- Beranda
- Stories from the Heart
Accidentally In Love [True Story]
...
TS
robotpintar
Accidentally In Love [True Story]
![Accidentally In Love [True Story]](https://s.kaskus.id/images/2014/02/14/6448808_20140214023854.png)
Spoiler for Cover:
![Accidentally In Love [True Story]](https://s.kaskus.id/images/2014/02/14/6448808_20140214024411.png)
So she said what's the problem baby
What's the problem I don't know
Well maybe I'm in love (love)
Think about it every time
I think about it
Can't stop thinking 'bout it
How much longer will it take to cure this
Just to cure it cause I can't ignore it if it's love (love)
Makes me wanna turn around and face me but I don't know nothing 'bout love
Come on, come on
Turn a little faster
Come on, come on
The world will follow after
Come on, come on
Cause everybody's after love
So I said I'm a snowball running
Running down into the spring that's coming all this love
Melting under blue skies
Belting out sunlight
Shimmering love
Well baby I surrender
To the strawberry ice cream
Never ever end of all this love
Well I didn't mean to do it
But there's no escaping your love
These lines of lightning
Mean we're never alone,
Never alone, no, no
We're accidentally in love
Accidentally in love [x7]
Accidentally I'm In Love
Spoiler for Bagian 1:
#1
Quote:
“Gila lu Bon, roti segitu banyak sayang-sayang bakal empan ikan semua!”
“Emang ngapa? Ikan jaman sekarang mah ogah makan cacing, Meng”
Gua jawab aja sekena-nya, memang niatnya gua bawa roti dari rumah buat bekal pas mancing tapi, gara-gara umpan cacing gua dari tadi nggak disentuh ikan terpaksa gua ganti dengan roti. Siapa tau mujarab.
Nggak seberapa berselang, tali pancing gua bergetar, refleks gua tarik joran sekuatnya dan mendarat dengan mulus seekor ikan yang kurang lebih seukuran telapak tangan.
“Anjritt.. dari tadi dapet sapu-sapu mulu gua!”
Sambil melepas mata kail dari mulut ikan sapu-sapu yang barusan gua angkat dan langsung gua lempar lagi kedalam kali.
Tidak berapa lama, melantun lagu “Time Like This”-nya Foo Fighter dari ponsel gua. Tertera tulisan “Rumah” dilayarnya.
“Kenapa mak?”
Karena memang cuma nyokap gua aja yang selalu telpon melalui telepon rumah. Bokap dan adik gua selalu menggunakan ponsel-nya masing-masing jika ada keperluan.
“Assalamualaikum , Mancing kagak rapi-rapi luh, nih ada kiriman surat buat elu”
“Dari siapa?”
“Kagak tau, bahasanya emak nggak ngerti”
“Simpenin dulu, nih aye udah mau pulang”
“Yaudah buruan, jangan maghriban dijalan, pamali. Assalamualaikum”
“Waalaikumsalam”
Gua kantongin lagi ponsel k-ekantong celana pendek yang sekarang udah kotor campur lumpur, sambil berteriak ke temen gua; Komeng, yang lagi berkutat dengan tali pancingnya yang kusut.
“Meng, ayo balik.. udah sore”
“Belon juga dapet sekilo, udah mau balik aje”
“Yauda elu terusin dah, gua balik duluan”
Komeng menjawab dengan sedikit gumam di bibirnya terdengar seperti “Yaelah..” sambil berjalan gontai menyusul gua.
------
Itu kejadian beberapa tahun yang lalu, dimana gua dan Komeng masih biasa mencari cacing buat umpan ikan di kebun singkong belakang rumahnya Haji Salim dan kemudian pergi memancing disepanjang pinggiran sungai Pesanggrahan, Jakarta.
Sekarang, gua sedang duduk sambil bersandar di sebuah kursi lipat di pinggir danau di daerah Leeds, Inggris. Menghabiskan hari libur akhir musim gugur dengan memancing sambil bernostalgia, mencoba membangkitkan memori tentang memancing, tentang si Komeng, tentang Jakarta, tentang rumah.
Setelah berjam-jam memancing, menghabiskan berkaleng-kaleng ‘Diet Coke’ akhirnya gua memutuskan untuk menyudahi kegiatan sialan ini. Pulang dengan membawa 6 Ekor ikan Yelowtail (di Indonesia disebut ikan patin) dan sedikit kenangan tentang ‘rumah’, gua berjalan gontai menuju tempat dimana sepeda kesayangan gua diparkir, sempat kebingungan awalnya karena sekarang ada banyak sepeda yang diparkir, padahal tadi pagi baru sepeda gua aja yang nongkrong disini, setelah celingak-celinguk akhirnya ketemu juga dan gua mulai mengayuh.
Jarak dari tempat gua biasa mancing ke tempat dimana gua tinggal di Moorland Ave, Leeds kurang lebih 3,5 mil atau kalau dalam satuan Kilometer sekitar 5,5 Km. Jarak segitu kalo disini, di Inggris bisa dibilang ‘deket’, kalau naik sepeda bisa cuma 30 menit.
Oiya, nama gua Boni. Gua lahir dan dibesarkan di Jakarta. Saat ini gua kerja dan tinggal di Leeds, Inggris sekitar 2-3 jam dari London (dengan kereta). Gua kerja sebagai Sound Designer disalah satu Agensi perfilman dan periklanan di Leeds yang juga punya kantor di London. Sudah hampir 4 tahun gua kerja dan tinggal disini, ditempat dimana nggak ada sungai dengan air berwarna cokelat keruh yang banyak ikan sapu-sapunya dan nggak ada teman yang suka menggerutu “Yaelah”.
Sambil mendengarkan “Heaven” nya Lost Lonely Boys lewat headset, gua mengayuh sepeda menuju ke rumah, pulang. Melewati jalan berpasir yang dipenuhi pohon-pohon maple di kedua sisinya menuju jalan utama. Jalan yang sangat sepi dan hening, jam menunjukkan angka 4 sore, menandakan waktu shalat maghrib, di sabtu sore seperti sekarang ini memang didaerah sini sangat sepi, kebanyakan penduduk sekitar sedang ke stadion atau pub-pub untuk menyaksikan Leeds United bertanding. Ingin buru-buru sampai di rumah, karena perut udah mulai keroncongan, gua kayuh sepeda lebih cepat. Sampai kemudian terdengar sayup-sayup suara musik yang makin lama makin nyaring, suara musik RnB yang sepertinya diputar dari dalam mobil dengan volume maksimal. Suara tersebut datang dari arah belakang dan kemudian menyusul gua, sebuah BMW silver yang melaju cepat bahkan boleh dibilang sangat cepat, sambil meninggalkan debu persis seperti mobil yang sedang Rally Dakkar.
“Orang Gila!!” gua mengumpat, masih sambil dengerin coda lagu “Heaven” nya Lost Lonely Boys. Sampai gua melihat beberapa detik kemudian lampu rem BMW tersebut menyala dan kemudian berhenti.
Deg!, “Wuanjrit, sakti juga tuh orang bisa denger suara gua” sambil berhenti dan melepas headset dari telinga. Yang ternyata setelah gua sadar, suara gua nggak sepelan pas pakai headset tadi. Gua nunggu sambil dag dig dug, kalau dia ngerti ucapan gua, dia pasti orang Indonesia dan kalo ternyata bukan gua bakal siap-siap kabur.
Pintu penumpang pun terbuka, terbuka secara paksa tepatnya, sedetik kemudian keluar seseorang dari kursi penumpang, terhuyung dan kemudian terjatuh, terdengar makian dari dalam BMW tersebut mungkin seperti “bitch” atau semacamnya dan sesaat kemudian BMW tersebut pergi, mengasapi orang yang tersungkur itu dengan debu jalanan.
Nggak mau terlalu ambil pusing, sambil bernafas lega dan bilang dalam hati; “untung bukan gua”, gua meneruskan mengayuh sepeda.
“Get up Bro, life is brutal”
gua berkata ke orang itu sambil melewatinya tetap melanjutkan mengayuh. Dan beberapa meter kemudian gua mendengar sebuah teriakan, teriakan yang (pada akhirnya) bakal merubah hidup gua.
“Woii.. Help me!, you’re Indonesian, right?”
“Tolongin gue dong…”
Gua berhenti mengayuh, turun dan bengong. Sudah hampir setahun gua nggak denger secara langsung orang bicara ke gua dengan bahasa Indonesia dan suara perempuan pula.. Lima, ah mungkin sepuluh detik kemudian baru gua memalingkan muka tapi masih tetap bengong.
“Woii..”
Akhirnya gua turun dari sepeda, kemudian menghampiri orang itu. Terduduk di depan gua sosok perempuan, hitam manis dengan kepala tertutup hood jaket hitam, celana jeans dan sepatu model boots sebetis berwarna cokelat.
“Elu nggak apa-apa?”
“Menurut Lo? Kalo gue gak apa-apa, ngapain gua teriak minta tolong elu!!”
Gua nggak menjawab, berusaha membantu dia berdiri sambil bertanya lagi bagaimana keadaannya. Sekali lagi dia mengumpat;
“Gila!, nggak punya hati banget sih lu!, ya jelas lah gue kenapa-kenapa.. nih liat!”
Sambil memperlihatkan telapak tangan dan siku-nya yang luka dan kemudian menyibak celana jeans-nya yang kotor terkena debu dan sobek di beberapa bagian akibat terlempar dari mobil tadi. Sesaat baru dia sadar kalau lutut kanannya juga luka sambil meringis kesakitan dia mencoba membersihkan luka tersebut dengan air liurnya. Sangat Indonesia sekali.
“Gua pikir tadi orang mabok yang lagi berantem, disini mah biasa begitu,mbak!”
Kemudia gua kasih satu-satunya ‘Diet Coke’ sisa memancing tadi, harusnya sih air putih tapi Cuma itu yang gua punya sekarang. Sambil menggerutu karena dikasih ‘Diet Coke’ daripada air putih, diminum juga tuh minuman soda. Kemudian gua menawarkan diri buat mengantar dia ke sebuah toko kecil di ujung jalan ini, untuk membeli plester untuk membalut luka-nya.
“Jauh nggak?”
Dia bertanya sambil menurunkan hood jaketnya dan menyibak rambutnya yang pendek seleher. Kemudian terlihat jelas sebuah luka lebam di sudut mata sebelah kiri-nya, tidak, bukan cuma satu, setidaknya ada 3 luka lebam, selain disudut matanya, satu lagi di dahi sebelah kiri dan satu lagi di sudut bibir sebelah kanan, yang terakhir tampak seperti luka yang baru karena masih meninggalkan sisa bekas darah yang membeku.
Gua nggak berani bertanya, gua hindari menatap kewajahnya sambil menjawab pertanyaa-nya bahwa tokonya nggak begitu jauh dari sini, sambil menunjuk ke arah jalan utama.
---
“Emang ngapa? Ikan jaman sekarang mah ogah makan cacing, Meng”
Gua jawab aja sekena-nya, memang niatnya gua bawa roti dari rumah buat bekal pas mancing tapi, gara-gara umpan cacing gua dari tadi nggak disentuh ikan terpaksa gua ganti dengan roti. Siapa tau mujarab.
Nggak seberapa berselang, tali pancing gua bergetar, refleks gua tarik joran sekuatnya dan mendarat dengan mulus seekor ikan yang kurang lebih seukuran telapak tangan.
“Anjritt.. dari tadi dapet sapu-sapu mulu gua!”
Sambil melepas mata kail dari mulut ikan sapu-sapu yang barusan gua angkat dan langsung gua lempar lagi kedalam kali.
Tidak berapa lama, melantun lagu “Time Like This”-nya Foo Fighter dari ponsel gua. Tertera tulisan “Rumah” dilayarnya.
“Kenapa mak?”
Karena memang cuma nyokap gua aja yang selalu telpon melalui telepon rumah. Bokap dan adik gua selalu menggunakan ponsel-nya masing-masing jika ada keperluan.
“Assalamualaikum , Mancing kagak rapi-rapi luh, nih ada kiriman surat buat elu”
“Dari siapa?”
“Kagak tau, bahasanya emak nggak ngerti”
“Simpenin dulu, nih aye udah mau pulang”
“Yaudah buruan, jangan maghriban dijalan, pamali. Assalamualaikum”
“Waalaikumsalam”
Gua kantongin lagi ponsel k-ekantong celana pendek yang sekarang udah kotor campur lumpur, sambil berteriak ke temen gua; Komeng, yang lagi berkutat dengan tali pancingnya yang kusut.
“Meng, ayo balik.. udah sore”
“Belon juga dapet sekilo, udah mau balik aje”
“Yauda elu terusin dah, gua balik duluan”
Komeng menjawab dengan sedikit gumam di bibirnya terdengar seperti “Yaelah..” sambil berjalan gontai menyusul gua.
------
Itu kejadian beberapa tahun yang lalu, dimana gua dan Komeng masih biasa mencari cacing buat umpan ikan di kebun singkong belakang rumahnya Haji Salim dan kemudian pergi memancing disepanjang pinggiran sungai Pesanggrahan, Jakarta.
Sekarang, gua sedang duduk sambil bersandar di sebuah kursi lipat di pinggir danau di daerah Leeds, Inggris. Menghabiskan hari libur akhir musim gugur dengan memancing sambil bernostalgia, mencoba membangkitkan memori tentang memancing, tentang si Komeng, tentang Jakarta, tentang rumah.
Setelah berjam-jam memancing, menghabiskan berkaleng-kaleng ‘Diet Coke’ akhirnya gua memutuskan untuk menyudahi kegiatan sialan ini. Pulang dengan membawa 6 Ekor ikan Yelowtail (di Indonesia disebut ikan patin) dan sedikit kenangan tentang ‘rumah’, gua berjalan gontai menuju tempat dimana sepeda kesayangan gua diparkir, sempat kebingungan awalnya karena sekarang ada banyak sepeda yang diparkir, padahal tadi pagi baru sepeda gua aja yang nongkrong disini, setelah celingak-celinguk akhirnya ketemu juga dan gua mulai mengayuh.
Jarak dari tempat gua biasa mancing ke tempat dimana gua tinggal di Moorland Ave, Leeds kurang lebih 3,5 mil atau kalau dalam satuan Kilometer sekitar 5,5 Km. Jarak segitu kalo disini, di Inggris bisa dibilang ‘deket’, kalau naik sepeda bisa cuma 30 menit.
Oiya, nama gua Boni. Gua lahir dan dibesarkan di Jakarta. Saat ini gua kerja dan tinggal di Leeds, Inggris sekitar 2-3 jam dari London (dengan kereta). Gua kerja sebagai Sound Designer disalah satu Agensi perfilman dan periklanan di Leeds yang juga punya kantor di London. Sudah hampir 4 tahun gua kerja dan tinggal disini, ditempat dimana nggak ada sungai dengan air berwarna cokelat keruh yang banyak ikan sapu-sapunya dan nggak ada teman yang suka menggerutu “Yaelah”.
Sambil mendengarkan “Heaven” nya Lost Lonely Boys lewat headset, gua mengayuh sepeda menuju ke rumah, pulang. Melewati jalan berpasir yang dipenuhi pohon-pohon maple di kedua sisinya menuju jalan utama. Jalan yang sangat sepi dan hening, jam menunjukkan angka 4 sore, menandakan waktu shalat maghrib, di sabtu sore seperti sekarang ini memang didaerah sini sangat sepi, kebanyakan penduduk sekitar sedang ke stadion atau pub-pub untuk menyaksikan Leeds United bertanding. Ingin buru-buru sampai di rumah, karena perut udah mulai keroncongan, gua kayuh sepeda lebih cepat. Sampai kemudian terdengar sayup-sayup suara musik yang makin lama makin nyaring, suara musik RnB yang sepertinya diputar dari dalam mobil dengan volume maksimal. Suara tersebut datang dari arah belakang dan kemudian menyusul gua, sebuah BMW silver yang melaju cepat bahkan boleh dibilang sangat cepat, sambil meninggalkan debu persis seperti mobil yang sedang Rally Dakkar.
“Orang Gila!!” gua mengumpat, masih sambil dengerin coda lagu “Heaven” nya Lost Lonely Boys. Sampai gua melihat beberapa detik kemudian lampu rem BMW tersebut menyala dan kemudian berhenti.
Deg!, “Wuanjrit, sakti juga tuh orang bisa denger suara gua” sambil berhenti dan melepas headset dari telinga. Yang ternyata setelah gua sadar, suara gua nggak sepelan pas pakai headset tadi. Gua nunggu sambil dag dig dug, kalau dia ngerti ucapan gua, dia pasti orang Indonesia dan kalo ternyata bukan gua bakal siap-siap kabur.
Pintu penumpang pun terbuka, terbuka secara paksa tepatnya, sedetik kemudian keluar seseorang dari kursi penumpang, terhuyung dan kemudian terjatuh, terdengar makian dari dalam BMW tersebut mungkin seperti “bitch” atau semacamnya dan sesaat kemudian BMW tersebut pergi, mengasapi orang yang tersungkur itu dengan debu jalanan.
Nggak mau terlalu ambil pusing, sambil bernafas lega dan bilang dalam hati; “untung bukan gua”, gua meneruskan mengayuh sepeda.
“Get up Bro, life is brutal”
gua berkata ke orang itu sambil melewatinya tetap melanjutkan mengayuh. Dan beberapa meter kemudian gua mendengar sebuah teriakan, teriakan yang (pada akhirnya) bakal merubah hidup gua.
“Woii.. Help me!, you’re Indonesian, right?”
“Tolongin gue dong…”
Gua berhenti mengayuh, turun dan bengong. Sudah hampir setahun gua nggak denger secara langsung orang bicara ke gua dengan bahasa Indonesia dan suara perempuan pula.. Lima, ah mungkin sepuluh detik kemudian baru gua memalingkan muka tapi masih tetap bengong.
“Woii..”
Akhirnya gua turun dari sepeda, kemudian menghampiri orang itu. Terduduk di depan gua sosok perempuan, hitam manis dengan kepala tertutup hood jaket hitam, celana jeans dan sepatu model boots sebetis berwarna cokelat.
“Elu nggak apa-apa?”
“Menurut Lo? Kalo gue gak apa-apa, ngapain gua teriak minta tolong elu!!”
Gua nggak menjawab, berusaha membantu dia berdiri sambil bertanya lagi bagaimana keadaannya. Sekali lagi dia mengumpat;
“Gila!, nggak punya hati banget sih lu!, ya jelas lah gue kenapa-kenapa.. nih liat!”
Sambil memperlihatkan telapak tangan dan siku-nya yang luka dan kemudian menyibak celana jeans-nya yang kotor terkena debu dan sobek di beberapa bagian akibat terlempar dari mobil tadi. Sesaat baru dia sadar kalau lutut kanannya juga luka sambil meringis kesakitan dia mencoba membersihkan luka tersebut dengan air liurnya. Sangat Indonesia sekali.
“Gua pikir tadi orang mabok yang lagi berantem, disini mah biasa begitu,mbak!”
Kemudia gua kasih satu-satunya ‘Diet Coke’ sisa memancing tadi, harusnya sih air putih tapi Cuma itu yang gua punya sekarang. Sambil menggerutu karena dikasih ‘Diet Coke’ daripada air putih, diminum juga tuh minuman soda. Kemudian gua menawarkan diri buat mengantar dia ke sebuah toko kecil di ujung jalan ini, untuk membeli plester untuk membalut luka-nya.
“Jauh nggak?”
Dia bertanya sambil menurunkan hood jaketnya dan menyibak rambutnya yang pendek seleher. Kemudian terlihat jelas sebuah luka lebam di sudut mata sebelah kiri-nya, tidak, bukan cuma satu, setidaknya ada 3 luka lebam, selain disudut matanya, satu lagi di dahi sebelah kiri dan satu lagi di sudut bibir sebelah kanan, yang terakhir tampak seperti luka yang baru karena masih meninggalkan sisa bekas darah yang membeku.
Gua nggak berani bertanya, gua hindari menatap kewajahnya sambil menjawab pertanyaa-nya bahwa tokonya nggak begitu jauh dari sini, sambil menunjuk ke arah jalan utama.
---
DAFTAR ISI
Quote:
CHAPTER 1
#1 The Beginning
#2 Truly Gentlemen
#3 Place Called Home
#4 The Morning Fever
#5 A Miserable Story
#6 Night Rain
#7 Inside My Head
#8 That Day
#9 Be Tough
#10 Mukena
#1 The Beginning
#2 Truly Gentlemen
#3 Place Called Home
#4 The Morning Fever
#5 A Miserable Story
#6 Night Rain
#7 Inside My Head
#8 That Day
#9 Be Tough
#10 Mukena
Quote:
CHAPTER 2
#11-A Trip To Manchester
#11-B The Swiss Army
#12 Here's and Back Again
#13 I Miss You So Bad
#14 Going Mad
#15 Promise
#16 You’ll Be The Only Light I See
#17 The Winter Tears
#18 She's Gone
#19 That Memories
#11-A Trip To Manchester
#11-B The Swiss Army
#12 Here's and Back Again
#13 I Miss You So Bad
#14 Going Mad
#15 Promise
#16 You’ll Be The Only Light I See
#17 The Winter Tears
#18 She's Gone
#19 That Memories
Quote:
CHAPTER 3
[URL="http://www.kaskus.co.id/show_post/530ff7e41acb17030d8b48f1/479/- "]#19-A The Hood[/URL]
#19-B Heres And Back Again II
#19-C Weak
#19-D Surrender
#19-E The Choice
#19-F Anything For You
#19-G Chelsea Number 8
#19-H Its not always about gold and glory
#19-I Aku
#19-J The Words
#19-K The Persian Cat
#19-L You Really The Only Light I See
#19-M So Be It
#19-N Less Than Perfect
#20 That Day II
[URL="http://www.kaskus.co.id/show_post/530ff7e41acb17030d8b48f1/479/- "]#19-A The Hood[/URL]
#19-B Heres And Back Again II
#19-C Weak
#19-D Surrender
#19-E The Choice
#19-F Anything For You
#19-G Chelsea Number 8
#19-H Its not always about gold and glory
#19-I Aku
#19-J The Words
#19-K The Persian Cat
#19-L You Really The Only Light I See
#19-M So Be It
#19-N Less Than Perfect
#20 That Day II
Quote:
CHAPTER 4 The Prekuel
#21 The Prologue
#22 My Precious
#23 Ticket to Ride
#24 Singapore
#25 Dreams
#26 The Awkward Moment
#27 Logic
#28 Driver In Life
#29 The Risk Taker
#30 Sorry
#31 Rise Again
#32 Goodbye
#21 The Prologue
#22 My Precious
#23 Ticket to Ride
#24 Singapore
#25 Dreams
#26 The Awkward Moment
#27 Logic
#28 Driver In Life
#29 The Risk Taker
#30 Sorry
#31 Rise Again
#32 Goodbye
Quote:
CHAPTER 5!!
#33 London
#34 Unwell
#35 I Was Here
#36 Leeds
#37 New Home, New Life
#38 Alone
#39 Intermezo
#40 Goin' Trough
#41 At Glance
#42 The Past of The Future
#33 London
#34 Unwell
#35 I Was Here
#36 Leeds
#37 New Home, New Life
#38 Alone
#39 Intermezo
#40 Goin' Trough
#41 At Glance
#42 The Past of The Future
Quote:
CHAPTER 6
#43 My First ...
#44 If Lovin' You ...
#45 Goin' Back
#46 Leeds II
#47 I Love You (Jealousy)
#48 After All
#49 Hell Yeah
#50 Conflict
#51 Liar-Liar
#52 Memories
#43 My First ...
#44 If Lovin' You ...
#45 Goin' Back
#46 Leeds II
#47 I Love You (Jealousy)
#48 After All
#49 Hell Yeah
#50 Conflict
#51 Liar-Liar
#52 Memories
Quote:
Quote:
Diubah oleh robotpintar 10-04-2014 08:46
namakuag dan 119 lainnya memberi reputasi
118
1.3M
Kutip
2.3K
Balasan
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#1862
Spoiler for Bagian ke lima puluh dua:
#52 Memories
Quote:
Sejak kejadian Fatih demam, dimana kejadian itu sedikit banyak membuat mami dan ayah-nya berfikir untuk saling tidak ’menyakiti’ satu sama lainnya, untuk selalu mengedepankan perihal anak, mengesampingkan ego personal demi anak kami, demi Fatih. Dan sejak saat itu pula Ines tak lagi mengungkit-ungkit perihal Resti yang kemungkinan besar bakal menimbulkan konflik yang sama. Gua melihatnya sebagai sesuatu yang ’berbeda’, sesuatu yang membuka mata gua lebar-lebar; bahwa betapa besar hati istri gua, betapa lapang dada-nya Ines, mengorbankan ego-nya demi anak, membunuh ke-penasaran-nya demi keluarga.
Setiap kali Fatih demam, setiap kali Fatih sakit, setiap kali itu juga cinta gua terhadap Ines dan Fatih tumbuh semakin subur. Kehidupan keluarga kecil gua ini juga semakin Harmonis, Ines yang lambat laun level kemanjaan-nya semakin berkurang dan kini tambah bijak dan dewasa dalam bersikap. Fatih yang semakin bawel dengan ocehan-ocehan menggemaskannya, dengan seringnya jatuh ketika belajar berjalan, dengan tangisnya dikala malam, dengan rengeknya ketika sulit untuk makan dan dengan panggilan ke ayah dan maminya yang terdengar lucu, semua membuat hidup gua terasa lengkap, terasa lebih penuh warna, saat ini (dan berharap untuk selamanya) mereka dua malaikat penyemangat hidup gua.
---
Gua duduk diatas kasur sambil mengelus-elus punggung Fatih yang baru saja terlelap. Disebelahnya Ines bersandar pada bahu kanan gua sambil memandang Fatih. Malam ini, tanggal 5 Oktober, beberapa jam lagi Fatih berulang tahun;
”Makasih ya Nes udah jadi Ibu yang sempurna buat Fatih...”
”Aku nggak sempurna, aku masih ninggalin Fatih demi pekerjaan...”
”Dimata aku kamu sempurna..., makasih kamu udah mau jadi bagian hidup aku..”
”Kamu tau nggak yah... kenapa aku sayang banget sama kamu? Kamu nggak pernah nanya itu kan?..”
”Ah masa nggak pernah? Pernah ah...”
Gua menjawab sambil mencoba mengingat-ingat
”Aku langsung tau kalo kamu suka sama aku dari sejak awal bertemu.. dari cara kamu memperlakukan aku, dari cara kamu menatap aku..”
”Ah masa..”
”.. dari situ aku tau kalo kamu tuh ’beda’.. berbeda dari laki-laki lain yang pernah aku temuin...aku tau kamu perlu waktu untuk bilang cinta...”
”Masa...?”
”..Iya, kamu tuh nggak peka, dibilang cuek tapi perhatian.. dibilang pinter tapi bego..”
”What? Bego?..”
”Iya.. tapi justru ke-bego-an kamu dalam menghadapi wanita yang bikin kamu beda.. yang bikin aku sayang sama kamu..”
”Wuow.. masak, mami sayang sama ayah karena ayah bego, dek...”
Gua berbisik ke arah Fatih yang tengah tertidur sesekali bibirnya ’manyun’.
”Ayaaah...”
”Apa..”
”Dengerin..”
”Iya dari tadi juga dengerin kamu...”
”Aku percaya sama kamu tapi jangan sampe sia-sia in kepercayaan aku...”
”Iya..”
”Kamu boleh bikin aku kesel, boleh bikin aku marah, boleh bikin aku nangis asal bukan karena ada orang lain, bukan karena kamu genit, bukan karena ... amit amit.. kamu selingkuh... inget tuh..”
Ines bicara sambil melotot dan mengangkat jari telunjuknya ke arah gua kemudian mengarahkanya ke lehernya sendiri menirukan gerakan menggorok leher.
”Waduh.. iya..iya..”
”Awas..”
Gua tak henti-hentinya menciumi Fatih yang tertidur, Ines beberapa kali memukul pundak gua, memberi peringatan.
”Makanya kalo kangen sama anak, sabtu nggak usah masuk, jadi bisa maen sama anak...”
Ines berkata sambil menarik baju gua, memberi isyarat untuk turun dari kasur, kembali ke singgasana gua di bawah, diatas kasur kecil yang durjana.
”Ya kan tadi udah bilang, ketemu si Aril..”
”Emang nggak bisa ketemuan-nya hari biasa..”
”Ya justru, si aril minta hari sabtu...”
”Lagian udah sih nggak usah ’nyamping’* mulu, ntar kecapean malah drop..”
*Nyamping: istilah yang dulu sering digunakan bokap untuk ’nyari sampingan’, sekarang istilah ini sering digunakan Ines.
”Yah, mumpung masih kuat, masih ada yang nawarin rejeki..”
Gua mencoba mengeluarkan opini gua tentang kegiatan ’nyamping’ gua yang kadang memang memakan waktu libur kerja.
Terkadang gua yang lulusan desain dan saat ini bekerja di bidang broadcast, masih punya sedikit ’passion’ dalam dunia desain grafis dan menuangkan-nya dengan membuat sketch, awalnya sih memang Cuma iseng-iseng belaka, tapi ternyata salah seorang teman asal Jogja, pemilik distro disana tertarik dengan beberapa sketch yang gua buat, akhirnya berawal dari iseng-iseng malah jadi lumayan buat tambahan beli pampers-nya si Fatih.
”Kenapa kamu nggak nulis aja lagi..? enak nggak perlu keluar–keluar..”
Ines bertanya, sambil menoleh ke arah gua yang tengah berbaring dibawah, diatas kasur kecil.
”Males..”
Gua meletakkan lengan menutupi kedua mata, mencoba untuk segera tidur.
Besok Fatih ulang tahun, tadi siang nyokap menelpon gua, minta dijemput pagi-pagi sekali. Gua udah sempat meyakinkan nyokap, kalau ulang tahun Fatih yang pertama ini nggak perlua dirayakan, karena Fatihnya juga belum mengerti tentang perayaan-perayaan seperti itu, nyokap malah udah bikin selametan malem jumat kemarin dan dia bersikeras untuk datang kesini pada hari ulang tahun Fatih untuk membuat nasi kuning dan dibagi-bagikan kepada tetangga nantinya.
”Kagak..kagak dirayain, emak Cuma bikin selametan kemaren.. sama besok lu jemput dah abis subuh, ntar mak masak nasi kuning disono..”
”Ya sama aja itu mah, ngerayain dengan membuat nasi kuning..”
”Lagian lu ngapa gitu amat si ni? Orang selametan kagak boleh, orang ngerayain ulang taon kagak dikasih, orang mau ngeja nasi kuning dilarang..”
”Kagaaak maak, oni kagak ngelarang.. boleh.. boleh.. udah besok emak oni jemput..”
---
Sore harinya, setelah semua ’perayaan’ ulang tahun Fatih selesai. Gua tengah duduk didepan teras menemani bokap bersama Ardhi, pacar si Ika yang ’katanya’ sebentar lagi ingin menikah. Bokap menepuk pundak gua, kemudian tersenyum;
”Baba sekarang udah punya cucu, setaon...”
”...”
”..padahal dulu elu ni.. set dah bukan maen susahnya kalo disuru makan, disuru mandi, lah sekarang lu udah gede, udah punya anak, setaon..”
”Ya emang oni suru kecil mulu..”
”Berarti baba udah tua juga yak..?”
”Lah bangkotan ba.. bukan tua lagi...”
Bokap menghisap rokok kreteknya dalam-dalam, kemudian sambil menggeleng-geleng mengelus-elus jenggotnya dia menoleh ke dalam, Fatih tengah berlari-lari kecil menyusul gua yang duduk di teras, Ines berlari tergopoh-gopoh mengejarnya.
”Setdah kan maen cucu gua, jalan bae blon jejeg, uda mao lari.....”
Bokap menggelengkan kepalanya lagi, kagum dengan perkembangan motoriknya Fatih.
”Nggak bisa diem sekarang pak..”
Ines berkata sambil mencoba memegang Fatih, yang dipegang tetap berusaha memberontak, ingin lepas dan berlari lagi.
”Yang namanya bocah ya begitu, nes.. ayahnya tuh dulu....”
Bokap menunjuk gua dengan puntung rokok kreteknya.
”...lagi masih keci mah, segala tai kotok dibakal maenan...”
”Bandel ya pak, ayanhnya Fatih dulu...?”
Ines duduk disamping gua sambil bertanya tentang masa kecil gua ke bokap. Sementara Fatih masih berlari-larian, kali ini Ardhi yang mengejarnya.
”Waduh.. ini bocah.. lagi kecil mah, bangoor-nya bukan maen.. segala radio pernah dibakar...”
Ines tersenyum mendengar cerita bokap tentang gua.
Kemudian sore itu, Ines, Ika dan Ardhi duduk menikmati teh sambil menyimak cerita masa kecil gua yang dikisahkan oleh bokap dan nyokap. Sedangkan gua, saat ini sibuk menyuapi sambil mengejar-ngejar Fatih yang tengah sibuk berlarian kesana kemari di jalan depan rumah.
Malam harinya bokap, nyokap, ika dan ardhi pulang. Ines menghampiri gua yang tengah menggendong Fatih yang sepertinya kelelahan setelah seharian nggak henti-hentinya bermain.
”Aku bayangin kamu waktu kecil kayak gimana ya..?”
”Ya kayak dia..”
Sambil menunjuk Fatih yang masih dalam gendongan gua.
”Ayaah...”
Ines menggelendot manja di tangan sebelah kiri gua, sedangkan tangan kanan gua masih menggendong Fatih.
”Apa sih, jangan gelendotan ah.. ntar anaknya jatoh nih..”
”Kamu kalo sabtu minggu nggak usah kemana-mana ya...”
”Iya...”
”Kita hari biasa udah jarang ketemu karena kerja, hari libur kamu ’nyamping’ melulu, kapan ada waktunya buat keluarga..”
”Iya..”
”Jangan Cuma iya-iya aja dong..”
”Ya aku harus jawab apa?”
”...”
Gua berjalan masuk kedalam kamar, merebahkan Fatih yang sekarang sudah tertidur kemudian menciuminya sebentar. Setelahnya gua kembali ke ruang tengah, dimana Ines tengah berbaring disofa memandang layar tivi yang mati.
Gua duduk dilantai membelakangi Ines sambil menekan tombol pada remote, menyalakan tivi. Ines meraih tangan gua;
”Jangan dinyalain tivi-nya..”
Gua kembali menekan tombol power, pettt.. tivi mati, ruangan kembali remang-remang.
”Ngapain malah tiduran diluar?”
”.....”
”Kalo kamu tidur disini ntar anaknya sama siapa? aku ke kamar ya..?”
”Ish.. jangan!!” Ines melotot.
”Pokoknya kamu disini aja sampe aku tidur, ntar kalo aku udah tidur kamu pindahin aku kekamar”
”.....”
Lima belas menit berlalu, gua Cuma bengong membelakangi Ines menghadap tivi yang nggak nyala. Posisi yang sama dengan sewaktu Ines ketakutan akan petir saat masih di Leeds, saat itu dalam posisi yang sama seperti ini; Ines berbaring di sofa, gua duduk membelakangi dia menghadap tivi. Waktu itu dia bercerita tentang mantan tunangannya; Johan.
Gua terdiam, terhenyak dan larut dalam lamunan masa lalu itu. Dulu gua pernah mengutuki keputusan Ines yang seperti menyia-nyiakan keluarga dan sahabatnya demi Johan yang akhirnya malah ’membuang’nya ke jalanan. Tapi disisi lain, gua akhirnya sadar, tanpa kejadian itu Gua nggak bakal bisa berada disini, disampingnya, menjadi suaminya, menjadi ayah dari anaknya.
Gua memalingkan wajah, gua berfikir kalau dia sudah tertidur, tapi ternyata Ines malah masih terjaga, berbaring berbantalkan lengannya tersenyum ke arah gua;
”Kamu pasti keinget waktu di Leeds kan? Posisinya sama seperti ini lho..”
Ines bertanya, gua hanya mengangguk sambil tersenyum.
”Yaah..”
”Ya..”
”Bener ya kata orang kalo cinta itu nggak kenal usia, nggak kenal tempat dan nggak kenal waktu..”
”Kok?”
”Buktinya, kita.. kamu entah dibelahan dunia mana, dan ketemu sama aku.. trus kamu jatuh cinta sama aku deh..:
”Eh.. nggak kebalik? Kamu kali yang jatuh cinta sama aku..”
”Yeee...”
”Nes.. aku sayang sama kamu..”
”Hah..tumbeen..”
Gua Cuma tersenyum memandangi perempuan berkulit hitam manis berwajah mungil dengan rambut sebahu, wajah yang dulu (bahkan sampai sekarang) selalu berhasil mempesona gua. Wajah perempuan yang sering gua ungkapkan sebelum-sebelumnya, perempuan berhati baja yang manja. Gua mengusap pipinya dengan punggung tangan, dia balas tersenyum, meraih tangan gua dan menggenggamnya;
”So Do I...”
”Really?”
”Kamu tau nggak kenapa aku sayang sama kamu?”
”Karena aku bego...”
Ines menggeleng, kemudian berkata;
”I Love you because when I needed a place to hang my heart, you were there to wear it from the start, and with every breath of me, you really the only light I see...”
Gua tersenyum mengecup keningnya kemudian berbisik ;
”Itu kata-kata aku..”
---
EPILOGUE
Gua duduk dihadapan laptop dimeja dapur, menghisap dalam-dalam marlboro light sambil ditemani secangkir kopi, mencoba memulai lagi hobi kecil yang dulu sempat padam, kini dengan sedikit hembusan motivasi, mencoba ’membakar’ kembali semangat itu. Gua memandang kursor berkedip pada layar laptop yang menampilkan sebuah aplikasi pengolah kata, kemudian mulai menulis....
Setiap kali Fatih demam, setiap kali Fatih sakit, setiap kali itu juga cinta gua terhadap Ines dan Fatih tumbuh semakin subur. Kehidupan keluarga kecil gua ini juga semakin Harmonis, Ines yang lambat laun level kemanjaan-nya semakin berkurang dan kini tambah bijak dan dewasa dalam bersikap. Fatih yang semakin bawel dengan ocehan-ocehan menggemaskannya, dengan seringnya jatuh ketika belajar berjalan, dengan tangisnya dikala malam, dengan rengeknya ketika sulit untuk makan dan dengan panggilan ke ayah dan maminya yang terdengar lucu, semua membuat hidup gua terasa lengkap, terasa lebih penuh warna, saat ini (dan berharap untuk selamanya) mereka dua malaikat penyemangat hidup gua.
---
Gua duduk diatas kasur sambil mengelus-elus punggung Fatih yang baru saja terlelap. Disebelahnya Ines bersandar pada bahu kanan gua sambil memandang Fatih. Malam ini, tanggal 5 Oktober, beberapa jam lagi Fatih berulang tahun;
”Makasih ya Nes udah jadi Ibu yang sempurna buat Fatih...”
”Aku nggak sempurna, aku masih ninggalin Fatih demi pekerjaan...”
”Dimata aku kamu sempurna..., makasih kamu udah mau jadi bagian hidup aku..”
”Kamu tau nggak yah... kenapa aku sayang banget sama kamu? Kamu nggak pernah nanya itu kan?..”
”Ah masa nggak pernah? Pernah ah...”
Gua menjawab sambil mencoba mengingat-ingat
”Aku langsung tau kalo kamu suka sama aku dari sejak awal bertemu.. dari cara kamu memperlakukan aku, dari cara kamu menatap aku..”
”Ah masa..”
”.. dari situ aku tau kalo kamu tuh ’beda’.. berbeda dari laki-laki lain yang pernah aku temuin...aku tau kamu perlu waktu untuk bilang cinta...”
”Masa...?”
”..Iya, kamu tuh nggak peka, dibilang cuek tapi perhatian.. dibilang pinter tapi bego..”
”What? Bego?..”
”Iya.. tapi justru ke-bego-an kamu dalam menghadapi wanita yang bikin kamu beda.. yang bikin aku sayang sama kamu..”
”Wuow.. masak, mami sayang sama ayah karena ayah bego, dek...”
Gua berbisik ke arah Fatih yang tengah tertidur sesekali bibirnya ’manyun’.
”Ayaaah...”
”Apa..”
”Dengerin..”
”Iya dari tadi juga dengerin kamu...”
”Aku percaya sama kamu tapi jangan sampe sia-sia in kepercayaan aku...”
”Iya..”
”Kamu boleh bikin aku kesel, boleh bikin aku marah, boleh bikin aku nangis asal bukan karena ada orang lain, bukan karena kamu genit, bukan karena ... amit amit.. kamu selingkuh... inget tuh..”
Ines bicara sambil melotot dan mengangkat jari telunjuknya ke arah gua kemudian mengarahkanya ke lehernya sendiri menirukan gerakan menggorok leher.
”Waduh.. iya..iya..”
”Awas..”
Gua tak henti-hentinya menciumi Fatih yang tertidur, Ines beberapa kali memukul pundak gua, memberi peringatan.
”Makanya kalo kangen sama anak, sabtu nggak usah masuk, jadi bisa maen sama anak...”
Ines berkata sambil menarik baju gua, memberi isyarat untuk turun dari kasur, kembali ke singgasana gua di bawah, diatas kasur kecil yang durjana.
”Ya kan tadi udah bilang, ketemu si Aril..”
”Emang nggak bisa ketemuan-nya hari biasa..”
”Ya justru, si aril minta hari sabtu...”
”Lagian udah sih nggak usah ’nyamping’* mulu, ntar kecapean malah drop..”
*Nyamping: istilah yang dulu sering digunakan bokap untuk ’nyari sampingan’, sekarang istilah ini sering digunakan Ines.
”Yah, mumpung masih kuat, masih ada yang nawarin rejeki..”
Gua mencoba mengeluarkan opini gua tentang kegiatan ’nyamping’ gua yang kadang memang memakan waktu libur kerja.
Terkadang gua yang lulusan desain dan saat ini bekerja di bidang broadcast, masih punya sedikit ’passion’ dalam dunia desain grafis dan menuangkan-nya dengan membuat sketch, awalnya sih memang Cuma iseng-iseng belaka, tapi ternyata salah seorang teman asal Jogja, pemilik distro disana tertarik dengan beberapa sketch yang gua buat, akhirnya berawal dari iseng-iseng malah jadi lumayan buat tambahan beli pampers-nya si Fatih.
”Kenapa kamu nggak nulis aja lagi..? enak nggak perlu keluar–keluar..”
Ines bertanya, sambil menoleh ke arah gua yang tengah berbaring dibawah, diatas kasur kecil.
”Males..”
Gua meletakkan lengan menutupi kedua mata, mencoba untuk segera tidur.
Besok Fatih ulang tahun, tadi siang nyokap menelpon gua, minta dijemput pagi-pagi sekali. Gua udah sempat meyakinkan nyokap, kalau ulang tahun Fatih yang pertama ini nggak perlua dirayakan, karena Fatihnya juga belum mengerti tentang perayaan-perayaan seperti itu, nyokap malah udah bikin selametan malem jumat kemarin dan dia bersikeras untuk datang kesini pada hari ulang tahun Fatih untuk membuat nasi kuning dan dibagi-bagikan kepada tetangga nantinya.
”Kagak..kagak dirayain, emak Cuma bikin selametan kemaren.. sama besok lu jemput dah abis subuh, ntar mak masak nasi kuning disono..”
”Ya sama aja itu mah, ngerayain dengan membuat nasi kuning..”
”Lagian lu ngapa gitu amat si ni? Orang selametan kagak boleh, orang ngerayain ulang taon kagak dikasih, orang mau ngeja nasi kuning dilarang..”
”Kagaaak maak, oni kagak ngelarang.. boleh.. boleh.. udah besok emak oni jemput..”
---
Sore harinya, setelah semua ’perayaan’ ulang tahun Fatih selesai. Gua tengah duduk didepan teras menemani bokap bersama Ardhi, pacar si Ika yang ’katanya’ sebentar lagi ingin menikah. Bokap menepuk pundak gua, kemudian tersenyum;
”Baba sekarang udah punya cucu, setaon...”
”...”
”..padahal dulu elu ni.. set dah bukan maen susahnya kalo disuru makan, disuru mandi, lah sekarang lu udah gede, udah punya anak, setaon..”
”Ya emang oni suru kecil mulu..”
”Berarti baba udah tua juga yak..?”
”Lah bangkotan ba.. bukan tua lagi...”
Bokap menghisap rokok kreteknya dalam-dalam, kemudian sambil menggeleng-geleng mengelus-elus jenggotnya dia menoleh ke dalam, Fatih tengah berlari-lari kecil menyusul gua yang duduk di teras, Ines berlari tergopoh-gopoh mengejarnya.
”Setdah kan maen cucu gua, jalan bae blon jejeg, uda mao lari.....”
Bokap menggelengkan kepalanya lagi, kagum dengan perkembangan motoriknya Fatih.
”Nggak bisa diem sekarang pak..”
Ines berkata sambil mencoba memegang Fatih, yang dipegang tetap berusaha memberontak, ingin lepas dan berlari lagi.
”Yang namanya bocah ya begitu, nes.. ayahnya tuh dulu....”
Bokap menunjuk gua dengan puntung rokok kreteknya.
”...lagi masih keci mah, segala tai kotok dibakal maenan...”
”Bandel ya pak, ayanhnya Fatih dulu...?”
Ines duduk disamping gua sambil bertanya tentang masa kecil gua ke bokap. Sementara Fatih masih berlari-larian, kali ini Ardhi yang mengejarnya.
”Waduh.. ini bocah.. lagi kecil mah, bangoor-nya bukan maen.. segala radio pernah dibakar...”
Ines tersenyum mendengar cerita bokap tentang gua.
Kemudian sore itu, Ines, Ika dan Ardhi duduk menikmati teh sambil menyimak cerita masa kecil gua yang dikisahkan oleh bokap dan nyokap. Sedangkan gua, saat ini sibuk menyuapi sambil mengejar-ngejar Fatih yang tengah sibuk berlarian kesana kemari di jalan depan rumah.
Malam harinya bokap, nyokap, ika dan ardhi pulang. Ines menghampiri gua yang tengah menggendong Fatih yang sepertinya kelelahan setelah seharian nggak henti-hentinya bermain.
”Aku bayangin kamu waktu kecil kayak gimana ya..?”
”Ya kayak dia..”
Sambil menunjuk Fatih yang masih dalam gendongan gua.
”Ayaah...”
Ines menggelendot manja di tangan sebelah kiri gua, sedangkan tangan kanan gua masih menggendong Fatih.
”Apa sih, jangan gelendotan ah.. ntar anaknya jatoh nih..”
”Kamu kalo sabtu minggu nggak usah kemana-mana ya...”
”Iya...”
”Kita hari biasa udah jarang ketemu karena kerja, hari libur kamu ’nyamping’ melulu, kapan ada waktunya buat keluarga..”
”Iya..”
”Jangan Cuma iya-iya aja dong..”
”Ya aku harus jawab apa?”
”...”
Gua berjalan masuk kedalam kamar, merebahkan Fatih yang sekarang sudah tertidur kemudian menciuminya sebentar. Setelahnya gua kembali ke ruang tengah, dimana Ines tengah berbaring disofa memandang layar tivi yang mati.
Gua duduk dilantai membelakangi Ines sambil menekan tombol pada remote, menyalakan tivi. Ines meraih tangan gua;
”Jangan dinyalain tivi-nya..”
Gua kembali menekan tombol power, pettt.. tivi mati, ruangan kembali remang-remang.
”Ngapain malah tiduran diluar?”
”.....”
”Kalo kamu tidur disini ntar anaknya sama siapa? aku ke kamar ya..?”
”Ish.. jangan!!” Ines melotot.
”Pokoknya kamu disini aja sampe aku tidur, ntar kalo aku udah tidur kamu pindahin aku kekamar”
”.....”
Lima belas menit berlalu, gua Cuma bengong membelakangi Ines menghadap tivi yang nggak nyala. Posisi yang sama dengan sewaktu Ines ketakutan akan petir saat masih di Leeds, saat itu dalam posisi yang sama seperti ini; Ines berbaring di sofa, gua duduk membelakangi dia menghadap tivi. Waktu itu dia bercerita tentang mantan tunangannya; Johan.
Gua terdiam, terhenyak dan larut dalam lamunan masa lalu itu. Dulu gua pernah mengutuki keputusan Ines yang seperti menyia-nyiakan keluarga dan sahabatnya demi Johan yang akhirnya malah ’membuang’nya ke jalanan. Tapi disisi lain, gua akhirnya sadar, tanpa kejadian itu Gua nggak bakal bisa berada disini, disampingnya, menjadi suaminya, menjadi ayah dari anaknya.
Gua memalingkan wajah, gua berfikir kalau dia sudah tertidur, tapi ternyata Ines malah masih terjaga, berbaring berbantalkan lengannya tersenyum ke arah gua;
”Kamu pasti keinget waktu di Leeds kan? Posisinya sama seperti ini lho..”
Ines bertanya, gua hanya mengangguk sambil tersenyum.
”Yaah..”
”Ya..”
”Bener ya kata orang kalo cinta itu nggak kenal usia, nggak kenal tempat dan nggak kenal waktu..”
”Kok?”
”Buktinya, kita.. kamu entah dibelahan dunia mana, dan ketemu sama aku.. trus kamu jatuh cinta sama aku deh..:
”Eh.. nggak kebalik? Kamu kali yang jatuh cinta sama aku..”
”Yeee...”
”Nes.. aku sayang sama kamu..”
”Hah..tumbeen..”
Gua Cuma tersenyum memandangi perempuan berkulit hitam manis berwajah mungil dengan rambut sebahu, wajah yang dulu (bahkan sampai sekarang) selalu berhasil mempesona gua. Wajah perempuan yang sering gua ungkapkan sebelum-sebelumnya, perempuan berhati baja yang manja. Gua mengusap pipinya dengan punggung tangan, dia balas tersenyum, meraih tangan gua dan menggenggamnya;
”So Do I...”
”Really?”
”Kamu tau nggak kenapa aku sayang sama kamu?”
”Karena aku bego...”
Ines menggeleng, kemudian berkata;
”I Love you because when I needed a place to hang my heart, you were there to wear it from the start, and with every breath of me, you really the only light I see...”
Gua tersenyum mengecup keningnya kemudian berbisik ;
”Itu kata-kata aku..”
---
EPILOGUE
Gua duduk dihadapan laptop dimeja dapur, menghisap dalam-dalam marlboro light sambil ditemani secangkir kopi, mencoba memulai lagi hobi kecil yang dulu sempat padam, kini dengan sedikit hembusan motivasi, mencoba ’membakar’ kembali semangat itu. Gua memandang kursor berkedip pada layar laptop yang menampilkan sebuah aplikasi pengolah kata, kemudian mulai menulis....
Backsound


Come and hold my hand
I wanna contact the living
Not sure I understand
This role I've been given
I sit and talk to God
And he just laughs at my plans
My head speaks a language
I don't understand
I just wanna feel
Real love feel the home that I live in
Cos I got too much life
Running through my veins
Going to waste
I don't wanna die
But I ain't keen on living either
Before I fall in love
I'm preparing to leave her
Scare myself to death
That's why I keep on running
Before I've arrived
I can see myself coming
I just wanna feel
Real love feel the home that I live in
Cos I got too much life
Running through my veins
Going to waste
And I need to feel
Real love and the love ever after
I can not get enough
I just wanna feel
Real love feel the home that I live in
I got too much love
Running through my veins
To go to waste
I just wanna feel
Real love and the love ever after
There's a hole in my soul
You can see it in my face
It's a real big place
Come and hold my hand
I wanna contact the living
Not sure I understand
This role I've been given
Not sure I understand


Come and hold my hand
I wanna contact the living
Not sure I understand
This role I've been given
I sit and talk to God
And he just laughs at my plans
My head speaks a language
I don't understand
I just wanna feel
Real love feel the home that I live in
Cos I got too much life
Running through my veins
Going to waste
I don't wanna die
But I ain't keen on living either
Before I fall in love
I'm preparing to leave her
Scare myself to death
That's why I keep on running
Before I've arrived
I can see myself coming
I just wanna feel
Real love feel the home that I live in
Cos I got too much life
Running through my veins
Going to waste
And I need to feel
Real love and the love ever after
I can not get enough
I just wanna feel
Real love feel the home that I live in
I got too much love
Running through my veins
To go to waste
I just wanna feel
Real love and the love ever after
There's a hole in my soul
You can see it in my face
It's a real big place
Come and hold my hand
I wanna contact the living
Not sure I understand
This role I've been given
Not sure I understand
regmekujo dan 13 lainnya memberi reputasi
14
Kutip
Balas
![Accidentally In Love [True Story]](https://s.kaskus.id/images/2014/04/07/6448808_20140407033338.jpg)