- Beranda
- Stories from the Heart
Accidentally In Love [True Story]
...
TS
robotpintar
Accidentally In Love [True Story]
![Accidentally In Love [True Story]](https://s.kaskus.id/images/2014/02/14/6448808_20140214023854.png)
Spoiler for Cover:
![Accidentally In Love [True Story]](https://s.kaskus.id/images/2014/02/14/6448808_20140214024411.png)
So she said what's the problem baby
What's the problem I don't know
Well maybe I'm in love (love)
Think about it every time
I think about it
Can't stop thinking 'bout it
How much longer will it take to cure this
Just to cure it cause I can't ignore it if it's love (love)
Makes me wanna turn around and face me but I don't know nothing 'bout love
Come on, come on
Turn a little faster
Come on, come on
The world will follow after
Come on, come on
Cause everybody's after love
So I said I'm a snowball running
Running down into the spring that's coming all this love
Melting under blue skies
Belting out sunlight
Shimmering love
Well baby I surrender
To the strawberry ice cream
Never ever end of all this love
Well I didn't mean to do it
But there's no escaping your love
These lines of lightning
Mean we're never alone,
Never alone, no, no
We're accidentally in love
Accidentally in love [x7]
Accidentally I'm In Love
Spoiler for Bagian 1:
#1
Quote:
“Gila lu Bon, roti segitu banyak sayang-sayang bakal empan ikan semua!”
“Emang ngapa? Ikan jaman sekarang mah ogah makan cacing, Meng”
Gua jawab aja sekena-nya, memang niatnya gua bawa roti dari rumah buat bekal pas mancing tapi, gara-gara umpan cacing gua dari tadi nggak disentuh ikan terpaksa gua ganti dengan roti. Siapa tau mujarab.
Nggak seberapa berselang, tali pancing gua bergetar, refleks gua tarik joran sekuatnya dan mendarat dengan mulus seekor ikan yang kurang lebih seukuran telapak tangan.
“Anjritt.. dari tadi dapet sapu-sapu mulu gua!”
Sambil melepas mata kail dari mulut ikan sapu-sapu yang barusan gua angkat dan langsung gua lempar lagi kedalam kali.
Tidak berapa lama, melantun lagu “Time Like This”-nya Foo Fighter dari ponsel gua. Tertera tulisan “Rumah” dilayarnya.
“Kenapa mak?”
Karena memang cuma nyokap gua aja yang selalu telpon melalui telepon rumah. Bokap dan adik gua selalu menggunakan ponsel-nya masing-masing jika ada keperluan.
“Assalamualaikum , Mancing kagak rapi-rapi luh, nih ada kiriman surat buat elu”
“Dari siapa?”
“Kagak tau, bahasanya emak nggak ngerti”
“Simpenin dulu, nih aye udah mau pulang”
“Yaudah buruan, jangan maghriban dijalan, pamali. Assalamualaikum”
“Waalaikumsalam”
Gua kantongin lagi ponsel k-ekantong celana pendek yang sekarang udah kotor campur lumpur, sambil berteriak ke temen gua; Komeng, yang lagi berkutat dengan tali pancingnya yang kusut.
“Meng, ayo balik.. udah sore”
“Belon juga dapet sekilo, udah mau balik aje”
“Yauda elu terusin dah, gua balik duluan”
Komeng menjawab dengan sedikit gumam di bibirnya terdengar seperti “Yaelah..” sambil berjalan gontai menyusul gua.
------
Itu kejadian beberapa tahun yang lalu, dimana gua dan Komeng masih biasa mencari cacing buat umpan ikan di kebun singkong belakang rumahnya Haji Salim dan kemudian pergi memancing disepanjang pinggiran sungai Pesanggrahan, Jakarta.
Sekarang, gua sedang duduk sambil bersandar di sebuah kursi lipat di pinggir danau di daerah Leeds, Inggris. Menghabiskan hari libur akhir musim gugur dengan memancing sambil bernostalgia, mencoba membangkitkan memori tentang memancing, tentang si Komeng, tentang Jakarta, tentang rumah.
Setelah berjam-jam memancing, menghabiskan berkaleng-kaleng ‘Diet Coke’ akhirnya gua memutuskan untuk menyudahi kegiatan sialan ini. Pulang dengan membawa 6 Ekor ikan Yelowtail (di Indonesia disebut ikan patin) dan sedikit kenangan tentang ‘rumah’, gua berjalan gontai menuju tempat dimana sepeda kesayangan gua diparkir, sempat kebingungan awalnya karena sekarang ada banyak sepeda yang diparkir, padahal tadi pagi baru sepeda gua aja yang nongkrong disini, setelah celingak-celinguk akhirnya ketemu juga dan gua mulai mengayuh.
Jarak dari tempat gua biasa mancing ke tempat dimana gua tinggal di Moorland Ave, Leeds kurang lebih 3,5 mil atau kalau dalam satuan Kilometer sekitar 5,5 Km. Jarak segitu kalo disini, di Inggris bisa dibilang ‘deket’, kalau naik sepeda bisa cuma 30 menit.
Oiya, nama gua Boni. Gua lahir dan dibesarkan di Jakarta. Saat ini gua kerja dan tinggal di Leeds, Inggris sekitar 2-3 jam dari London (dengan kereta). Gua kerja sebagai Sound Designer disalah satu Agensi perfilman dan periklanan di Leeds yang juga punya kantor di London. Sudah hampir 4 tahun gua kerja dan tinggal disini, ditempat dimana nggak ada sungai dengan air berwarna cokelat keruh yang banyak ikan sapu-sapunya dan nggak ada teman yang suka menggerutu “Yaelah”.
Sambil mendengarkan “Heaven” nya Lost Lonely Boys lewat headset, gua mengayuh sepeda menuju ke rumah, pulang. Melewati jalan berpasir yang dipenuhi pohon-pohon maple di kedua sisinya menuju jalan utama. Jalan yang sangat sepi dan hening, jam menunjukkan angka 4 sore, menandakan waktu shalat maghrib, di sabtu sore seperti sekarang ini memang didaerah sini sangat sepi, kebanyakan penduduk sekitar sedang ke stadion atau pub-pub untuk menyaksikan Leeds United bertanding. Ingin buru-buru sampai di rumah, karena perut udah mulai keroncongan, gua kayuh sepeda lebih cepat. Sampai kemudian terdengar sayup-sayup suara musik yang makin lama makin nyaring, suara musik RnB yang sepertinya diputar dari dalam mobil dengan volume maksimal. Suara tersebut datang dari arah belakang dan kemudian menyusul gua, sebuah BMW silver yang melaju cepat bahkan boleh dibilang sangat cepat, sambil meninggalkan debu persis seperti mobil yang sedang Rally Dakkar.
“Orang Gila!!” gua mengumpat, masih sambil dengerin coda lagu “Heaven” nya Lost Lonely Boys. Sampai gua melihat beberapa detik kemudian lampu rem BMW tersebut menyala dan kemudian berhenti.
Deg!, “Wuanjrit, sakti juga tuh orang bisa denger suara gua” sambil berhenti dan melepas headset dari telinga. Yang ternyata setelah gua sadar, suara gua nggak sepelan pas pakai headset tadi. Gua nunggu sambil dag dig dug, kalau dia ngerti ucapan gua, dia pasti orang Indonesia dan kalo ternyata bukan gua bakal siap-siap kabur.
Pintu penumpang pun terbuka, terbuka secara paksa tepatnya, sedetik kemudian keluar seseorang dari kursi penumpang, terhuyung dan kemudian terjatuh, terdengar makian dari dalam BMW tersebut mungkin seperti “bitch” atau semacamnya dan sesaat kemudian BMW tersebut pergi, mengasapi orang yang tersungkur itu dengan debu jalanan.
Nggak mau terlalu ambil pusing, sambil bernafas lega dan bilang dalam hati; “untung bukan gua”, gua meneruskan mengayuh sepeda.
“Get up Bro, life is brutal”
gua berkata ke orang itu sambil melewatinya tetap melanjutkan mengayuh. Dan beberapa meter kemudian gua mendengar sebuah teriakan, teriakan yang (pada akhirnya) bakal merubah hidup gua.
“Woii.. Help me!, you’re Indonesian, right?”
“Tolongin gue dong…”
Gua berhenti mengayuh, turun dan bengong. Sudah hampir setahun gua nggak denger secara langsung orang bicara ke gua dengan bahasa Indonesia dan suara perempuan pula.. Lima, ah mungkin sepuluh detik kemudian baru gua memalingkan muka tapi masih tetap bengong.
“Woii..”
Akhirnya gua turun dari sepeda, kemudian menghampiri orang itu. Terduduk di depan gua sosok perempuan, hitam manis dengan kepala tertutup hood jaket hitam, celana jeans dan sepatu model boots sebetis berwarna cokelat.
“Elu nggak apa-apa?”
“Menurut Lo? Kalo gue gak apa-apa, ngapain gua teriak minta tolong elu!!”
Gua nggak menjawab, berusaha membantu dia berdiri sambil bertanya lagi bagaimana keadaannya. Sekali lagi dia mengumpat;
“Gila!, nggak punya hati banget sih lu!, ya jelas lah gue kenapa-kenapa.. nih liat!”
Sambil memperlihatkan telapak tangan dan siku-nya yang luka dan kemudian menyibak celana jeans-nya yang kotor terkena debu dan sobek di beberapa bagian akibat terlempar dari mobil tadi. Sesaat baru dia sadar kalau lutut kanannya juga luka sambil meringis kesakitan dia mencoba membersihkan luka tersebut dengan air liurnya. Sangat Indonesia sekali.
“Gua pikir tadi orang mabok yang lagi berantem, disini mah biasa begitu,mbak!”
Kemudia gua kasih satu-satunya ‘Diet Coke’ sisa memancing tadi, harusnya sih air putih tapi Cuma itu yang gua punya sekarang. Sambil menggerutu karena dikasih ‘Diet Coke’ daripada air putih, diminum juga tuh minuman soda. Kemudian gua menawarkan diri buat mengantar dia ke sebuah toko kecil di ujung jalan ini, untuk membeli plester untuk membalut luka-nya.
“Jauh nggak?”
Dia bertanya sambil menurunkan hood jaketnya dan menyibak rambutnya yang pendek seleher. Kemudian terlihat jelas sebuah luka lebam di sudut mata sebelah kiri-nya, tidak, bukan cuma satu, setidaknya ada 3 luka lebam, selain disudut matanya, satu lagi di dahi sebelah kiri dan satu lagi di sudut bibir sebelah kanan, yang terakhir tampak seperti luka yang baru karena masih meninggalkan sisa bekas darah yang membeku.
Gua nggak berani bertanya, gua hindari menatap kewajahnya sambil menjawab pertanyaa-nya bahwa tokonya nggak begitu jauh dari sini, sambil menunjuk ke arah jalan utama.
---
“Emang ngapa? Ikan jaman sekarang mah ogah makan cacing, Meng”
Gua jawab aja sekena-nya, memang niatnya gua bawa roti dari rumah buat bekal pas mancing tapi, gara-gara umpan cacing gua dari tadi nggak disentuh ikan terpaksa gua ganti dengan roti. Siapa tau mujarab.
Nggak seberapa berselang, tali pancing gua bergetar, refleks gua tarik joran sekuatnya dan mendarat dengan mulus seekor ikan yang kurang lebih seukuran telapak tangan.
“Anjritt.. dari tadi dapet sapu-sapu mulu gua!”
Sambil melepas mata kail dari mulut ikan sapu-sapu yang barusan gua angkat dan langsung gua lempar lagi kedalam kali.
Tidak berapa lama, melantun lagu “Time Like This”-nya Foo Fighter dari ponsel gua. Tertera tulisan “Rumah” dilayarnya.
“Kenapa mak?”
Karena memang cuma nyokap gua aja yang selalu telpon melalui telepon rumah. Bokap dan adik gua selalu menggunakan ponsel-nya masing-masing jika ada keperluan.
“Assalamualaikum , Mancing kagak rapi-rapi luh, nih ada kiriman surat buat elu”
“Dari siapa?”
“Kagak tau, bahasanya emak nggak ngerti”
“Simpenin dulu, nih aye udah mau pulang”
“Yaudah buruan, jangan maghriban dijalan, pamali. Assalamualaikum”
“Waalaikumsalam”
Gua kantongin lagi ponsel k-ekantong celana pendek yang sekarang udah kotor campur lumpur, sambil berteriak ke temen gua; Komeng, yang lagi berkutat dengan tali pancingnya yang kusut.
“Meng, ayo balik.. udah sore”
“Belon juga dapet sekilo, udah mau balik aje”
“Yauda elu terusin dah, gua balik duluan”
Komeng menjawab dengan sedikit gumam di bibirnya terdengar seperti “Yaelah..” sambil berjalan gontai menyusul gua.
------
Itu kejadian beberapa tahun yang lalu, dimana gua dan Komeng masih biasa mencari cacing buat umpan ikan di kebun singkong belakang rumahnya Haji Salim dan kemudian pergi memancing disepanjang pinggiran sungai Pesanggrahan, Jakarta.
Sekarang, gua sedang duduk sambil bersandar di sebuah kursi lipat di pinggir danau di daerah Leeds, Inggris. Menghabiskan hari libur akhir musim gugur dengan memancing sambil bernostalgia, mencoba membangkitkan memori tentang memancing, tentang si Komeng, tentang Jakarta, tentang rumah.
Setelah berjam-jam memancing, menghabiskan berkaleng-kaleng ‘Diet Coke’ akhirnya gua memutuskan untuk menyudahi kegiatan sialan ini. Pulang dengan membawa 6 Ekor ikan Yelowtail (di Indonesia disebut ikan patin) dan sedikit kenangan tentang ‘rumah’, gua berjalan gontai menuju tempat dimana sepeda kesayangan gua diparkir, sempat kebingungan awalnya karena sekarang ada banyak sepeda yang diparkir, padahal tadi pagi baru sepeda gua aja yang nongkrong disini, setelah celingak-celinguk akhirnya ketemu juga dan gua mulai mengayuh.
Jarak dari tempat gua biasa mancing ke tempat dimana gua tinggal di Moorland Ave, Leeds kurang lebih 3,5 mil atau kalau dalam satuan Kilometer sekitar 5,5 Km. Jarak segitu kalo disini, di Inggris bisa dibilang ‘deket’, kalau naik sepeda bisa cuma 30 menit.
Oiya, nama gua Boni. Gua lahir dan dibesarkan di Jakarta. Saat ini gua kerja dan tinggal di Leeds, Inggris sekitar 2-3 jam dari London (dengan kereta). Gua kerja sebagai Sound Designer disalah satu Agensi perfilman dan periklanan di Leeds yang juga punya kantor di London. Sudah hampir 4 tahun gua kerja dan tinggal disini, ditempat dimana nggak ada sungai dengan air berwarna cokelat keruh yang banyak ikan sapu-sapunya dan nggak ada teman yang suka menggerutu “Yaelah”.
Sambil mendengarkan “Heaven” nya Lost Lonely Boys lewat headset, gua mengayuh sepeda menuju ke rumah, pulang. Melewati jalan berpasir yang dipenuhi pohon-pohon maple di kedua sisinya menuju jalan utama. Jalan yang sangat sepi dan hening, jam menunjukkan angka 4 sore, menandakan waktu shalat maghrib, di sabtu sore seperti sekarang ini memang didaerah sini sangat sepi, kebanyakan penduduk sekitar sedang ke stadion atau pub-pub untuk menyaksikan Leeds United bertanding. Ingin buru-buru sampai di rumah, karena perut udah mulai keroncongan, gua kayuh sepeda lebih cepat. Sampai kemudian terdengar sayup-sayup suara musik yang makin lama makin nyaring, suara musik RnB yang sepertinya diputar dari dalam mobil dengan volume maksimal. Suara tersebut datang dari arah belakang dan kemudian menyusul gua, sebuah BMW silver yang melaju cepat bahkan boleh dibilang sangat cepat, sambil meninggalkan debu persis seperti mobil yang sedang Rally Dakkar.
“Orang Gila!!” gua mengumpat, masih sambil dengerin coda lagu “Heaven” nya Lost Lonely Boys. Sampai gua melihat beberapa detik kemudian lampu rem BMW tersebut menyala dan kemudian berhenti.
Deg!, “Wuanjrit, sakti juga tuh orang bisa denger suara gua” sambil berhenti dan melepas headset dari telinga. Yang ternyata setelah gua sadar, suara gua nggak sepelan pas pakai headset tadi. Gua nunggu sambil dag dig dug, kalau dia ngerti ucapan gua, dia pasti orang Indonesia dan kalo ternyata bukan gua bakal siap-siap kabur.
Pintu penumpang pun terbuka, terbuka secara paksa tepatnya, sedetik kemudian keluar seseorang dari kursi penumpang, terhuyung dan kemudian terjatuh, terdengar makian dari dalam BMW tersebut mungkin seperti “bitch” atau semacamnya dan sesaat kemudian BMW tersebut pergi, mengasapi orang yang tersungkur itu dengan debu jalanan.
Nggak mau terlalu ambil pusing, sambil bernafas lega dan bilang dalam hati; “untung bukan gua”, gua meneruskan mengayuh sepeda.
“Get up Bro, life is brutal”
gua berkata ke orang itu sambil melewatinya tetap melanjutkan mengayuh. Dan beberapa meter kemudian gua mendengar sebuah teriakan, teriakan yang (pada akhirnya) bakal merubah hidup gua.
“Woii.. Help me!, you’re Indonesian, right?”
“Tolongin gue dong…”
Gua berhenti mengayuh, turun dan bengong. Sudah hampir setahun gua nggak denger secara langsung orang bicara ke gua dengan bahasa Indonesia dan suara perempuan pula.. Lima, ah mungkin sepuluh detik kemudian baru gua memalingkan muka tapi masih tetap bengong.
“Woii..”
Akhirnya gua turun dari sepeda, kemudian menghampiri orang itu. Terduduk di depan gua sosok perempuan, hitam manis dengan kepala tertutup hood jaket hitam, celana jeans dan sepatu model boots sebetis berwarna cokelat.
“Elu nggak apa-apa?”
“Menurut Lo? Kalo gue gak apa-apa, ngapain gua teriak minta tolong elu!!”
Gua nggak menjawab, berusaha membantu dia berdiri sambil bertanya lagi bagaimana keadaannya. Sekali lagi dia mengumpat;
“Gila!, nggak punya hati banget sih lu!, ya jelas lah gue kenapa-kenapa.. nih liat!”
Sambil memperlihatkan telapak tangan dan siku-nya yang luka dan kemudian menyibak celana jeans-nya yang kotor terkena debu dan sobek di beberapa bagian akibat terlempar dari mobil tadi. Sesaat baru dia sadar kalau lutut kanannya juga luka sambil meringis kesakitan dia mencoba membersihkan luka tersebut dengan air liurnya. Sangat Indonesia sekali.
“Gua pikir tadi orang mabok yang lagi berantem, disini mah biasa begitu,mbak!”
Kemudia gua kasih satu-satunya ‘Diet Coke’ sisa memancing tadi, harusnya sih air putih tapi Cuma itu yang gua punya sekarang. Sambil menggerutu karena dikasih ‘Diet Coke’ daripada air putih, diminum juga tuh minuman soda. Kemudian gua menawarkan diri buat mengantar dia ke sebuah toko kecil di ujung jalan ini, untuk membeli plester untuk membalut luka-nya.
“Jauh nggak?”
Dia bertanya sambil menurunkan hood jaketnya dan menyibak rambutnya yang pendek seleher. Kemudian terlihat jelas sebuah luka lebam di sudut mata sebelah kiri-nya, tidak, bukan cuma satu, setidaknya ada 3 luka lebam, selain disudut matanya, satu lagi di dahi sebelah kiri dan satu lagi di sudut bibir sebelah kanan, yang terakhir tampak seperti luka yang baru karena masih meninggalkan sisa bekas darah yang membeku.
Gua nggak berani bertanya, gua hindari menatap kewajahnya sambil menjawab pertanyaa-nya bahwa tokonya nggak begitu jauh dari sini, sambil menunjuk ke arah jalan utama.
---
DAFTAR ISI
Quote:
CHAPTER 1
#1 The Beginning
#2 Truly Gentlemen
#3 Place Called Home
#4 The Morning Fever
#5 A Miserable Story
#6 Night Rain
#7 Inside My Head
#8 That Day
#9 Be Tough
#10 Mukena
#1 The Beginning
#2 Truly Gentlemen
#3 Place Called Home
#4 The Morning Fever
#5 A Miserable Story
#6 Night Rain
#7 Inside My Head
#8 That Day
#9 Be Tough
#10 Mukena
Quote:
CHAPTER 2
#11-A Trip To Manchester
#11-B The Swiss Army
#12 Here's and Back Again
#13 I Miss You So Bad
#14 Going Mad
#15 Promise
#16 You’ll Be The Only Light I See
#17 The Winter Tears
#18 She's Gone
#19 That Memories
#11-A Trip To Manchester
#11-B The Swiss Army
#12 Here's and Back Again
#13 I Miss You So Bad
#14 Going Mad
#15 Promise
#16 You’ll Be The Only Light I See
#17 The Winter Tears
#18 She's Gone
#19 That Memories
Quote:
CHAPTER 3
[URL="http://www.kaskus.co.id/show_post/530ff7e41acb17030d8b48f1/479/- "]#19-A The Hood[/URL]
#19-B Heres And Back Again II
#19-C Weak
#19-D Surrender
#19-E The Choice
#19-F Anything For You
#19-G Chelsea Number 8
#19-H Its not always about gold and glory
#19-I Aku
#19-J The Words
#19-K The Persian Cat
#19-L You Really The Only Light I See
#19-M So Be It
#19-N Less Than Perfect
#20 That Day II
[URL="http://www.kaskus.co.id/show_post/530ff7e41acb17030d8b48f1/479/- "]#19-A The Hood[/URL]
#19-B Heres And Back Again II
#19-C Weak
#19-D Surrender
#19-E The Choice
#19-F Anything For You
#19-G Chelsea Number 8
#19-H Its not always about gold and glory
#19-I Aku
#19-J The Words
#19-K The Persian Cat
#19-L You Really The Only Light I See
#19-M So Be It
#19-N Less Than Perfect
#20 That Day II
Quote:
CHAPTER 4 The Prekuel
#21 The Prologue
#22 My Precious
#23 Ticket to Ride
#24 Singapore
#25 Dreams
#26 The Awkward Moment
#27 Logic
#28 Driver In Life
#29 The Risk Taker
#30 Sorry
#31 Rise Again
#32 Goodbye
#21 The Prologue
#22 My Precious
#23 Ticket to Ride
#24 Singapore
#25 Dreams
#26 The Awkward Moment
#27 Logic
#28 Driver In Life
#29 The Risk Taker
#30 Sorry
#31 Rise Again
#32 Goodbye
Quote:
CHAPTER 5!!
#33 London
#34 Unwell
#35 I Was Here
#36 Leeds
#37 New Home, New Life
#38 Alone
#39 Intermezo
#40 Goin' Trough
#41 At Glance
#42 The Past of The Future
#33 London
#34 Unwell
#35 I Was Here
#36 Leeds
#37 New Home, New Life
#38 Alone
#39 Intermezo
#40 Goin' Trough
#41 At Glance
#42 The Past of The Future
Quote:
CHAPTER 6
#43 My First ...
#44 If Lovin' You ...
#45 Goin' Back
#46 Leeds II
#47 I Love You (Jealousy)
#48 After All
#49 Hell Yeah
#50 Conflict
#51 Liar-Liar
#52 Memories
#43 My First ...
#44 If Lovin' You ...
#45 Goin' Back
#46 Leeds II
#47 I Love You (Jealousy)
#48 After All
#49 Hell Yeah
#50 Conflict
#51 Liar-Liar
#52 Memories
Quote:
Quote:
Diubah oleh robotpintar 10-04-2014 08:46
namakuag dan 119 lainnya memberi reputasi
118
1.3M
Kutip
2.3K
Balasan
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#1881
Quote:
Spoiler for Bagian Ke lima puluh tiga:
Gua duduk dihadapan laptop dimeja dapur, menghisap dalam-dalam marlboro light sambil ditemani secangkir kopi, mencoba memulai lagi hobi kecil yang dulu sempat padam, kini dengan sedikit hembusan motivasi, mencoba ’membakar’ kembali semangat itu. Gua memandang kursor berkedip pada layar laptop yang menampilkan sebuah aplikasi pengolah kata, kemudian mulai mengetik sebuah judul;
Desain, Sebuah Alat atau Tujuan.
Lama gua memandangi judul yang baru gua ketik tersebut, sebatang, dua batang, tiga batang rokok habis selama memandangi judul itu. Sebuah judul yang boleh dibilang sedikit kontradiktif. Gua menyulut batang rokok ke-empat saat mulai mengetik paragraf pertama, paragraf kedua dan seterusnya. Semuanya begitu mengalir, begitu mulus, hampir tidak ada halangan berarti, boleh dibilang setelah hampir lebih dari sebulan gua menulis sebagian kisah hidup gua dalam sebuah forum internet terbesar di Indonesia membuat naluri menulis gua bangkit lagi. Setengah jam kemudian gua mengangkat kedua tangan sambil meregangkan tubuh kemudian membaca ulang tulisan yang baru saja selesai. Gua menyeruput kopi yang sudah mulai dingin, mengambil ponsel yang tergeletak disamping laptop, mencari sebuah nama dan mulai menghubungi-nya.
”Halo Assalamualaikum..”
Terdengar sapaan dari ujung telepon.
”Waalaikumsalam.. Ari?”
”Iya bang.. ada apa?”
”Sorry, nih ri.. telpon tengah malem gini, nggak ganggu kan?”
”Hehehe.. ngga apa-apa bang, belon tidur kok, maklum anak kost-an, nggak bisa tidur sore..ada apa ya bang?”
”Hahaha.. ini gua udah ada artikel yang lu minta, gua email sekarang ya..”
”Hah, cepet amat bang, perasaan baru tadi sore saya kerumah..”
”Iya mumpung lagi mood, nih ri..”
”Yaudah dikirim ke email saya yang dikartu nama aja bang, makasih ya udah repot-repot..”
”Nyantai aja ri.. yaudah gua langsung kirim nih ya..”
”Oke bang..”
”Oiya ri, nanti kolom authornya, pake nickname aja ya.. jangan pake nama asli..”
”Oh gitu bang.. oke deh, nicknamenya apa?”
”Terserah elu dah..”
”Yaudah deh... sekali lagi makasih ya bang..”
”Iya ri, assalamualaikum..”
”Waalaikumsalam..”
Gua menutup pembicaraan, kemudian meletakkan ponsel kembali disebelah laptop.
Setelah beberapa saat mencari kartu nama Ari, gua menemukannya sudah sedikit lecek ditambah basah disudut-sudutnya, pasti tadi dibuat main oleh Fatih.
Gua meng-klik ikon email disudut kanan layar laptop, mengunggah file artikel gua barusan dan mengirimnya ke alamat email yang tertera didalam kartu nama tadi.
Gua tersenyum memandang background layar laptop gua yang menampilkan seorang perempuan cantik, hitam manis dengan rambut sebahu tengah berpose dengan seorang anak kecil sedang menggunakan kacamata hitam; Istri dan anak gua.
Gua mengambil cangkir kopi dan bungkusan rokok, kemudian berdiri dan bergegas menuju keluar, ke teras rumah. Gua berhenti sebentar di depan pintu kamar, mengintip melalui celah pintu yang masih terbuka sedikit, masuk kedalam untuk membetulkan letak selimut yang menutupi Ines dan Fatih, mengecup kening kedua malaikat gua ini. Ines menggumam, sejenak dia terjaga dan berkata;
”Kamu kok belom tidur?”
”Iya sebentar lagi..”
”Jangan malem-malem tidurnya..”
Kemudian dia memeluk guling dan memejamkan matanya lagi.
Gua kembali keluar, menutup pintu kamar dan menuju ke teras.
Salah satu kegiatan yang sering gua lakukan, duduk diteras rumah tengah malam sambil menikmati secangkir kopi dan sebatang (berbatang-batang) rokok.
Teringat akan kejadian tadi sore, saat dua orang remaja datang bertamu ke rumah. Seorang pria dan wanita; Ari dan Santi. Mereka mengaku berasal dari kampus yang sama tempat gua kuliah dulu. Sedikit curiga gua bertanya darimana mereka bisa mengetahui alamat rumah gua, salah seorang dari mereka menjawab kalau mereka tadinya sempat datang kerumah nyokap dan nggak menemukan gua disana, akhirnya mereka datang kesini setelah diberikan alamat oleh bokap.
”Mas Boni?”
Pria yang mengenalkan diri bernama Ari bertanya.
”Iya.. ada apa ya?”
”Begini mas, kita dari kampus xxxxx.. sebelumnya maaf nih mas udah lancang tiba-tiba langsung dateng kesini...”
”Ya, nggak papa..”
”..kita sebenernya mau ngadain semacam seminar khusus untuk anak-anak DKV dikampus mas.. nah pas lagi nyari-nyari narasumber, kita dikasih tau kalo mas bisa bantu, soalnya mas kan almamater kampus xxxxx juga kan..”
”Oke.. begini.. yang pertama; jangan panggil saya mas.. panggil aja ’bang’, yang kedua; tau darimana alamat nyokap saya?, yang ketiga; siapa yang ngereferensiin saya buat jadi nara sumber?
Gua mengajukan tiga pertanyaan kepada mereka berdua seraya menyulut sebatang rokok. Ines muncul dari dalam sambil membawa dua gelas berisi air berwarna orange dan menyuguhkannya dihadapan mereka.
”Gini bang, kita juga nggak kenal siapa orangnya, soalnya dia juga ngasih taunya via email.. trus masalah alamat, kita minta dari pihak administrasi kampus..”
Si wanita yang bernama santi membuka suara.
”Oohh gitu... tau alamat emailnya? Oiya minum dulu deh,, Ri.. San..”
”Ada bang, sebentar..”
Ari mengeluarkan ponsel dari dalam sakunya, sesaat kemudian di mendiktekan sebuah alamat email ke gua; theponytailingyou@xxxx.com
Gua mengangkat bahu.
”Emangnya seminar tentang apaan?”
”Tema-nya sih Desain dan Penerapan dalam kehidupan bang..”
”Oooh.. bisa sih, tapi..”
”...anu bang kalo bisa sih sekalian ngasih motivasi juga, biar bisa dapet beasiswa keluar negri kayak abang, gitu..”
Ari berkata malu-malu sambil menyeruput minumannya.
”Loh kok tau gua pernah dapet beasiswa?”
”Iya bang, dari pihak administrasi kampus yang ngasih tau..”
”Ooh.. gua kalo Cuma jadi nara sumber sih nggak masalah, tapi kalo motivasi nggak bisa.. hidup gua aja masih berantakan, gimana mau memotivasi orang..”
”Yah.. yaudah deh bang.. tapi bener kan setuju nih buat jadi narasumber?”
Gua mengangguk, menjawab pertanyaan si Ari.
”Kapan sih acaranya?”
”Masih minggu depan bang..”
”Dimana? Dikampus?”
”Iya bang..”
”Oke deh.. nanti kasih tau detail acaranya aja, sama audience-nya siapa aja..”
”Acaranya sih pagi bang, audience ya Cuma anak-anak DKV kampus aja..”
Gua manggut manggut sambil menghisap rokok.
”Yaudah bang gitu aja deh, kalo bisa saya mau minta kontak abang..”
Ari berkata sambil menyerahkan selembar kartu nama, gua menerimanya kemudian menyebutkan nomor ponsel yang buru-buru dicatat kedalam ponselnya.
”Oiya bang, satu lagi, kalo bisa saya nanti dikasih bocoran tentang isi topik yang bakal abang bawain ya..”
”Oh..iya iya..nanti gua email..”
”Makasih ya bang..”
”Sama-sama”
Kemudian mereka berdua pun pamit.
---
Jumat, minggu berikutnya.
Malam itu, hujan. Gua sampai dirumah saat jam menunjukkan pukul enam sore, pekerjaan yang sedikit renggang membuat gua bisa pulang agak sedikit cepat. Setelah melepas jas hujan dan menggantungnya, gua masuk kedalam dan langsung disambut oleh fatih yang sudah berpakaian rapi. Gua berjongkok bersiap menyambutnya;
”Waah anak ayah mau temana, kok mangi bener..”
”Nek... mah.. nek..”
”Mau kerumah nenek? Sama siapa?”
”A..y..ah..”
Fatih menjawab lucu.
Gua menggapai dan menggendongnya, sesaat kemudian Ines keluar dari kamar, juga sudah berpakaian rapi.
”Mau kemana? Ke rumah nyokap?”
Gua bertanya ke Ines.
”Iya.. kan katanya kamu mau ngisi seminar besok di kampus..”
Ines menjawab sambil membetulkan rambutnya
”Ya kan seminarnya besok..”
”Ya kita ngikut ya dek..”
Ines menjawab sambil mengambil alih Fatih dari gendongan gua.
”Kita nginep dirumah ibu, besok jadi kamu berangkat dari sana..”
”Ooh.. yaudah..”
”Mau siap-siap langsung jalan sekarang apa mau makan dulu?”
Ines bertanya sambil menggendong Fatih.
”Emang kamu masak?”
”Nggak.. kalo mau makan aku masakin mie..”
”Nggak deh, ntar aja makan diluar...”
”Assiiik..”
Gua bergegas masuk kedalam kamar dan berganti pakaian. Beberapa saat kemudian kami sudah berada dijalan menuju ke rumah nyokap.
Keesokan harinya, gua tengah bersiap siap untuk berangkat menuju ke kampus guna menghadiri undangan seminar. Ines sedang membuat kopi untuk bokap kemudian dia menghampiri gua didalam kamar;
”Ayaah.. aku ikut ya?”
”Ikut.. mau ngapain?”
”Pengen ikut aja...”
”Ngapain sih ngikut-ngikut segala?”
Gua menjawab sambil pasang tampang sangar. Bukannya gua nggak mau Ines ngikut tapi entah kenapa setiap gua tengah mengisi acara-acara seminar dan Ines ikut hadir disana, membuat gua jadi sedikit grogi atau entah apa namanya. Jadi, gua berfikir untuk nggak pernah lagi mengajak Ines dalam acara seminar dimana gua jadi narasumber atau pembicaranya.
”Yaah.. aku kan pengen liat kampus kamu...”
”Waktu itu kan udah pernah liat..”
”Ish.. Cuma lewat doang...”
”Ntar fatih sama siapa?”
”Ya ikut juga lah..”
”Ntar kalo rewel?”
”Ya kan ada mami sama ayahnya..”
”....”
”..ya..ya..ya.boleh ya..”
Ines mendekati gua sambil memasang tampang memelasnya.
Oh God!, kenapa sih elu pasang tampang seperti itu nes, yang akhirnya selalu sukses bikin gua menyerah mempertahankan pendirian gua.
Gua Cuma menghela nafas panjang. Ines kemudian buru-buru keluar dari kamar dan memanggil Fatih yang sejak pagi asik bermain dengan kakeknya.
”Deek.. fatih.. yuk ganti baju, kita ikut ayah..”
Dan satu jam berikutnya kami sudah berada di aula kampus. Gua berdiri diatas sebuah panggung berukuran kecil dihadapan hampir dua ratus pasang mata yang menatap kearah gua seakan-akan menelanjangi gua dalam kesendirian. Gua mengetuk mikropon beberapa kali, dan pada ketukan ketiga seisi ruangan hening seketika. Setelah mengucapkan salam gua membuka topik dengan bertanya tentang kabar para peserta dan dilanjutkan dengan menyebut judul ’Desain sebuah alat atau tujuan’.
Selesai acara, gua diantar kebelakang panggung oleh Ari, dimana Ines dan fatih sudah menunggu. Gua mengambil Fatih dari gendongan maminya sambil bersiap-siap untuk pulang, Ari mengapit tangan gua dan membisikan sesuatu, yang gua dengar Cuma selentingan dari omongannya; ’amplop’.
Gua memberikan kunci mobil ke Ines dan menyuruhnya untuk menunggu dimobil, dia Cuma mengangguk dan mengangkat tangannya hendak meraih Fatih dari gendongan;
”Udah biarin sama aku aja, kamu tunggu di mobil ya sebentar..”
”Iya..jangan lama-lama..”
”Iya..”
Kemudian gua mengikuti Ari sambil menggendong Fatih kedalam sebuah ruangan kecil yang terletak dilantai dua.
Setelah menyelesaikan urusan dengan Ari, gua bergegas turun melalui tangga menuju kelantai dasar dan disaat turun gua berhadapan dengan sesosok perempuan berambut panjang yang diikat keatas dengan poni yang menutupi sebagian wajahnya. Perempuan itu berdiri disudut tangga menatap gua yang masih menggendong Fatih, kami saling menatap.
Perempuan itu menggigit bibir sambil menyibak poni rambut dengan hentakan lembut kepalanya, terlihat sepintas sebuah luka sepanjang kurang lebih tiga senti disudut dahi kanannya yang kemudian tertutup oleh rambut lagi.
Desain, Sebuah Alat atau Tujuan.
Lama gua memandangi judul yang baru gua ketik tersebut, sebatang, dua batang, tiga batang rokok habis selama memandangi judul itu. Sebuah judul yang boleh dibilang sedikit kontradiktif. Gua menyulut batang rokok ke-empat saat mulai mengetik paragraf pertama, paragraf kedua dan seterusnya. Semuanya begitu mengalir, begitu mulus, hampir tidak ada halangan berarti, boleh dibilang setelah hampir lebih dari sebulan gua menulis sebagian kisah hidup gua dalam sebuah forum internet terbesar di Indonesia membuat naluri menulis gua bangkit lagi. Setengah jam kemudian gua mengangkat kedua tangan sambil meregangkan tubuh kemudian membaca ulang tulisan yang baru saja selesai. Gua menyeruput kopi yang sudah mulai dingin, mengambil ponsel yang tergeletak disamping laptop, mencari sebuah nama dan mulai menghubungi-nya.
”Halo Assalamualaikum..”
Terdengar sapaan dari ujung telepon.
”Waalaikumsalam.. Ari?”
”Iya bang.. ada apa?”
”Sorry, nih ri.. telpon tengah malem gini, nggak ganggu kan?”
”Hehehe.. ngga apa-apa bang, belon tidur kok, maklum anak kost-an, nggak bisa tidur sore..ada apa ya bang?”
”Hahaha.. ini gua udah ada artikel yang lu minta, gua email sekarang ya..”
”Hah, cepet amat bang, perasaan baru tadi sore saya kerumah..”
”Iya mumpung lagi mood, nih ri..”
”Yaudah dikirim ke email saya yang dikartu nama aja bang, makasih ya udah repot-repot..”
”Nyantai aja ri.. yaudah gua langsung kirim nih ya..”
”Oke bang..”
”Oiya ri, nanti kolom authornya, pake nickname aja ya.. jangan pake nama asli..”
”Oh gitu bang.. oke deh, nicknamenya apa?”
”Terserah elu dah..”
”Yaudah deh... sekali lagi makasih ya bang..”
”Iya ri, assalamualaikum..”
”Waalaikumsalam..”
Gua menutup pembicaraan, kemudian meletakkan ponsel kembali disebelah laptop.
Setelah beberapa saat mencari kartu nama Ari, gua menemukannya sudah sedikit lecek ditambah basah disudut-sudutnya, pasti tadi dibuat main oleh Fatih.
Gua meng-klik ikon email disudut kanan layar laptop, mengunggah file artikel gua barusan dan mengirimnya ke alamat email yang tertera didalam kartu nama tadi.
Gua tersenyum memandang background layar laptop gua yang menampilkan seorang perempuan cantik, hitam manis dengan rambut sebahu tengah berpose dengan seorang anak kecil sedang menggunakan kacamata hitam; Istri dan anak gua.
Gua mengambil cangkir kopi dan bungkusan rokok, kemudian berdiri dan bergegas menuju keluar, ke teras rumah. Gua berhenti sebentar di depan pintu kamar, mengintip melalui celah pintu yang masih terbuka sedikit, masuk kedalam untuk membetulkan letak selimut yang menutupi Ines dan Fatih, mengecup kening kedua malaikat gua ini. Ines menggumam, sejenak dia terjaga dan berkata;
”Kamu kok belom tidur?”
”Iya sebentar lagi..”
”Jangan malem-malem tidurnya..”
Kemudian dia memeluk guling dan memejamkan matanya lagi.
Gua kembali keluar, menutup pintu kamar dan menuju ke teras.
Salah satu kegiatan yang sering gua lakukan, duduk diteras rumah tengah malam sambil menikmati secangkir kopi dan sebatang (berbatang-batang) rokok.
Teringat akan kejadian tadi sore, saat dua orang remaja datang bertamu ke rumah. Seorang pria dan wanita; Ari dan Santi. Mereka mengaku berasal dari kampus yang sama tempat gua kuliah dulu. Sedikit curiga gua bertanya darimana mereka bisa mengetahui alamat rumah gua, salah seorang dari mereka menjawab kalau mereka tadinya sempat datang kerumah nyokap dan nggak menemukan gua disana, akhirnya mereka datang kesini setelah diberikan alamat oleh bokap.
”Mas Boni?”
Pria yang mengenalkan diri bernama Ari bertanya.
”Iya.. ada apa ya?”
”Begini mas, kita dari kampus xxxxx.. sebelumnya maaf nih mas udah lancang tiba-tiba langsung dateng kesini...”
”Ya, nggak papa..”
”..kita sebenernya mau ngadain semacam seminar khusus untuk anak-anak DKV dikampus mas.. nah pas lagi nyari-nyari narasumber, kita dikasih tau kalo mas bisa bantu, soalnya mas kan almamater kampus xxxxx juga kan..”
”Oke.. begini.. yang pertama; jangan panggil saya mas.. panggil aja ’bang’, yang kedua; tau darimana alamat nyokap saya?, yang ketiga; siapa yang ngereferensiin saya buat jadi nara sumber?
Gua mengajukan tiga pertanyaan kepada mereka berdua seraya menyulut sebatang rokok. Ines muncul dari dalam sambil membawa dua gelas berisi air berwarna orange dan menyuguhkannya dihadapan mereka.
”Gini bang, kita juga nggak kenal siapa orangnya, soalnya dia juga ngasih taunya via email.. trus masalah alamat, kita minta dari pihak administrasi kampus..”
Si wanita yang bernama santi membuka suara.
”Oohh gitu... tau alamat emailnya? Oiya minum dulu deh,, Ri.. San..”
”Ada bang, sebentar..”
Ari mengeluarkan ponsel dari dalam sakunya, sesaat kemudian di mendiktekan sebuah alamat email ke gua; theponytailingyou@xxxx.com
Gua mengangkat bahu.
”Emangnya seminar tentang apaan?”
”Tema-nya sih Desain dan Penerapan dalam kehidupan bang..”
”Oooh.. bisa sih, tapi..”
”...anu bang kalo bisa sih sekalian ngasih motivasi juga, biar bisa dapet beasiswa keluar negri kayak abang, gitu..”
Ari berkata malu-malu sambil menyeruput minumannya.
”Loh kok tau gua pernah dapet beasiswa?”
”Iya bang, dari pihak administrasi kampus yang ngasih tau..”
”Ooh.. gua kalo Cuma jadi nara sumber sih nggak masalah, tapi kalo motivasi nggak bisa.. hidup gua aja masih berantakan, gimana mau memotivasi orang..”
”Yah.. yaudah deh bang.. tapi bener kan setuju nih buat jadi narasumber?”
Gua mengangguk, menjawab pertanyaan si Ari.
”Kapan sih acaranya?”
”Masih minggu depan bang..”
”Dimana? Dikampus?”
”Iya bang..”
”Oke deh.. nanti kasih tau detail acaranya aja, sama audience-nya siapa aja..”
”Acaranya sih pagi bang, audience ya Cuma anak-anak DKV kampus aja..”
Gua manggut manggut sambil menghisap rokok.
”Yaudah bang gitu aja deh, kalo bisa saya mau minta kontak abang..”
Ari berkata sambil menyerahkan selembar kartu nama, gua menerimanya kemudian menyebutkan nomor ponsel yang buru-buru dicatat kedalam ponselnya.
”Oiya bang, satu lagi, kalo bisa saya nanti dikasih bocoran tentang isi topik yang bakal abang bawain ya..”
”Oh..iya iya..nanti gua email..”
”Makasih ya bang..”
”Sama-sama”
Kemudian mereka berdua pun pamit.
---
Jumat, minggu berikutnya.
Malam itu, hujan. Gua sampai dirumah saat jam menunjukkan pukul enam sore, pekerjaan yang sedikit renggang membuat gua bisa pulang agak sedikit cepat. Setelah melepas jas hujan dan menggantungnya, gua masuk kedalam dan langsung disambut oleh fatih yang sudah berpakaian rapi. Gua berjongkok bersiap menyambutnya;
”Waah anak ayah mau temana, kok mangi bener..”
”Nek... mah.. nek..”
”Mau kerumah nenek? Sama siapa?”
”A..y..ah..”
Fatih menjawab lucu.
Gua menggapai dan menggendongnya, sesaat kemudian Ines keluar dari kamar, juga sudah berpakaian rapi.
”Mau kemana? Ke rumah nyokap?”
Gua bertanya ke Ines.
”Iya.. kan katanya kamu mau ngisi seminar besok di kampus..”
Ines menjawab sambil membetulkan rambutnya
”Ya kan seminarnya besok..”
”Ya kita ngikut ya dek..”
Ines menjawab sambil mengambil alih Fatih dari gendongan gua.
”Kita nginep dirumah ibu, besok jadi kamu berangkat dari sana..”
”Ooh.. yaudah..”
”Mau siap-siap langsung jalan sekarang apa mau makan dulu?”
Ines bertanya sambil menggendong Fatih.
”Emang kamu masak?”
”Nggak.. kalo mau makan aku masakin mie..”
”Nggak deh, ntar aja makan diluar...”
”Assiiik..”
Gua bergegas masuk kedalam kamar dan berganti pakaian. Beberapa saat kemudian kami sudah berada dijalan menuju ke rumah nyokap.
Keesokan harinya, gua tengah bersiap siap untuk berangkat menuju ke kampus guna menghadiri undangan seminar. Ines sedang membuat kopi untuk bokap kemudian dia menghampiri gua didalam kamar;
”Ayaah.. aku ikut ya?”
”Ikut.. mau ngapain?”
”Pengen ikut aja...”
”Ngapain sih ngikut-ngikut segala?”
Gua menjawab sambil pasang tampang sangar. Bukannya gua nggak mau Ines ngikut tapi entah kenapa setiap gua tengah mengisi acara-acara seminar dan Ines ikut hadir disana, membuat gua jadi sedikit grogi atau entah apa namanya. Jadi, gua berfikir untuk nggak pernah lagi mengajak Ines dalam acara seminar dimana gua jadi narasumber atau pembicaranya.
”Yaah.. aku kan pengen liat kampus kamu...”
”Waktu itu kan udah pernah liat..”
”Ish.. Cuma lewat doang...”
”Ntar fatih sama siapa?”
”Ya ikut juga lah..”
”Ntar kalo rewel?”
”Ya kan ada mami sama ayahnya..”
”....”
”..ya..ya..ya.boleh ya..”
Ines mendekati gua sambil memasang tampang memelasnya.
Oh God!, kenapa sih elu pasang tampang seperti itu nes, yang akhirnya selalu sukses bikin gua menyerah mempertahankan pendirian gua.
Gua Cuma menghela nafas panjang. Ines kemudian buru-buru keluar dari kamar dan memanggil Fatih yang sejak pagi asik bermain dengan kakeknya.
”Deek.. fatih.. yuk ganti baju, kita ikut ayah..”
Dan satu jam berikutnya kami sudah berada di aula kampus. Gua berdiri diatas sebuah panggung berukuran kecil dihadapan hampir dua ratus pasang mata yang menatap kearah gua seakan-akan menelanjangi gua dalam kesendirian. Gua mengetuk mikropon beberapa kali, dan pada ketukan ketiga seisi ruangan hening seketika. Setelah mengucapkan salam gua membuka topik dengan bertanya tentang kabar para peserta dan dilanjutkan dengan menyebut judul ’Desain sebuah alat atau tujuan’.
Selesai acara, gua diantar kebelakang panggung oleh Ari, dimana Ines dan fatih sudah menunggu. Gua mengambil Fatih dari gendongan maminya sambil bersiap-siap untuk pulang, Ari mengapit tangan gua dan membisikan sesuatu, yang gua dengar Cuma selentingan dari omongannya; ’amplop’.
Gua memberikan kunci mobil ke Ines dan menyuruhnya untuk menunggu dimobil, dia Cuma mengangguk dan mengangkat tangannya hendak meraih Fatih dari gendongan;
”Udah biarin sama aku aja, kamu tunggu di mobil ya sebentar..”
”Iya..jangan lama-lama..”
”Iya..”
Kemudian gua mengikuti Ari sambil menggendong Fatih kedalam sebuah ruangan kecil yang terletak dilantai dua.
Setelah menyelesaikan urusan dengan Ari, gua bergegas turun melalui tangga menuju kelantai dasar dan disaat turun gua berhadapan dengan sesosok perempuan berambut panjang yang diikat keatas dengan poni yang menutupi sebagian wajahnya. Perempuan itu berdiri disudut tangga menatap gua yang masih menggendong Fatih, kami saling menatap.
Perempuan itu menggigit bibir sambil menyibak poni rambut dengan hentakan lembut kepalanya, terlihat sepintas sebuah luka sepanjang kurang lebih tiga senti disudut dahi kanannya yang kemudian tertutup oleh rambut lagi.
Backsound
Tak Pernah Kusangka Ini Terjadi
Kisah Cinta Yang Suci Ini
Kau Tinggalkan Begitu Saja
Sekian Lamanya Kita Berdua
Tak Kusangka Begitu Cepat Berlalu
Tuk Mencari Kesombongan Diri
Lupa Segala Yang Pernah Kau Ucapkan
Kau Tinggalkan Daku
Pergilah Kasih... Kejarlah Keinginanmu
Selagi Masih Ada Waktu
Jangan Hirukan Diriku
Aku Rela Berpisah... Demi Untuk Dirimu
Semoga Tercapai
Segala Keinginanmu
Tak Pernah Kusangka Ini Terjadi
Kisah Cinta Yang Suci Ini
Kau Tinggalkan Begitu Saja
Sekian Lamanya Kita Berdua
Tak Kusangka Begitu Cepat Berlalu
Tuk Mencari Kesombongan Diri
Lupa Segala Yang Pernah Kau Ucapkan
Kau Tinggalkan Daku
Pergilah Kasih... Kejarlah Keinginanmu
Selagi Masih Ada Waktu
Jangan Hirukan Diriku
Aku Rela Berpisah... Demi Untuk Dirimu
Semoga Tercapai
Segala Keinginanmu
regmekujo dan 16 lainnya memberi reputasi
17
Kutip
Balas
![Accidentally In Love [True Story]](https://s.kaskus.id/images/2014/04/07/6448808_20140407033338.jpg)