- Beranda
- Stories from the Heart
2 CINTA DI NUSA BUNGA
...
TS
andihunt
2 CINTA DI NUSA BUNGA
2 CINTA DI NUSA BUNGA
Sepenggal Kisah Tentang Kacamata Berbingkai Hitam & Kerudung Putih yang Anggun












PROLOG
Dulu....
Sebelum aku meneruskan kuliah di salah satu Universitas di Surabaya, aku mengambil kursus Bahasa Inggris di Kota Kediri untuk bekal kuliahku nanti. Namun pada kenyataanya aku terpaksa harus mengubur mimpi untuk kuliah di jawa dan pergi sekian mil jauhnya meninggalkan kampung halaman, sahabat bahkan Ibuku sendiri untuk memenuhi keinginanku melanjutkan kuliah.
Saat itu aku sadar kondisi ekonomi keluarga kami di kampung tidak cukup untuk memenuhi ambisiku meneruskan kuliah di kota besar seperti Surabaya. Jadi, aku akhirnya menerima tawaran kakakku untuk meneruskan kuliah di pulau antah berantah. Sebuah pulau yang tak pernah terbayangkan bahwa aku akan terdampar disana.
Dan sekarang aku akan bercerita tentang kisah perjalananku di pulau seberang, salah satu pulau di Nusa Tenggara yang dikenal sebagai Pulau Bunga, sebagian ada juga yang menyebutnya sebagai Nuca Nepa (Pulau Ular).
Dari sana awal petualanganku dimulai, ketika akhirnya aku harus menerima kenyataan bahwa aku telah terdampar terlalu jauh dan bertarung dengan kegelisahan yang muncul di setiap saat, kegelisahan tentang nasib kuliahku disana dan juga ketergantungan hidup pada orang lain.
Namun dari kegelisahan ini akhirnya mengajari aku satu hal bahwa dalam perantauan aku harus berani mengambil resiko keluar dari gejolak hati yang sengaja aku ciptakan sendiri dan mencari jati diriku sebenarnya.
Kehidupan memang seperti semangkuk buah ceri, selalu ada rasa asem dan manis. Seperti kisah perjalananku ini yang telah membawaku bertemu dengan dua sosok wanita yang selalu memberi kedamaian dan mengajari aku tentang arti dari sebuah cinta dan persahabatan. Meskipun pada akhirnya, kita tak pernah bertemu lagi dan pulau itu hanya sebagai pulau transit saja. Kita mempunyai tujuan akhir yang berbeda, namun rasa cinta itu selalu ada di masing-masing potongan hati kita, dan selalu ada....selamanya.
And... the story goes.....
"..................."
Surabaya, 22 Maret 2014
Di hari yang kuimpikan, langit biru yang menawan seakan ku terbang melayang.
Kusambut cerahnya mentari, kutinggalkan semua mimpi seakan ku masih berlari.
Malam yang terus membisu, kota yang tampak membeku seakan kau ada didekatku.
Ah, sudah tak terhitung berapa kali aku menyanyikan lagu ini di teras rumah ketika rintik hujan dan malam yang sepi menggoda pikiran untuk membayangkan sosok yang pernah ada mengisi lembaran hati kala itu. Sosok wanita yang memiliki hati seputih salju dan senyum indah seperti bunga sakura yang berguguran di musim semi.
Surabaya terlihat sepi, sunyi dan semua yang terlihat hanya gelap malam dan kerlipan lampu yang nampak samar. Suara rintikan hujan menari nari di genting teras berlari beriringan dengan petikan gitarku yang semakin terdengar lirih. Sebuah malam yang menuntunku kembali ke suatu kisah yang menyisakan senyum kecil direlung hati ketika aku mengingatnya.
Entah kenapa aku menciptakan lagu itu beberapa tahun silam. Sebuah lagu yang kutulis melawan hati nurani untuk memilikinya dengan utuh. Ya, sebuah lagu yang menceritakan tentang seseorang yang mengagumi keindahan bunga mawar tanpa bisa memilikinya.
Di malam yang sunyi ini, sebuah gitar kembali memaksa aku bercerita tentang kisah cinta seorang pemuda di pulau seberang, tentang kacamata berbingkai hitam dan kerudung putih yang anggun.
Di suatu pulau di bagian tenggara Indonesia yang dikenal sebagai Pulau Ular awal cerita ini dimulai. Yah, Pulau Ular yang telah melilit aku dalam cintanya dan membius aku dengan bisanya yang melumpuhkan sendi-sendi tulangku hingga kini. Pulau itu.... adalah Nusa Bunga yang memiliki kota Maumere dengan segala hiruk pikuknya.
Hujan semakin deras menyisakan dingin menyelimuti kalbu. Senar gitarku masih begetar dengan nada yang sumbang. Kesendirian ini bertemankan gitar dan secangkir kopi yang siap mengantarkan aku pada suatu memori yang tersimpan rapi di relung hati terdalam. Dan, asap tipis dari secangkir kopi ini mulai memudar dan bercerita tentang kisah masa lalu. Tentang sebuah Kota yang mempertemukan aku dan mereka, dan dengan segala harapan yang pupus disana.
.........................
--Di suatu tempat di seberang samudera, ada sebuah pulau nan indah, pulau yang dikenal sebagai pulau bunga. Sebuah pulau di Nusa Tenggara yang menjadi dermaga cinta ini berlabuh pada dua hati. Namun, hanya ada satu cinta yang mengajari aku tentang arti dari sebuah perpisahan.--
Soundtrack
INDEX
Spoiler for INDEX:
Diubah oleh andihunt 05-09-2014 18:50
nona212 dan anasabila memberi reputasi
3
28.3K
210
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
andihunt
#39
Sebuah Awal. Part 3
Sehabis mengerjakan test aku lantas keliling kampus memperhatian setiap detil bangunannya yang katanya bekas rumah sakit lama. Kenapa dibuat kampus kalo ini rumah sakit? ada apakah? mungkinkah ada malpraktek atau skandal antar dokter yang memungkinkan rumah sakit ini ditutup? Jangan-jangan ini adalah rumah sakit yang pernah rahma ceritakan saat pak haji membawa mbaknya rahma mengobati luka dikepalanya. Ya, memang lokasinya tidak terlalu jauh dari rumah. Tapi kenapa harus rumah sakit ini yang menjadi kampus??? Ah... terlalu banyak misteri yang ada di kota ini, satu misteri yang tak seharusnya aku pikirkan karena itu tidak penting. Toh aku sudah terlanjur mengiyakan tawaran kak aldi dan akan menjadi salah satu mahasiswa di kampus ini. Meski terlihat agak serem juga karena banyak bangunan retak dan juga ada salah satu kamar mayat yang masih terlihat bercak darah di temboknya.
Aku lantas kembali ke ruang fakultas keperawatan tempat dimana aku mengikuti test tadi. Saat itu aku berdiri di mulut pintunya dan berharap ada sebuah keajaiban gadis itu muncul kembali di tempat duduknya dan melambai kearahku yang berdiri mematung disini. Tak kupungkiri aku seperti merasakan ada sesuatu yang istimewa dari gadis berkerudung itu. Dia seperti rahma tapi dengan kepribadian yang berbeda. Aku lantas berjalan pelan menggeret kakiku yang terasa berat ke kursi gadis tadi dan duduk sesaat seraya menopang dagu dengan kedua tangan.
"Kenapa dengan papan hitam itu?" aku mengguman pelan sambil memperhatikan papan hitam yang ada didepan kelas
Aku terus duduk disana sampai tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 11.30. Sial... sampai segitukah aku melamun tentang gadis berkerudung putih tadi. Dibalik wajah ayunya ternyata tersimpan banyak kegelisahan yang dia rasakan. Aku bahkan tidak bergeser sekian jam memandang heran ke papan hitam polos ini.
Hari itu, meski jarum jam berputar ke arah angka sebelas lebih. Tapi cuaca mendung diluar membuatnya terlihat masih pagi.
"papan hitam.... ada apa denganmu? begitu menarikkah dirimu untuk gadis cantik berkerudung tadi?" aku membatin untuk kesekian kalinya lantas melangkah pulang.
Kini di luar kelas suasananya terlihat sepi. Hiruk-pikuk orang berlalu lalang yang aku lihat tadi pagi sekarang lenyap entah kemana, hanya terlihat beberapa orang yang ngobrol sambil memeluk satu buku tebal. Mungkin mereka dosen disini atau mungkin juga mahasiswa senior. Tak kuhiraukan mereka aku lantas berjalan gontai ke gerbang luar kampus ini berharap angkot musik itu segera datang dan mengantar aku pulang kerumah. Tapi, kali ini awanya semakin menghitam. Tak biasanya aku melihat kota maumere semendung ini, mungkin sebentar lagi akan turun hujan. Biarlah... biarlah Tuhan menurunkan setetes air dari langit agar aku bisa menikmati setiap guyuran yang jatuh mendinginkanku. Aku ingin hujan ini menentramkan hatiku yang terasa gundah gulana.
Siang itu.... tak lama setelah aku meninggalkan pintu kelas tadi, aku merasakan beberapa tetesan air jatuh tepat ke dahiku. Ah... ternyata gerimis. Syukurlah Tuhan, engkau menjawab doaku yang sudah merasa gerah dari tadi. Kulihat orang-orang disekitarku berjalan mempercepat langkahnya dan ada sebagian yang berlari lari kecil menuju tepi kelas sekedar meneduh.
Gerimis siang ini membuat debu yang berterbangan diterpa angin perlahan lengket di tembok-tembok kelas, membuatnya berwarna agak kecoklatan, seakan berbisik padaku untuk mempercepat langkah menghindari noda kotor yang akan menerpa celana kainku. Tapi.... aku masih menikmati langkahku yang semakin melambat, melihat kedua sepatuku saling berpacu dan sejenak aku berkhayal tentang rahma, tak pernah aku berjalan mengawasi langkahku sendiri seperti ini kecuali saat bersama dirinya, melihat setiap cat kuku yang indah di kaki mulusnya.
Tak terasa sudah semakin jauh aku meningalkan kelas tadi, menikmati setiap rintik gerimis hujan yang jatuh membasahi rambut lurusku. Dan... kampus ini sudah terlihat sunyi, sangat sunyi bahkan aku bisa merasakan kesunyiannya saat banyak daun bidara berjatuhan diterpa angin, menutupi setiap ujung dari kedua sepatuku. Hm.... angin ini, gerimis ini, dan kesunyian ini seolah mengerti akan perasaanku saat ini. Tuhan... aku sadar, aku sangat merindukan kehadiran rahma.
Awan masih terlihat sangat menghitam dan air hujan semakin deras menetes. Saat itu aku lantas mendekap ranselku dan berlari sekencang-kencangnya menuju tepi ruangan yang tidak jauh dari gerbang kampus ini. Tidak sampai lama akhirnya aku berdiri menyandarkan punggungku ke sebuah bangunan yang agak tua dan reyot karena temboknya retak disana sini. Aku tidak sendirian yang berteduh di bangunan ini, ada tiga orang berperawakan agak tua, mereka berbadan gemuk dan sedikit terlihat keriput di dahinya. Lantas... tiba-tiba salah satu dari mereka datang menghampiriku dan membawa dua helm berwarna hitam.
"Ojek?" sahut bapak tua itu sambil menyodorkan satu helm hitamnya
"Tidak pak, mungkin sebentar lagi hujannya reda" tolakku sopan
"Oh.. baiklah. Kadang hujan pertama memang berkesan ya?" jawab pak tua itu lantas ikut bersandar disampingku
"Memang ini hujan pertama ya pak?"
"Ya mungkin seperti itu. Aku lihat kamu bukan orang sini?"
"Iya pak saya dari jawa"
"Oh... sudah kelihatan. Kayaknya dari tadi murung terus berjalan dari sana?" pak tua kembali bertanya sambil menunjuk ke dalam kampus
"ya... aku cuma ingin menikmati gerimis ini pak. Baru pertama merasakan hujan di maumere"
"Selamat datang di Nusa Bunga!!!" pak tua itu lantas tersenyum dan menepuk bahuku
"Terimakasih pak!"
"sudah dulu ya aku ke dua temanku tadi. Nunggu penumpang" pak tua itu lantas berbisik lirih dan menghampiri kedua temannya.
…..
"hm... sungguh diluar dugaanku! ternyata anggapanku tentang satu artikel "Kerusuhan Poso" yang aku baca saat terapung di kapal tidak semuanya benar. Memang orang sini baik dan loyal. Itu saja. Setidaknya aku mengalami sendiri" aku lantas menggeleng kagum sambil melempar senyum kecil saat mereka menatap aku sekilas
Sekitar sepuluh menit aku bersandar di bangunan ini dan tiba-tiba hujan sudah mulai reda. Aku lantas berjalan ke gerbang kampus ini menuju ke sebuah halte kecil yang ada di pinggir jalan.
"Pak saya jalan dulu ya" sapaku berpamitan ketiga ojek tadi
"Hati-hati nong!" mereka lantas bersahutan menjawabku seraya tersenyum lebar, membuatku merasakan hangatnya kota ini dengan penduduknya yang ramah.
Tak lama aku mengayunkan kaki menapaki jalan menuju halte, aku lihat ada seorang berkulit hitam agak pendek disana yang nampaknya memarkir motor dari tadi. Mungkin dia berteduh menunggu hujan reda. Tapi masa hujan sudah reda begini belum jalan dia?
"Evan!!!"
Aku mengumam dalam hati setelah mengetahui ternyata dia kenalanku tadi pagi. Sedetik kemudian ada kepikiran untuk mengagetkan dia yang lagi ngelamun menatap pohon cemara yang berjejer rapi di samping bangunan kampus.
"Woi... kamu ga pulang? katanya tadi balik duluan?" teriakku mengagetkan lamunannya
"Aduh... jawa! aku tunggu kau dari tadi ni" jawab dia terkaget sambil menepuk bahuku
"Kenapa nunggu aku?" tanyaku heran
"Kamu tidak lihat ada polisi tadi kah? aku kira kamu mau dipukul sama polisi itu"
"ngapain dipukul?"
"Kamu tadi bilang mau PDKT sama gadis pake kerudung tadi to? aku pikir polisi itu suaminya. Soalnya tadi masuk kelas marah marah."
"Jadi dengar kamu?"
"Ya kedengaran lah, aku tadi masih berbincang di depan kelas sama temanku"
"Oh...." aku lantas melongo
"Kamu balik bareng aku aja. Dimana rumahmu?" tanya dia menawariku bareng pulang
"di komplek Beru"
"ah.. tidak jauh dari sini rupanya. Ya udah nyantai duduk disini dulu. Lagian masih gerimis sedikit"
"Okelah.." jawabku lantas duduk di halte ini berdua denganya
"Andi... kamu tadi tidak ditabok kah?" jawab dia sambil mengamati mukaku berkali kali
"Di tabok? emang aku bertindak asusila apa?" jawabku kecut
"Aku kira kamu pas deketin dia langsung ditabok sama polisi tadi. Kayaknya berkesan sekali cewek itu?" tanya evan sambil memantik rokoknya
"Asap!"
"Asap????" tanya evan lantas kembali menoleh kewajahku curiga
"iya asap, aku minta rokonya dulu biar aku bisa cerita" pintaku sambil merebut bungkus rokoknya
"Kamu ngerokok juga?"
"Lah... masa udah kedinginan gini ga ditawari rokok?" jawabku memelas
"Ya udah ambil ni, terus kau cerita sudah!"
"ehem... jadi gini van. Kenapa aku bisa terkesan dengan cewek tadi"
"Iya cerita sudah! jawab evan menunggu ceritaku
"jadi ceritanya aku lagi nyalain korek api"
"Terus ndi?" tanya dia meminta melanjutkan
"terus ada rokok sebatang ditanganku"
"terus?" tanya dia lagi serius
"Terus sekarang aku hisap dah"
PLAKKKKK!!!
"duh... kenapa aku digetok kunci motor begini" aku lantas menunduk kesakitan
"Kamu itu cerita serius, jangan main gila!" ujarnya dengan logat Maumere yang sangat kental
"Ya udah ni mau cerita. Eh... van, kamu percaya ada orang kembar di dunia ini?"
"ya percaya lah, kemarin ada tetanggaku punya anak kembar. Mirip banget mereka"
"Bukan itu maksudku van. Tapi kembar beda ibu, atau ginilah biar gampang di cerna. Saat kamu baru kehilangan seseorang yang kamu cintai terus tak lama setelah itu kamu berjumpa dengan orang yang mirip banget dengan dia"
"Ga percaya?" jawab dia singkat sambil mengisap rokoknya
"Alasanya ga percaya?" tanyaku heran
"Sebelum kamu cerita tentang cewek tadi, aku ga bakalan percaya ndi"
"Oke van. hm.... Jujur saat aku melihat gadis berkerudung tadi. Pertama yang muncul di pikiranku adalah dia seorang muslim sama seperti aku. Artinya aku bakal punya temen sesama muslim"
"cuma itu saja?" tanya evan penasaran
"Belum... nah semakin aku memperhatikan dia, lama-lama aku teringat seseorang bernama rahma"
"Yang kamu panggil rahma tadi?" ujar evan penasaran
"bener! mirip banget dia. Saat itu aku jadi penasaran sama dia. Bahkan kepikiran mengajak ngobrol sesaat, tapi sayang...." aku lantas menunduk sambil membuang puntung rokok
"Kenapa jawa?"
"Kayaknya dia udah punya suami, polisi tadi. Soalnya tadi hampir bertengkar sama tuh cewek gara-gara ga mau pulang. Aku kasihan sama cewek tadi van... dia menatap aku sejenak seperti mengajak aku bicara sekian detik mengutarakan semua persoalannya."
"Andi... itulah kenapa aku nunggu kamu disini" jawab evan seraya memberiku sebatang rokok lagi
"kenapa nunggu aku kamu van?"
"aku takut kamu dipukuli sama polisi itu. Soalnya dulu ada kasus juga orang jawa dibunuh disini gara-gara kasus perselingkuhan yang melibatkan oknum kepolisian"
"Maksudmu aku mau selingkuh sama dia? gila kamu van"
"Ndi... matamu tadi lihat dia terus menerus, lama lama jatuh cinta, dan kalau sudah jatuh cinta tai ayam juga rasanya coklat"
"maksudnya?"
"Maksudku kalau kamu sudah jatuh cinta sama dia, kamu akan buta ndi! kamu akan melakukan apa aja diluar logikamu. Termasuk mencintai istri orang kayak tadi"
"Ah.. ngak lah van. Aku cuma kasihan sama dia, aku ingat rahma kalau lihat dia. Dan aku ga mau ada orang seperti rahma menangis sedih seperti tadi. Rasanya ada yang terusik di hatiku van"
"Jadi kamu sayang sama rahma yang katanya sudah ninggalin kamu itu?" selidik dia
"Sejujurnya memang aku ada rasa sama dia. Tapi... entahlah, aku bingung."
"Ndi... kamu harus jujur pada hatimu. Percuma kamu terus-terusan berselisih sama perasaanmu. Didalam sini tidak bisa berdusta, tapi otakkmu itu tidak bisa bekerja dengan baik" evan lantas menyentuh dadaku dan kemudian menepok jidatku keras
"Aw... sakit tahu van. Baru kali ini kenal bocah seperti kamu udah nepok jidatku kayak tadi." gerutuku kesal
"Marah ndi haha.... habis kamu itu lugu sekali. Mencintai dua orang sekaligus. Rakus kamu ndi"
"Ga tau lah! mending kamu antar aku pulang sekarang van. Cape banget. Lagian udah reda nih hujannya"
"Okelah... nanti ospeknya dua minggu lagi. Kamu datang kesini subuh. Ingat itu, kalo ga bakal manjat gerbang kamu!"
"Dua minggu? tanggal berapa? aku bahkan ga ngerti jadwal ospeknya?" tanyaku heran
"Duh... mangkanya kamu itu aktif mondar mandir di sekretariat Bahasa Inggris sana biar tau informasinya. Jangan galau terus. Ya udah nanti ta sms lah lebih lengkapnya. Lagi ga ada pulsa sekarang!"
"Oke deh van. Thanks ya udah nungguin aku, jadi berasa punya sopir pribadi, haha!"
"Pukimai!!! kau kira aku tukang ojek kah?" jawab dia jengkel
"udahlah... gitu aja menggerutu kamu van bercanda kali!"
"Udah ayo cepet naik!"
Setelah perbincangan menunggu hujan reda itu, aku lantas diantar evan kerumah naik motornya. Jarak rumah yang tidak terlalu jauh membuat perjalanan ini semakin cepat. Hanya kurang dari lima lima belas menit nyampe di lingkungan komplek beru.
"Kamu bawa motor kenceng amat van" ujarku memecahkan keheningan sesaat
"macam dijawa aja macet, disini kamu mau balapan liar juga ga ada polisi yang nangkap"
"Beneran???"
"Iya bener, asal balapannya resmi, haha"
"Anjrit... nih. Nipu lagi kamu van"
"ahahahaha" dia tertawa lebar sampai ludahnya muncrat diterpa angin kewajahku
"kiri-kiri van.... " aku lantas mengayunkan tangan meminta dia mengentikan laju motornya
"Pukimai kau ni ndi!!! jangan keras-keras ngomongnya?" dia lantas marah sambil matanya melihat lihat spion
"lah kenapa?"
"Kamu itu bilang kiri-kiri dikira aku tukang ojek nanti"
"Wah... iya sorry deh. Turun di deket masjid sana aja. Sekalian mau sholat aku van"
"Okelah.... ndi"
"Kanan-kanan van...." pintaku sekali lagi dan motorpun berhenti di samping masjid beru yang sudah kelihatan sepi.
"Kanan.... kiri....., males aku boceng kamu ndi!" jawab evan kesel
"Yah... gitu aja ngambek. Okelah nanti aku sms kamu kalo lagi nganggur, sekalian ajak aku jalan-jalan di kota ini ya?" pintaku memelas ke evan dan sedetik kemudian dia lantas cemberut kesal...
"Okelah... aku jalan dulu ya. Salam sama keluargamu jawa!"
"siplah van!"
Tak lama evan menghilang bersamaan dengan bunyi knalpot motornya yang menderu deru pelan. Dia orang flores, dia berkulit hitam, dia beragama khatolik dan aku kagum. Kagum tentang bagaimana dia memperlakukan orang minoritas seperti aku, bahkan saat aku belum keluar kelas gara-gara memperhatikan polisi bertengkar dengan istrinya tadi dia masih loyal menungguku. Tuhan... aku jatuh cinta dengan pulau ini, dengan penduduknya, dengan alamnya dan dengan kedua gadis yang "mirip itu".
"bismillah" ….......
Aku lantas tertidur di masjid, menikmati kipas angin di atap yang memutar pelan. Aku menyandarkan kepalaku di ransel hitam yang biasa aku gendong mencoba membuat mataku terpejam sekian menit. Sedetik kemudian anganku meloncat-loncat ke masa lalu saat aku pertama kali menaiki kapal ke pulau ini, tersandar di dinding besi bercat hijau yang berkarat, dengan berbagai macam bau keringat orang flores yang membuat dek dikapal itu pengap. Suasanya sama seperti sekarang, saat aku tidur beralaskan tas ransel dan berselimut majalah yang tergeletak sembarangan.
Aku hanyut dalam bayangan kapal itu. Mataku terpejam dan melamum tentang wajah ayu kedua gadis yang aku temui di pulau ini. Bayang-bayang mereka berdua lantas berputar di kepalaku dan membawaku masuk ke dunia mimpi, dunia dimana aku bisa bercengkerama dengan rahma dan gadis berkerudung putih itu yang anggun.
"bangun nak andi...."
"Andi!"
Aku sontak terkaget dan langsung mengucek kedua mataku yang tampak sayu setelah merasakan ada orang yang menepuk kakiku berkali-kali.
"Pak haji....." jawabku sopan setelah menyadari kini pak haji yusuf duduk disebelahku
"Kecapaian? udah shalat dhuhur?" tanya pak haji lantas tersenyum
"Ah.... udah tadi pak haji, shalat sendirian."
"Kenapa sering melamun sendiri akhir-akhir ini?" tanya pak haji lantas melepas pecinya dan menikmati angin yang terhembus dari kipas angin di atap
"eh.. ngak pak haji. Aku boleh bertanya sesuatu sama pak haji"
"Kenapa nak andi? tentang rahma?" pak haji lantas berbalik nanya serius. Kurasakan hembusan nafasnya semakin kuat seolah akan ada pertanyaan lain setelah itu
"Sudahlah nak andi... jangan terlalu serius tentang cinta. Aku tahu nak andi sayang rahma, tapi lebih penting belajar dulu. Lagian masih muda, masih banyak yang harus dilakukan." ujar pak haji bersungut sungut
"Bukan itu pak haji. Bukan tentang rahma, tapi tentang seorang suami yang tega membuat istrinya tertekan"
"maksdunya?" tanya pak haji serius
"Saya tadi melihat seorang gadis berkerudung putih saat tes di kampus. Keliatannya dia seorang gadis yang baik, sopan dan anggun. Tapi saat saya tahu suaminya datang. Mimik mukanya berbeda, tidak ada ekspresi bahagia di paras cantiknya, seolah semua yang dilihatnya hanya kegelapan."
"Jangan terlalu banyak ikut campur urusan rumah tangga orang nak andi. Semua orang punya takdirnya sendiri, bahkan Tuhan sudah menentukan nasib seseorang senang atau sedih saat dalam kandungan"
"Jadi... Tuhan sudah tahu nasib kita kelak pak haji"
"Ya... Tuhan sudah tau, tapi jangan hanya karena kita sudah ditentukan menjadi manusia yang sedih selama hidupnya kita lantas berburuk sangka terhadap Tuhan. Bukan seperti itu..."
"Lantas?"
"Yang menjadi kunci manusia itu bahagia ada dua nak andi."
"Apa pak haji?" tanyaku serius dan kulihat pak haji mulai berdiri menuju ke Dai yang duduk melingkar di dalam masjid.
"Hanya sabar dan bersyukur. Sabar jika dilanda musibah dan bersyukur jika mendapat nikmat Tuhan. Jadi meskipun kita ditakdirkan menjadi orang yang bersedih terus-menerus, tapi kalau kita bisa bersyukur dan sabar menghadapinya. Tuhan akan memudahkan segalanya"
"Lantas... apakah salah mencintai istri orang pak haji?" tanyaku spontan dan kemudian mendadak gugup karena salah ngomong.
"Maksudnya?" pak haji lantas menoleh kearahku dan berhenti sejenak
"Ah.... ga pak haji, mungkin aku sedang mengigau karena rasa kantuk tadi."
"Oh... ya udah. Eh.. mari makan bersama nak andi. Ada Dai datang lagi dari Bekasi." jawab pak haji seraya menarik tanganku.
Suasana kembali normal, kegugupan tentang pertanyaan bodoh tadi lantas hilang entah kemana. Mungkin gara-gara ada pengajian di Masjid ini jadi pikiranku lebih tenang terbuai dengan ceramah dai di Masjid ini yang menyejukkan jiwa. Hari itu... aku menganguk berkali kali mengiyakan setiap ceramah yang keluar dari mulut dai muda yang baru datang dari Bekasi, seperti yang pak haji yusuf bilang beberapa menit yang lalu.
"….............."
Aku lantas kembali ke ruang fakultas keperawatan tempat dimana aku mengikuti test tadi. Saat itu aku berdiri di mulut pintunya dan berharap ada sebuah keajaiban gadis itu muncul kembali di tempat duduknya dan melambai kearahku yang berdiri mematung disini. Tak kupungkiri aku seperti merasakan ada sesuatu yang istimewa dari gadis berkerudung itu. Dia seperti rahma tapi dengan kepribadian yang berbeda. Aku lantas berjalan pelan menggeret kakiku yang terasa berat ke kursi gadis tadi dan duduk sesaat seraya menopang dagu dengan kedua tangan.
"Kenapa dengan papan hitam itu?" aku mengguman pelan sambil memperhatikan papan hitam yang ada didepan kelas
Aku terus duduk disana sampai tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 11.30. Sial... sampai segitukah aku melamun tentang gadis berkerudung putih tadi. Dibalik wajah ayunya ternyata tersimpan banyak kegelisahan yang dia rasakan. Aku bahkan tidak bergeser sekian jam memandang heran ke papan hitam polos ini.
Hari itu, meski jarum jam berputar ke arah angka sebelas lebih. Tapi cuaca mendung diluar membuatnya terlihat masih pagi.
"papan hitam.... ada apa denganmu? begitu menarikkah dirimu untuk gadis cantik berkerudung tadi?" aku membatin untuk kesekian kalinya lantas melangkah pulang.
Kini di luar kelas suasananya terlihat sepi. Hiruk-pikuk orang berlalu lalang yang aku lihat tadi pagi sekarang lenyap entah kemana, hanya terlihat beberapa orang yang ngobrol sambil memeluk satu buku tebal. Mungkin mereka dosen disini atau mungkin juga mahasiswa senior. Tak kuhiraukan mereka aku lantas berjalan gontai ke gerbang luar kampus ini berharap angkot musik itu segera datang dan mengantar aku pulang kerumah. Tapi, kali ini awanya semakin menghitam. Tak biasanya aku melihat kota maumere semendung ini, mungkin sebentar lagi akan turun hujan. Biarlah... biarlah Tuhan menurunkan setetes air dari langit agar aku bisa menikmati setiap guyuran yang jatuh mendinginkanku. Aku ingin hujan ini menentramkan hatiku yang terasa gundah gulana.
Siang itu.... tak lama setelah aku meninggalkan pintu kelas tadi, aku merasakan beberapa tetesan air jatuh tepat ke dahiku. Ah... ternyata gerimis. Syukurlah Tuhan, engkau menjawab doaku yang sudah merasa gerah dari tadi. Kulihat orang-orang disekitarku berjalan mempercepat langkahnya dan ada sebagian yang berlari lari kecil menuju tepi kelas sekedar meneduh.
Gerimis siang ini membuat debu yang berterbangan diterpa angin perlahan lengket di tembok-tembok kelas, membuatnya berwarna agak kecoklatan, seakan berbisik padaku untuk mempercepat langkah menghindari noda kotor yang akan menerpa celana kainku. Tapi.... aku masih menikmati langkahku yang semakin melambat, melihat kedua sepatuku saling berpacu dan sejenak aku berkhayal tentang rahma, tak pernah aku berjalan mengawasi langkahku sendiri seperti ini kecuali saat bersama dirinya, melihat setiap cat kuku yang indah di kaki mulusnya.
Tak terasa sudah semakin jauh aku meningalkan kelas tadi, menikmati setiap rintik gerimis hujan yang jatuh membasahi rambut lurusku. Dan... kampus ini sudah terlihat sunyi, sangat sunyi bahkan aku bisa merasakan kesunyiannya saat banyak daun bidara berjatuhan diterpa angin, menutupi setiap ujung dari kedua sepatuku. Hm.... angin ini, gerimis ini, dan kesunyian ini seolah mengerti akan perasaanku saat ini. Tuhan... aku sadar, aku sangat merindukan kehadiran rahma.
Awan masih terlihat sangat menghitam dan air hujan semakin deras menetes. Saat itu aku lantas mendekap ranselku dan berlari sekencang-kencangnya menuju tepi ruangan yang tidak jauh dari gerbang kampus ini. Tidak sampai lama akhirnya aku berdiri menyandarkan punggungku ke sebuah bangunan yang agak tua dan reyot karena temboknya retak disana sini. Aku tidak sendirian yang berteduh di bangunan ini, ada tiga orang berperawakan agak tua, mereka berbadan gemuk dan sedikit terlihat keriput di dahinya. Lantas... tiba-tiba salah satu dari mereka datang menghampiriku dan membawa dua helm berwarna hitam.
"Ojek?" sahut bapak tua itu sambil menyodorkan satu helm hitamnya
"Tidak pak, mungkin sebentar lagi hujannya reda" tolakku sopan
"Oh.. baiklah. Kadang hujan pertama memang berkesan ya?" jawab pak tua itu lantas ikut bersandar disampingku
"Memang ini hujan pertama ya pak?"
"Ya mungkin seperti itu. Aku lihat kamu bukan orang sini?"
"Iya pak saya dari jawa"
"Oh... sudah kelihatan. Kayaknya dari tadi murung terus berjalan dari sana?" pak tua kembali bertanya sambil menunjuk ke dalam kampus
"ya... aku cuma ingin menikmati gerimis ini pak. Baru pertama merasakan hujan di maumere"
"Selamat datang di Nusa Bunga!!!" pak tua itu lantas tersenyum dan menepuk bahuku
"Terimakasih pak!"
"sudah dulu ya aku ke dua temanku tadi. Nunggu penumpang" pak tua itu lantas berbisik lirih dan menghampiri kedua temannya.
…..
"hm... sungguh diluar dugaanku! ternyata anggapanku tentang satu artikel "Kerusuhan Poso" yang aku baca saat terapung di kapal tidak semuanya benar. Memang orang sini baik dan loyal. Itu saja. Setidaknya aku mengalami sendiri" aku lantas menggeleng kagum sambil melempar senyum kecil saat mereka menatap aku sekilas
Sekitar sepuluh menit aku bersandar di bangunan ini dan tiba-tiba hujan sudah mulai reda. Aku lantas berjalan ke gerbang kampus ini menuju ke sebuah halte kecil yang ada di pinggir jalan.
"Pak saya jalan dulu ya" sapaku berpamitan ketiga ojek tadi
"Hati-hati nong!" mereka lantas bersahutan menjawabku seraya tersenyum lebar, membuatku merasakan hangatnya kota ini dengan penduduknya yang ramah.
Tak lama aku mengayunkan kaki menapaki jalan menuju halte, aku lihat ada seorang berkulit hitam agak pendek disana yang nampaknya memarkir motor dari tadi. Mungkin dia berteduh menunggu hujan reda. Tapi masa hujan sudah reda begini belum jalan dia?
"Evan!!!"
Aku mengumam dalam hati setelah mengetahui ternyata dia kenalanku tadi pagi. Sedetik kemudian ada kepikiran untuk mengagetkan dia yang lagi ngelamun menatap pohon cemara yang berjejer rapi di samping bangunan kampus.
"Woi... kamu ga pulang? katanya tadi balik duluan?" teriakku mengagetkan lamunannya
"Aduh... jawa! aku tunggu kau dari tadi ni" jawab dia terkaget sambil menepuk bahuku
"Kenapa nunggu aku?" tanyaku heran
"Kamu tidak lihat ada polisi tadi kah? aku kira kamu mau dipukul sama polisi itu"
"ngapain dipukul?"
"Kamu tadi bilang mau PDKT sama gadis pake kerudung tadi to? aku pikir polisi itu suaminya. Soalnya tadi masuk kelas marah marah."
"Jadi dengar kamu?"
"Ya kedengaran lah, aku tadi masih berbincang di depan kelas sama temanku"
"Oh...." aku lantas melongo
"Kamu balik bareng aku aja. Dimana rumahmu?" tanya dia menawariku bareng pulang
"di komplek Beru"
"ah.. tidak jauh dari sini rupanya. Ya udah nyantai duduk disini dulu. Lagian masih gerimis sedikit"
"Okelah.." jawabku lantas duduk di halte ini berdua denganya
"Andi... kamu tadi tidak ditabok kah?" jawab dia sambil mengamati mukaku berkali kali
"Di tabok? emang aku bertindak asusila apa?" jawabku kecut
"Aku kira kamu pas deketin dia langsung ditabok sama polisi tadi. Kayaknya berkesan sekali cewek itu?" tanya evan sambil memantik rokoknya
"Asap!"
"Asap????" tanya evan lantas kembali menoleh kewajahku curiga
"iya asap, aku minta rokonya dulu biar aku bisa cerita" pintaku sambil merebut bungkus rokoknya
"Kamu ngerokok juga?"
"Lah... masa udah kedinginan gini ga ditawari rokok?" jawabku memelas
"Ya udah ambil ni, terus kau cerita sudah!"
"ehem... jadi gini van. Kenapa aku bisa terkesan dengan cewek tadi"
"Iya cerita sudah! jawab evan menunggu ceritaku
"jadi ceritanya aku lagi nyalain korek api"
"Terus ndi?" tanya dia meminta melanjutkan
"terus ada rokok sebatang ditanganku"
"terus?" tanya dia lagi serius
"Terus sekarang aku hisap dah"
PLAKKKKK!!!
"duh... kenapa aku digetok kunci motor begini" aku lantas menunduk kesakitan
"Kamu itu cerita serius, jangan main gila!" ujarnya dengan logat Maumere yang sangat kental
"Ya udah ni mau cerita. Eh... van, kamu percaya ada orang kembar di dunia ini?"
"ya percaya lah, kemarin ada tetanggaku punya anak kembar. Mirip banget mereka"
"Bukan itu maksudku van. Tapi kembar beda ibu, atau ginilah biar gampang di cerna. Saat kamu baru kehilangan seseorang yang kamu cintai terus tak lama setelah itu kamu berjumpa dengan orang yang mirip banget dengan dia"
"Ga percaya?" jawab dia singkat sambil mengisap rokoknya
"Alasanya ga percaya?" tanyaku heran
"Sebelum kamu cerita tentang cewek tadi, aku ga bakalan percaya ndi"
"Oke van. hm.... Jujur saat aku melihat gadis berkerudung tadi. Pertama yang muncul di pikiranku adalah dia seorang muslim sama seperti aku. Artinya aku bakal punya temen sesama muslim"
"cuma itu saja?" tanya evan penasaran
"Belum... nah semakin aku memperhatikan dia, lama-lama aku teringat seseorang bernama rahma"
"Yang kamu panggil rahma tadi?" ujar evan penasaran
"bener! mirip banget dia. Saat itu aku jadi penasaran sama dia. Bahkan kepikiran mengajak ngobrol sesaat, tapi sayang...." aku lantas menunduk sambil membuang puntung rokok
"Kenapa jawa?"
"Kayaknya dia udah punya suami, polisi tadi. Soalnya tadi hampir bertengkar sama tuh cewek gara-gara ga mau pulang. Aku kasihan sama cewek tadi van... dia menatap aku sejenak seperti mengajak aku bicara sekian detik mengutarakan semua persoalannya."
"Andi... itulah kenapa aku nunggu kamu disini" jawab evan seraya memberiku sebatang rokok lagi
"kenapa nunggu aku kamu van?"
"aku takut kamu dipukuli sama polisi itu. Soalnya dulu ada kasus juga orang jawa dibunuh disini gara-gara kasus perselingkuhan yang melibatkan oknum kepolisian"
"Maksudmu aku mau selingkuh sama dia? gila kamu van"
"Ndi... matamu tadi lihat dia terus menerus, lama lama jatuh cinta, dan kalau sudah jatuh cinta tai ayam juga rasanya coklat"
"maksudnya?"
"Maksudku kalau kamu sudah jatuh cinta sama dia, kamu akan buta ndi! kamu akan melakukan apa aja diluar logikamu. Termasuk mencintai istri orang kayak tadi"
"Ah.. ngak lah van. Aku cuma kasihan sama dia, aku ingat rahma kalau lihat dia. Dan aku ga mau ada orang seperti rahma menangis sedih seperti tadi. Rasanya ada yang terusik di hatiku van"
"Jadi kamu sayang sama rahma yang katanya sudah ninggalin kamu itu?" selidik dia
"Sejujurnya memang aku ada rasa sama dia. Tapi... entahlah, aku bingung."
"Ndi... kamu harus jujur pada hatimu. Percuma kamu terus-terusan berselisih sama perasaanmu. Didalam sini tidak bisa berdusta, tapi otakkmu itu tidak bisa bekerja dengan baik" evan lantas menyentuh dadaku dan kemudian menepok jidatku keras
"Aw... sakit tahu van. Baru kali ini kenal bocah seperti kamu udah nepok jidatku kayak tadi." gerutuku kesal
"Marah ndi haha.... habis kamu itu lugu sekali. Mencintai dua orang sekaligus. Rakus kamu ndi"
"Ga tau lah! mending kamu antar aku pulang sekarang van. Cape banget. Lagian udah reda nih hujannya"
"Okelah... nanti ospeknya dua minggu lagi. Kamu datang kesini subuh. Ingat itu, kalo ga bakal manjat gerbang kamu!"
"Dua minggu? tanggal berapa? aku bahkan ga ngerti jadwal ospeknya?" tanyaku heran
"Duh... mangkanya kamu itu aktif mondar mandir di sekretariat Bahasa Inggris sana biar tau informasinya. Jangan galau terus. Ya udah nanti ta sms lah lebih lengkapnya. Lagi ga ada pulsa sekarang!"
"Oke deh van. Thanks ya udah nungguin aku, jadi berasa punya sopir pribadi, haha!"
"Pukimai!!! kau kira aku tukang ojek kah?" jawab dia jengkel
"udahlah... gitu aja menggerutu kamu van bercanda kali!"
"Udah ayo cepet naik!"
Setelah perbincangan menunggu hujan reda itu, aku lantas diantar evan kerumah naik motornya. Jarak rumah yang tidak terlalu jauh membuat perjalanan ini semakin cepat. Hanya kurang dari lima lima belas menit nyampe di lingkungan komplek beru.
"Kamu bawa motor kenceng amat van" ujarku memecahkan keheningan sesaat
"macam dijawa aja macet, disini kamu mau balapan liar juga ga ada polisi yang nangkap"
"Beneran???"
"Iya bener, asal balapannya resmi, haha"
"Anjrit... nih. Nipu lagi kamu van"
"ahahahaha" dia tertawa lebar sampai ludahnya muncrat diterpa angin kewajahku
"kiri-kiri van.... " aku lantas mengayunkan tangan meminta dia mengentikan laju motornya
"Pukimai kau ni ndi!!! jangan keras-keras ngomongnya?" dia lantas marah sambil matanya melihat lihat spion
"lah kenapa?"
"Kamu itu bilang kiri-kiri dikira aku tukang ojek nanti"
"Wah... iya sorry deh. Turun di deket masjid sana aja. Sekalian mau sholat aku van"
"Okelah.... ndi"
"Kanan-kanan van...." pintaku sekali lagi dan motorpun berhenti di samping masjid beru yang sudah kelihatan sepi.
"Kanan.... kiri....., males aku boceng kamu ndi!" jawab evan kesel
"Yah... gitu aja ngambek. Okelah nanti aku sms kamu kalo lagi nganggur, sekalian ajak aku jalan-jalan di kota ini ya?" pintaku memelas ke evan dan sedetik kemudian dia lantas cemberut kesal...
"Okelah... aku jalan dulu ya. Salam sama keluargamu jawa!"
"siplah van!"
Tak lama evan menghilang bersamaan dengan bunyi knalpot motornya yang menderu deru pelan. Dia orang flores, dia berkulit hitam, dia beragama khatolik dan aku kagum. Kagum tentang bagaimana dia memperlakukan orang minoritas seperti aku, bahkan saat aku belum keluar kelas gara-gara memperhatikan polisi bertengkar dengan istrinya tadi dia masih loyal menungguku. Tuhan... aku jatuh cinta dengan pulau ini, dengan penduduknya, dengan alamnya dan dengan kedua gadis yang "mirip itu".
"bismillah" ….......
Aku lantas tertidur di masjid, menikmati kipas angin di atap yang memutar pelan. Aku menyandarkan kepalaku di ransel hitam yang biasa aku gendong mencoba membuat mataku terpejam sekian menit. Sedetik kemudian anganku meloncat-loncat ke masa lalu saat aku pertama kali menaiki kapal ke pulau ini, tersandar di dinding besi bercat hijau yang berkarat, dengan berbagai macam bau keringat orang flores yang membuat dek dikapal itu pengap. Suasanya sama seperti sekarang, saat aku tidur beralaskan tas ransel dan berselimut majalah yang tergeletak sembarangan.
Aku hanyut dalam bayangan kapal itu. Mataku terpejam dan melamum tentang wajah ayu kedua gadis yang aku temui di pulau ini. Bayang-bayang mereka berdua lantas berputar di kepalaku dan membawaku masuk ke dunia mimpi, dunia dimana aku bisa bercengkerama dengan rahma dan gadis berkerudung putih itu yang anggun.
"bangun nak andi...."
"Andi!"
Aku sontak terkaget dan langsung mengucek kedua mataku yang tampak sayu setelah merasakan ada orang yang menepuk kakiku berkali-kali.
"Pak haji....." jawabku sopan setelah menyadari kini pak haji yusuf duduk disebelahku
"Kecapaian? udah shalat dhuhur?" tanya pak haji lantas tersenyum
"Ah.... udah tadi pak haji, shalat sendirian."
"Kenapa sering melamun sendiri akhir-akhir ini?" tanya pak haji lantas melepas pecinya dan menikmati angin yang terhembus dari kipas angin di atap
"eh.. ngak pak haji. Aku boleh bertanya sesuatu sama pak haji"
"Kenapa nak andi? tentang rahma?" pak haji lantas berbalik nanya serius. Kurasakan hembusan nafasnya semakin kuat seolah akan ada pertanyaan lain setelah itu
"Sudahlah nak andi... jangan terlalu serius tentang cinta. Aku tahu nak andi sayang rahma, tapi lebih penting belajar dulu. Lagian masih muda, masih banyak yang harus dilakukan." ujar pak haji bersungut sungut
"Bukan itu pak haji. Bukan tentang rahma, tapi tentang seorang suami yang tega membuat istrinya tertekan"
"maksdunya?" tanya pak haji serius
"Saya tadi melihat seorang gadis berkerudung putih saat tes di kampus. Keliatannya dia seorang gadis yang baik, sopan dan anggun. Tapi saat saya tahu suaminya datang. Mimik mukanya berbeda, tidak ada ekspresi bahagia di paras cantiknya, seolah semua yang dilihatnya hanya kegelapan."
"Jangan terlalu banyak ikut campur urusan rumah tangga orang nak andi. Semua orang punya takdirnya sendiri, bahkan Tuhan sudah menentukan nasib seseorang senang atau sedih saat dalam kandungan"
"Jadi... Tuhan sudah tahu nasib kita kelak pak haji"
"Ya... Tuhan sudah tau, tapi jangan hanya karena kita sudah ditentukan menjadi manusia yang sedih selama hidupnya kita lantas berburuk sangka terhadap Tuhan. Bukan seperti itu..."
"Lantas?"
"Yang menjadi kunci manusia itu bahagia ada dua nak andi."
"Apa pak haji?" tanyaku serius dan kulihat pak haji mulai berdiri menuju ke Dai yang duduk melingkar di dalam masjid.
"Hanya sabar dan bersyukur. Sabar jika dilanda musibah dan bersyukur jika mendapat nikmat Tuhan. Jadi meskipun kita ditakdirkan menjadi orang yang bersedih terus-menerus, tapi kalau kita bisa bersyukur dan sabar menghadapinya. Tuhan akan memudahkan segalanya"
"Lantas... apakah salah mencintai istri orang pak haji?" tanyaku spontan dan kemudian mendadak gugup karena salah ngomong.
"Maksudnya?" pak haji lantas menoleh kearahku dan berhenti sejenak
"Ah.... ga pak haji, mungkin aku sedang mengigau karena rasa kantuk tadi."
"Oh... ya udah. Eh.. mari makan bersama nak andi. Ada Dai datang lagi dari Bekasi." jawab pak haji seraya menarik tanganku.
Suasana kembali normal, kegugupan tentang pertanyaan bodoh tadi lantas hilang entah kemana. Mungkin gara-gara ada pengajian di Masjid ini jadi pikiranku lebih tenang terbuai dengan ceramah dai di Masjid ini yang menyejukkan jiwa. Hari itu... aku menganguk berkali kali mengiyakan setiap ceramah yang keluar dari mulut dai muda yang baru datang dari Bekasi, seperti yang pak haji yusuf bilang beberapa menit yang lalu.
"….............."
0