- Beranda
- Sejarah & Xenology
Mengenang Masa Dwifungsi ABRI yang Salah Satunya Berujung Pada Konflik Para Jendral
...
TS
MrBurakkuSan
Mengenang Masa Dwifungsi ABRI yang Salah Satunya Berujung Pada Konflik Para Jendral
Nuwun Sewu gan, ane cuma mau bikin thread yang bisa menjadi semacam kliping yang merekam kembali denyut politik orde baru. Dalam hal ini ane tertarik dengan dinamika manuver politik para jenderal, imbas dari penerapan dwifungsi ABRI.
Ane bakal coba update thread dengan kliping-kliping sumber yang mennceritakan permasalahan ini gan...
INTERUPSI LEGENDARIS BRIGJEN TNI IBRAHIM SALEH
Mengenai siapa calon Presiden Republik 2009-2014,
ia memuji Prabowo Subiyanto yang diamati cukup membumi dan menyentuh hati rakyat dalam menyampaikan pesan-pesan yang menyentuh rakyat banyak lewat televisi. Menurutnya tingkah laku serta niat dan keinginan luhur Prabowo untuk banyak berdharma bhakti kepada rakyat Indonesia sebaiknya dikerjakan dan diamalkan dalam kehidupan nyata para pemimpin bangsa yang ada di tanah air.
ibrahim_salehSiapa tak kenal dengan Jenderal fenomenal Ibrahim Saleh? Ia pernah menggegerkan Sidang Umum MPR 1988 lalu. Saat itu, Kamis, 9 Maret 1988, rapat paripurna baru saja secara aklamasi mengangkat kembali Jenderal (Purn) Soeharto sebagai presiden RI untuk masa bakti kelima, 1988-1993.
Padahal pimpinan sidang Kharis Suhud berancang-ancang hendak menutup sidang pagi itu. Tapi sekonyong-konyong, Brigadir Jenderal Ibrahim Saleh, yang duduk di deretan kursi fraksi ABRI, berlari menuju podium sambil berteriak: “Pak Ketua….Interupsi.”
Tanpa menunggu jawaban dari pimpinan sidang, Ibrahim berdiri di atas mimbar. Ia lalu membacakan secarik kertas yang telah disiapkannya. “Assalamualaikum…Majelis telah sepakat dan secara aklamasi meminta Soeharto untuk memangku kembali jabatan presiden untuk masa jabatan 1983-1988…eh 1988-1992 eh……” ujarnya terengah-engah.
“Kami telah mendengar desas-desus yang mengatakan bahwa pencalonan wakil presiden tidak fair…” Kontan saja sebagian anggota majelis berteriak-teriak,”Turun…turuuunn..” Ibrahim memang mempertanyakan pencalonan Sudharmono sebagai wapres dengan dalih identitasnya meragukan.
Suasana pun geger.
Pangab Jenderal Try Sutrisno dan Pangkopkamtib Jenderal Benny Moerdani bergegas menuju meja pimpinan sidang. Mereka tampak berbicara dengan Kharis Suhud sambil menunjuk ke arah mimbar tempat Ibrahim melakukan interupsi. Belakangan, Ketua F-ABRI, Mayjen Harsudiyono Hartas, mengajaknya turun mimbar. Hartas kaget atas ulah Ibrahim, lalu meminta maaf pada pimpinan sidang.
Keruan saja berita media massa langsung membidik Ibrahim. Ia sampai dianggap tengah menderita stress berat, bahkan gila, karena ulahnya itu. Tuduhan itu sama sekali tidak benar. Keinginan untuk menginterupsi itu datang dari diri saya sendiri. Jenderal L.B Moerdani sama sekali tidak memberi perintah apa pun pada saya.
Bagaimana semua itu bisa terjadi?
Menurut Brigjen (Purn) Ibrahim Saleh yang tetap fit di usia hampir tujuh puluh tahun ini dalam pertemuan ketiga jalur keluarga besar Golkar tanggal 28 Februari 1988, untuk pertama kalinya nama Sudharmono disebut-sebut sebagai calon wakil presiden. Ketika itu ia bertanya pada Soegiarto, Kassospol ABRI saat itu. “Gie, kamu tahu siapa Sudharmono ini?”
Saat itu samar-samar Ibrahim ingat sebuah peristiwa yang terjadi di tahun 1964, ketika masih berdinas di Kodam Diponegoro dan berpangkat letnan dua. Sewaktu ia pulang ke Semarang dari Solo, dan melewati Boyolali, otobus yang ditumpangi terjebak kemacetan. Rupanya penyebab kemacetan itu karena PKI sedang berpawai.
Sesampainya di Semarang, Ibrahim mendapat informasi dari Kolonel Soediro, Kasdam Diponegoro saat itu, bahwa yang mengadakan arak-arakan di Boyolali itu adalah Sudharmono. Jadi, ketika 28 Februari itu Sudharmono disebut sebagai calon wapres, Ibrahim belum yakin, dan masih bertanya-tanya, apakah Sudharmono ini orang yang sama dengan yang terlibat pawai tahun 1964?
Ketika ada pertemuan keluarga besar Golkar pada 29 Februari, Ibrahim mulai mendengar pencalonan Sudharmono sebagai wapres. Pada 1 Maret 1988, malam harinya, Ibrahim rasa-rasan dengan Soegiarto tentang siapa calon wapres dari ABRI? Masa mau mendukung orang yang riwayat hidupnya kita nggak tahu. Tadinya Ibrahim dkk. berniat mendukung Try, tetapi dia merasa sungkan.
Akhirnya, pada 2 Maret, saat berlangsung rapat fraksi ABRI, kembali ia bertanya kepada Pak Try sebagai pimpinan sidang tentang riwayat hidup Sudharmono ini. Tapi jawabannya mengambang. Dan akhirnya, ABRI memutuskan mendukung Soeharto sebagai presiden dan Sudharmono sebagai wakil presiden.
Maka, Ibrahim pun lalu memberanikan diri menginterupsi sidang umum yang saat itu dipimpin Kharis Suhud pada 9 Maret.
Dalam UUD 45, presiden dan wapres dipilih dengan suara terbanyak. Artinya, sah jika pemilihan itu dilakukan dengan voting. Tetapi mengapa pemilihan presiden selama Orde Baru dilakukan dengan musyawarah untuk mufakat. Jadi jelas terjadi penyimpangan penafsiran. Setelah interupsi biasanya sidang diskors dulu.
Ketika jeda itu berlangsung lobi-lobi. Walaupun kecil, kemungkinan terjadinya perubahan hasil sidang ada. Saat itu, akibat interupsi yang Ibrahim lakukan, hampir terjadi voting. Tetapi anehnya setelah itu pencalonan Naro sebagai wapres, dicabut oleh PPP. Sehingga Sudharmono terpilih menjadi wapres sebagai calon tunggal.
Bagaimana sosok Ibrahim Saleh saat ini? Pria kelahiran 22 Rajab 1357 H (10/8/1939) di Dusun TanahAbang,Kecamatan Talang Ubi, Kabupaten Muara Enim, Prabumulih, Sumatera Selatan ini menikah dengan Rukiawati, gadis sekampungnya. Setelah peristiwa interupsi itu, Ibrahim pensiun dari sebagai anggota Legislatif F-TNI/Polri pada 1993.
Kini, ia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk kegiatan sosial, seperti pengurus koperasi khusus pedagang kaki lima, panti asuhan anak yatim piatu, maupun sesekali menjadi da’i yang berkhotbah di masjid. Alasannya, menjadi apa pun kita, tidaklah terlalu penting. “Yang lebih penting bagaimana kita bisa mengabdi pada Allah,” katanya di sela acara Ulang Tahun Yayasan Lumbung Rakyat yang ke-10 pada Sabtu (18/10/2008) sore di Posko TAP, Gg.Berdikari No.27, Jl.Lawang Gintung, Kel.Batutulis, Bogor.
Mengenai siapa calon Presiden Republik 2009-2014, ia memuji Prabowo Subiyanto yang diamati cukup membumi dan menyentuh hati rakyat dalam menyampaikan pesan-pesan yang menyentuh rakyat banyak lewat televisi. Menurutnya tingkah laku serta niat dan keinginan luhur Prabowo untuk banyak berdharma bhakti kepada rakyat Indonesia sebaiknya dikerjakan dan diamalkan dalam kehidupan nyata para pemimpin bangsa yang ada di tanah air.
Label: suaratokoh.com
sumber: http://*networkedblogs.com/f1k9R
Konsep Dwifungsi ABRI yang ditanamkan Jenderal AH Nasution, dan diamalkan oleh Soeharto (menurut interpretasinya sendiri) di era Orba, ternyata tak hanya menimbulkan kesan militeristik pada pemerintahan zaman itu.
Mungkin orang asing pada hari itu memandang Indonesia seperti halnya kita pada hari ini memandang Korea Utara atau Myanmar. Itu kira-kira karakter militer yang tercitrakan pada pemerintahan Orba.
Namun selain kesan karakter kuat pemerintahan junta militer yang tertanam pada Orde Baru, konsep Dwifungsi ABRI yang diamalkan oleh Soeharto ini juga menimbulkan rekaman sejarah tentang pergulatan politik praktis para petinggi militer.
Ingin naik pangkat, ambisi politik menjadi pejabat, hingga ujung-ujungnya adalah perselisihan para Jenderal. Munculnya Hanura dan Gerindra, serta perdebatan tak kunjung henti seputar rencana kudeta Prabowo pada hari ini adalah salah satu ekses yang masih terlihat dari penerapan Dwifungsi yang dipraktekkan oleh Pak Harto.
List update kliping:
Wawancara 1998 Seputar Interupsi Brigjen Ibrahim Saleh di SU MPR 1988
Artikel Manuver Politik ABRI di Pilwapres 1997/1998
Seputar Jenderal Menjabat Menhankan Sekaligus Pangab (Eep Saefulloh Fatah - 1999)
Bahasan Rivalitas Petinggi Militer Vs Politikus Golkar 1980-an
Persaingan Ali Moertopo dan Soemitro Saat Malari
Kisah Hampir Terulangnya Supersemar dan Kopkamtib di Kelahiran Reformasi 1998
Wawancara Dengan Jenderal Rudini Tentang Dwifungsi Abri
mohon bimbingannya
Ane bakal coba update thread dengan kliping-kliping sumber yang mennceritakan permasalahan ini gan...
Quote:
INTERUPSI LEGENDARIS BRIGJEN TNI IBRAHIM SALEH
Mengenai siapa calon Presiden Republik 2009-2014,
ia memuji Prabowo Subiyanto yang diamati cukup membumi dan menyentuh hati rakyat dalam menyampaikan pesan-pesan yang menyentuh rakyat banyak lewat televisi. Menurutnya tingkah laku serta niat dan keinginan luhur Prabowo untuk banyak berdharma bhakti kepada rakyat Indonesia sebaiknya dikerjakan dan diamalkan dalam kehidupan nyata para pemimpin bangsa yang ada di tanah air.
ibrahim_salehSiapa tak kenal dengan Jenderal fenomenal Ibrahim Saleh? Ia pernah menggegerkan Sidang Umum MPR 1988 lalu. Saat itu, Kamis, 9 Maret 1988, rapat paripurna baru saja secara aklamasi mengangkat kembali Jenderal (Purn) Soeharto sebagai presiden RI untuk masa bakti kelima, 1988-1993.
Padahal pimpinan sidang Kharis Suhud berancang-ancang hendak menutup sidang pagi itu. Tapi sekonyong-konyong, Brigadir Jenderal Ibrahim Saleh, yang duduk di deretan kursi fraksi ABRI, berlari menuju podium sambil berteriak: “Pak Ketua….Interupsi.”
Tanpa menunggu jawaban dari pimpinan sidang, Ibrahim berdiri di atas mimbar. Ia lalu membacakan secarik kertas yang telah disiapkannya. “Assalamualaikum…Majelis telah sepakat dan secara aklamasi meminta Soeharto untuk memangku kembali jabatan presiden untuk masa jabatan 1983-1988…eh 1988-1992 eh……” ujarnya terengah-engah.
“Kami telah mendengar desas-desus yang mengatakan bahwa pencalonan wakil presiden tidak fair…” Kontan saja sebagian anggota majelis berteriak-teriak,”Turun…turuuunn..” Ibrahim memang mempertanyakan pencalonan Sudharmono sebagai wapres dengan dalih identitasnya meragukan.
Suasana pun geger.
Pangab Jenderal Try Sutrisno dan Pangkopkamtib Jenderal Benny Moerdani bergegas menuju meja pimpinan sidang. Mereka tampak berbicara dengan Kharis Suhud sambil menunjuk ke arah mimbar tempat Ibrahim melakukan interupsi. Belakangan, Ketua F-ABRI, Mayjen Harsudiyono Hartas, mengajaknya turun mimbar. Hartas kaget atas ulah Ibrahim, lalu meminta maaf pada pimpinan sidang.
Keruan saja berita media massa langsung membidik Ibrahim. Ia sampai dianggap tengah menderita stress berat, bahkan gila, karena ulahnya itu. Tuduhan itu sama sekali tidak benar. Keinginan untuk menginterupsi itu datang dari diri saya sendiri. Jenderal L.B Moerdani sama sekali tidak memberi perintah apa pun pada saya.
Bagaimana semua itu bisa terjadi?
Menurut Brigjen (Purn) Ibrahim Saleh yang tetap fit di usia hampir tujuh puluh tahun ini dalam pertemuan ketiga jalur keluarga besar Golkar tanggal 28 Februari 1988, untuk pertama kalinya nama Sudharmono disebut-sebut sebagai calon wakil presiden. Ketika itu ia bertanya pada Soegiarto, Kassospol ABRI saat itu. “Gie, kamu tahu siapa Sudharmono ini?”
Saat itu samar-samar Ibrahim ingat sebuah peristiwa yang terjadi di tahun 1964, ketika masih berdinas di Kodam Diponegoro dan berpangkat letnan dua. Sewaktu ia pulang ke Semarang dari Solo, dan melewati Boyolali, otobus yang ditumpangi terjebak kemacetan. Rupanya penyebab kemacetan itu karena PKI sedang berpawai.
Sesampainya di Semarang, Ibrahim mendapat informasi dari Kolonel Soediro, Kasdam Diponegoro saat itu, bahwa yang mengadakan arak-arakan di Boyolali itu adalah Sudharmono. Jadi, ketika 28 Februari itu Sudharmono disebut sebagai calon wapres, Ibrahim belum yakin, dan masih bertanya-tanya, apakah Sudharmono ini orang yang sama dengan yang terlibat pawai tahun 1964?
Ketika ada pertemuan keluarga besar Golkar pada 29 Februari, Ibrahim mulai mendengar pencalonan Sudharmono sebagai wapres. Pada 1 Maret 1988, malam harinya, Ibrahim rasa-rasan dengan Soegiarto tentang siapa calon wapres dari ABRI? Masa mau mendukung orang yang riwayat hidupnya kita nggak tahu. Tadinya Ibrahim dkk. berniat mendukung Try, tetapi dia merasa sungkan.
Akhirnya, pada 2 Maret, saat berlangsung rapat fraksi ABRI, kembali ia bertanya kepada Pak Try sebagai pimpinan sidang tentang riwayat hidup Sudharmono ini. Tapi jawabannya mengambang. Dan akhirnya, ABRI memutuskan mendukung Soeharto sebagai presiden dan Sudharmono sebagai wakil presiden.
Maka, Ibrahim pun lalu memberanikan diri menginterupsi sidang umum yang saat itu dipimpin Kharis Suhud pada 9 Maret.
Dalam UUD 45, presiden dan wapres dipilih dengan suara terbanyak. Artinya, sah jika pemilihan itu dilakukan dengan voting. Tetapi mengapa pemilihan presiden selama Orde Baru dilakukan dengan musyawarah untuk mufakat. Jadi jelas terjadi penyimpangan penafsiran. Setelah interupsi biasanya sidang diskors dulu.
Ketika jeda itu berlangsung lobi-lobi. Walaupun kecil, kemungkinan terjadinya perubahan hasil sidang ada. Saat itu, akibat interupsi yang Ibrahim lakukan, hampir terjadi voting. Tetapi anehnya setelah itu pencalonan Naro sebagai wapres, dicabut oleh PPP. Sehingga Sudharmono terpilih menjadi wapres sebagai calon tunggal.
Bagaimana sosok Ibrahim Saleh saat ini? Pria kelahiran 22 Rajab 1357 H (10/8/1939) di Dusun TanahAbang,Kecamatan Talang Ubi, Kabupaten Muara Enim, Prabumulih, Sumatera Selatan ini menikah dengan Rukiawati, gadis sekampungnya. Setelah peristiwa interupsi itu, Ibrahim pensiun dari sebagai anggota Legislatif F-TNI/Polri pada 1993.
Kini, ia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk kegiatan sosial, seperti pengurus koperasi khusus pedagang kaki lima, panti asuhan anak yatim piatu, maupun sesekali menjadi da’i yang berkhotbah di masjid. Alasannya, menjadi apa pun kita, tidaklah terlalu penting. “Yang lebih penting bagaimana kita bisa mengabdi pada Allah,” katanya di sela acara Ulang Tahun Yayasan Lumbung Rakyat yang ke-10 pada Sabtu (18/10/2008) sore di Posko TAP, Gg.Berdikari No.27, Jl.Lawang Gintung, Kel.Batutulis, Bogor.
Mengenai siapa calon Presiden Republik 2009-2014, ia memuji Prabowo Subiyanto yang diamati cukup membumi dan menyentuh hati rakyat dalam menyampaikan pesan-pesan yang menyentuh rakyat banyak lewat televisi. Menurutnya tingkah laku serta niat dan keinginan luhur Prabowo untuk banyak berdharma bhakti kepada rakyat Indonesia sebaiknya dikerjakan dan diamalkan dalam kehidupan nyata para pemimpin bangsa yang ada di tanah air.
Label: suaratokoh.com
sumber: http://*networkedblogs.com/f1k9R
Konsep Dwifungsi ABRI yang ditanamkan Jenderal AH Nasution, dan diamalkan oleh Soeharto (menurut interpretasinya sendiri) di era Orba, ternyata tak hanya menimbulkan kesan militeristik pada pemerintahan zaman itu.
Mungkin orang asing pada hari itu memandang Indonesia seperti halnya kita pada hari ini memandang Korea Utara atau Myanmar. Itu kira-kira karakter militer yang tercitrakan pada pemerintahan Orba.
Namun selain kesan karakter kuat pemerintahan junta militer yang tertanam pada Orde Baru, konsep Dwifungsi ABRI yang diamalkan oleh Soeharto ini juga menimbulkan rekaman sejarah tentang pergulatan politik praktis para petinggi militer.
Ingin naik pangkat, ambisi politik menjadi pejabat, hingga ujung-ujungnya adalah perselisihan para Jenderal. Munculnya Hanura dan Gerindra, serta perdebatan tak kunjung henti seputar rencana kudeta Prabowo pada hari ini adalah salah satu ekses yang masih terlihat dari penerapan Dwifungsi yang dipraktekkan oleh Pak Harto.
List update kliping:
Quote:
Wawancara 1998 Seputar Interupsi Brigjen Ibrahim Saleh di SU MPR 1988
Artikel Manuver Politik ABRI di Pilwapres 1997/1998
Seputar Jenderal Menjabat Menhankan Sekaligus Pangab (Eep Saefulloh Fatah - 1999)
Bahasan Rivalitas Petinggi Militer Vs Politikus Golkar 1980-an
Persaingan Ali Moertopo dan Soemitro Saat Malari
Kisah Hampir Terulangnya Supersemar dan Kopkamtib di Kelahiran Reformasi 1998
Wawancara Dengan Jenderal Rudini Tentang Dwifungsi Abri
mohon bimbingannya

Diubah oleh MrBurakkuSan 05-04-2014 01:36
0
10.5K
Kutip
21
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Sejarah & Xenology
6.5KThread•11.5KAnggota
Tampilkan semua post
TS
MrBurakkuSan
#17
Quote:
Original Posted By permberontak98►
kok kayak propaganda-intimidasi jaman Soviet dulu ya
jangan2 orba itu .............
kok kayak propaganda-intimidasi jaman Soviet dulu ya

jangan2 orba itu .............

jangan2 apa?? jadi ikut mrinding juga...


Yook update gan...
Quote:
WAWANCARA DENGAN RUDINI TENTANG DWIFUNGSI ABRI
Wawancara Jenderal (Purn) Rudini:
"Sebagai Bangsa, Jangan Sampai Kita Tersandung pada Batu yang Sama, Seperti
Keledai"
_________________________________________________________________
Setelah 51 tahun merdeka, Indonesia tetap membutuhkan angkatan
bersenjatanya untuk berperan aktif dalam bidang sosial dan pertahanan
keamanan. Menurut pendapat Rudini, mantan Kasad dan Mendagri yang
sekarang menjadi Ketua Umum Lembaga Pengkajian Strategis Indonesia
(LPSI), dwifungsi ABRI tetap sesuai dengan kondisi Indonesia. "Yang
banyak dipermasalahkan dalam dwifungsi, kan karena banyak militer yang
menduduki posisi-posisi seperti bupati dan gubernur, kan?" kata
Rudini.
Selain itu, Rudini juga berbicara tentang kesiapan perangkat hukum
dalam jaman yang makin terbuka, termasuk konsensus nasional. Intinya,
tidak diperlukan perubahan UU, hanya penyesuaian. Berikut petikan
wawancaranya dengan Bina Bektiati dan Hani Pudjiarti dari TEMPO
Interaktif di kantornya, Kamis, 5 September.
_________________________________________________________________
Anda melihat peristiwa 27 Juli lalu sebagai fenomena apa ?
Saya melihat kelompok masyarakat yang haus perlakuan keadilan namun
tidak terpenuhi. Ini hanya, karena ada sebagian rakyat yang tidak
diperhatikan oleh pemerintah, sehingga berakhir dengan keributan.
Kemudian aparat ingin menunjukkan bahwa kelompok tersebut [yang
dianggap terlibat dan berada di belakang kerusuhan, red.] menentang
UUD 45 dan Pancasila. Saya tidak mengatakan komunis. Singkat kata,
kejadian tersebut menunjukkan ada kelompok masyarakat yang merasa
tidak puas.
Apakah hal itu membuktikan pemerintah yang tidak terbuka ?
Menurut saya, peristiwa 27 Juli adalah refleksi dari suatu hambatan.
Bila komunikasinya baik, saya rasa tidak begitu. Hal itu kan
menujukkan kelemahan komunikasi dari aparat itu sendiri. Dan
kelemahan ini sering terjadi. Misalnya, ada sebagian penduduk yang
mendiami lahan perkebunan puluhan tahun, tiba-tiba datang tim
penertiban, dan menyuruh penduduk menyingkir. Akibatnya, rakyat
marah. Untuk mengatasinya, fungsi aparat harus diubah, yang semula
menjadi penguasa, menjadi public service (pelayan masyarakat).
Apakah faktor UU yang kurang fleksibel terhadap perubahan
mengakibatkan terjadinya konflik terbuka?
Memang, masih banyak pasal-pasal peninggalan jaman kolonial.
Konsesus nasional merupakan salah satu usaha pimpinan tingkat
nasional untuk mengatasi keadaan yang tidak stabil. Jadi itu
merupakan konsensus tokoh-tokoh pada masa itu.
Namun, isi konsensus sudah berupa undang-undang, yakni lima
undang-undang politik. Jika ingin mengubah undang-undang, silakan!
Siapa yang akan melarang? Mengapa lalu sekarang ribut-ribut masalah
konsensus nasional?
Menurut Anda, apakah sudah saatnya lima paket undang-undang politik
diubah atau disesuaikan?
Pertama, bukan diubah UU-nya, tetapi meningkatkan implementasinya.
Apabila ditemukan hal-hal yang tidak relevan, dapat diubah. Misalnya
UU No. 5 /1974 tentang Pemerintahan Daerah, pasti dan harus ada yang
diubah.
Bagaimana dengan UU Parpol dan Golkar?
Menurut saya, hal ini masih perlu ditingkatkan. Jalankan dengan
sebaik-baiknya dulu, kemudian lihat apa ada yang harus
disempurnakan. Apabila sudah dijalankan, tetapi tidak bisa menjawab
dan menampung aspirasi rakyat, mau diubah, silakan. Tetapi, harus
diingat tentang kemunculan dua Parpol dan Golkar, karena di masa
lalu, banyaknya Parpol sama sekali tidak menghasilkan apa-apa.
Jangan sampai kita sebagai bangsa tersandung batu yang sama, seperti
keledai.
Bagaimana Anda melihat perkembangan konsep dw fungsi ABRI?
Pertama, kita semua harus tahu, sebelum lahir konsep tersebut,
dwifungsi sudah dilaksanakan sejak lahirnya TNI (Tentara Nasional
Indonesia). Semenjak kelahirannya, TNI sebenarnya telah melaksanakan
dwifungsi, yaitu fungsi pertahanan dan sosial politik. Menurut saya,
selama TNI melaksanakan dwifungsi, hal itu sangat menguntungkan
bangsa kita. Mengapa? Karena sejak masa revolusi fisik, TNI selalu
diajak bicara untuk mengambil keputusan tingkat nasional. Waktu para
pemimpin politik tampak ragu-ragu menyatakan kemerdekaan, Jenderal
Sudirman menyatakan bahwa ada atau tidak ada proklamasi, tentara
rakyat tetap melawan. Itu menunjukkan bahwa tentara memang sudah
menjalankan dwifungsi.
Dan berdasarkan UUD 45, TNI berhak duduk di MPR mewakili kelompok
profesi militer. Sementara jatah kursi ABRI di DPR adalah hasil
konsensus nasional. Hal tersebut menunjukkan militer memiliki
tanggungjawab. Sebaliknya, bila militer didudukkan sebagai alat
pemerintah, seperti di Barat dengan konsep back to the barrack
(kembali ke barak), dengan menempatkan tentara hanya di dalam barak,
kemungkinan terjadinya kudeta, seperti terjadi di kebanyakan negara
berkembang akan sangat besar. Karena tentara hanya dikurung di
barak, sementara melihat banyak ketidakberesan yang dilakukan oleh
pemerintah sipil. Tapi di sini tidak demikian. Saat terjadi
pemberontakan Madiun, pemerintahan praktis di pegang oleh TNI.
Tapi kecenderungannya sekarang justru peran politik militer yang lebih
kuat daripada peran pertahanan dan keamanan?
Nah, di sini yang menonjol memang tugas di bidang politik. Tapi
bukan berarti ABRI hanya memusatkan kegiatan hanya di situ (bidang
politik, red.). Seandainya bupati dan gubernur tidak lagi dijabat
militer, dwifungsi tetap jalan. Sebenarnya orang menyalahkan
dwifungsi karena banyaknya bupati dan gubernur berasal dari ABRI.
Anggapan itu tidak tepat.
Jadi Anda mendukung posisi-posisi sipil yang diduduki militer?
Saya bukannya mendukung. Jangan diartikan militer minta jatah untuk
posisi-posisi sipil. Tetapi, jika dikehendaki rakyat dan dipilih
melalui DPRD, tidak masalah. Rakyat memilih pemimpin, bukan ABRI.
Itupun, jika diijinkan Pangab untuk menempati posisi sipil.
Sebenarnya, ABRI menjadi bupati dan gubernur bermula dari situasi
dan kondisi tahun 1966, yaitu karena ada kekosongan sipil. Karena
setelah pemberontakan PKI, banyak orang-orang sipil yang bersembunyi
karena takut, termasuk para penjabat daerah. Jadi ABRI menggantikan
posisi-posisi sipil yang kosong. Itu dulu. Tetapi saya setuju,
kedudukan ABRI dalam posisi-posisi sipil, seperti bupati dan
gubernur menyusut, asalkan rakyat yang menghendaki.
Anda melihat terjadinya pergantian besar-besaran di tubuh militer saat
ini, sebagai fenomena apa?
Itu biasa dalam pembinaan personil. Di ABRI itu seperti pabrik.
Lulusan-lulusan AMN (Akademi Militer Nasional) naik pangkat lalu
pensiun, kemudian digantikan oleh angkatan di bawahnya. Tetapi isu
yang timbul adalah seseorang yang terlalu cepat menaiki suatu
jabatan.
Di negara lain, personil militer yang sudah 20 tahun berdinas, sudah
dapat diseleksi untuk jadi Brigjen. Kalau di sini ada yang sudah 25
tahun mengabdi tetapi terhambat, tiba-tiba ada yang melesat,
kemudian keadaan normal kembali. Fenomena seperti itu adalah hal
yang biasa dalam membina personel dalam suatu angkatan perang. Saat
ini, orang ribut menyoal Prabowo yang berbintang dua. Saya, 20 tahun
dinas sudah berpangkat Brigjen. Setelah itu, setiap tahun saya naik
pangkat, kok nggak ada yang ribut. Prabowo sudah 23 tahun berkarir,
kebetulan saja dia mantu presiden.
Tetapi bagaimana dengan friksi-friksi yang terjadi di tubuh ABRI?
Seperti orang-orangnya Feisal Tanjung .
Itu kan tampaknya saja. Logikanya, kalau saya jadi Pangkostrad, saya
akan memilih staf-staf dari orang-orang yang saya kenal baik. Lalu
orang ribut dengan mengatakan orang-orangnya Rudini. Misalnya,
presiden AS disodorkan tiga nama sebagai calon menteri pertahanan,
lalu sang presiden memilih orang nomor tiga. Kenapa? Karena dia
adalah teman dekatnya waktu di SMA. Ini wajar karena faktor
kepercayaan sangat mutlak, apalagi dalam politik.
Jadi condong ke pertimbangan personal ?
Ya. Itu sudah biasa. Tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi di
setiap negara. Pada saat saya menjadi Kasad, asisten saya lulusan
Breda, yang semuanya saya kenal dan merupakan kawan-kawan. Karena
kemudian harus ganti dengan lulusan AMN, maka saya juga mencari
orang-orang yang saya kenal.
Apakah ada semacam institusi di tubuh militer yang khusus menyeleksi
bibit unggul? Banyak bermunculan baret merah ke posisi puncak,
merupakan fenomena apa?
Institusi ada. Misalnya, Wanjakti (Dewan Kepangkatan dan Jabatan
Tertinggi). Logikanya, yang menjabat panglima itu, adalah
orang-orang yang memiliki kecakapan. Kopassus adalah pasukan elit
yang memiliki kecakapan lapangan yang tinggi. Sementara itu anggota
Kopassus adalah prajurit-prajurit pilihan, juga perwira-perwiranya,
tentunya sudah menjadi pilihan. Meskipun tidak semua pimpinan dari
Kopassus. Contohnya, Wiranto [Pangkostrad] dan Hartono [Kasad],
bukan dari baret merah. Jadi jangan cepat mengambil kesimpulan
tentang pergeseran yang dikaitkan dengan politik.
Bagaimana dengan pemekaran Kopassus ?
Itu kan berdasar kebutuhan. Bayangkan, luas Indonesia sama dengan
jarak antara Roma ke Moskwa. Ini berarti, melewati tujuh negara,
yang artinya tujuh pasukan khusus. Tentunya pemekaran yang dilakukan
tidak ada artinya bila dibanding luas negara.
Apakah Anda setuju dengan pengurangan anggota ABRI yang duduk di DPR ?
Saya setuju saja. Itu kan konsensus, ABRI tidak minta. Sebagai warga
negara yang diambil haknya, ABRI dapat imbalan kursi di DPR. Tetapi
menurut saya, wakil yang berjumlah 75 orang, sudah minimal. Tetapi
apabila rakyat menginginkan agar ABRI tidak perlu ada di DPR,
kembalikan saja haknya sebagai warga negara untuk ikut memilih. Dan
ABRI pasti menang, karena membawa senjata.
0
Kutip
Balas