- Beranda
- The Lounge
Kupas Tuntas Bid'ah, Ternyata Tidak semua bid'ah sesat. Izinkan TS Membahasnya.
...
TS
Ghouts
Kupas Tuntas Bid'ah, Ternyata Tidak semua bid'ah sesat. Izinkan TS Membahasnya.
Bismillahirrahmanirrahim
Assalamu'alaikum, izin kan ane sharing tentang apa yang ane tau.
berikut ane bahas:
Bagi sebagian besar muslim di Indonesia,
Bid'ah itu ada 2 Bid'ah yang buruk dan Bid'ah
yang baik. Tapi bagi sebagian muslim yang
lain Bid'ah itu ya buruk! sekali buruk tetap
buruk! Bid'ah pasti sesat! pelaku bid'ah pasti
masuk neraka.
Inilah aliran anti mainstream, karena
patokannya itu syaikh Al-albani , Seorang
tokoh abad 20 yang berasal dari Albania, yang dulunya beliau berprofesi sebagai seorang tukang service jam dan penjaga perpustakaan dan salah satu Muhadits yang tidak hafal hadits. Dan biasanya yang anti bid'ah, dalil yang dibahas kebanyakan bertuliskan (Dishahihkan Syaikh Al-Albani) pada akhir haditsnya .
coba baca hadits ini:
ﻭﻛﻞ ﺑﺪﻋﺔ ﺿﻼﻟﺔ ، ﻭﻛﻞ ﺿﻼﻟﺔ ﻓﻲ ﺍﻟﻨﺎﺭ
artinya:
"setiap bid’ah adalah kesesatan dan
setiap kesesatan tempatnya di
neraka... ” (HR. An Nasa’i no. 1578)
[/QUOTE]
PERTANYAAN NYA
Apakah cukup hanya dengan melihat, membaca, otak lalu menerima, dan akhirnya menyebarkan? Bahwa "bid'ah ya bid'ah! tetap buruk, sesat gak ada yang baik, NERAKA!!!"
Ayo Kita Bahas
Menggunakan Ilmu Balaghah (Sastra)
Dalam ilmu balaghoh (sastra) disebutkanbahwa " Setiap kata benda pasti mempunyai sifat, ada 2 sifat yang bertentangan, dan sifat itu tidak dapat terjadi dalam satu waktu."
"Andi sedang duduk pada siang hari."
Kata bendanya adalah "andi"sifatnya sedang duduk"
Contoh kalimat yang tidak mungkin:
"Andi sedang duduk sambil berdiri pada sore hari"
kira - kira mungkin atau tidak seseorang duduk sambil berdiri dalam satu waktu? ya tau sendiri lah gan jawabannya.
Back To Bid'ah
Bid'ah itu adalah kata benda karena itu pasti mempunyai sifat. Dalam kalimat "Kullu bid'ah dholalah" atau yang artinya " setiap bid'ah itu sesat "
Jadi bid'ah yang sifatnya bagaimana yang sesat ? Seperti apa yang sesat? Karena dalam sebuah kata benda pasti ada 2 sifat yang saling bertentangan dan tidak dapat digabung dalam satu waktu , ini menurut ilmu balaghoh (sastra arab), jadi bid'ah yang sesat itu yang mana? baik (Hasanah) atau yang buruk (sayyi'ah)? itu definisi bid'ah nya, jadi bid'ah ada 2.
Lanjut
Menggunakan Ilmu Mantiq (Logika)
sekarang kita pakai Ilmu Mantiq (Logika)
Allah SWT befirman:
"awa lam yaraa alladziina kafaruu anna alssamaawaati waal-ardha kaanataa ratqan fafataqnaahumaa waja'alnaa mina almaa-i, kullasyay-in hayyin afalaa yu'minuuna " (Q.S AL-ANBIYA:30)
yang artinya:
"Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?" (Q.S Al-Anbiya)
Kata Kullu/Kulla mempunyai arti yang sama
yaitu "Setiap / Segala sesuatu".
Pada Q.S Al-anbiya:30, telah dijelaskan bahwa Segala Sesuatu Yang hidup itu dijadikan dari AIR
apa iya?
Bacalah ayat di bawah ini
Allah SWT berfirman yang artinya:
"...dan Kami telah menciptakan jin dari nyala api." (Ar-Rahman:15)
loh katanya SEGALA SESUATU / SETIAP
(KULLA/KULLU) Yang hidup itu dijadikan dari air di q.s al-anbiya : 30 ? kok jin diciptakan dari api?
nah makannya ini lagi pake ilmu mantiq gan (ilmu logika)
Ternyata dalam bahasa arab itu kata "Kullu/Kulla" atau yang artinya "Setiap/segala sesuatu" itu bukan berarti "SEMUA"
Logika nya:
Kalau dalam Q.S Al-anbiya:30 Segala sesuatu yang hidup itu diciptakan dari air dan di dalam Q.S Ar-rahman: 15 ternyata jin itu diciptakan dai API. itu menunjukan bahwa ternyata TIDAK SEMUA makhluk hidup diciptakan dari AIR ITU BERARTI Dalam hadits yang berbunyi:"Setiap(Kullu/kulla) Bid'ah itu sesat" itu artinya bukan berarti SEMUA BID'AH ITU SESAT
Tidak semua Sunnah itu baik
Tidak semua Bid'ah itu sesat
Sering ada yang teriak "Jangan berbuat ini! Jangan berbuat itu! Itu tidak sesuai Sunnah! Itu Bid'ah! Sesat!"
Sekarang pertanyaan nya:
"Yang sesuai sunnah itu yang bagaimana?"
"Lalu jika sudah sesuai sunnah, sunnah yang mana?"
Loh pake nanya sunnah yang mana? semua sunnah itu baik semua?
Hehehe, kata siapa? Perhatikan hadits dibawah ini!
[Quote]
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya: “Barangsiapa yang membuat sunnah Hasanah dalam Islam ini, maka baginya berhak atas pahala, dan pahala orang yang mengamalkannya (sunnah tersebut )setelahnya, tanpa mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa yang membuat sunnah sayyi’ah (sunnah yang buruk) dalam Islam, maka baginya dosa dan (ditambah dengan) dosa orang-orang yang mengamalkannya setelahnya, tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun” (HR Muslim dalam Kitab Zakat, Bab Motivasi Untuk Bershadaqah Walaupun dengan Sebutir Kurma no. 1017)
Nah loh , bukan ane yang ngemeng loh ya gan.
Kalau ternyata Sunnah aja gak semuanya baik
Dengan segenap penjelasan ane diatas, berarti gak semua bid'ah itu buruk
Al-Qur'an dan Hadits itu memang pegangan kita sebagai umat muslim, Namun jika itu dibahas dan diyakini tanpa didasari dengan ilmu hanya sebatas "Tekstual" akibatnya nanti hanya akan menjadi mindset yang Kurang tepat dan menimbulkan ego. Jadi nantinya hanya ego yang berperan dalam meyakini sebuah agama. merasa paling benar, merasa paling suci, merasa akan masuk surga sendiri. Naudzubillah sungguh sifat seperti itulah sifat orang - orang yang sudah terkena sehalus - halusnya godaan iblis.
Jangan sampai ego kita ini memecah belah umat kawan. Ayo kita berpikir kritis, ayo kita belajar. Jangan mudah menerima, Telaah dulu!
Jangan mudah memberitahukan informasi yang belum jelas kejelasannya, pelajari dulu!
Sekian dari TS, Mohon maaf bila tidak berkenan atau ada salah - salah kata, Kesalahan Mutlak milik TS, Kebenaran datangnya dari Allah ,
TS dengan hormat mempersilahkan agan/sista untuk mengkoreksi jika ada yang salah, atau menambahkan jika ada yang kurang dari thread yang TS tulis ini lewat komen agan dan sista. sekali lagi TS mohon maaf, semoga bermanfaat, wassalamu'alaikum
Assalamu'alaikum, izin kan ane sharing tentang apa yang ane tau.
berikut ane bahas:
BID'AH? APA ITU?
Bagi sebagian besar muslim di Indonesia,
Bid'ah itu ada 2 Bid'ah yang buruk dan Bid'ah
yang baik. Tapi bagi sebagian muslim yang
lain Bid'ah itu ya buruk! sekali buruk tetap
buruk! Bid'ah pasti sesat! pelaku bid'ah pasti
masuk neraka.
Inilah aliran anti mainstream, karena
patokannya itu syaikh Al-albani , Seorang
tokoh abad 20 yang berasal dari Albania, yang dulunya beliau berprofesi sebagai seorang tukang service jam dan penjaga perpustakaan dan salah satu Muhadits yang tidak hafal hadits. Dan biasanya yang anti bid'ah, dalil yang dibahas kebanyakan bertuliskan (Dishahihkan Syaikh Al-Albani) pada akhir haditsnya .
coba baca hadits ini:
ﻭﻛﻞ ﺑﺪﻋﺔ ﺿﻼﻟﺔ ، ﻭﻛﻞ ﺿﻼﻟﺔ ﻓﻲ ﺍﻟﻨﺎﺭ
artinya:
"setiap bid’ah adalah kesesatan dan
setiap kesesatan tempatnya di
neraka... ” (HR. An Nasa’i no. 1578)
[/QUOTE]
PERTANYAAN NYA
Quote:
Apakah cukup hanya dengan melihat, membaca, otak lalu menerima, dan akhirnya menyebarkan? Bahwa "bid'ah ya bid'ah! tetap buruk, sesat gak ada yang baik, NERAKA!!!"
Ayo Kita Bahas
Quote:
Menggunakan Ilmu Balaghah (Sastra)
Dalam ilmu balaghoh (sastra) disebutkanbahwa " Setiap kata benda pasti mempunyai sifat, ada 2 sifat yang bertentangan, dan sifat itu tidak dapat terjadi dalam satu waktu."
Contoh kalimat Yang mungkin :
Quote:
"Andi sedang duduk pada siang hari."
Kata bendanya adalah "andi"sifatnya sedang duduk"
Quote:
Contoh kalimat yang tidak mungkin:
"Andi sedang duduk sambil berdiri pada sore hari"
kira - kira mungkin atau tidak seseorang duduk sambil berdiri dalam satu waktu? ya tau sendiri lah gan jawabannya.

Back To Bid'ah
Bid'ah itu adalah kata benda karena itu pasti mempunyai sifat. Dalam kalimat "Kullu bid'ah dholalah" atau yang artinya " setiap bid'ah itu sesat "
Jadi bid'ah yang sifatnya bagaimana yang sesat ? Seperti apa yang sesat? Karena dalam sebuah kata benda pasti ada 2 sifat yang saling bertentangan dan tidak dapat digabung dalam satu waktu , ini menurut ilmu balaghoh (sastra arab), jadi bid'ah yang sesat itu yang mana? baik (Hasanah) atau yang buruk (sayyi'ah)? itu definisi bid'ah nya, jadi bid'ah ada 2.
Lanjut
Quote:
Menggunakan Ilmu Mantiq (Logika)
sekarang kita pakai Ilmu Mantiq (Logika)
Quote:
Allah SWT befirman:
"awa lam yaraa alladziina kafaruu anna alssamaawaati waal-ardha kaanataa ratqan fafataqnaahumaa waja'alnaa mina almaa-i, kullasyay-in hayyin afalaa yu'minuuna " (Q.S AL-ANBIYA:30)
yang artinya:
"Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?" (Q.S Al-Anbiya)
Kata Kullu/Kulla mempunyai arti yang sama
yaitu "Setiap / Segala sesuatu".
Pada Q.S Al-anbiya:30, telah dijelaskan bahwa Segala Sesuatu Yang hidup itu dijadikan dari AIR
apa iya?
Bacalah ayat di bawah ini
Quote:
Allah SWT berfirman yang artinya:
"...dan Kami telah menciptakan jin dari nyala api." (Ar-Rahman:15)
loh katanya SEGALA SESUATU / SETIAP
(KULLA/KULLU) Yang hidup itu dijadikan dari air di q.s al-anbiya : 30 ? kok jin diciptakan dari api?
nah makannya ini lagi pake ilmu mantiq gan (ilmu logika)
Ternyata dalam bahasa arab itu kata "Kullu/Kulla" atau yang artinya "Setiap/segala sesuatu" itu bukan berarti "SEMUA"
Quote:
Logika nya:
Kalau dalam Q.S Al-anbiya:30 Segala sesuatu yang hidup itu diciptakan dari air dan di dalam Q.S Ar-rahman: 15 ternyata jin itu diciptakan dai API. itu menunjukan bahwa ternyata TIDAK SEMUA makhluk hidup diciptakan dari AIR ITU BERARTI Dalam hadits yang berbunyi:"Setiap(Kullu/kulla) Bid'ah itu sesat" itu artinya bukan berarti SEMUA BID'AH ITU SESAT
Quote:
Tidak semua Sunnah itu baik
Tidak semua Bid'ah itu sesat
Sering ada yang teriak "Jangan berbuat ini! Jangan berbuat itu! Itu tidak sesuai Sunnah! Itu Bid'ah! Sesat!"
Sekarang pertanyaan nya:
"Yang sesuai sunnah itu yang bagaimana?"
"Lalu jika sudah sesuai sunnah, sunnah yang mana?"
Loh pake nanya sunnah yang mana? semua sunnah itu baik semua?
Hehehe, kata siapa? Perhatikan hadits dibawah ini!
[Quote]
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya: “Barangsiapa yang membuat sunnah Hasanah dalam Islam ini, maka baginya berhak atas pahala, dan pahala orang yang mengamalkannya (sunnah tersebut )setelahnya, tanpa mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa yang membuat sunnah sayyi’ah (sunnah yang buruk) dalam Islam, maka baginya dosa dan (ditambah dengan) dosa orang-orang yang mengamalkannya setelahnya, tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun” (HR Muslim dalam Kitab Zakat, Bab Motivasi Untuk Bershadaqah Walaupun dengan Sebutir Kurma no. 1017)
Nah loh , bukan ane yang ngemeng loh ya gan.
Kalau ternyata Sunnah aja gak semuanya baik
Dengan segenap penjelasan ane diatas, berarti gak semua bid'ah itu buruk
Spoiler for SARAN TS:
Al-Qur'an dan Hadits itu memang pegangan kita sebagai umat muslim, Namun jika itu dibahas dan diyakini tanpa didasari dengan ilmu hanya sebatas "Tekstual" akibatnya nanti hanya akan menjadi mindset yang Kurang tepat dan menimbulkan ego. Jadi nantinya hanya ego yang berperan dalam meyakini sebuah agama. merasa paling benar, merasa paling suci, merasa akan masuk surga sendiri. Naudzubillah sungguh sifat seperti itulah sifat orang - orang yang sudah terkena sehalus - halusnya godaan iblis.
Jangan sampai ego kita ini memecah belah umat kawan. Ayo kita berpikir kritis, ayo kita belajar. Jangan mudah menerima, Telaah dulu!
Jangan mudah memberitahukan informasi yang belum jelas kejelasannya, pelajari dulu!
Sekian dari TS, Mohon maaf bila tidak berkenan atau ada salah - salah kata, Kesalahan Mutlak milik TS, Kebenaran datangnya dari Allah ,
TS dengan hormat mempersilahkan agan/sista untuk mengkoreksi jika ada yang salah, atau menambahkan jika ada yang kurang dari thread yang TS tulis ini lewat komen agan dan sista. sekali lagi TS mohon maaf, semoga bermanfaat, wassalamu'alaikum
0
3.6K
Kutip
19
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
1.3MThread•104.2KAnggota
Tampilkan semua post
okies182
#20
Quote:
Original Posted By w4w4n7►
Pada bahasan pembagian bid’ah, beberapa ulama membagi bid’ah menjadi dua yaitu : bid’ah yang baik (bid’ah hasanah) dan bid’ah yang tercela (bid’ah madzmumah). Mereka menyandarkan pembagian tersebut kepada Al-Imam Asy-Syafi’iy rahimahullah, yang kemudian dengan semangat pembagian ini diikuti secara ghulluw oleh para pengikut hawa nafsu. Melalui dasar pembagian bid’ah ini, maka hampir dikata tidak ada istilah bid’ah (dlalalah) dalam terminology syari’at menurut mereka, karena setiap orang berhak untuk menentukan kadar baik dalam bid’ah yang mereka lakukan.
Oleh karena itu, pada artikel kali ini saya mencoba menuliskan secara singkat tentang bid’ah hasanah menurut sisi pandang Al-Imam Asy-Syafi’iy rahimahullah. Namun sebelumnya, perlu kiranya saya tuliskan sedikit dalil dan riwayat atau atsar yang menyinggung tentang tercelanya bid’ah dan bahayanya.
Allah ta’ala berfirman :
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu” [QS. Al-Maaidah : 3].
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُودٍ أَن رَسُولَ اللهِ صَلى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلمَ قَالَ (مَا مِنْ نَبِي بَعَثَهُ اللهُ فِي أُمةٍ قَبْلِي إِلا كَانَ لَهُ مِنْ أُمتِهِ حَوَارِيونَ وَأَصْحَابٌ يَأْخُذُونَ بِسُنتِهِ وَيَقْتَدُونَ بِأَمْرِهِ ثُم إِنهَا تَخْلُفُ مِنْ بَعْدِهِمْ خُلُوفٌ يَقُولُونَ مَا لَا يَفْعَلُونَ وَيَفْعَلُونَ مَا لَا يُؤْمَرُونَ فَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِيَدِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِلِسَانِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِقَلْبِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَيْسَ وَرَاءَ ذَلِكَ مِنْ الْإِيمَانِ حَبةُ خَرْدَلٍ)
Dari ‘Abdullah bin Mas’ud radliyallaahu ‘anhu bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Tidak ada seorang Nabi pun yang diutus Allah kepada suatu umat sebelumku melainkan dari umatnya itu terdapat orang-orang yang menjadi pengikut (hawariyyun) dan shahabatnya yang mereka mengambil sunnahnya dan mentaati perintahnya. Kemudian setelah itu terjadi kebusukan/perselisihan dimana mereka mengatakan sesuatu yang tidak mereka kerjakan dan mengerjakan sesuatu yang tidak diperintahkan. Barangsiapa yang memerangi mereka dengan tangannya, maka ia seorang mukmin. Barangsiapa yang memerangi mereka dengan lisannya maka ia seorang mukmin. Dan barangsiapa yang memerangi mereka dengan hatinya, ia juga seorang mukmin. Selain itu, maka tidak ada keimanan sebesar biji sawipun” [HR. Muslim no. 50 dan Ahmad 1/458 no. 4379, 1/461 no. 4402].
Berkata Bakr bin Al-’Alaa’ :
فَقَالَ مُعَاذُ بْنِ جَبَل يَوْما : إِن مِنْ وَرَائِكُمْ فِتَنًا، يَكْثُرُ فِيْهَا الْمَالُ، وَيُفْتَحُ فِيْهَا الْقُرْانُ، حَتى يَأْخُذَهُ الْمُؤْمِنُ وَالْمُنَافِقُ، وَالرجُلُ وَالْمَرْأَةُ، وَالصغِيْرُ وَالْكَبِيْرُ، وَالْعَبْدُ وَالْحُر، فَيُوْشِكُ قَائِل أَنْ يَقُوْلَ : مَا لِلناسِ لاَ يَتبِعُوْنِي، وَقَدْ قَرَأْتُ الْقُرْانَ ؟ مَا هُمْ بِمُتبِعِي حَتى أَبْتَدَعَ لَهُمْ غَيْرَهُ ! فَإِيكُمْ وَمَا ابْتُدِعَ، فَإِن مَا ابْتُدِعَ ضَلاَلَة، وَأُحَذّرُكُمْ زَيْغَةَ الْحَكِيْمِ، فَإِن الشيْطَانَ قَدْ يَقُوْلُ كَلِمَةَ الضلاَلَةِ عَلَى لِسَانِ الْحَكِيْمِ، وَقَدْ يَقُوْلُ الْمُنَافِقُ كَلِمَةَ الْحَق.
Mu’adz bin Jabal berkata pada suatu hari : ”Sesungguhnya di belakang kalian nanti akan terdapat fitnah, dimana pada waktu itu harta berlimpah ruah dan Al-Qur’an dalam keadaan terbuka hingga semua orang baik mukmin, munafiq, laki-laki, perempuan, anak kecil, orang dewasa, hamba sahaya, atau orang merdeka pun membacanya. Pada saat itu akan ada seseorang yang berkata : ’Mengapa orang-orang itu tidak mengikutiku padahal aku telah membaca Al-Qur’an ? Mereka itu tidak akan mengikutiku hingga aku membuat-buat sesuatu bagi mereka dari selain Al-Qur’an !’. Maka hendaklah kamu hati-hati/waspada dari apa-apa yang dibuat-buat (oleh manusia), karena sesungguhnya apa-apa yang dibuat-buat (bid’ah) itu adalah kesesatan. Dan aku peringatkan kalian akan penyimpangan yang dilakukan oleh seorang hakim ! Karena seringkali syaithan itu mengatakan kalimat kesesatan melalui lisan seorang hakim, dan seringkali seorang munafiq itu berkata tentang kebenaran” [HR. Abu Dawud no. 4611; shahih – Shahih Sunan Abi Dawud 3/120].
عَنْ عَبْدِ اللهِ (بْنِ مَسْعُوْد) قَالَ : الْقَصْدُ فِي السنةِ خَيْرٌ مِنْ الاجْتِهَادِ فِي الْبِدْعَةِ
Dari ’Abdullah (bin Mas’ud) radliyallaahu ’anhu ia berkata : ”Sederhana dalam sunnah itu lebih baik daripada bersungguh-sungguh dalam bid’ah” [Diriwayatkan oleh Ad-Darimi no. 223, Al-Laalikaiy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqad no. 14, 114, Al-Haakim 1/103, dan yang lainnya; sanad riwayat ini jayyid].
عَن المبَارَك عَن الحَسَن قَالَ سننكم والله الذي لا إله إلا هو بينهما بين الغالي والجافي فاصبروا عليها رحمكم الله فإن أهل السنة كانوا أقل الناس فيما مضى وهم أقل الناس فيما بقي الذين لم يذهبوا مع أهل الأتراف في أترافهم ولا مع أهل البدع في بدعهم وصبروا على سنتهم حتى لقوا ربهم فكذلك إن شاء الله فكونوا
Dari ’Abdillah bin Al-Mubarak dari Al-Hasan ia berkata : ”Perbedaan antara perilaku/perikehidupan kalian dengan sesuatu yang disyari’atkan oleh Allah yang tiada tuhan yang patut disembah dengan benar melainkan Dia, seperti perbedaan antara sesuatu yang sangat berharga (mahal) dengan sesuatu yang busuk (murah). Maka bersabarlah kalian dalam memegang syari’at Allah, niscaya Allah akan mengasihi kalian. Sesunggunya Ahlus-Sunnah itu merupakan kelompok yang sangat sedikit dan kecil, baik pada masa lampau maupun pada masa yang akan datang. Mereka itu adalah orang yang tidak senang bercampur dengan ahli maksiat pada kemaksiatan mereka, dan tidak mau bekerjasama dengan para ahli bid’ah dalam mengerjakan kebid’ahan mereka. Bersabarlah kalian dalam memegang apa yang diwariskan oleh Ahlus-Sunnah hingga kalian menghadap Tuhannya (Allah). Seandainya kalian melakukannya, maka insyaAllah keberadaan kalian seperti mereka” [Diriwayatkan oleh Ad-Darimi no. 222; dla’if].
عَنِ ابْنِ الْعَبَاس – رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا – أَنَهُ قَالَ : مَا أَتَى عَلَى الناسِ عَامٌ ، إِلّا أَحْدَثُوْا فِيْهِ بِدْعَةً ، وَأَمَاتُوْا فِيْهِ سُنةً، حَتى تَحْيَا الْبِدَعِ وَتَمُوْتُ السنَنُ.
Dari Ibnu ’Abbas radliyallaahu ’anhuma bahwasannya ia berkata : Tidaklah datang kepada manusia satu tahun kecuali mereka membuat-buat bid’ah dan mematikan sunnah di dalamnya. Hingga hiduplah bid’ah dan matilah sunnah” [Al-Haitsami berkata dalam Majma’uz-Zawaaid, 1/188, Bab Fil-Bida’i wal-Ahwaa’ : ”Diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dalam Al-Kabiir, dan rijalnya adalah terpercaya”. Diriwayatkan pula oleh Ibnu Wadldlaah dalam Kitaabul-Bida’ hal. 39].
Itulah sedikit di antara nash dan atsar dari para pendahulu kita yang shalih (as-salafush-shalih) tentang tercelanya bid’ah. Mereka memutlakkan apa-apa yang baru dalam syari’at yang tidak ada dalilnya dan tidak pernah dikerjakan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam serta para shahabatnya sebagai bid’ah. Mereka tidak pernah mengecualikan bid’ah dengan kata hasanah (baik), karena seluruh bid’ah menurut mereka adalah dlalalah (sesat). Barangsiapa yang mengklaim ada bid’ah yang tergolong hasanah, maka pada hakekatnya ia telah menuduh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak menyampaikan semua risalah. Baik baginya untuk memperhatikanlah perkataan Ummul-Mukminin ’Aisyah radliyallaahu ’anhaa :
وَمَنْ زَعَمَ أَن مُحَمدا صَلى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلمَ كَتَمَ شَيْئا مِما أَنْزَلَ اللهُ عَلَيْهِ، فَقَدْ أَعْظَمَ عَلَيْهِ الْفِرْيَة، واللهُ يَقُوْلُ : (يَا أَيهَا الرسُوْلُ بَلغْ مَا أُنزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبكَ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلغْتَ رِسَالَتَه)
“Dan barangsiapa yang menyangka Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyembunyikan sesuatu dari apa-apa yang diturunkan Allah, sungguh ia telah membuat kedustaan yang sangat besar terhadap Allah. Padahal Allah telah berfirman : ”Hai Rasul, sampaikanlah apa yang di turunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya.” (QS. Al-Maidah : 67) [HR. Al-Bukhari no. 7380 dan Muslim no. 177].
Juga hendaknya ia memperhatikan perkataan ’Abdullah bin ’Umar radliyallaahu ’anhuma :
كُل بِدْعَة ضَلاَلَة وَإِنْ رَآهَا الناسُ حَسَنَة
”Setiap bid’ah itu adalah sesat walaupun manusia memandangnya sebagai satu kebaikan” [Diriwayatkan oleh Al-Laalikai dalam Syarh Ushulil-I’tiqad no. 205 dan Ibnu Baththah dalam Al-Ibaanah no. 205 dengan sanad shahih].
Jika kita kaitkan dengan perbuatan salafunash-shaalih di bawah, maka perkataan di atas akan lebih jelas maksudnya.
عن نافع أن رجلا عطس إلى جنب بن عمر فقال الحمد لله والسلام على رسول الله قال بن عمر وأنا أقول الحمد لله والسلام على رسول الله وليس هكذا علمنا رسول الله صلى الله عليه وسلم علمنا أن نقول الحمد لله على كل حال
Dari Nafi’ : Bahwasannya ada seseorang bersin di samping Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhu, lalu dia berkata : “Alhamdulillah was-salaamu ‘alaa Rasulihi (segala puji bagi Allah dan kesejahteraan bagi Rasul-Nya)”. Maka Ibnu ‘Umar berkata : “Dan saya mengatakan, alhamdulillah was-salaamu ‘alaa Rasuulillah. Akan tetapi tidak demikian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengajari kami. Akan tetapi beliau mengajarikami untuk mengatakan : “Alhamdulillah ‘alaa kulli haal” (Alhamdulillah dalam segala kondisi) [HR. At-Tirmidzi no. 2738, Hakim 4/265-266, dan yang lainnya dengan sanad hasan].
Membaca shalawat kepada Nabi di waktu yang tidak dicontohkan (yaitu sewaktu bersin) ternyata diingkari oleh Ibnu ‘Umar dengan alasan bahwa hal itu tidak dicontohkan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Itulah bid’ah. Tidak ada pemahaman di dalamnya adanya bid’ah hasanah (walau dengan alasan membaca shalat kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam).
Oleh karena itu, Al-Imam Malik rahimahullah – pemimpin ulama Madinah di jamannya – sangat mengingkari bid’ah hasanah. Ibnul-Majisyun mengatakan :
سمعت مالكا يقول : "من ابتدع في الإسلام بدعة يراها حسنة ، فقد زعم أن محمدا – صلى الله عليه وسلم- خان الرسالة ، لأن الله يقول :{اليوم أكملت لكم دينكم}، فما لم يكن يومئذ دينا فلا يكون اليوم دينا"
”Aku mendengar Imam Malik berkata : ”Barangsiapa yang membuat bid’ah dalam Islam yang ia memandangnya baik, maka sungguh ia telah menuduh Muhammad shallallaahu ’alaihi wasallam mengkhianati risalah. Hal itu dikarenakan Allah telah berfirman : ”Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu”. Maka apa saja yang pada hari itu (yaitu hari dimana Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam beserta para shahabatnya masih hidup) bukan merupakan bagian dari agama, maka begitu pula pada hari ini bukan menjadi bagian dari agama” [Al-I’tisham oleh Asy-Syathibi, 1/49].
Kembali pada pembahasan Al-Imam Asy-Syafi’iy rahimahullah. Kita tidak pernah berpandangan bahwa beliau menyelisihi pendahulunya dari kalangan shahabat, tabi’in, dan tabi’ut-tabi’in. Tidak pula ia menyelisihi gurunya, Al-Imam Malik bin Anas rahimahullah sebagaimana di atas. Beliau (Al-Imam Asy-Syafi’iy) pernah berkata :
مَن اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَعَ
“Barangsiapa yang menganggap baik sesuatu (menurut pendapatnya), sesungguhnya ia telah membuat syari’at” [Al-Mankhuul oleh Al-Ghazaliy hal. 374, Jam’ul-Jawaami’ oleh Al-Mahalliy 2/395, dan yang lainnya].
Asy-Syaukani menukil perkataan Ar-Ruyani ketika menjelaskan perkataan Asy-Syafi’iy di atas :
معناه أنه ينصب من جهة نفسه شرعًا غير الشرع
“Maknanya adalah orang yang menetapkan hukum syar’iy atas dirinya dan tidak berdasarkan dalil-dalil syar’iy” [Irsyaadul-Fuhuul, hal. 240].
Dalam Ar-Risalah, Al-Imam Asy-Syafi’iy rahimahullah mengatakan :
إِنمَا الاستحسانُ تلذنٌ
“Sesungguhnya anggapan baik (al-istihsan) hanyalah menuruti selera hawa nafsu” [Ar-Risalah, hal. 507].
Dan juga dalam kitab Al-Umm (7/293-304) terdapat pasal yang indah berjudul : Pembatal Istihsaan/Menganggap Baik Menurut Akal (Ibthaalul-Istihsaan).
Perkataan-perkataan di atas tidak mungkin kita pahami bahwa Al-Imam Asy-Syafi’iy menetapkan bid’ah hasanah – satu klasifikasi yang tidak pernah disebut oleh para pendahulu beliau. Bid’ah hasanah pada hakekatnya kembalinya pada sikap istihsan (menganggap baik sesuatu) tanpa dilandasi dalil, dan ini ditentang oleh beliau rahimahullah. Apabila kita tanya kepada mereka yang berkeyakinan adanya bid’ah hasanah : “Apa standar Anda dalam menentukan baiknya satu bid’ah ?”. Niscaya kita akan mendapatkan jawaban yang beragam, karena memang tidak ada standarnya. Akhirnya, jika kita rangkum keseluruhan pendapat mereka beserta contoh-contohnya, tidaklah tersisa bid’ah bagi mereka kecuali ia adalah hasanah. Al-‘Allamah Abu Syammah Al-Maqdisi Asy-Syafi’iy (seorang pembesar ulama Syafi’iyyah) berkata :
فالواجب على العالم فيما يَرِدُ عليه من الوقائع وما يُسألُ عنهُ من الشرائعِ : الرجوعُ إلى ما دل عليهِ كتابُ اللهِ المنزلُ، وما صح عن نبيّه الصادق المُرْسَل، وما كان عليه أصحابهُ ومَن بعدَهم مِن الصدر الأول، فما وافق ذلك؛ أذِنَ فيه وأَمَرَ، وما خالفه؛ نهى عنه وزَجَرَ، فيكون بذلك قد آمَنَ واتبَعَ، ولا يستَحْسِنُ؛ فإن (مَن استحسن فقد شَرَعَ).
“Maka wajib atas seorang ulama terhadap peristiwa yang terjadi dan pertanyaan yang disampaikan kepadanya tentang syari’at adalah kembali kepada Al-Qur’an, riwayat shahih dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan atsar para shahabat serta orang-orang setelah mereka dalam abad pertama. Apa yang sesuai dengan rujukan-rujukan tersebut dia mengijinkan dan memerintahkan, dan apa yang tidak sesuai dengannya dia mencegah dan melarangnya. Maka dengan itu dia beriman dan mengikuti. Dan janganlah dia menyatakan baik menurut pendapatnya. Sebab : ‘Barangsiapa yang menganggap baik menurut pendapatnya (istihsan), maka sesungguhnya dia telah membuat syari’at” [Al-Ba’its ‘alaa Inkaaril-Bida’ wal-Hawadits oleh Abu Syaammah, hal. 50].
Lantas bagaimana riwayat yang dibawakan oleh Abu Nu’aim tentang perkataan Asy-Syafi’iy tentang pembagian bid’ah terpuji dan tercela ?
Harmalah bin Yahya meriwayatkan :
سمعت الإمام الشافعي – رحمه الله – يقول : ( البدعة بدعتان : بدعة محمود وبدعة مذمومة ، فما وافق السنة فهو محمود ، وما خالف السنة فهو مذموم )
”Aku mendengar Imam Asy-Syafi’i – rahimahullah – berkata : ’Bid’ah itu ada dua macam : (1) Bid’ah yang terpuji, dan (2) Bid’ah yang tercela. Apa-apa yang sesuai dengan Sunnah, maka hal itu adalah (bid’ah yang) terpuji. Sedangkan yang menyelisihi sunnah, maka hal itu adalah (bid’ah yang) tercela” [Hilyatul-Auliyaa’ oleh Abu Nu’aim 9/113, Daarul-Kutub Al-’Ilmiyyah, Cet. 1/1409 H].
Asy-Syaikh ‘Ali Al-Halabiy hafidhahullah telah menjelaskan bahwa selain riwayat ini bertentangan dengan perkataan Al-Imam Asy-Syafi’iy rahimahullah yang telah dinukil sebelumnya, juga sanadnya lemah, karena dalam sanadnya terdapat perawi yang majhul [lihat ‘Ilmu Ushuulil-Bida’, hal. 121; Daarur-Raayah, Cet. 2/1417].
Pada bahasan pembagian bid’ah, beberapa ulama membagi bid’ah menjadi dua yaitu : bid’ah yang baik (bid’ah hasanah) dan bid’ah yang tercela (bid’ah madzmumah). Mereka menyandarkan pembagian tersebut kepada Al-Imam Asy-Syafi’iy rahimahullah, yang kemudian dengan semangat pembagian ini diikuti secara ghulluw oleh para pengikut hawa nafsu. Melalui dasar pembagian bid’ah ini, maka hampir dikata tidak ada istilah bid’ah (dlalalah) dalam terminology syari’at menurut mereka, karena setiap orang berhak untuk menentukan kadar baik dalam bid’ah yang mereka lakukan.
Oleh karena itu, pada artikel kali ini saya mencoba menuliskan secara singkat tentang bid’ah hasanah menurut sisi pandang Al-Imam Asy-Syafi’iy rahimahullah. Namun sebelumnya, perlu kiranya saya tuliskan sedikit dalil dan riwayat atau atsar yang menyinggung tentang tercelanya bid’ah dan bahayanya.
Allah ta’ala berfirman :
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu” [QS. Al-Maaidah : 3].
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُودٍ أَن رَسُولَ اللهِ صَلى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلمَ قَالَ (مَا مِنْ نَبِي بَعَثَهُ اللهُ فِي أُمةٍ قَبْلِي إِلا كَانَ لَهُ مِنْ أُمتِهِ حَوَارِيونَ وَأَصْحَابٌ يَأْخُذُونَ بِسُنتِهِ وَيَقْتَدُونَ بِأَمْرِهِ ثُم إِنهَا تَخْلُفُ مِنْ بَعْدِهِمْ خُلُوفٌ يَقُولُونَ مَا لَا يَفْعَلُونَ وَيَفْعَلُونَ مَا لَا يُؤْمَرُونَ فَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِيَدِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِلِسَانِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِقَلْبِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَيْسَ وَرَاءَ ذَلِكَ مِنْ الْإِيمَانِ حَبةُ خَرْدَلٍ)
Dari ‘Abdullah bin Mas’ud radliyallaahu ‘anhu bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Tidak ada seorang Nabi pun yang diutus Allah kepada suatu umat sebelumku melainkan dari umatnya itu terdapat orang-orang yang menjadi pengikut (hawariyyun) dan shahabatnya yang mereka mengambil sunnahnya dan mentaati perintahnya. Kemudian setelah itu terjadi kebusukan/perselisihan dimana mereka mengatakan sesuatu yang tidak mereka kerjakan dan mengerjakan sesuatu yang tidak diperintahkan. Barangsiapa yang memerangi mereka dengan tangannya, maka ia seorang mukmin. Barangsiapa yang memerangi mereka dengan lisannya maka ia seorang mukmin. Dan barangsiapa yang memerangi mereka dengan hatinya, ia juga seorang mukmin. Selain itu, maka tidak ada keimanan sebesar biji sawipun” [HR. Muslim no. 50 dan Ahmad 1/458 no. 4379, 1/461 no. 4402].
Berkata Bakr bin Al-’Alaa’ :
فَقَالَ مُعَاذُ بْنِ جَبَل يَوْما : إِن مِنْ وَرَائِكُمْ فِتَنًا، يَكْثُرُ فِيْهَا الْمَالُ، وَيُفْتَحُ فِيْهَا الْقُرْانُ، حَتى يَأْخُذَهُ الْمُؤْمِنُ وَالْمُنَافِقُ، وَالرجُلُ وَالْمَرْأَةُ، وَالصغِيْرُ وَالْكَبِيْرُ، وَالْعَبْدُ وَالْحُر، فَيُوْشِكُ قَائِل أَنْ يَقُوْلَ : مَا لِلناسِ لاَ يَتبِعُوْنِي، وَقَدْ قَرَأْتُ الْقُرْانَ ؟ مَا هُمْ بِمُتبِعِي حَتى أَبْتَدَعَ لَهُمْ غَيْرَهُ ! فَإِيكُمْ وَمَا ابْتُدِعَ، فَإِن مَا ابْتُدِعَ ضَلاَلَة، وَأُحَذّرُكُمْ زَيْغَةَ الْحَكِيْمِ، فَإِن الشيْطَانَ قَدْ يَقُوْلُ كَلِمَةَ الضلاَلَةِ عَلَى لِسَانِ الْحَكِيْمِ، وَقَدْ يَقُوْلُ الْمُنَافِقُ كَلِمَةَ الْحَق.
Mu’adz bin Jabal berkata pada suatu hari : ”Sesungguhnya di belakang kalian nanti akan terdapat fitnah, dimana pada waktu itu harta berlimpah ruah dan Al-Qur’an dalam keadaan terbuka hingga semua orang baik mukmin, munafiq, laki-laki, perempuan, anak kecil, orang dewasa, hamba sahaya, atau orang merdeka pun membacanya. Pada saat itu akan ada seseorang yang berkata : ’Mengapa orang-orang itu tidak mengikutiku padahal aku telah membaca Al-Qur’an ? Mereka itu tidak akan mengikutiku hingga aku membuat-buat sesuatu bagi mereka dari selain Al-Qur’an !’. Maka hendaklah kamu hati-hati/waspada dari apa-apa yang dibuat-buat (oleh manusia), karena sesungguhnya apa-apa yang dibuat-buat (bid’ah) itu adalah kesesatan. Dan aku peringatkan kalian akan penyimpangan yang dilakukan oleh seorang hakim ! Karena seringkali syaithan itu mengatakan kalimat kesesatan melalui lisan seorang hakim, dan seringkali seorang munafiq itu berkata tentang kebenaran” [HR. Abu Dawud no. 4611; shahih – Shahih Sunan Abi Dawud 3/120].
عَنْ عَبْدِ اللهِ (بْنِ مَسْعُوْد) قَالَ : الْقَصْدُ فِي السنةِ خَيْرٌ مِنْ الاجْتِهَادِ فِي الْبِدْعَةِ
Dari ’Abdullah (bin Mas’ud) radliyallaahu ’anhu ia berkata : ”Sederhana dalam sunnah itu lebih baik daripada bersungguh-sungguh dalam bid’ah” [Diriwayatkan oleh Ad-Darimi no. 223, Al-Laalikaiy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqad no. 14, 114, Al-Haakim 1/103, dan yang lainnya; sanad riwayat ini jayyid].
عَن المبَارَك عَن الحَسَن قَالَ سننكم والله الذي لا إله إلا هو بينهما بين الغالي والجافي فاصبروا عليها رحمكم الله فإن أهل السنة كانوا أقل الناس فيما مضى وهم أقل الناس فيما بقي الذين لم يذهبوا مع أهل الأتراف في أترافهم ولا مع أهل البدع في بدعهم وصبروا على سنتهم حتى لقوا ربهم فكذلك إن شاء الله فكونوا
Dari ’Abdillah bin Al-Mubarak dari Al-Hasan ia berkata : ”Perbedaan antara perilaku/perikehidupan kalian dengan sesuatu yang disyari’atkan oleh Allah yang tiada tuhan yang patut disembah dengan benar melainkan Dia, seperti perbedaan antara sesuatu yang sangat berharga (mahal) dengan sesuatu yang busuk (murah). Maka bersabarlah kalian dalam memegang syari’at Allah, niscaya Allah akan mengasihi kalian. Sesunggunya Ahlus-Sunnah itu merupakan kelompok yang sangat sedikit dan kecil, baik pada masa lampau maupun pada masa yang akan datang. Mereka itu adalah orang yang tidak senang bercampur dengan ahli maksiat pada kemaksiatan mereka, dan tidak mau bekerjasama dengan para ahli bid’ah dalam mengerjakan kebid’ahan mereka. Bersabarlah kalian dalam memegang apa yang diwariskan oleh Ahlus-Sunnah hingga kalian menghadap Tuhannya (Allah). Seandainya kalian melakukannya, maka insyaAllah keberadaan kalian seperti mereka” [Diriwayatkan oleh Ad-Darimi no. 222; dla’if].
عَنِ ابْنِ الْعَبَاس – رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا – أَنَهُ قَالَ : مَا أَتَى عَلَى الناسِ عَامٌ ، إِلّا أَحْدَثُوْا فِيْهِ بِدْعَةً ، وَأَمَاتُوْا فِيْهِ سُنةً، حَتى تَحْيَا الْبِدَعِ وَتَمُوْتُ السنَنُ.
Dari Ibnu ’Abbas radliyallaahu ’anhuma bahwasannya ia berkata : Tidaklah datang kepada manusia satu tahun kecuali mereka membuat-buat bid’ah dan mematikan sunnah di dalamnya. Hingga hiduplah bid’ah dan matilah sunnah” [Al-Haitsami berkata dalam Majma’uz-Zawaaid, 1/188, Bab Fil-Bida’i wal-Ahwaa’ : ”Diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dalam Al-Kabiir, dan rijalnya adalah terpercaya”. Diriwayatkan pula oleh Ibnu Wadldlaah dalam Kitaabul-Bida’ hal. 39].
Itulah sedikit di antara nash dan atsar dari para pendahulu kita yang shalih (as-salafush-shalih) tentang tercelanya bid’ah. Mereka memutlakkan apa-apa yang baru dalam syari’at yang tidak ada dalilnya dan tidak pernah dikerjakan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam serta para shahabatnya sebagai bid’ah. Mereka tidak pernah mengecualikan bid’ah dengan kata hasanah (baik), karena seluruh bid’ah menurut mereka adalah dlalalah (sesat). Barangsiapa yang mengklaim ada bid’ah yang tergolong hasanah, maka pada hakekatnya ia telah menuduh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak menyampaikan semua risalah. Baik baginya untuk memperhatikanlah perkataan Ummul-Mukminin ’Aisyah radliyallaahu ’anhaa :
وَمَنْ زَعَمَ أَن مُحَمدا صَلى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلمَ كَتَمَ شَيْئا مِما أَنْزَلَ اللهُ عَلَيْهِ، فَقَدْ أَعْظَمَ عَلَيْهِ الْفِرْيَة، واللهُ يَقُوْلُ : (يَا أَيهَا الرسُوْلُ بَلغْ مَا أُنزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبكَ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلغْتَ رِسَالَتَه)
“Dan barangsiapa yang menyangka Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyembunyikan sesuatu dari apa-apa yang diturunkan Allah, sungguh ia telah membuat kedustaan yang sangat besar terhadap Allah. Padahal Allah telah berfirman : ”Hai Rasul, sampaikanlah apa yang di turunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya.” (QS. Al-Maidah : 67) [HR. Al-Bukhari no. 7380 dan Muslim no. 177].
Juga hendaknya ia memperhatikan perkataan ’Abdullah bin ’Umar radliyallaahu ’anhuma :
كُل بِدْعَة ضَلاَلَة وَإِنْ رَآهَا الناسُ حَسَنَة
”Setiap bid’ah itu adalah sesat walaupun manusia memandangnya sebagai satu kebaikan” [Diriwayatkan oleh Al-Laalikai dalam Syarh Ushulil-I’tiqad no. 205 dan Ibnu Baththah dalam Al-Ibaanah no. 205 dengan sanad shahih].
Jika kita kaitkan dengan perbuatan salafunash-shaalih di bawah, maka perkataan di atas akan lebih jelas maksudnya.
عن نافع أن رجلا عطس إلى جنب بن عمر فقال الحمد لله والسلام على رسول الله قال بن عمر وأنا أقول الحمد لله والسلام على رسول الله وليس هكذا علمنا رسول الله صلى الله عليه وسلم علمنا أن نقول الحمد لله على كل حال
Dari Nafi’ : Bahwasannya ada seseorang bersin di samping Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhu, lalu dia berkata : “Alhamdulillah was-salaamu ‘alaa Rasulihi (segala puji bagi Allah dan kesejahteraan bagi Rasul-Nya)”. Maka Ibnu ‘Umar berkata : “Dan saya mengatakan, alhamdulillah was-salaamu ‘alaa Rasuulillah. Akan tetapi tidak demikian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengajari kami. Akan tetapi beliau mengajarikami untuk mengatakan : “Alhamdulillah ‘alaa kulli haal” (Alhamdulillah dalam segala kondisi) [HR. At-Tirmidzi no. 2738, Hakim 4/265-266, dan yang lainnya dengan sanad hasan].
Membaca shalawat kepada Nabi di waktu yang tidak dicontohkan (yaitu sewaktu bersin) ternyata diingkari oleh Ibnu ‘Umar dengan alasan bahwa hal itu tidak dicontohkan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Itulah bid’ah. Tidak ada pemahaman di dalamnya adanya bid’ah hasanah (walau dengan alasan membaca shalat kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam).
Oleh karena itu, Al-Imam Malik rahimahullah – pemimpin ulama Madinah di jamannya – sangat mengingkari bid’ah hasanah. Ibnul-Majisyun mengatakan :
سمعت مالكا يقول : "من ابتدع في الإسلام بدعة يراها حسنة ، فقد زعم أن محمدا – صلى الله عليه وسلم- خان الرسالة ، لأن الله يقول :{اليوم أكملت لكم دينكم}، فما لم يكن يومئذ دينا فلا يكون اليوم دينا"
”Aku mendengar Imam Malik berkata : ”Barangsiapa yang membuat bid’ah dalam Islam yang ia memandangnya baik, maka sungguh ia telah menuduh Muhammad shallallaahu ’alaihi wasallam mengkhianati risalah. Hal itu dikarenakan Allah telah berfirman : ”Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu”. Maka apa saja yang pada hari itu (yaitu hari dimana Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam beserta para shahabatnya masih hidup) bukan merupakan bagian dari agama, maka begitu pula pada hari ini bukan menjadi bagian dari agama” [Al-I’tisham oleh Asy-Syathibi, 1/49].
Kembali pada pembahasan Al-Imam Asy-Syafi’iy rahimahullah. Kita tidak pernah berpandangan bahwa beliau menyelisihi pendahulunya dari kalangan shahabat, tabi’in, dan tabi’ut-tabi’in. Tidak pula ia menyelisihi gurunya, Al-Imam Malik bin Anas rahimahullah sebagaimana di atas. Beliau (Al-Imam Asy-Syafi’iy) pernah berkata :
مَن اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَعَ
“Barangsiapa yang menganggap baik sesuatu (menurut pendapatnya), sesungguhnya ia telah membuat syari’at” [Al-Mankhuul oleh Al-Ghazaliy hal. 374, Jam’ul-Jawaami’ oleh Al-Mahalliy 2/395, dan yang lainnya].
Asy-Syaukani menukil perkataan Ar-Ruyani ketika menjelaskan perkataan Asy-Syafi’iy di atas :
معناه أنه ينصب من جهة نفسه شرعًا غير الشرع
“Maknanya adalah orang yang menetapkan hukum syar’iy atas dirinya dan tidak berdasarkan dalil-dalil syar’iy” [Irsyaadul-Fuhuul, hal. 240].
Dalam Ar-Risalah, Al-Imam Asy-Syafi’iy rahimahullah mengatakan :
إِنمَا الاستحسانُ تلذنٌ
“Sesungguhnya anggapan baik (al-istihsan) hanyalah menuruti selera hawa nafsu” [Ar-Risalah, hal. 507].
Dan juga dalam kitab Al-Umm (7/293-304) terdapat pasal yang indah berjudul : Pembatal Istihsaan/Menganggap Baik Menurut Akal (Ibthaalul-Istihsaan).
Perkataan-perkataan di atas tidak mungkin kita pahami bahwa Al-Imam Asy-Syafi’iy menetapkan bid’ah hasanah – satu klasifikasi yang tidak pernah disebut oleh para pendahulu beliau. Bid’ah hasanah pada hakekatnya kembalinya pada sikap istihsan (menganggap baik sesuatu) tanpa dilandasi dalil, dan ini ditentang oleh beliau rahimahullah. Apabila kita tanya kepada mereka yang berkeyakinan adanya bid’ah hasanah : “Apa standar Anda dalam menentukan baiknya satu bid’ah ?”. Niscaya kita akan mendapatkan jawaban yang beragam, karena memang tidak ada standarnya. Akhirnya, jika kita rangkum keseluruhan pendapat mereka beserta contoh-contohnya, tidaklah tersisa bid’ah bagi mereka kecuali ia adalah hasanah. Al-‘Allamah Abu Syammah Al-Maqdisi Asy-Syafi’iy (seorang pembesar ulama Syafi’iyyah) berkata :
فالواجب على العالم فيما يَرِدُ عليه من الوقائع وما يُسألُ عنهُ من الشرائعِ : الرجوعُ إلى ما دل عليهِ كتابُ اللهِ المنزلُ، وما صح عن نبيّه الصادق المُرْسَل، وما كان عليه أصحابهُ ومَن بعدَهم مِن الصدر الأول، فما وافق ذلك؛ أذِنَ فيه وأَمَرَ، وما خالفه؛ نهى عنه وزَجَرَ، فيكون بذلك قد آمَنَ واتبَعَ، ولا يستَحْسِنُ؛ فإن (مَن استحسن فقد شَرَعَ).
“Maka wajib atas seorang ulama terhadap peristiwa yang terjadi dan pertanyaan yang disampaikan kepadanya tentang syari’at adalah kembali kepada Al-Qur’an, riwayat shahih dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan atsar para shahabat serta orang-orang setelah mereka dalam abad pertama. Apa yang sesuai dengan rujukan-rujukan tersebut dia mengijinkan dan memerintahkan, dan apa yang tidak sesuai dengannya dia mencegah dan melarangnya. Maka dengan itu dia beriman dan mengikuti. Dan janganlah dia menyatakan baik menurut pendapatnya. Sebab : ‘Barangsiapa yang menganggap baik menurut pendapatnya (istihsan), maka sesungguhnya dia telah membuat syari’at” [Al-Ba’its ‘alaa Inkaaril-Bida’ wal-Hawadits oleh Abu Syaammah, hal. 50].
Lantas bagaimana riwayat yang dibawakan oleh Abu Nu’aim tentang perkataan Asy-Syafi’iy tentang pembagian bid’ah terpuji dan tercela ?
Harmalah bin Yahya meriwayatkan :
سمعت الإمام الشافعي – رحمه الله – يقول : ( البدعة بدعتان : بدعة محمود وبدعة مذمومة ، فما وافق السنة فهو محمود ، وما خالف السنة فهو مذموم )
”Aku mendengar Imam Asy-Syafi’i – rahimahullah – berkata : ’Bid’ah itu ada dua macam : (1) Bid’ah yang terpuji, dan (2) Bid’ah yang tercela. Apa-apa yang sesuai dengan Sunnah, maka hal itu adalah (bid’ah yang) terpuji. Sedangkan yang menyelisihi sunnah, maka hal itu adalah (bid’ah yang) tercela” [Hilyatul-Auliyaa’ oleh Abu Nu’aim 9/113, Daarul-Kutub Al-’Ilmiyyah, Cet. 1/1409 H].
Asy-Syaikh ‘Ali Al-Halabiy hafidhahullah telah menjelaskan bahwa selain riwayat ini bertentangan dengan perkataan Al-Imam Asy-Syafi’iy rahimahullah yang telah dinukil sebelumnya, juga sanadnya lemah, karena dalam sanadnya terdapat perawi yang majhul [lihat ‘Ilmu Ushuulil-Bida’, hal. 121; Daarur-Raayah, Cet. 2/1417].
thanks udah ngepost gan,,,
nih penjelasan yg komplit

0
Kutip
Balas