sedang disuapi ibunya di tempat duduk di sebelah gerbang kampus. Kulihat sejenak ada beberapa mahasiswa berjas almamater menatap kita heran melihat maba baru dengan rambut agak kucel dan penampilan lusuh saling suap-suapan.

Ah... biarlah mereka menerka-nerka kita, aku hanya ingin mengenal dekat gadis ini. Sosok gadis yang membuatku rela meraih tanda tanya yang tergantung di ujung jurang. Aku sadar aku akan jatuh kedalam jurang yang dalam itu jika aku terpleset sedikit saja. Tapi aku ga perduli, toh aku sudah merasakan sakitnya masuk kejurangnya dia ketika empat pria itu memukuli aku. Aku ingin masuk kedunia gadis itu, menikmati jurang yang dalam bersamanya dan membawanya keluar.

"Namamu siapa?" Tanyaku sekali lagi sambil mengunyah sesendok nasi yang masuk ke mulutku

"Kamu percaya keindahan itu ada?" dia menoleh kearahku lantas berbalik nanya

"Percaya?" jawabku singkat.

Seandainya kamu tahu, bahkan aku sekarang melihat keindahan itu di depanku, dengan kerudung putih yang terlihat anggun membungkus wajah cantikmu.

"Cuma percaya aja?" tanya dia sekali lagi

"Keindahan itu ada dimana mana? termasuk sesuatu yang abstrak itu sendiri, seperti kehidupan kita yang berliku liku."

"........." dia diam sejenak lalu berkata lirih

"Kamu bukan orang sini kan?" tanya dia lantas menutup kembali lunch box yang sudah habis isinya

"Bukan, aku dari Jawa. Baru setengah tahun tinggal disini"

"Oh.... sama" jawab dia singkat lalu kembali bengong menopang dagunya

"Sama? orang jawa juga?"

"Bukan"

"lalu?" tanyaku lagi penasaran

"Mataram, Lombok" jawab dia singkat seraya memasukkan kembali lunch box itu ke tas slempangnya

"Aku juga baru setahun tinggal disini" jawab dia melanjutkan

"Ah... sama-sama orang rantau ya. Lantas suamimu itu orang Mataram juga?" tanyaku agak lancang

"Eh... kenapa tanya begitu?" dia lalu memalingkan muka menatap gerbang besi di kampus ini

"Maaf kalo aku salah bicara, aku hanya ingin tau aja"

"........."

Dia kembali diam tanpa sedikitpun menoleh kewajahku. Aku berdiri sejenak menghela nafas panjang menikmati senja sore ini yang perlahan hilang dari balik pohon cemara di samping kami.

"Tak ada yang salah dengan hidup, karena kita disini hanya meminjam kepunyaanNya, termasuk udara yang kita hirup ini. Jadi buat apa menyesali hidup yang kita aja tidak berhak memilikinya" ujarku pelan menyindir dia yang masih duduk membatu menatap gerbang besi di kampus ini.

Ku hela nafas panjang lantas kembali duduk disebelahnya.

"Bukankah hidup untuk dinikmati? hidup sangat singkat, buatlah itu jadi berarti" ujarku sekali lagi sedikit berbisik ke dia. Sedetik kemudian dia menoleh kewajahku dan membuat kita bersentuhan hidung karena aku ga sempat mengalihkan pandanganku darinya.

"Kamu benar ndi" jawabnya lirih sambil memungut kembali ranting pohon bidara di bawahnya dan meneruskan mengambar rumah yang sempat aku lukis tadi.

"Kamu kangen rumahmu di Lombok?" tanyaku sedikit membungkuk menatap wajahnya

"hm.... sudah setahun aku ga pulang. Bahkan aku dulu sempat kuliah di Mataram. Tapi pada akhirnya aku harus kesini"

".........." aku terdiam sesaat mendengar penjelasannya. Aku pandangi sekali lagi kedua mata indah itu seolah aku bisa melihat bayanganku sendiri disana.

"Kita sama" jawabku lirih dan kulihat tangan halusnya selesai meneruskan gambarku tadi.

"Ah.... memang jalan hidup tidak bisa ditebak" ujar dia seraya membuang ranting itu kesampingnya

"Memang, aku juga kadang kangen rumah dan Ibu di Jawa sana. Saat sendiri aku ingat masakannya dan semua yang pernah terlewati dengan beliau"

"Ndi....!" dia berkata lalu menatap kaku wajahku

"Iya...?"

"Sekali lagi terimakasih ya sudah mau menolongku tadi. Aku benar-benar takut tinggal di Pulau ini, ketakutan yang muncul setiap saat dan datang dari mana saja"

"Termasuk dari polisi itu?"

Dia terdiam lantas menganguk

"iya" jawabnya singkat lalu kita kembali diam membisu menikmati angin sore ini yang membuat daun cemara di sekeliling kita rontok dan berjatuhan di samping kita.

Sekian menit aku menemani dia dijemput polisi itu, tak terasa waktu sudah bertengger ke angka enam. Aku masih setia menemani dia duduk menopang dagu seraya mengamati lukisan sebuah rumah di hadapannya. Tuhan, dia tidak pantas menerima ketakutan yang berlebihan dengan paras cantiknya itu. Seharusnya dia berada dalam dunia yang indah, dunia dimana dia bisa melihat pelangi setiap hari.

Senja sore itu telah hilang pulang keperaduannya di ufuk barat. Sayup sayup deru kendaraan masih berlalu lalang dibelakang kami. Suasana kampus ini mulai sepi dan sunyi seperti kembali ke esensinya "sebuah rumah sakit tua". Yah, kini kampus ini kembali terlihat angker. Namun, keberadaan gadis berkerudung putih disampingku sejenak mengusir suasana seram ini. Entah.... hatiku saat itu berdegup semakin kencang seolah hanya keindahan taman berbunga yang aku lihat di bangunan tua kampus ini. Padahal, hanya sebuah lampu samar yang menerangi kita duduk terdiam tanpa suara.

"Ndi.... aku pulang dulu" dia berkata agak kaget setelah melihat sorot lampu mobil menerangi kita berdua

"Udah datang ya jemputannya"

"Iya" dia kemudian buru-buru berjalan masuk ke mobil itu yang sedikit terbuka pintunya.

"Hei.... nama kamu siapa?" tanyaku lagi sambil kulambaikan tanganku kearahnya yang mulai menutup pintu mobil berplat kepolisian itu.

Belum selesai aku menurunkan lambaian tanganku dia keburu masuk kedalam mobil dan tidak sempet menjawab pertanyaanku tadi.

"Ah... sudahlah, masih ada hari esok!" aku bergeming lantas berbalik arah membelakanginya

Brek!

Kudengar pintu mobil itu terbuka sedikit dan aku berbalik arah melihatnya.

"Meissa"

"Novaliati"

Ujarnya setengah berteriak kearahku, melambaikan kedua tangannya lalu menutup kembali pintu mobil itu yang perlahan menjauh meninggalkan aku berdiri bengong dibawah pohon cemara yang menjulang tinggi.

"Ndi... ini ga mimpi kan?" Tanyaku mengajak pohon disampingku bicara

"Ah.... beneran ini, bahkan aku masih ingat rasa masakannya tadi. Iya ini beneran" gumamku dalam hati sambil tersenyum ga jelas.

Meissa Novaliati.....

Nama yang sangat indah seperti sebuah nama bintang yang bersinar terang dalam rasi bintang Orion. Tapi cahaya yang terang itu berbanding terbalik dengan kesedihan yang ia rasakan. Kesedihan yang membuatnya hidup dalam kekalutan.

Ya, memang dia seperti cahaya yang redup, dan bersinar terang bila cahaya disekelilingnya padam. Dan aku berjanji akan menjaga cahaya itu tetap terpijar dari dalam hatinya. Membuatnya terlepas dari kegelapan yang selalu datang dalam hidupnya.

Aku berjanji, karena saat aku melihat kedua mata indah itu berkaca kaca, seolah aku melihat diriku sendiri disana.

"............."
Diubah oleh andihunt 05-05-2014 15:07
0
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.