- Beranda
- Stories from the Heart
Accidentally In Love [True Story]
...
TS
robotpintar
Accidentally In Love [True Story]
![Accidentally In Love [True Story]](https://s.kaskus.id/images/2014/02/14/6448808_20140214023854.png)
Spoiler for Cover:
![Accidentally In Love [True Story]](https://s.kaskus.id/images/2014/02/14/6448808_20140214024411.png)
So she said what's the problem baby
What's the problem I don't know
Well maybe I'm in love (love)
Think about it every time
I think about it
Can't stop thinking 'bout it
How much longer will it take to cure this
Just to cure it cause I can't ignore it if it's love (love)
Makes me wanna turn around and face me but I don't know nothing 'bout love
Come on, come on
Turn a little faster
Come on, come on
The world will follow after
Come on, come on
Cause everybody's after love
So I said I'm a snowball running
Running down into the spring that's coming all this love
Melting under blue skies
Belting out sunlight
Shimmering love
Well baby I surrender
To the strawberry ice cream
Never ever end of all this love
Well I didn't mean to do it
But there's no escaping your love
These lines of lightning
Mean we're never alone,
Never alone, no, no
We're accidentally in love
Accidentally in love [x7]
Accidentally I'm In Love
Spoiler for Bagian 1:
#1
Quote:
“Gila lu Bon, roti segitu banyak sayang-sayang bakal empan ikan semua!”
“Emang ngapa? Ikan jaman sekarang mah ogah makan cacing, Meng”
Gua jawab aja sekena-nya, memang niatnya gua bawa roti dari rumah buat bekal pas mancing tapi, gara-gara umpan cacing gua dari tadi nggak disentuh ikan terpaksa gua ganti dengan roti. Siapa tau mujarab.
Nggak seberapa berselang, tali pancing gua bergetar, refleks gua tarik joran sekuatnya dan mendarat dengan mulus seekor ikan yang kurang lebih seukuran telapak tangan.
“Anjritt.. dari tadi dapet sapu-sapu mulu gua!”
Sambil melepas mata kail dari mulut ikan sapu-sapu yang barusan gua angkat dan langsung gua lempar lagi kedalam kali.
Tidak berapa lama, melantun lagu “Time Like This”-nya Foo Fighter dari ponsel gua. Tertera tulisan “Rumah” dilayarnya.
“Kenapa mak?”
Karena memang cuma nyokap gua aja yang selalu telpon melalui telepon rumah. Bokap dan adik gua selalu menggunakan ponsel-nya masing-masing jika ada keperluan.
“Assalamualaikum , Mancing kagak rapi-rapi luh, nih ada kiriman surat buat elu”
“Dari siapa?”
“Kagak tau, bahasanya emak nggak ngerti”
“Simpenin dulu, nih aye udah mau pulang”
“Yaudah buruan, jangan maghriban dijalan, pamali. Assalamualaikum”
“Waalaikumsalam”
Gua kantongin lagi ponsel k-ekantong celana pendek yang sekarang udah kotor campur lumpur, sambil berteriak ke temen gua; Komeng, yang lagi berkutat dengan tali pancingnya yang kusut.
“Meng, ayo balik.. udah sore”
“Belon juga dapet sekilo, udah mau balik aje”
“Yauda elu terusin dah, gua balik duluan”
Komeng menjawab dengan sedikit gumam di bibirnya terdengar seperti “Yaelah..” sambil berjalan gontai menyusul gua.
------
Itu kejadian beberapa tahun yang lalu, dimana gua dan Komeng masih biasa mencari cacing buat umpan ikan di kebun singkong belakang rumahnya Haji Salim dan kemudian pergi memancing disepanjang pinggiran sungai Pesanggrahan, Jakarta.
Sekarang, gua sedang duduk sambil bersandar di sebuah kursi lipat di pinggir danau di daerah Leeds, Inggris. Menghabiskan hari libur akhir musim gugur dengan memancing sambil bernostalgia, mencoba membangkitkan memori tentang memancing, tentang si Komeng, tentang Jakarta, tentang rumah.
Setelah berjam-jam memancing, menghabiskan berkaleng-kaleng ‘Diet Coke’ akhirnya gua memutuskan untuk menyudahi kegiatan sialan ini. Pulang dengan membawa 6 Ekor ikan Yelowtail (di Indonesia disebut ikan patin) dan sedikit kenangan tentang ‘rumah’, gua berjalan gontai menuju tempat dimana sepeda kesayangan gua diparkir, sempat kebingungan awalnya karena sekarang ada banyak sepeda yang diparkir, padahal tadi pagi baru sepeda gua aja yang nongkrong disini, setelah celingak-celinguk akhirnya ketemu juga dan gua mulai mengayuh.
Jarak dari tempat gua biasa mancing ke tempat dimana gua tinggal di Moorland Ave, Leeds kurang lebih 3,5 mil atau kalau dalam satuan Kilometer sekitar 5,5 Km. Jarak segitu kalo disini, di Inggris bisa dibilang ‘deket’, kalau naik sepeda bisa cuma 30 menit.
Oiya, nama gua Boni. Gua lahir dan dibesarkan di Jakarta. Saat ini gua kerja dan tinggal di Leeds, Inggris sekitar 2-3 jam dari London (dengan kereta). Gua kerja sebagai Sound Designer disalah satu Agensi perfilman dan periklanan di Leeds yang juga punya kantor di London. Sudah hampir 4 tahun gua kerja dan tinggal disini, ditempat dimana nggak ada sungai dengan air berwarna cokelat keruh yang banyak ikan sapu-sapunya dan nggak ada teman yang suka menggerutu “Yaelah”.
Sambil mendengarkan “Heaven” nya Lost Lonely Boys lewat headset, gua mengayuh sepeda menuju ke rumah, pulang. Melewati jalan berpasir yang dipenuhi pohon-pohon maple di kedua sisinya menuju jalan utama. Jalan yang sangat sepi dan hening, jam menunjukkan angka 4 sore, menandakan waktu shalat maghrib, di sabtu sore seperti sekarang ini memang didaerah sini sangat sepi, kebanyakan penduduk sekitar sedang ke stadion atau pub-pub untuk menyaksikan Leeds United bertanding. Ingin buru-buru sampai di rumah, karena perut udah mulai keroncongan, gua kayuh sepeda lebih cepat. Sampai kemudian terdengar sayup-sayup suara musik yang makin lama makin nyaring, suara musik RnB yang sepertinya diputar dari dalam mobil dengan volume maksimal. Suara tersebut datang dari arah belakang dan kemudian menyusul gua, sebuah BMW silver yang melaju cepat bahkan boleh dibilang sangat cepat, sambil meninggalkan debu persis seperti mobil yang sedang Rally Dakkar.
“Orang Gila!!” gua mengumpat, masih sambil dengerin coda lagu “Heaven” nya Lost Lonely Boys. Sampai gua melihat beberapa detik kemudian lampu rem BMW tersebut menyala dan kemudian berhenti.
Deg!, “Wuanjrit, sakti juga tuh orang bisa denger suara gua” sambil berhenti dan melepas headset dari telinga. Yang ternyata setelah gua sadar, suara gua nggak sepelan pas pakai headset tadi. Gua nunggu sambil dag dig dug, kalau dia ngerti ucapan gua, dia pasti orang Indonesia dan kalo ternyata bukan gua bakal siap-siap kabur.
Pintu penumpang pun terbuka, terbuka secara paksa tepatnya, sedetik kemudian keluar seseorang dari kursi penumpang, terhuyung dan kemudian terjatuh, terdengar makian dari dalam BMW tersebut mungkin seperti “bitch” atau semacamnya dan sesaat kemudian BMW tersebut pergi, mengasapi orang yang tersungkur itu dengan debu jalanan.
Nggak mau terlalu ambil pusing, sambil bernafas lega dan bilang dalam hati; “untung bukan gua”, gua meneruskan mengayuh sepeda.
“Get up Bro, life is brutal”
gua berkata ke orang itu sambil melewatinya tetap melanjutkan mengayuh. Dan beberapa meter kemudian gua mendengar sebuah teriakan, teriakan yang (pada akhirnya) bakal merubah hidup gua.
“Woii.. Help me!, you’re Indonesian, right?”
“Tolongin gue dong…”
Gua berhenti mengayuh, turun dan bengong. Sudah hampir setahun gua nggak denger secara langsung orang bicara ke gua dengan bahasa Indonesia dan suara perempuan pula.. Lima, ah mungkin sepuluh detik kemudian baru gua memalingkan muka tapi masih tetap bengong.
“Woii..”
Akhirnya gua turun dari sepeda, kemudian menghampiri orang itu. Terduduk di depan gua sosok perempuan, hitam manis dengan kepala tertutup hood jaket hitam, celana jeans dan sepatu model boots sebetis berwarna cokelat.
“Elu nggak apa-apa?”
“Menurut Lo? Kalo gue gak apa-apa, ngapain gua teriak minta tolong elu!!”
Gua nggak menjawab, berusaha membantu dia berdiri sambil bertanya lagi bagaimana keadaannya. Sekali lagi dia mengumpat;
“Gila!, nggak punya hati banget sih lu!, ya jelas lah gue kenapa-kenapa.. nih liat!”
Sambil memperlihatkan telapak tangan dan siku-nya yang luka dan kemudian menyibak celana jeans-nya yang kotor terkena debu dan sobek di beberapa bagian akibat terlempar dari mobil tadi. Sesaat baru dia sadar kalau lutut kanannya juga luka sambil meringis kesakitan dia mencoba membersihkan luka tersebut dengan air liurnya. Sangat Indonesia sekali.
“Gua pikir tadi orang mabok yang lagi berantem, disini mah biasa begitu,mbak!”
Kemudia gua kasih satu-satunya ‘Diet Coke’ sisa memancing tadi, harusnya sih air putih tapi Cuma itu yang gua punya sekarang. Sambil menggerutu karena dikasih ‘Diet Coke’ daripada air putih, diminum juga tuh minuman soda. Kemudian gua menawarkan diri buat mengantar dia ke sebuah toko kecil di ujung jalan ini, untuk membeli plester untuk membalut luka-nya.
“Jauh nggak?”
Dia bertanya sambil menurunkan hood jaketnya dan menyibak rambutnya yang pendek seleher. Kemudian terlihat jelas sebuah luka lebam di sudut mata sebelah kiri-nya, tidak, bukan cuma satu, setidaknya ada 3 luka lebam, selain disudut matanya, satu lagi di dahi sebelah kiri dan satu lagi di sudut bibir sebelah kanan, yang terakhir tampak seperti luka yang baru karena masih meninggalkan sisa bekas darah yang membeku.
Gua nggak berani bertanya, gua hindari menatap kewajahnya sambil menjawab pertanyaa-nya bahwa tokonya nggak begitu jauh dari sini, sambil menunjuk ke arah jalan utama.
---
“Emang ngapa? Ikan jaman sekarang mah ogah makan cacing, Meng”
Gua jawab aja sekena-nya, memang niatnya gua bawa roti dari rumah buat bekal pas mancing tapi, gara-gara umpan cacing gua dari tadi nggak disentuh ikan terpaksa gua ganti dengan roti. Siapa tau mujarab.
Nggak seberapa berselang, tali pancing gua bergetar, refleks gua tarik joran sekuatnya dan mendarat dengan mulus seekor ikan yang kurang lebih seukuran telapak tangan.
“Anjritt.. dari tadi dapet sapu-sapu mulu gua!”
Sambil melepas mata kail dari mulut ikan sapu-sapu yang barusan gua angkat dan langsung gua lempar lagi kedalam kali.
Tidak berapa lama, melantun lagu “Time Like This”-nya Foo Fighter dari ponsel gua. Tertera tulisan “Rumah” dilayarnya.
“Kenapa mak?”
Karena memang cuma nyokap gua aja yang selalu telpon melalui telepon rumah. Bokap dan adik gua selalu menggunakan ponsel-nya masing-masing jika ada keperluan.
“Assalamualaikum , Mancing kagak rapi-rapi luh, nih ada kiriman surat buat elu”
“Dari siapa?”
“Kagak tau, bahasanya emak nggak ngerti”
“Simpenin dulu, nih aye udah mau pulang”
“Yaudah buruan, jangan maghriban dijalan, pamali. Assalamualaikum”
“Waalaikumsalam”
Gua kantongin lagi ponsel k-ekantong celana pendek yang sekarang udah kotor campur lumpur, sambil berteriak ke temen gua; Komeng, yang lagi berkutat dengan tali pancingnya yang kusut.
“Meng, ayo balik.. udah sore”
“Belon juga dapet sekilo, udah mau balik aje”
“Yauda elu terusin dah, gua balik duluan”
Komeng menjawab dengan sedikit gumam di bibirnya terdengar seperti “Yaelah..” sambil berjalan gontai menyusul gua.
------
Itu kejadian beberapa tahun yang lalu, dimana gua dan Komeng masih biasa mencari cacing buat umpan ikan di kebun singkong belakang rumahnya Haji Salim dan kemudian pergi memancing disepanjang pinggiran sungai Pesanggrahan, Jakarta.
Sekarang, gua sedang duduk sambil bersandar di sebuah kursi lipat di pinggir danau di daerah Leeds, Inggris. Menghabiskan hari libur akhir musim gugur dengan memancing sambil bernostalgia, mencoba membangkitkan memori tentang memancing, tentang si Komeng, tentang Jakarta, tentang rumah.
Setelah berjam-jam memancing, menghabiskan berkaleng-kaleng ‘Diet Coke’ akhirnya gua memutuskan untuk menyudahi kegiatan sialan ini. Pulang dengan membawa 6 Ekor ikan Yelowtail (di Indonesia disebut ikan patin) dan sedikit kenangan tentang ‘rumah’, gua berjalan gontai menuju tempat dimana sepeda kesayangan gua diparkir, sempat kebingungan awalnya karena sekarang ada banyak sepeda yang diparkir, padahal tadi pagi baru sepeda gua aja yang nongkrong disini, setelah celingak-celinguk akhirnya ketemu juga dan gua mulai mengayuh.
Jarak dari tempat gua biasa mancing ke tempat dimana gua tinggal di Moorland Ave, Leeds kurang lebih 3,5 mil atau kalau dalam satuan Kilometer sekitar 5,5 Km. Jarak segitu kalo disini, di Inggris bisa dibilang ‘deket’, kalau naik sepeda bisa cuma 30 menit.
Oiya, nama gua Boni. Gua lahir dan dibesarkan di Jakarta. Saat ini gua kerja dan tinggal di Leeds, Inggris sekitar 2-3 jam dari London (dengan kereta). Gua kerja sebagai Sound Designer disalah satu Agensi perfilman dan periklanan di Leeds yang juga punya kantor di London. Sudah hampir 4 tahun gua kerja dan tinggal disini, ditempat dimana nggak ada sungai dengan air berwarna cokelat keruh yang banyak ikan sapu-sapunya dan nggak ada teman yang suka menggerutu “Yaelah”.
Sambil mendengarkan “Heaven” nya Lost Lonely Boys lewat headset, gua mengayuh sepeda menuju ke rumah, pulang. Melewati jalan berpasir yang dipenuhi pohon-pohon maple di kedua sisinya menuju jalan utama. Jalan yang sangat sepi dan hening, jam menunjukkan angka 4 sore, menandakan waktu shalat maghrib, di sabtu sore seperti sekarang ini memang didaerah sini sangat sepi, kebanyakan penduduk sekitar sedang ke stadion atau pub-pub untuk menyaksikan Leeds United bertanding. Ingin buru-buru sampai di rumah, karena perut udah mulai keroncongan, gua kayuh sepeda lebih cepat. Sampai kemudian terdengar sayup-sayup suara musik yang makin lama makin nyaring, suara musik RnB yang sepertinya diputar dari dalam mobil dengan volume maksimal. Suara tersebut datang dari arah belakang dan kemudian menyusul gua, sebuah BMW silver yang melaju cepat bahkan boleh dibilang sangat cepat, sambil meninggalkan debu persis seperti mobil yang sedang Rally Dakkar.
“Orang Gila!!” gua mengumpat, masih sambil dengerin coda lagu “Heaven” nya Lost Lonely Boys. Sampai gua melihat beberapa detik kemudian lampu rem BMW tersebut menyala dan kemudian berhenti.
Deg!, “Wuanjrit, sakti juga tuh orang bisa denger suara gua” sambil berhenti dan melepas headset dari telinga. Yang ternyata setelah gua sadar, suara gua nggak sepelan pas pakai headset tadi. Gua nunggu sambil dag dig dug, kalau dia ngerti ucapan gua, dia pasti orang Indonesia dan kalo ternyata bukan gua bakal siap-siap kabur.
Pintu penumpang pun terbuka, terbuka secara paksa tepatnya, sedetik kemudian keluar seseorang dari kursi penumpang, terhuyung dan kemudian terjatuh, terdengar makian dari dalam BMW tersebut mungkin seperti “bitch” atau semacamnya dan sesaat kemudian BMW tersebut pergi, mengasapi orang yang tersungkur itu dengan debu jalanan.
Nggak mau terlalu ambil pusing, sambil bernafas lega dan bilang dalam hati; “untung bukan gua”, gua meneruskan mengayuh sepeda.
“Get up Bro, life is brutal”
gua berkata ke orang itu sambil melewatinya tetap melanjutkan mengayuh. Dan beberapa meter kemudian gua mendengar sebuah teriakan, teriakan yang (pada akhirnya) bakal merubah hidup gua.
“Woii.. Help me!, you’re Indonesian, right?”
“Tolongin gue dong…”
Gua berhenti mengayuh, turun dan bengong. Sudah hampir setahun gua nggak denger secara langsung orang bicara ke gua dengan bahasa Indonesia dan suara perempuan pula.. Lima, ah mungkin sepuluh detik kemudian baru gua memalingkan muka tapi masih tetap bengong.
“Woii..”
Akhirnya gua turun dari sepeda, kemudian menghampiri orang itu. Terduduk di depan gua sosok perempuan, hitam manis dengan kepala tertutup hood jaket hitam, celana jeans dan sepatu model boots sebetis berwarna cokelat.
“Elu nggak apa-apa?”
“Menurut Lo? Kalo gue gak apa-apa, ngapain gua teriak minta tolong elu!!”
Gua nggak menjawab, berusaha membantu dia berdiri sambil bertanya lagi bagaimana keadaannya. Sekali lagi dia mengumpat;
“Gila!, nggak punya hati banget sih lu!, ya jelas lah gue kenapa-kenapa.. nih liat!”
Sambil memperlihatkan telapak tangan dan siku-nya yang luka dan kemudian menyibak celana jeans-nya yang kotor terkena debu dan sobek di beberapa bagian akibat terlempar dari mobil tadi. Sesaat baru dia sadar kalau lutut kanannya juga luka sambil meringis kesakitan dia mencoba membersihkan luka tersebut dengan air liurnya. Sangat Indonesia sekali.
“Gua pikir tadi orang mabok yang lagi berantem, disini mah biasa begitu,mbak!”
Kemudia gua kasih satu-satunya ‘Diet Coke’ sisa memancing tadi, harusnya sih air putih tapi Cuma itu yang gua punya sekarang. Sambil menggerutu karena dikasih ‘Diet Coke’ daripada air putih, diminum juga tuh minuman soda. Kemudian gua menawarkan diri buat mengantar dia ke sebuah toko kecil di ujung jalan ini, untuk membeli plester untuk membalut luka-nya.
“Jauh nggak?”
Dia bertanya sambil menurunkan hood jaketnya dan menyibak rambutnya yang pendek seleher. Kemudian terlihat jelas sebuah luka lebam di sudut mata sebelah kiri-nya, tidak, bukan cuma satu, setidaknya ada 3 luka lebam, selain disudut matanya, satu lagi di dahi sebelah kiri dan satu lagi di sudut bibir sebelah kanan, yang terakhir tampak seperti luka yang baru karena masih meninggalkan sisa bekas darah yang membeku.
Gua nggak berani bertanya, gua hindari menatap kewajahnya sambil menjawab pertanyaa-nya bahwa tokonya nggak begitu jauh dari sini, sambil menunjuk ke arah jalan utama.
---
DAFTAR ISI
Quote:
CHAPTER 1
#1 The Beginning
#2 Truly Gentlemen
#3 Place Called Home
#4 The Morning Fever
#5 A Miserable Story
#6 Night Rain
#7 Inside My Head
#8 That Day
#9 Be Tough
#10 Mukena
#1 The Beginning
#2 Truly Gentlemen
#3 Place Called Home
#4 The Morning Fever
#5 A Miserable Story
#6 Night Rain
#7 Inside My Head
#8 That Day
#9 Be Tough
#10 Mukena
Quote:
CHAPTER 2
#11-A Trip To Manchester
#11-B The Swiss Army
#12 Here's and Back Again
#13 I Miss You So Bad
#14 Going Mad
#15 Promise
#16 You’ll Be The Only Light I See
#17 The Winter Tears
#18 She's Gone
#19 That Memories
#11-A Trip To Manchester
#11-B The Swiss Army
#12 Here's and Back Again
#13 I Miss You So Bad
#14 Going Mad
#15 Promise
#16 You’ll Be The Only Light I See
#17 The Winter Tears
#18 She's Gone
#19 That Memories
Quote:
CHAPTER 3
[URL="http://www.kaskus.co.id/show_post/530ff7e41acb17030d8b48f1/479/- "]#19-A The Hood[/URL]
#19-B Heres And Back Again II
#19-C Weak
#19-D Surrender
#19-E The Choice
#19-F Anything For You
#19-G Chelsea Number 8
#19-H Its not always about gold and glory
#19-I Aku
#19-J The Words
#19-K The Persian Cat
#19-L You Really The Only Light I See
#19-M So Be It
#19-N Less Than Perfect
#20 That Day II
[URL="http://www.kaskus.co.id/show_post/530ff7e41acb17030d8b48f1/479/- "]#19-A The Hood[/URL]
#19-B Heres And Back Again II
#19-C Weak
#19-D Surrender
#19-E The Choice
#19-F Anything For You
#19-G Chelsea Number 8
#19-H Its not always about gold and glory
#19-I Aku
#19-J The Words
#19-K The Persian Cat
#19-L You Really The Only Light I See
#19-M So Be It
#19-N Less Than Perfect
#20 That Day II
Quote:
CHAPTER 4 The Prekuel
#21 The Prologue
#22 My Precious
#23 Ticket to Ride
#24 Singapore
#25 Dreams
#26 The Awkward Moment
#27 Logic
#28 Driver In Life
#29 The Risk Taker
#30 Sorry
#31 Rise Again
#32 Goodbye
#21 The Prologue
#22 My Precious
#23 Ticket to Ride
#24 Singapore
#25 Dreams
#26 The Awkward Moment
#27 Logic
#28 Driver In Life
#29 The Risk Taker
#30 Sorry
#31 Rise Again
#32 Goodbye
Quote:
CHAPTER 5!!
#33 London
#34 Unwell
#35 I Was Here
#36 Leeds
#37 New Home, New Life
#38 Alone
#39 Intermezo
#40 Goin' Trough
#41 At Glance
#42 The Past of The Future
#33 London
#34 Unwell
#35 I Was Here
#36 Leeds
#37 New Home, New Life
#38 Alone
#39 Intermezo
#40 Goin' Trough
#41 At Glance
#42 The Past of The Future
Quote:
CHAPTER 6
#43 My First ...
#44 If Lovin' You ...
#45 Goin' Back
#46 Leeds II
#47 I Love You (Jealousy)
#48 After All
#49 Hell Yeah
#50 Conflict
#51 Liar-Liar
#52 Memories
#43 My First ...
#44 If Lovin' You ...
#45 Goin' Back
#46 Leeds II
#47 I Love You (Jealousy)
#48 After All
#49 Hell Yeah
#50 Conflict
#51 Liar-Liar
#52 Memories
Quote:
Quote:
Diubah oleh robotpintar 10-04-2014 08:46
namakuag dan 119 lainnya memberi reputasi
118
1.3M
Kutip
2.3K
Balasan
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#2056
Spoiler for Bagian ke lima puluh lima:
Quote:
Gua bergegas masuk kedalam, meninggalkan Ines sendiri di teras. Gua mengambil laptop, kembali keluar dan mencoba menghidupkan laptop.
”Apaan sih?”
Ines bertanya penasaran sambil menggeser kursi-nya mendekat.
”Udah liat aja nih, jangan bawel..”
Gua membuka sebuah folder, meng-klik file dengan ikon aplikasi pengolah kata dan menyodorkan laptop ke Ines. Dia menerima dan membaca-nya, gua duduk menggeser kursi menjauh, menyulut sebatang rokok dan mulai memperhatikan raut wajahnya saat membaca.
Tangan mungilnya bergerak menaik turunkan kursor laptop, sesekali dia menggigit bibir bawahnya sambil tersenyum dan beberapa kali gua mendapati dia melirik dan kembali ke layar laptop.
”Ini.. kamu yang buat?”
Ines bertanya sambil berdiri, meletakkan laptop diatas meja.
”Iya.. lho udah selesai baca-nya..?”
Gua bertanya sambil memandang Ines yang hendak beranjak masuk.
”Besok lagi ah, aku udah ngantuk berat.. lagian aku juga udah tau kemana arah cerita itu..”
”Eh Nes.. tunggu..”
Gua berdiri, sambil memegang laptop menyusulnya masuk kedalam kamar.
”Aku ngantuk ah, iya besok aku baca..”
”Yaah..”
Sedikit kecewa, gua menutup layar laptop dan meletakkan-nya kembali kedalam tas, kemudian bergegas untuk tidur.
---
Gua terbangun, gua mencari-cari jam tangan yang gua letakkan di samping bantal tempat gua tidur dan menyipitkan mata memandang jarum jam yang bersinar hijau terang dalam kegelapan; Jam setengah lima pagi. Setelah solat subuh, gua mengintip kedalam bekas kamar gua dulu, tempat dimana saat ini Ines dan Fatih tidur. Seperti biasa, sama seperti dirumah, saat menginap dirumah nyokap pun gua tidur terpisah dengan istri dan anak gua, tapi bedanya kalau dirumah gua tidur sekamar namun berbeda kasur, jika dirumah nyokap gua tidur diruang keluarga, didepan tivi.
Dari kegelapan kamar, berpendar cahaya terang, gua sedikit menyipitkan mata memandang kedalam. Ines tengah duduk dikursi meja belajar gua dulu, menghadapi layar laptop sambil memangku dagu-nya dengan tangan. Gua masuk kedalam dan duduk di tepi kasur.
”Gimana, bagus nggak...?”
”Apanya?”
Ines menjawab tanpa memalingkan wajahnya dari layar laptop.
”Cerita-nya..”
”Mmm.. bagus, tapi ada beberapa bagian yang kurang detail aja..”
”Bagian mana-nya?”
”Ada beberapa..tapi so far so good, selama nggak dikonsumsi publik..”
Deg!!, Amsiong dah gua. Apa jadinya nih kalau gua jujur bilang ke Ines kalau cerita yang saat ini dia baca, cerita tentang kisah cinta gua dan dia, sudah terlanjur dipublikasikan disebuah forum (yang katanya) terbesar di Indonesia.
”Ini maksudnya apa kamu nulis cerita ini? Nggak buat di publikasi kan?”
Ines bertanya ke gua, kali ini sambil membalikkan tubuhnya menghadap ke gua.
Gua menelan ludah sambil berpaling dan mulai menciumi Fatih yang masih terlelap.
”Mmmm... tadinya sih niatnya mau aku posting di Internet..tapi...”
Belum juga gua menyelesaikan omongan, Ines sudah memotong;
”Apaan? Internet?.. nggak..nggak.. jangan.. norak banget deh kamu..”
Ines bicara, kemudian berdiri dan duduk ditepi kasur disebelah gua.
”Ya kan baru niat, nes..”
Gua berkata, bohong. Masih sambil menciumi fatih, nggak berani membalas tatapannya.
”Pokoknya aku nggak setuju kalo sampe tulisan kamu yang ini dipublish.. dimanapun, mau di internet kek, di kolom majalah kek, di buku kek, di koran kek, pokoknya nggak dimanapun.. dan baru aku doang kan yang baca cerita ini?..”
Ines bertanya sambil setengah membungkuk, matanya berusaha mencari-cari mata gua yang sengaja gua sembunyikan dengan cara (masih) menciumi Fatih.
”Boni..?”
Ines sedikit menaikkan volume suaranya.
”Iya.. nggak usah pake urat kali ngomongnya..”
Gua menjawab sambil setengan berbisik dan kali ini gua memberanikan diri menatap wajahnya.
”Baru aku doang kan yang baca cerita ini?..”
Ines mengulangi pertanyaannya, sambil ikut berbisik.
Gua mengangguk sebentar kemudian berdiri, berniat menutup layar laptop.
”Eh.. tunggu.. tunggu.. aku belom selesai baca..”
Gua membatalkan niat menutup layar laptop dan kemudian bergegas keluar dari kamar.
Beberapa saat kemudian, Ines keluar dari kamar sambil menggendong Fatih yang baru saja terbangun. Yang pertama gua perhatikan dari Ines adalah raut wajahnya, saat ini dia masih terlihat wajar; berarti Ines belum membaca cerita sampai bagian dimana gua bertemu dengan Resti.
”Adek sama ayah dulu ya, mami mau masak aer dulu buat mandi kamu..”
Ines menyerahkan Fatih kedalam gendongan gua, kemudian beringsut kedapur. Sambil menggendong Fatih gua menyempatkan diri melongok kedalam kamar, terlihat disana layar laptop masih terbuka dan dibiarkan menyala. Gua menghela nafas, kemudian mengajak Fatih bermain di depan teras, bersama kakek dan neneknya yang tengah berbincang di teras sambil menikmati teh hangat dan singkong goreng dihari minggu pagi yang cerah ini.
---
Gua tengah mengikuti Fatih yang sedang berlarian mengejar anak ayam sambil menyuapi-nya, membiarkan mami-nya meneruskan membaca cerita tentang kisah hidup ayahnya, membiarkan si cerita menuturkan kejujuran secara berani, mewakili sipembuatnya yang bersembunyi dibalik kisah tersebut.
Jam menunjukkan pukul sepuluh pagi, gua tengah berjalan pulang kerumah nyokap sambil menggendong Fatih yang tertidur setelah lelah bermain di rumah Komeng. Sejak pagi tadi gua mengajak Fatih berkeliling sambil menyuapi-nya dan kemudian mampir sebentar dirumah komeng. Disana gua membiarkan Fatih asik bermain dengan keponakan-keponakan si Komeng, sedangkan gua dan komeng malah asik ngonrol ngalor-ngidul membahas hobi baru-nya; membuat gagang (Pegangan) ’bendo’ (Golok).
Sesampainya dirumah nyokap, gua mendapati Ines tengah sudah bersiap-siap hendak pulang. Gua merebahkan Fatih dikasur kemudian duduk ditepian kasur didalam kamar, memandang Ines yang tengah menyiapkan botol susu untuk Fatih, sepintas gua melihat perubahan di wajahnya, Raut wajah yang gua kenali saat dulu dia marah saat gua nggak konsultasi dengannya setelah membeli konsol PS3, raut wajah yang gua kenali saat dulu dia marah perihal Resti dan kali ini raut wajahnya menyiratkan kemarahan yang tiada tara. Gua menelan ludah, berlagak santai kemudian bertanya kepadanya;
”Nggak pulang nanti sore aja?”
”...”
Ines nggak menjawab, hanya melirik sebentar ke arah gua kemudian kembali memutar tutup botol susu dengan sekuat tenaga; ’kreeek’.
Gua berdiri dan keluar dari kamar, hendak bersiap-siap. Saat berjalan melintasi Ines, gua sempat menangkap seringai tipis dari bibirnya, sekilas gua mendengar suara keluar dari bibirnya; ”Ish...”
Beberapa saat kemudian kami sudah berada didalam mobil untuk pulang ke Depok. Selama diperjalanan Ines nggak sedikit pun mengeluarkan suara. Dia hanya bicara seperlunya saja, gelagatnya pun terlihat berbeda, sama sekali berbeda. Gua hanya menyetir dalam keheningan, keheningan yang sepertinya mendorong gua jatuh dari tepian jurang yang tanpa dasar dan selama perjalanan yang terasa sangat lama ini, gua serasa tengah melayang terjun bebas dari tepi jurang, sambil menatap bawah, ke dasarnya yang bahkan tidak terlihat, gelap.
Sesampainya dirumah, perangai Ines masih belum berubah. Dia turun dari mobil sambil membanting pintu kemudian bergegas masuk kedalam, meninggalkan gua sendiri yang sibuk dengan barang-barang bawaan kami.
Gua sadar kalau inilah harga yang harus gua bayar untuk arti sebuah kejujuran dan keberanian. Kejujuran dan keberanian untuk menceritakan semuanya secara langsung ke Ines, kejujuran dan keberanian yang akhirnya harus diwakilkan oleh sebuah cerita. Dan gua harus siap untuk menghadapinya.
Ines membanting pintu kamar sekerasnya, saat gua masuk kedalam rumah sambil menenteng tas yang berisi pakaian dan perlengkapan-perlengkapan Fatih. Sejurus kemudian terdengar suara tangisan Fatih menggema dari dalam kamar, gua masuk, meraih Fatih, menggendongnya dalam pelukan dan menepuk-nepuk punggungnya.
”Kamu kenapa si, nes..”
”Kenapa?”
”Ya lo pikir aja sendiri..”
Gua terperangah mendengar sebutan Ines ke gua; ’Elo’
Sambil berusaha menenangkan Fatih, gua keluar dari kamar meninggalkan Ines sendiri kemudian duduk di sofa. Gua nggak mau Fatih mendengar cek-cok atau adu mulut yang melibatkan Ayah dan Maminya.
Setengah jam kemudian, gua mengangkat Fatih yang baru saja tertidur di atas sofa kemudian membaringkannya diatas kasur, disebelah Ines yang juga tengah berbaring sambil menghadap dinding, memunggungi kami. Gua menepuk pundaknya pelan, Ines menoleh, kemudian berdiri dan keluar dari kamar.
”Kamu tuh kalo ada apa-apa nggak usah teriak-teriak didepan Fatih, pake acara banting pintu segala..”
Gua bicara ke Ines sambil menutup pintu kamar secara perlahan.
Ines yang tengah duduk disofa, berdiri dan menghampiri gua.
”Jawab yang jujur!, cerita itu.. siapa aja yang udah baca selain aku?”
”Baru kamu doang..”
Gua menjawab, bohong (lagi).
”Dan.. kenapa aku harus tau tentang cewek yang namanya Resti dari cerita itu.. bukan dari kamu..”
”Ya sama aja nes, itu cerita juga aku yang buat..”
”Ooh.. gitu, trus nanti kali ada masalah lain lagi, kamu bakal bikin cerita, turs ngunjukin ke aku.. gitu?”
”...”
”Gitu bon?”
Gua nggak menjawab, Cuma memandang matanya yang saat ini mulai berkaca-kaca. Ines kemudian terduduk disofa, menutupi wajah dengan kedua tangannya sambil menangis sesenggukan. Gua Cuma bisa berdiri mematung, menatap perempuan yang paling gua sayangi menangis dihadapan gua dan gara-gara gua.
Gua duduk dilantai, menghadapi Ines yang masih menangis sesenggukan. Gua menggenggam tangannya dengan tangan kiri, sementara tangan kanan gua berusaha menyeka air mata yang mengalir membasahi pipi-nya.
”Maafin aku ya sayang... maaf banget udah bikin kamu kecewa sama aku, maaf banget karena nggak berani cerita secara langsung ke kamu, maaf..”
”Aku nggak butuh maaf kamu boon, aku Cuma mau kamu jujur ke aku..jujur tentang masa lalu kamu, toh itu hanya masa lalu, saat ini dan kedepannya kamu adalah suami aku, ayah dari anak-anakku..”
”Ya tapi kan paling enggak kamu sekarang udah tau kan?”
”Iya aku tau.. tapi bukan begini caranya..”
Ines kemudian terdiam, dia mulai menghentikan tangisannya.
”Sekarang kamu nggak pernah kepikiran tentang dia lagi kan boon?”
Ines bertanya sambil menatap ke gua, tatapan yang berisi sebuah harapan.
Gua mengangguk, sambil meletakkan kedua tangan di masing-masing pipinya, gua mengecup keningnya dan berkata;
”Cuma kamu yang ada dihati aku.. selalu begitu dan akan terus seperti itu..”
Ines tersenyum, kemudian kami berpelukan. Sebuah pelukan seperti sepasang kekasih yang kembali bertemu setelah terpisah sekian lama. Sebuah pelukan yang menasbihkan betapa cinta gua ke Ines, cinta Ines ke gua, cinta kami ke Fatih begitu kuat dan tumbuh semakin kuat bahkan cukup kuat untuk ditumbuhi benalu remeh-temeh sebuah cerita. Cerita tentang sepasang anak manusia yang dipertemukan Tuhan disebuah tanah antah berantah, tanah yang jauh dari keluarga, jauh dari apa yang bisa orang sebut sebagai ’rumah’.
”Boon..”
”Ya..”
”Cerita kamu, dikasih judul apa?”
”Accidentally In Love...”
Ines tersenyum kemudian mengambil ponselnya dan mulai memutar sebuah lagu.
These lines of lightning
Mean we’re never alone,
Never alone, no, no
We’re accidentally in love..
Accidentally in Love.
---
Beberapa hari kemudian, gua tengah duduk sendiri disalah satu kursi didepan sebuah gerai waralaba didaerah Lebak Bulus, gerai waralab yang sekarang banyak menjamur di Jakarta, orang-orang menyebutnya ’Sevel’ singkatan dari Seven Eleven.
Gua duduk sambil menikmati kopi hitam dan sebatang rokok di suatu sore yang sedikit mendung, menagih janji untuk bertemu dengan gua sore ini. Beberapa saat kemudian muncul seorang gadis mengenakan Sweater abu-abu dengan hood menutupi kepalanya dipadu dengan celana jeans selutut dan sendal jepit swallow berwarna hijau, dia menarik kursi dan duduk disebelah gua. Tanpa bicara peremouan ini mengeluarkan bungkusan marlboro menthol, mengambilnya sebatang kemudian menyulutnya. Dia menyeruput kopi hitam milik gua dan mengernyitkan kedua alisnya ;
”Oke.. lo udah tau nickname gua di kask*s.. sekarang gua mau tau nickname lo..”
Gua bertanya tentang nickname yang resti gunakan diforum internet tempat gua mem-publish cerita. Yang ditanya Cuma menyeringai kemudian tertawa.
”Kenapa? Ada yang lucu?...”
”Nggak.. apa lo mikir kalo gue bakal ngasih tau?”
”Ya harus lah, nggak ada salahnya kan kalo gua tau?”
Resti nggak menjawab, dia hanya mengangkat kedua bahunya.
Kemudian pandangan gua beralih ke sebuah Grand Levina silver yang bergerak masuk kedalam area parkir, sesaat kemudian keluar dari pintu kemudi seorang wanita hitam manis dengan rambut sebahu, mengenakan setelah blazer hitam dan rok span dengan warna senada. Wanita tersebut berjalan penuh semangat menghampiri kami, kemudian berdiri diantara gua dan resti.
”Resti.. kenalin ini Ines... dan Ines kenalin ini Resti..”
Gua mengenalkan mereka berdua, resti menurunkan hood sweaternya kemudian berdiri menyodorkan tangan-nya setelah memindahkan batang rokok ke tangan sebelah kiri. Inesa meraih tangan resti dan saling mereka saling menyebutkan nama.
Resti kembali duduk, sedangkan Ines meraih tangan gua dan menciumnya.
”Oh nggak salah pilih berarti lo boon.. ”
Resti membuka pembicaraan dan langsung dijawab oleh Ines.
”Sorry.. maksudnya?”
”Hahaha, boni nggak salah pilih mbak.. ternyata mbak lebih cantik dari yang gue bayangkan..dan gue yakin mbak pasti lebih pinter gue..”
”Ah nggak juga kok.”
Ines menjawab berusaha merendah.
”Oke langsung ke Inti-nya aja deh.. gue tau kenapa gue berada disini sore ini..”
Resti bicara sambil membuang puntung rokoknya, kemudian mengambil batang yang baru dan menyulutnya. Ines terlihat sedikit kaget kemudian berusaha menutupi kekagetannya dengan berlagak mengecek ponsel.
”Mbak Ines.. gue Cuma bisa bilang kalo sampe sekarang gua nggak bisa ngelupain suami lo... dulu gue cinta abis-abisan sama dia.. tapi seperti yang lo tau, suami lo itu bego, nggak sensitif dan kurang peka sama perempuan, gue yakin lo setuju dengan hal ini..”
Gua melotot ke arah resti, dia Cuma tersenyum kemudian meneruskan bicara. Sekilas gua memandang ke arah Ines yang sedang tersenyum.
”...dan gue sama boni nggak pernah lebih dari sekedar temen.. mudah-mudahan mbak Ines puas dengan kesaksian gue ini.. oiya perlu diketahui kalo gue ngomong kayak gini tanpa paksaan dari boni, tanpa hasutan dari siapa-pun...”
”Makasih ya Resti..”
Ines bicara sambil tersenyum ke arah Resti.
”...yaah mudah-mudahan kalian berdua bahagia selamanya deh..”
Resti berdiri, mengantongi bungkusan rokoknya dan menyeruput habis kopi hitam milik gua.
”Lho rest, nickname lo?”
Gua bertanya kepada resti.
”Lho.. kan gue udah pernah bilang rahasia membuat wanita menjadi wanita..”
Kemudian diberjalan menjauh, masuk kedalam kemudi sebuah Fortuner hitam dan menghilang.
Ines menggenggam tangan gua, tersenyum kemudian berkata;
”Kamu beneran bego ya yah.. kok bisa-bisanya nggak nerima cinta cewek cantik kayak dia..”
”Ya kalo aku pinter, mungkin sekarang kamu lagi jualan bir di Leeds, Fatih nggak pernah ada, bokap-nyokap nggak jadi pergi haji dan .....”
”Dan apa...”
”Dan mungkin aku nggak bisa sebahagia seperti sekarang ini...”
Kami berdua tersenyum kemudian pergi sambil bergandengan tangan, mesra.
”Apaan sih?”
Ines bertanya penasaran sambil menggeser kursi-nya mendekat.
”Udah liat aja nih, jangan bawel..”
Gua membuka sebuah folder, meng-klik file dengan ikon aplikasi pengolah kata dan menyodorkan laptop ke Ines. Dia menerima dan membaca-nya, gua duduk menggeser kursi menjauh, menyulut sebatang rokok dan mulai memperhatikan raut wajahnya saat membaca.
Tangan mungilnya bergerak menaik turunkan kursor laptop, sesekali dia menggigit bibir bawahnya sambil tersenyum dan beberapa kali gua mendapati dia melirik dan kembali ke layar laptop.
”Ini.. kamu yang buat?”
Ines bertanya sambil berdiri, meletakkan laptop diatas meja.
”Iya.. lho udah selesai baca-nya..?”
Gua bertanya sambil memandang Ines yang hendak beranjak masuk.
”Besok lagi ah, aku udah ngantuk berat.. lagian aku juga udah tau kemana arah cerita itu..”
”Eh Nes.. tunggu..”
Gua berdiri, sambil memegang laptop menyusulnya masuk kedalam kamar.
”Aku ngantuk ah, iya besok aku baca..”
”Yaah..”
Sedikit kecewa, gua menutup layar laptop dan meletakkan-nya kembali kedalam tas, kemudian bergegas untuk tidur.
---
Gua terbangun, gua mencari-cari jam tangan yang gua letakkan di samping bantal tempat gua tidur dan menyipitkan mata memandang jarum jam yang bersinar hijau terang dalam kegelapan; Jam setengah lima pagi. Setelah solat subuh, gua mengintip kedalam bekas kamar gua dulu, tempat dimana saat ini Ines dan Fatih tidur. Seperti biasa, sama seperti dirumah, saat menginap dirumah nyokap pun gua tidur terpisah dengan istri dan anak gua, tapi bedanya kalau dirumah gua tidur sekamar namun berbeda kasur, jika dirumah nyokap gua tidur diruang keluarga, didepan tivi.
Dari kegelapan kamar, berpendar cahaya terang, gua sedikit menyipitkan mata memandang kedalam. Ines tengah duduk dikursi meja belajar gua dulu, menghadapi layar laptop sambil memangku dagu-nya dengan tangan. Gua masuk kedalam dan duduk di tepi kasur.
”Gimana, bagus nggak...?”
”Apanya?”
Ines menjawab tanpa memalingkan wajahnya dari layar laptop.
”Cerita-nya..”
”Mmm.. bagus, tapi ada beberapa bagian yang kurang detail aja..”
”Bagian mana-nya?”
”Ada beberapa..tapi so far so good, selama nggak dikonsumsi publik..”
Deg!!, Amsiong dah gua. Apa jadinya nih kalau gua jujur bilang ke Ines kalau cerita yang saat ini dia baca, cerita tentang kisah cinta gua dan dia, sudah terlanjur dipublikasikan disebuah forum (yang katanya) terbesar di Indonesia.
”Ini maksudnya apa kamu nulis cerita ini? Nggak buat di publikasi kan?”
Ines bertanya ke gua, kali ini sambil membalikkan tubuhnya menghadap ke gua.
Gua menelan ludah sambil berpaling dan mulai menciumi Fatih yang masih terlelap.
”Mmmm... tadinya sih niatnya mau aku posting di Internet..tapi...”
Belum juga gua menyelesaikan omongan, Ines sudah memotong;
”Apaan? Internet?.. nggak..nggak.. jangan.. norak banget deh kamu..”
Ines bicara, kemudian berdiri dan duduk ditepi kasur disebelah gua.
”Ya kan baru niat, nes..”
Gua berkata, bohong. Masih sambil menciumi fatih, nggak berani membalas tatapannya.
”Pokoknya aku nggak setuju kalo sampe tulisan kamu yang ini dipublish.. dimanapun, mau di internet kek, di kolom majalah kek, di buku kek, di koran kek, pokoknya nggak dimanapun.. dan baru aku doang kan yang baca cerita ini?..”
Ines bertanya sambil setengah membungkuk, matanya berusaha mencari-cari mata gua yang sengaja gua sembunyikan dengan cara (masih) menciumi Fatih.
”Boni..?”
Ines sedikit menaikkan volume suaranya.
”Iya.. nggak usah pake urat kali ngomongnya..”
Gua menjawab sambil setengan berbisik dan kali ini gua memberanikan diri menatap wajahnya.
”Baru aku doang kan yang baca cerita ini?..”
Ines mengulangi pertanyaannya, sambil ikut berbisik.
Gua mengangguk sebentar kemudian berdiri, berniat menutup layar laptop.
”Eh.. tunggu.. tunggu.. aku belom selesai baca..”
Gua membatalkan niat menutup layar laptop dan kemudian bergegas keluar dari kamar.
Beberapa saat kemudian, Ines keluar dari kamar sambil menggendong Fatih yang baru saja terbangun. Yang pertama gua perhatikan dari Ines adalah raut wajahnya, saat ini dia masih terlihat wajar; berarti Ines belum membaca cerita sampai bagian dimana gua bertemu dengan Resti.
”Adek sama ayah dulu ya, mami mau masak aer dulu buat mandi kamu..”
Ines menyerahkan Fatih kedalam gendongan gua, kemudian beringsut kedapur. Sambil menggendong Fatih gua menyempatkan diri melongok kedalam kamar, terlihat disana layar laptop masih terbuka dan dibiarkan menyala. Gua menghela nafas, kemudian mengajak Fatih bermain di depan teras, bersama kakek dan neneknya yang tengah berbincang di teras sambil menikmati teh hangat dan singkong goreng dihari minggu pagi yang cerah ini.
---
Gua tengah mengikuti Fatih yang sedang berlarian mengejar anak ayam sambil menyuapi-nya, membiarkan mami-nya meneruskan membaca cerita tentang kisah hidup ayahnya, membiarkan si cerita menuturkan kejujuran secara berani, mewakili sipembuatnya yang bersembunyi dibalik kisah tersebut.
Jam menunjukkan pukul sepuluh pagi, gua tengah berjalan pulang kerumah nyokap sambil menggendong Fatih yang tertidur setelah lelah bermain di rumah Komeng. Sejak pagi tadi gua mengajak Fatih berkeliling sambil menyuapi-nya dan kemudian mampir sebentar dirumah komeng. Disana gua membiarkan Fatih asik bermain dengan keponakan-keponakan si Komeng, sedangkan gua dan komeng malah asik ngonrol ngalor-ngidul membahas hobi baru-nya; membuat gagang (Pegangan) ’bendo’ (Golok).
Sesampainya dirumah nyokap, gua mendapati Ines tengah sudah bersiap-siap hendak pulang. Gua merebahkan Fatih dikasur kemudian duduk ditepian kasur didalam kamar, memandang Ines yang tengah menyiapkan botol susu untuk Fatih, sepintas gua melihat perubahan di wajahnya, Raut wajah yang gua kenali saat dulu dia marah saat gua nggak konsultasi dengannya setelah membeli konsol PS3, raut wajah yang gua kenali saat dulu dia marah perihal Resti dan kali ini raut wajahnya menyiratkan kemarahan yang tiada tara. Gua menelan ludah, berlagak santai kemudian bertanya kepadanya;
”Nggak pulang nanti sore aja?”
”...”
Ines nggak menjawab, hanya melirik sebentar ke arah gua kemudian kembali memutar tutup botol susu dengan sekuat tenaga; ’kreeek’.
Gua berdiri dan keluar dari kamar, hendak bersiap-siap. Saat berjalan melintasi Ines, gua sempat menangkap seringai tipis dari bibirnya, sekilas gua mendengar suara keluar dari bibirnya; ”Ish...”
Beberapa saat kemudian kami sudah berada didalam mobil untuk pulang ke Depok. Selama diperjalanan Ines nggak sedikit pun mengeluarkan suara. Dia hanya bicara seperlunya saja, gelagatnya pun terlihat berbeda, sama sekali berbeda. Gua hanya menyetir dalam keheningan, keheningan yang sepertinya mendorong gua jatuh dari tepian jurang yang tanpa dasar dan selama perjalanan yang terasa sangat lama ini, gua serasa tengah melayang terjun bebas dari tepi jurang, sambil menatap bawah, ke dasarnya yang bahkan tidak terlihat, gelap.
Sesampainya dirumah, perangai Ines masih belum berubah. Dia turun dari mobil sambil membanting pintu kemudian bergegas masuk kedalam, meninggalkan gua sendiri yang sibuk dengan barang-barang bawaan kami.
Gua sadar kalau inilah harga yang harus gua bayar untuk arti sebuah kejujuran dan keberanian. Kejujuran dan keberanian untuk menceritakan semuanya secara langsung ke Ines, kejujuran dan keberanian yang akhirnya harus diwakilkan oleh sebuah cerita. Dan gua harus siap untuk menghadapinya.
Ines membanting pintu kamar sekerasnya, saat gua masuk kedalam rumah sambil menenteng tas yang berisi pakaian dan perlengkapan-perlengkapan Fatih. Sejurus kemudian terdengar suara tangisan Fatih menggema dari dalam kamar, gua masuk, meraih Fatih, menggendongnya dalam pelukan dan menepuk-nepuk punggungnya.
”Kamu kenapa si, nes..”
”Kenapa?”
”Ya lo pikir aja sendiri..”
Gua terperangah mendengar sebutan Ines ke gua; ’Elo’
Sambil berusaha menenangkan Fatih, gua keluar dari kamar meninggalkan Ines sendiri kemudian duduk di sofa. Gua nggak mau Fatih mendengar cek-cok atau adu mulut yang melibatkan Ayah dan Maminya.
Setengah jam kemudian, gua mengangkat Fatih yang baru saja tertidur di atas sofa kemudian membaringkannya diatas kasur, disebelah Ines yang juga tengah berbaring sambil menghadap dinding, memunggungi kami. Gua menepuk pundaknya pelan, Ines menoleh, kemudian berdiri dan keluar dari kamar.
”Kamu tuh kalo ada apa-apa nggak usah teriak-teriak didepan Fatih, pake acara banting pintu segala..”
Gua bicara ke Ines sambil menutup pintu kamar secara perlahan.
Ines yang tengah duduk disofa, berdiri dan menghampiri gua.
”Jawab yang jujur!, cerita itu.. siapa aja yang udah baca selain aku?”
”Baru kamu doang..”
Gua menjawab, bohong (lagi).
”Dan.. kenapa aku harus tau tentang cewek yang namanya Resti dari cerita itu.. bukan dari kamu..”
”Ya sama aja nes, itu cerita juga aku yang buat..”
”Ooh.. gitu, trus nanti kali ada masalah lain lagi, kamu bakal bikin cerita, turs ngunjukin ke aku.. gitu?”
”...”
”Gitu bon?”
Gua nggak menjawab, Cuma memandang matanya yang saat ini mulai berkaca-kaca. Ines kemudian terduduk disofa, menutupi wajah dengan kedua tangannya sambil menangis sesenggukan. Gua Cuma bisa berdiri mematung, menatap perempuan yang paling gua sayangi menangis dihadapan gua dan gara-gara gua.
Gua duduk dilantai, menghadapi Ines yang masih menangis sesenggukan. Gua menggenggam tangannya dengan tangan kiri, sementara tangan kanan gua berusaha menyeka air mata yang mengalir membasahi pipi-nya.
”Maafin aku ya sayang... maaf banget udah bikin kamu kecewa sama aku, maaf banget karena nggak berani cerita secara langsung ke kamu, maaf..”
”Aku nggak butuh maaf kamu boon, aku Cuma mau kamu jujur ke aku..jujur tentang masa lalu kamu, toh itu hanya masa lalu, saat ini dan kedepannya kamu adalah suami aku, ayah dari anak-anakku..”
”Ya tapi kan paling enggak kamu sekarang udah tau kan?”
”Iya aku tau.. tapi bukan begini caranya..”
Ines kemudian terdiam, dia mulai menghentikan tangisannya.
”Sekarang kamu nggak pernah kepikiran tentang dia lagi kan boon?”
Ines bertanya sambil menatap ke gua, tatapan yang berisi sebuah harapan.
Gua mengangguk, sambil meletakkan kedua tangan di masing-masing pipinya, gua mengecup keningnya dan berkata;
”Cuma kamu yang ada dihati aku.. selalu begitu dan akan terus seperti itu..”
Ines tersenyum, kemudian kami berpelukan. Sebuah pelukan seperti sepasang kekasih yang kembali bertemu setelah terpisah sekian lama. Sebuah pelukan yang menasbihkan betapa cinta gua ke Ines, cinta Ines ke gua, cinta kami ke Fatih begitu kuat dan tumbuh semakin kuat bahkan cukup kuat untuk ditumbuhi benalu remeh-temeh sebuah cerita. Cerita tentang sepasang anak manusia yang dipertemukan Tuhan disebuah tanah antah berantah, tanah yang jauh dari keluarga, jauh dari apa yang bisa orang sebut sebagai ’rumah’.
”Boon..”
”Ya..”
”Cerita kamu, dikasih judul apa?”
”Accidentally In Love...”
Ines tersenyum kemudian mengambil ponselnya dan mulai memutar sebuah lagu.
These lines of lightning
Mean we’re never alone,
Never alone, no, no
We’re accidentally in love..
Accidentally in Love.
---
Beberapa hari kemudian, gua tengah duduk sendiri disalah satu kursi didepan sebuah gerai waralaba didaerah Lebak Bulus, gerai waralab yang sekarang banyak menjamur di Jakarta, orang-orang menyebutnya ’Sevel’ singkatan dari Seven Eleven.
Gua duduk sambil menikmati kopi hitam dan sebatang rokok di suatu sore yang sedikit mendung, menagih janji untuk bertemu dengan gua sore ini. Beberapa saat kemudian muncul seorang gadis mengenakan Sweater abu-abu dengan hood menutupi kepalanya dipadu dengan celana jeans selutut dan sendal jepit swallow berwarna hijau, dia menarik kursi dan duduk disebelah gua. Tanpa bicara peremouan ini mengeluarkan bungkusan marlboro menthol, mengambilnya sebatang kemudian menyulutnya. Dia menyeruput kopi hitam milik gua dan mengernyitkan kedua alisnya ;
”Oke.. lo udah tau nickname gua di kask*s.. sekarang gua mau tau nickname lo..”
Gua bertanya tentang nickname yang resti gunakan diforum internet tempat gua mem-publish cerita. Yang ditanya Cuma menyeringai kemudian tertawa.
”Kenapa? Ada yang lucu?...”
”Nggak.. apa lo mikir kalo gue bakal ngasih tau?”
”Ya harus lah, nggak ada salahnya kan kalo gua tau?”
Resti nggak menjawab, dia hanya mengangkat kedua bahunya.
Kemudian pandangan gua beralih ke sebuah Grand Levina silver yang bergerak masuk kedalam area parkir, sesaat kemudian keluar dari pintu kemudi seorang wanita hitam manis dengan rambut sebahu, mengenakan setelah blazer hitam dan rok span dengan warna senada. Wanita tersebut berjalan penuh semangat menghampiri kami, kemudian berdiri diantara gua dan resti.
”Resti.. kenalin ini Ines... dan Ines kenalin ini Resti..”
Gua mengenalkan mereka berdua, resti menurunkan hood sweaternya kemudian berdiri menyodorkan tangan-nya setelah memindahkan batang rokok ke tangan sebelah kiri. Inesa meraih tangan resti dan saling mereka saling menyebutkan nama.
Resti kembali duduk, sedangkan Ines meraih tangan gua dan menciumnya.
”Oh nggak salah pilih berarti lo boon.. ”
Resti membuka pembicaraan dan langsung dijawab oleh Ines.
”Sorry.. maksudnya?”
”Hahaha, boni nggak salah pilih mbak.. ternyata mbak lebih cantik dari yang gue bayangkan..dan gue yakin mbak pasti lebih pinter gue..”
”Ah nggak juga kok.”
Ines menjawab berusaha merendah.
”Oke langsung ke Inti-nya aja deh.. gue tau kenapa gue berada disini sore ini..”
Resti bicara sambil membuang puntung rokoknya, kemudian mengambil batang yang baru dan menyulutnya. Ines terlihat sedikit kaget kemudian berusaha menutupi kekagetannya dengan berlagak mengecek ponsel.
”Mbak Ines.. gue Cuma bisa bilang kalo sampe sekarang gua nggak bisa ngelupain suami lo... dulu gue cinta abis-abisan sama dia.. tapi seperti yang lo tau, suami lo itu bego, nggak sensitif dan kurang peka sama perempuan, gue yakin lo setuju dengan hal ini..”
Gua melotot ke arah resti, dia Cuma tersenyum kemudian meneruskan bicara. Sekilas gua memandang ke arah Ines yang sedang tersenyum.
”...dan gue sama boni nggak pernah lebih dari sekedar temen.. mudah-mudahan mbak Ines puas dengan kesaksian gue ini.. oiya perlu diketahui kalo gue ngomong kayak gini tanpa paksaan dari boni, tanpa hasutan dari siapa-pun...”
”Makasih ya Resti..”
Ines bicara sambil tersenyum ke arah Resti.
”...yaah mudah-mudahan kalian berdua bahagia selamanya deh..”
Resti berdiri, mengantongi bungkusan rokoknya dan menyeruput habis kopi hitam milik gua.
”Lho rest, nickname lo?”
Gua bertanya kepada resti.
”Lho.. kan gue udah pernah bilang rahasia membuat wanita menjadi wanita..”
Kemudian diberjalan menjauh, masuk kedalam kemudi sebuah Fortuner hitam dan menghilang.
Ines menggenggam tangan gua, tersenyum kemudian berkata;
”Kamu beneran bego ya yah.. kok bisa-bisanya nggak nerima cinta cewek cantik kayak dia..”
”Ya kalo aku pinter, mungkin sekarang kamu lagi jualan bir di Leeds, Fatih nggak pernah ada, bokap-nyokap nggak jadi pergi haji dan .....”
”Dan apa...”
”Dan mungkin aku nggak bisa sebahagia seperti sekarang ini...”
Kami berdua tersenyum kemudian pergi sambil bergandengan tangan, mesra.
regmekujo dan 29 lainnya memberi reputasi
30
Kutip
Balas
![Accidentally In Love [True Story]](https://s.kaskus.id/images/2014/04/07/6448808_20140407033338.jpg)