- Beranda
- Stories from the Heart
2 CINTA DI NUSA BUNGA
...
TS
andihunt
2 CINTA DI NUSA BUNGA
2 CINTA DI NUSA BUNGA
Sepenggal Kisah Tentang Kacamata Berbingkai Hitam & Kerudung Putih yang Anggun












PROLOG
Dulu....
Sebelum aku meneruskan kuliah di salah satu Universitas di Surabaya, aku mengambil kursus Bahasa Inggris di Kota Kediri untuk bekal kuliahku nanti. Namun pada kenyataanya aku terpaksa harus mengubur mimpi untuk kuliah di jawa dan pergi sekian mil jauhnya meninggalkan kampung halaman, sahabat bahkan Ibuku sendiri untuk memenuhi keinginanku melanjutkan kuliah.
Saat itu aku sadar kondisi ekonomi keluarga kami di kampung tidak cukup untuk memenuhi ambisiku meneruskan kuliah di kota besar seperti Surabaya. Jadi, aku akhirnya menerima tawaran kakakku untuk meneruskan kuliah di pulau antah berantah. Sebuah pulau yang tak pernah terbayangkan bahwa aku akan terdampar disana.
Dan sekarang aku akan bercerita tentang kisah perjalananku di pulau seberang, salah satu pulau di Nusa Tenggara yang dikenal sebagai Pulau Bunga, sebagian ada juga yang menyebutnya sebagai Nuca Nepa (Pulau Ular).
Dari sana awal petualanganku dimulai, ketika akhirnya aku harus menerima kenyataan bahwa aku telah terdampar terlalu jauh dan bertarung dengan kegelisahan yang muncul di setiap saat, kegelisahan tentang nasib kuliahku disana dan juga ketergantungan hidup pada orang lain.
Namun dari kegelisahan ini akhirnya mengajari aku satu hal bahwa dalam perantauan aku harus berani mengambil resiko keluar dari gejolak hati yang sengaja aku ciptakan sendiri dan mencari jati diriku sebenarnya.
Kehidupan memang seperti semangkuk buah ceri, selalu ada rasa asem dan manis. Seperti kisah perjalananku ini yang telah membawaku bertemu dengan dua sosok wanita yang selalu memberi kedamaian dan mengajari aku tentang arti dari sebuah cinta dan persahabatan. Meskipun pada akhirnya, kita tak pernah bertemu lagi dan pulau itu hanya sebagai pulau transit saja. Kita mempunyai tujuan akhir yang berbeda, namun rasa cinta itu selalu ada di masing-masing potongan hati kita, dan selalu ada....selamanya.
And... the story goes.....
"..................."
Surabaya, 22 Maret 2014
Di hari yang kuimpikan, langit biru yang menawan seakan ku terbang melayang.
Kusambut cerahnya mentari, kutinggalkan semua mimpi seakan ku masih berlari.
Malam yang terus membisu, kota yang tampak membeku seakan kau ada didekatku.
Ah, sudah tak terhitung berapa kali aku menyanyikan lagu ini di teras rumah ketika rintik hujan dan malam yang sepi menggoda pikiran untuk membayangkan sosok yang pernah ada mengisi lembaran hati kala itu. Sosok wanita yang memiliki hati seputih salju dan senyum indah seperti bunga sakura yang berguguran di musim semi.
Surabaya terlihat sepi, sunyi dan semua yang terlihat hanya gelap malam dan kerlipan lampu yang nampak samar. Suara rintikan hujan menari nari di genting teras berlari beriringan dengan petikan gitarku yang semakin terdengar lirih. Sebuah malam yang menuntunku kembali ke suatu kisah yang menyisakan senyum kecil direlung hati ketika aku mengingatnya.
Entah kenapa aku menciptakan lagu itu beberapa tahun silam. Sebuah lagu yang kutulis melawan hati nurani untuk memilikinya dengan utuh. Ya, sebuah lagu yang menceritakan tentang seseorang yang mengagumi keindahan bunga mawar tanpa bisa memilikinya.
Di malam yang sunyi ini, sebuah gitar kembali memaksa aku bercerita tentang kisah cinta seorang pemuda di pulau seberang, tentang kacamata berbingkai hitam dan kerudung putih yang anggun.
Di suatu pulau di bagian tenggara Indonesia yang dikenal sebagai Pulau Ular awal cerita ini dimulai. Yah, Pulau Ular yang telah melilit aku dalam cintanya dan membius aku dengan bisanya yang melumpuhkan sendi-sendi tulangku hingga kini. Pulau itu.... adalah Nusa Bunga yang memiliki kota Maumere dengan segala hiruk pikuknya.
Hujan semakin deras menyisakan dingin menyelimuti kalbu. Senar gitarku masih begetar dengan nada yang sumbang. Kesendirian ini bertemankan gitar dan secangkir kopi yang siap mengantarkan aku pada suatu memori yang tersimpan rapi di relung hati terdalam. Dan, asap tipis dari secangkir kopi ini mulai memudar dan bercerita tentang kisah masa lalu. Tentang sebuah Kota yang mempertemukan aku dan mereka, dan dengan segala harapan yang pupus disana.
.........................
--Di suatu tempat di seberang samudera, ada sebuah pulau nan indah, pulau yang dikenal sebagai pulau bunga. Sebuah pulau di Nusa Tenggara yang menjadi dermaga cinta ini berlabuh pada dua hati. Namun, hanya ada satu cinta yang mengajari aku tentang arti dari sebuah perpisahan.--
Soundtrack
INDEX
Spoiler for INDEX:
Diubah oleh andihunt 05-09-2014 18:50
nona212 dan anasabila memberi reputasi
3
28.3K
210
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
andihunt
#55
Sebuah Awal. Part 10
"Ndi kuat berdiri?" tanya evan sekali lagi memastikan kondisiku yang terlihat terkulai lemes
"Agak pusing van kepalaku. Tangan mereka terkepal terlalu keras, ternyata orang sini kalo mukul sakit bener"
"Hm...." evan lantas diam sejenak dan berjalan keluar mengintip di balik kaca jendela ruangan ini yang sedikit berdebu
"Dodi coba kau lihat itu opseknya sudah mulai lagi kah tidak?" tanya evan ke dodi disampingnya
"Sstttt" terdengar dodi berdesis seraya melambaikan tangan ke Melki yang masih membalut perban di kepalaku. Tampaknya mereka sedang berdiskusi untuk "bolos" dari ospek ini.
"Jadi gini ndi.... kamu ga usah ikut ospek sekarang. Nanti aku bilangin ke kakak senior kenalanku kalo kamu sakit" sahut evan sambil menarik tubuhku dan menyandarkanku di dinding ruangan ini
"Ga apa?" tanyaku singkat sambil memegang kepalaku yang masih terasa pusing
"Sudahlah.... ndi. Aku yang ngatur!"
"DODI!!!!
Terdengar evan memanggil dodi dan sedetik kemudian mereka bertiga menuntunku berjalan masuk ke suatu ruangan agak gelap di sebelah ruang pendaftaran yang pernah aku masuki dulu. Disana terdapat satu kunci berkarat yang masih menggantung di lubang kuncinya.
"Mau dibawa kemana aku van?" tanyaku heran ke evan sedikit curiga
Sejurus kemudian evan memutar kunci berkarat itu dan menarik handle pintu sedikit keras. Kini kulihat sebuah ruangan agak gelap penuh sarang laba-laba menggelayut disudut-sudut ruangan ini.
"Tenang kawan, kamu tidur aja disini sampai sore nanti!" Melki lantas membales seraya menunjuk satu tempat tidur dipojok ruangan itu.
"kayaknya ga terlalu kotor ndi" jawab evan singkat. Kulihat tangannya menepuk kasur itu berkali kali sampai debunya berterbangan. Kasur putih yang agak kusam itu ternyata bekas tempat tidur pasien yang masih belum diberesi oleh pihak kampus. Sejenak kulihat disekeliling ruangan berukuran 6 x 7 meter ini penuh berserakan potongan kayu bekas kursi dan poster anatomi tubuh yang agak robek.
"Kamu gila ya!!! masa aku disuruh tiduran berjam-jam di tempat kayak gini!!"
"Sudahlah, ga ada pilihan lagi. Ini salah satu cara aman untuk nyelamatin kamu dari ocehan senior."
"Kenapa aku dimarahi senior van?" tanyaku agak bodoh
"Sudah tau kamu buat masalah tadi? gimana kalo empat pria itu masih dendam sama kamu, terus nyariin kamu lagi?" jawab evan sedikit marah sambil menutup gorden tipis yang terbuka diantara jendela yang sangat kotor
"Ga ada lampu, jendela kotor dan pengap van!" protesku ke dia
"Ingat ini Flores! bukan Jawa ndi. Kami disini terbiasa kotor" jawab evan lantas memanggil dodi dan melki yang masih terpaku mengintip di luar pintu memastikan kondisi diluar ruangan ini sepi.
Tak lama aku sudah rebahan di atas kasur putih tanpa bantal. Sejenak aku menatap lurus keatas kesebuah pitingan lampu berwarna hitam yang terayun-ayun diterpa angin dari lubang fentilasi kamar ini.
"Itu lampunya nyala gak van?" tanyaku menunjuk lampu bohlam diatasku
"Klik!!!"
Kulihat evan menekan beberapa saklar di tembok ruangan ini namun tidak ada tanda-tanda lampu disini nyala. Hanya sorot matahari siang ini yang menerangi kami dari balik lubang fentilasi yang agak besar di atas jendela, disampingku.
"Mati semua ndi. Udahlah kamu istirahat aja dulu sampai sore. Nanti kami kesini lagi.
"Oke terserah. Eh... van?" tanyaku lirih seraya menarik tangannya
"Kenapa ndi....?"
"............" aku diam sejenak seraya menutup mataku sesaat menikmati rasa ngilu yang mulai terasa. Kini Dodi dan Melki datang menghampiriku, mereka lantas berdiri disampingku seperti seorang sahabat yang menjengguk temannya terbaring sakit di rumah sakit.
"Ndi...?" tanya evan lagi mencoba memastikan kalo aku tidak pingsan
"Ga kenapa van, aku hanya ingin memejamkan mata sesaat. Aku ingin memastikan kalau aku sekarang tidak bermimpi van. Aku beruntung bisa kenal kalian di pulau ini. Kalo enggak mungkin aku pulang tinggal nama" jawabku lirih dan kini kurasakan air mata menetes di pelupuk mataku, mengucur bersamaan dengan tetesan darah yang mengalir lembut.
"Kamu jangan aneh-aneh lagi ndi!, kamu itu sahabat satu almamater kami!"
"Bener!" Dodi dan Melki Lantas menyahut bersamaan mengamini ucapan Evan yang setia menemaniku merasakan rasa sakit di pelipisku. Aku bisa merasakan darahku menetes lembut, membuat perban yang terbalut di kepalaku basah dan sedikit memerah.
"Aku ga apa kan?" tanyaku sedikit bersuara berat ke mereka bertiga
"Pasti kawan. Nih kamu jangan lupa makan!" jawab Melki seraya memberiku sebuah nasi bungkus yang dibawanya
"Kamu tahu aku belum makan ya?, ah...." aku lantas tertawa lirih dan menoleh kesamping menatap tembok kamar ini yang sedikit terkelupas catnya.
"kita sahabat ndi? aku tau kamu belum makan dari tadi" ujar melki singkat
"Dia hanya ga makan kalo jumpa gadis berkerudung itu ki!" jawab evan memotong lantas kita kemudian tertawa terbahak bahak mengisi ruangan pengap ini. Tawa kita semakin pecah tatkala evan berjalan ke salah satu lemari di kamar ini dan mengambil kertas poster berwarna putih lantas membalutnya di kepalanya.
"Andi... sayang... aku gadis berkerudung putih itu!" ujar dia sedikit bercanda sambil mencubit kedua pipiku
"Ahahaha...." kita berempat lantas tertawa sejadi-jadinya, membuat ruangan ini serasa hidup setelah kulihat dari tadi seperti sebuah kamar penyekapan. Ah,.... mereka memang seperti setetes air di sisa kemarau panjang yang menyelimuti ragaku.
"SAUDARA.....SAUDARA....!!"
Tak lama setelah kita saling bercanda lantas terdengar pengeras suara itu dari luar, cumiik memecah kegembiraan diantara kita sesaat. Mereka bertiga yang masih terlarut dalam canda tawanya lantas terdiam seperti komplotan penjahat yang sedang dikepung polisi dari berbagai sisi. Wajah mereka mengkerut, lantas menghela nafas panjang melepaskan kejengkelannya.
"Ah... Pukimai, kenapa juga ada Opsek!!" gerutu evan kesal seraya menoleh ke arah Melki dan Dodi.
"Lantas?" tanyaku memecah kebengongan mereka
"......." mereka bertiga membalasku dengan gelengan kepala terus menepuk bahuku pelan
"Tenang kawan... Kami akan segera kembali!" ujar evan seraya mengajak Dodi dan Melki pergi keluar berkumpul lagi dengan barisannya.
"Klik!"
Kudengar pintu agak rapuh itu terkunci, udara yang terhembus dari luar perlahan menerbangkan debu halus dan mengisi ruangan agak pengap ini. Jadilah sekarang aku seperti tawanan perang yang terbaring tak berdaya, sendirian di ruang gelap tak ber AC. Hanya ditemani sebuah poster besar bergambar anatomi tubuh yang menempel di dinding agak retak. Sekilas kuseret pandaganku ke sudut lain, hanya cat putih polos yang agak kotor semerawut ditempeli sarang laba-laba yang menebal.
Rasa lapar yang mulai terasa kini semakin membuatku enggan memejamkan mata memasuki dunia mimpi seperti biasanya aku terlena hanyut didalamnya. Yah, hanya di dunia mimpi aku bisa tersenyum meyeringai menyambut kedua sosok gadis itu, melambaikan tangannya seperti mengajak berdansa di atas awan tipis.
"Hm.... memang dunia khayal sangat indah" batinku lirih seraya membuka bungkusan nasi yang ada dipangkuanku.
"Enak juga ternyata!"
Dengan lahapnya aku menyantap nasi bungkus itu sedikit tersedak. Ya Tuhan, bahkan aku lupa meminta sebotol air dari evan. Bagaimana aku bisa menghilangkan sedakan ini yang membuatku agak menahan nafas sekian menit mencoba membuatnya lega. Tak pernah aku makan terburu-buru seperti ini sebelumnya.
Rasa sakit yang masih terasa di rahangku membuatku agak lama menghabiskan nasi bungkus ini. Entah tiba-tiba aku jadi malas makan dan kusingkirkan sisa nasi bungkus itu ke atas meja besi di samping kasur lusuh ini. Aku kemudian bangkit dari kasur pesakitan ini dan berdiri dengan satu kaki karena aku masih merasakan sedikit nyeri di paha kiriku. Kuseret langkahku pelan menuju lemari berwarna kecoklatan di sudut kamar ini.
"Evan tadi mengambil banyak lembaran poster disana" aku bergeming seraya berjalan tertatih mendekatinya.
Sejurus kemudian kini aku berdiri didepan lemari berdebu itu dan menepis beberapa sarang laba-laba yang menghalangi tanganku untuk meraih beberapa dokumen yang masih terjejer rapi didalamnya.
"Umar Ma'ruf!"
Rahangku mengeras dan terbuka sesaat menunjukkan ekspresi bengong seperti terkena sambar petir lima ribu watt setelah membuka satu dokumen susunan dosen di kampus ini. Bukan karena namanya yang menyiratkan nama Islami, artinya memang aku benar-benar bukan seorang minor disini tapi setelah sekian detik aku membaca profilnya, ternyata dia dekat sama Pak Haji Yusuf, dia pernah mengajar di sekolahnya sebagai Guru Kimia di MA komplek Beru.
Kutelusuri lagi profil lengkapnya yang terdiri dari beberapa paragraph dalam satu lembar kertas berukuran folio.
"Kelahiran Rappocini, Makasar!"
Mataku terbelalak seolah aku mendapatkan satu kunci harta karun yang tersembunyi sekian tahun lamanya di dasar laut. Dan memang benar, dia orang Makasar dan dekat dengan keluarga Rahma. Aku masih ingat betul ketika ada seorang wanita paruh baya menyapaku sambil menyodorkan keranjang kue saat nikahannya Kak Aldi. Tante itu orang Rappocini juga, mungkin ada hubungannya sama dosen ini. Tak lama aku membaca profilnya ternyata dia mengajar di fakultas Informatika dan juga mengajar pendidikan agama di kampus ini.
"Jadi ada mata kuliah Pendidikan Agama disini? dan aku akan bertemu beliau?" gumamku keheranan lantas menutup dokumen agak tebal itu dan mengembalikan lagi ke lemari.
Kupegang daguku seraya menatap kosong ke pintu agak rapuh yang masih terkunci. Rasa pengap didalam ruangan ini sejenak mengelitik aku untuk membuka pintu didepan sekedar jalan-jalan melatih kaki kiriku yang masih terasa nyeri.
"Anjirt!!! evan, kenapa dikunci dari luar???" umpatku kasar sambil memukul pintu itu berkali kali.
"Apa dia lupa kalo aku didalam sendirian dan merasa pengap? kenapa dia menyekapku seperti ini? Ah... tak seharusnya aku berpikiran negatif, mereka sudah menolongku sejauh ini." batinku dalam hati lantas kembali berjalan ke kasur dan terbaring lagi disana.
Ayunan pitingan lampu di atasku kini seperti pendulum yang sedang menghipnotisku masuk ke dunia mimpi, suatu dunia yang mengiringku melempar kenangan kebelakang bersama rahma dan juga gadis berkerudung putih itu. Aku ingat kedua senyuman mereka, aku tahu aku cinta keduanya. Tapi rahma hanya seorang sahabat dan Gadis berkerudung itu seperti oase yang meneduhkan diriku di suatu gurun pasir luas tak bertepi. Mudah-mudahan dia bukan fatamorgana....
Detik demi detik terus berjalan dan sekarang aku mulai terlelap mengetuk pintu dunia mimpi itu. Dunia dimana aku bisa merasakan tangan halus gadis berkerudung putih itu menarik lenganku, mengajak aku berdansa di atas awan dengan iringan lembut angin sepoi-sepoi yang mengoyangkan rambut kita kesana kemari.
".........."
"Agak pusing van kepalaku. Tangan mereka terkepal terlalu keras, ternyata orang sini kalo mukul sakit bener"
"Hm...." evan lantas diam sejenak dan berjalan keluar mengintip di balik kaca jendela ruangan ini yang sedikit berdebu
"Dodi coba kau lihat itu opseknya sudah mulai lagi kah tidak?" tanya evan ke dodi disampingnya
"Sstttt" terdengar dodi berdesis seraya melambaikan tangan ke Melki yang masih membalut perban di kepalaku. Tampaknya mereka sedang berdiskusi untuk "bolos" dari ospek ini.
"Jadi gini ndi.... kamu ga usah ikut ospek sekarang. Nanti aku bilangin ke kakak senior kenalanku kalo kamu sakit" sahut evan sambil menarik tubuhku dan menyandarkanku di dinding ruangan ini
"Ga apa?" tanyaku singkat sambil memegang kepalaku yang masih terasa pusing
"Sudahlah.... ndi. Aku yang ngatur!"
"DODI!!!!
Terdengar evan memanggil dodi dan sedetik kemudian mereka bertiga menuntunku berjalan masuk ke suatu ruangan agak gelap di sebelah ruang pendaftaran yang pernah aku masuki dulu. Disana terdapat satu kunci berkarat yang masih menggantung di lubang kuncinya.
"Mau dibawa kemana aku van?" tanyaku heran ke evan sedikit curiga
Sejurus kemudian evan memutar kunci berkarat itu dan menarik handle pintu sedikit keras. Kini kulihat sebuah ruangan agak gelap penuh sarang laba-laba menggelayut disudut-sudut ruangan ini.
"Tenang kawan, kamu tidur aja disini sampai sore nanti!" Melki lantas membales seraya menunjuk satu tempat tidur dipojok ruangan itu.
"kayaknya ga terlalu kotor ndi" jawab evan singkat. Kulihat tangannya menepuk kasur itu berkali kali sampai debunya berterbangan. Kasur putih yang agak kusam itu ternyata bekas tempat tidur pasien yang masih belum diberesi oleh pihak kampus. Sejenak kulihat disekeliling ruangan berukuran 6 x 7 meter ini penuh berserakan potongan kayu bekas kursi dan poster anatomi tubuh yang agak robek.
"Kamu gila ya!!! masa aku disuruh tiduran berjam-jam di tempat kayak gini!!"
"Sudahlah, ga ada pilihan lagi. Ini salah satu cara aman untuk nyelamatin kamu dari ocehan senior."
"Kenapa aku dimarahi senior van?" tanyaku agak bodoh
"Sudah tau kamu buat masalah tadi? gimana kalo empat pria itu masih dendam sama kamu, terus nyariin kamu lagi?" jawab evan sedikit marah sambil menutup gorden tipis yang terbuka diantara jendela yang sangat kotor
"Ga ada lampu, jendela kotor dan pengap van!" protesku ke dia
"Ingat ini Flores! bukan Jawa ndi. Kami disini terbiasa kotor" jawab evan lantas memanggil dodi dan melki yang masih terpaku mengintip di luar pintu memastikan kondisi diluar ruangan ini sepi.
Tak lama aku sudah rebahan di atas kasur putih tanpa bantal. Sejenak aku menatap lurus keatas kesebuah pitingan lampu berwarna hitam yang terayun-ayun diterpa angin dari lubang fentilasi kamar ini.
"Itu lampunya nyala gak van?" tanyaku menunjuk lampu bohlam diatasku
"Klik!!!"
Kulihat evan menekan beberapa saklar di tembok ruangan ini namun tidak ada tanda-tanda lampu disini nyala. Hanya sorot matahari siang ini yang menerangi kami dari balik lubang fentilasi yang agak besar di atas jendela, disampingku.
"Mati semua ndi. Udahlah kamu istirahat aja dulu sampai sore. Nanti kami kesini lagi.
"Oke terserah. Eh... van?" tanyaku lirih seraya menarik tangannya
"Kenapa ndi....?"
"............" aku diam sejenak seraya menutup mataku sesaat menikmati rasa ngilu yang mulai terasa. Kini Dodi dan Melki datang menghampiriku, mereka lantas berdiri disampingku seperti seorang sahabat yang menjengguk temannya terbaring sakit di rumah sakit.
"Ndi...?" tanya evan lagi mencoba memastikan kalo aku tidak pingsan
"Ga kenapa van, aku hanya ingin memejamkan mata sesaat. Aku ingin memastikan kalau aku sekarang tidak bermimpi van. Aku beruntung bisa kenal kalian di pulau ini. Kalo enggak mungkin aku pulang tinggal nama" jawabku lirih dan kini kurasakan air mata menetes di pelupuk mataku, mengucur bersamaan dengan tetesan darah yang mengalir lembut.
"Kamu jangan aneh-aneh lagi ndi!, kamu itu sahabat satu almamater kami!"
"Bener!" Dodi dan Melki Lantas menyahut bersamaan mengamini ucapan Evan yang setia menemaniku merasakan rasa sakit di pelipisku. Aku bisa merasakan darahku menetes lembut, membuat perban yang terbalut di kepalaku basah dan sedikit memerah.
"Aku ga apa kan?" tanyaku sedikit bersuara berat ke mereka bertiga
"Pasti kawan. Nih kamu jangan lupa makan!" jawab Melki seraya memberiku sebuah nasi bungkus yang dibawanya
"Kamu tahu aku belum makan ya?, ah...." aku lantas tertawa lirih dan menoleh kesamping menatap tembok kamar ini yang sedikit terkelupas catnya.
"kita sahabat ndi? aku tau kamu belum makan dari tadi" ujar melki singkat
"Dia hanya ga makan kalo jumpa gadis berkerudung itu ki!" jawab evan memotong lantas kita kemudian tertawa terbahak bahak mengisi ruangan pengap ini. Tawa kita semakin pecah tatkala evan berjalan ke salah satu lemari di kamar ini dan mengambil kertas poster berwarna putih lantas membalutnya di kepalanya.
"Andi... sayang... aku gadis berkerudung putih itu!" ujar dia sedikit bercanda sambil mencubit kedua pipiku
"Ahahaha...." kita berempat lantas tertawa sejadi-jadinya, membuat ruangan ini serasa hidup setelah kulihat dari tadi seperti sebuah kamar penyekapan. Ah,.... mereka memang seperti setetes air di sisa kemarau panjang yang menyelimuti ragaku.
"SAUDARA.....SAUDARA....!!"
Tak lama setelah kita saling bercanda lantas terdengar pengeras suara itu dari luar, cumiik memecah kegembiraan diantara kita sesaat. Mereka bertiga yang masih terlarut dalam canda tawanya lantas terdiam seperti komplotan penjahat yang sedang dikepung polisi dari berbagai sisi. Wajah mereka mengkerut, lantas menghela nafas panjang melepaskan kejengkelannya.
"Ah... Pukimai, kenapa juga ada Opsek!!" gerutu evan kesal seraya menoleh ke arah Melki dan Dodi.
"Lantas?" tanyaku memecah kebengongan mereka
"......." mereka bertiga membalasku dengan gelengan kepala terus menepuk bahuku pelan
"Tenang kawan... Kami akan segera kembali!" ujar evan seraya mengajak Dodi dan Melki pergi keluar berkumpul lagi dengan barisannya.
"Klik!"
Kudengar pintu agak rapuh itu terkunci, udara yang terhembus dari luar perlahan menerbangkan debu halus dan mengisi ruangan agak pengap ini. Jadilah sekarang aku seperti tawanan perang yang terbaring tak berdaya, sendirian di ruang gelap tak ber AC. Hanya ditemani sebuah poster besar bergambar anatomi tubuh yang menempel di dinding agak retak. Sekilas kuseret pandaganku ke sudut lain, hanya cat putih polos yang agak kotor semerawut ditempeli sarang laba-laba yang menebal.
Rasa lapar yang mulai terasa kini semakin membuatku enggan memejamkan mata memasuki dunia mimpi seperti biasanya aku terlena hanyut didalamnya. Yah, hanya di dunia mimpi aku bisa tersenyum meyeringai menyambut kedua sosok gadis itu, melambaikan tangannya seperti mengajak berdansa di atas awan tipis.
"Hm.... memang dunia khayal sangat indah" batinku lirih seraya membuka bungkusan nasi yang ada dipangkuanku.
"Enak juga ternyata!"
Dengan lahapnya aku menyantap nasi bungkus itu sedikit tersedak. Ya Tuhan, bahkan aku lupa meminta sebotol air dari evan. Bagaimana aku bisa menghilangkan sedakan ini yang membuatku agak menahan nafas sekian menit mencoba membuatnya lega. Tak pernah aku makan terburu-buru seperti ini sebelumnya.
Rasa sakit yang masih terasa di rahangku membuatku agak lama menghabiskan nasi bungkus ini. Entah tiba-tiba aku jadi malas makan dan kusingkirkan sisa nasi bungkus itu ke atas meja besi di samping kasur lusuh ini. Aku kemudian bangkit dari kasur pesakitan ini dan berdiri dengan satu kaki karena aku masih merasakan sedikit nyeri di paha kiriku. Kuseret langkahku pelan menuju lemari berwarna kecoklatan di sudut kamar ini.
"Evan tadi mengambil banyak lembaran poster disana" aku bergeming seraya berjalan tertatih mendekatinya.
Sejurus kemudian kini aku berdiri didepan lemari berdebu itu dan menepis beberapa sarang laba-laba yang menghalangi tanganku untuk meraih beberapa dokumen yang masih terjejer rapi didalamnya.
"Umar Ma'ruf!"
Rahangku mengeras dan terbuka sesaat menunjukkan ekspresi bengong seperti terkena sambar petir lima ribu watt setelah membuka satu dokumen susunan dosen di kampus ini. Bukan karena namanya yang menyiratkan nama Islami, artinya memang aku benar-benar bukan seorang minor disini tapi setelah sekian detik aku membaca profilnya, ternyata dia dekat sama Pak Haji Yusuf, dia pernah mengajar di sekolahnya sebagai Guru Kimia di MA komplek Beru.
Kutelusuri lagi profil lengkapnya yang terdiri dari beberapa paragraph dalam satu lembar kertas berukuran folio.
"Kelahiran Rappocini, Makasar!"
Mataku terbelalak seolah aku mendapatkan satu kunci harta karun yang tersembunyi sekian tahun lamanya di dasar laut. Dan memang benar, dia orang Makasar dan dekat dengan keluarga Rahma. Aku masih ingat betul ketika ada seorang wanita paruh baya menyapaku sambil menyodorkan keranjang kue saat nikahannya Kak Aldi. Tante itu orang Rappocini juga, mungkin ada hubungannya sama dosen ini. Tak lama aku membaca profilnya ternyata dia mengajar di fakultas Informatika dan juga mengajar pendidikan agama di kampus ini.
"Jadi ada mata kuliah Pendidikan Agama disini? dan aku akan bertemu beliau?" gumamku keheranan lantas menutup dokumen agak tebal itu dan mengembalikan lagi ke lemari.
Kupegang daguku seraya menatap kosong ke pintu agak rapuh yang masih terkunci. Rasa pengap didalam ruangan ini sejenak mengelitik aku untuk membuka pintu didepan sekedar jalan-jalan melatih kaki kiriku yang masih terasa nyeri.
"Anjirt!!! evan, kenapa dikunci dari luar???" umpatku kasar sambil memukul pintu itu berkali kali.
"Apa dia lupa kalo aku didalam sendirian dan merasa pengap? kenapa dia menyekapku seperti ini? Ah... tak seharusnya aku berpikiran negatif, mereka sudah menolongku sejauh ini." batinku dalam hati lantas kembali berjalan ke kasur dan terbaring lagi disana.
Ayunan pitingan lampu di atasku kini seperti pendulum yang sedang menghipnotisku masuk ke dunia mimpi, suatu dunia yang mengiringku melempar kenangan kebelakang bersama rahma dan juga gadis berkerudung putih itu. Aku ingat kedua senyuman mereka, aku tahu aku cinta keduanya. Tapi rahma hanya seorang sahabat dan Gadis berkerudung itu seperti oase yang meneduhkan diriku di suatu gurun pasir luas tak bertepi. Mudah-mudahan dia bukan fatamorgana....
Detik demi detik terus berjalan dan sekarang aku mulai terlelap mengetuk pintu dunia mimpi itu. Dunia dimana aku bisa merasakan tangan halus gadis berkerudung putih itu menarik lenganku, mengajak aku berdansa di atas awan dengan iringan lembut angin sepoi-sepoi yang mengoyangkan rambut kita kesana kemari.
".........."
Diubah oleh andihunt 03-05-2014 11:19
0