Aku menunggu dengan harap-harap cemas. Berharap dia menghentikan sesi smsan ini karena alasan coklat seribuan. Lagipula gue juga jujur waktu itu, tak banyak uang saku yang tersisa untuk membeli coklat. Ya coklat itu terlalu mahal untuk kuberikan untuknya. Dan meskipun gue mampu membelinya, lebih baik juga makan sendiri. Halah. Tulit-tulit… sms masuk ke inbox hpku. Kubuka dengan tangan gemetaran bak menerima sms mama minta pulsa.


Mampuss.. Sejuta topan badai, astaga naga, bagai lagu dangdut paling terkenal di Indonesia, mengapa kau terima tawaran lelaki termiskin di dunia..









Well, so this is what we call destiny.



Pagi itu gue memegang duit dua ribu di tangan sambil menunggunya dengan resah. Aku tak pernah bisa mendeskripsikan perasaan macam apa yang berkecamuk di hati. Seperti detak jantung yang tak bisa dikendalikan, bagai orang habis lari-lari karena dikejar bulldog di pagi hari. Apa iya benar dia serius mau menerima coklat Fonnuts yang seribuan? Permainan macam apa pula itu.
Perempuan memang makhluk yang rumit, dan kalau bisa seharusnya aku menjauhi dia. Bukan karena gue maho, tapi karena gue masih terlalu muda buat mengerti cewek. Namun apa mau dikata, semakin aku mencoba semakin aku tak bisa. Perkara cinta itu emang ngeri-ngeri sedap, bagai magnet di dalam mie sedap.
Kelas masih sepi, hanya ada 3 anak termasuk gue yang baru datang.


Jari-jariku bersentuhan dengan jari-jarinya. Dan laksana jurus petir avatar Aang, waktu seakan berhenti. Bagai ada daya kinetis yang cetar membahana gue bisa melihat sesuatu yang bereaksi di hati gue, secara sederhana bisa didefinisikan sebagai daya setrum. Hanya dalam sepermilisecond segala hal seperti berubah penuh keceriaan.

Hanum pergi berlalu masuk ke kelas.
Hari itu gue juga dapat coklat dari Hanum. Setara dengan yang kuberikan. Merk coklat itu coklat Cha-Cha. Ya mahalan dikit lah dibanding Fonnuts.



Kalau semisal lu gak tahu coklat Cha-Cha itu apaan maka gue bakal deskripsikan buat lu. Itu coklat berwarna-warni dan bentuknya macem kelereng, bulet-bulet. Sebenarnya sih menurutku lebih tepat disebut biskuit kecil bulet dilapisi coklat. Ya gitu deh pokoknya. Tapi inti cerita kali ini bukan soal bentuk coklat Cha-Cha kok jadi lu gak usah khawatir.



Istirahat pertama, gue sedang duduk sambil makan tu biji-biji coklat.

Tiba-tiba gue mendengar suara teriakan yang hampir bisa disebut jeritan juga menyebutkan suatu nama yang familiar. Ya mau gimana lagi kalau namanya kepikiran pasti kebawa kemana-mana.

Aku melihat kearah sumber suara itu. Kulihat Pipit sedang setengah berlari menuju ke lorong kelas lain. Lorong yang menuju kelas senior-senior kelas dua dan tiga. Dibelakangnya disusul Hanum sambil membawa sebungkus benda di plastik putih. Benda itu berbentuk kotak, walaupun tak terlihat jelas. Aku teringat, dahulu dia pernah memberiku coklat segede kotak itu. Coklat, eh iya, coklat. Hari ini, hari Valentine, dan Hanum berlari membawa sebungkus kotak, dan dia menuju ke barisan kelas senior.

Aku pernah mendengar meski hanya kabar burung, jikalau ada kakak kelas yang naksir dia. Tapi semudah itukah?

Aku tak tahu, tapi dalam sepermilisecond gue menyadari, this is my last valentine. Si Sulis masih asyik makan coklat Cha-Cha. Ya, Valentine no more.