- Beranda
- Stories from the Heart
Accidentally In Love [True Story]
...
TS
robotpintar
Accidentally In Love [True Story]
![Accidentally In Love [True Story]](https://s.kaskus.id/images/2014/02/14/6448808_20140214023854.png)
Spoiler for Cover:
![Accidentally In Love [True Story]](https://s.kaskus.id/images/2014/02/14/6448808_20140214024411.png)
So she said what's the problem baby
What's the problem I don't know
Well maybe I'm in love (love)
Think about it every time
I think about it
Can't stop thinking 'bout it
How much longer will it take to cure this
Just to cure it cause I can't ignore it if it's love (love)
Makes me wanna turn around and face me but I don't know nothing 'bout love
Come on, come on
Turn a little faster
Come on, come on
The world will follow after
Come on, come on
Cause everybody's after love
So I said I'm a snowball running
Running down into the spring that's coming all this love
Melting under blue skies
Belting out sunlight
Shimmering love
Well baby I surrender
To the strawberry ice cream
Never ever end of all this love
Well I didn't mean to do it
But there's no escaping your love
These lines of lightning
Mean we're never alone,
Never alone, no, no
We're accidentally in love
Accidentally in love [x7]
Accidentally I'm In Love
Spoiler for Bagian 1:
#1
Quote:
“Gila lu Bon, roti segitu banyak sayang-sayang bakal empan ikan semua!”
“Emang ngapa? Ikan jaman sekarang mah ogah makan cacing, Meng”
Gua jawab aja sekena-nya, memang niatnya gua bawa roti dari rumah buat bekal pas mancing tapi, gara-gara umpan cacing gua dari tadi nggak disentuh ikan terpaksa gua ganti dengan roti. Siapa tau mujarab.
Nggak seberapa berselang, tali pancing gua bergetar, refleks gua tarik joran sekuatnya dan mendarat dengan mulus seekor ikan yang kurang lebih seukuran telapak tangan.
“Anjritt.. dari tadi dapet sapu-sapu mulu gua!”
Sambil melepas mata kail dari mulut ikan sapu-sapu yang barusan gua angkat dan langsung gua lempar lagi kedalam kali.
Tidak berapa lama, melantun lagu “Time Like This”-nya Foo Fighter dari ponsel gua. Tertera tulisan “Rumah” dilayarnya.
“Kenapa mak?”
Karena memang cuma nyokap gua aja yang selalu telpon melalui telepon rumah. Bokap dan adik gua selalu menggunakan ponsel-nya masing-masing jika ada keperluan.
“Assalamualaikum , Mancing kagak rapi-rapi luh, nih ada kiriman surat buat elu”
“Dari siapa?”
“Kagak tau, bahasanya emak nggak ngerti”
“Simpenin dulu, nih aye udah mau pulang”
“Yaudah buruan, jangan maghriban dijalan, pamali. Assalamualaikum”
“Waalaikumsalam”
Gua kantongin lagi ponsel k-ekantong celana pendek yang sekarang udah kotor campur lumpur, sambil berteriak ke temen gua; Komeng, yang lagi berkutat dengan tali pancingnya yang kusut.
“Meng, ayo balik.. udah sore”
“Belon juga dapet sekilo, udah mau balik aje”
“Yauda elu terusin dah, gua balik duluan”
Komeng menjawab dengan sedikit gumam di bibirnya terdengar seperti “Yaelah..” sambil berjalan gontai menyusul gua.
------
Itu kejadian beberapa tahun yang lalu, dimana gua dan Komeng masih biasa mencari cacing buat umpan ikan di kebun singkong belakang rumahnya Haji Salim dan kemudian pergi memancing disepanjang pinggiran sungai Pesanggrahan, Jakarta.
Sekarang, gua sedang duduk sambil bersandar di sebuah kursi lipat di pinggir danau di daerah Leeds, Inggris. Menghabiskan hari libur akhir musim gugur dengan memancing sambil bernostalgia, mencoba membangkitkan memori tentang memancing, tentang si Komeng, tentang Jakarta, tentang rumah.
Setelah berjam-jam memancing, menghabiskan berkaleng-kaleng ‘Diet Coke’ akhirnya gua memutuskan untuk menyudahi kegiatan sialan ini. Pulang dengan membawa 6 Ekor ikan Yelowtail (di Indonesia disebut ikan patin) dan sedikit kenangan tentang ‘rumah’, gua berjalan gontai menuju tempat dimana sepeda kesayangan gua diparkir, sempat kebingungan awalnya karena sekarang ada banyak sepeda yang diparkir, padahal tadi pagi baru sepeda gua aja yang nongkrong disini, setelah celingak-celinguk akhirnya ketemu juga dan gua mulai mengayuh.
Jarak dari tempat gua biasa mancing ke tempat dimana gua tinggal di Moorland Ave, Leeds kurang lebih 3,5 mil atau kalau dalam satuan Kilometer sekitar 5,5 Km. Jarak segitu kalo disini, di Inggris bisa dibilang ‘deket’, kalau naik sepeda bisa cuma 30 menit.
Oiya, nama gua Boni. Gua lahir dan dibesarkan di Jakarta. Saat ini gua kerja dan tinggal di Leeds, Inggris sekitar 2-3 jam dari London (dengan kereta). Gua kerja sebagai Sound Designer disalah satu Agensi perfilman dan periklanan di Leeds yang juga punya kantor di London. Sudah hampir 4 tahun gua kerja dan tinggal disini, ditempat dimana nggak ada sungai dengan air berwarna cokelat keruh yang banyak ikan sapu-sapunya dan nggak ada teman yang suka menggerutu “Yaelah”.
Sambil mendengarkan “Heaven” nya Lost Lonely Boys lewat headset, gua mengayuh sepeda menuju ke rumah, pulang. Melewati jalan berpasir yang dipenuhi pohon-pohon maple di kedua sisinya menuju jalan utama. Jalan yang sangat sepi dan hening, jam menunjukkan angka 4 sore, menandakan waktu shalat maghrib, di sabtu sore seperti sekarang ini memang didaerah sini sangat sepi, kebanyakan penduduk sekitar sedang ke stadion atau pub-pub untuk menyaksikan Leeds United bertanding. Ingin buru-buru sampai di rumah, karena perut udah mulai keroncongan, gua kayuh sepeda lebih cepat. Sampai kemudian terdengar sayup-sayup suara musik yang makin lama makin nyaring, suara musik RnB yang sepertinya diputar dari dalam mobil dengan volume maksimal. Suara tersebut datang dari arah belakang dan kemudian menyusul gua, sebuah BMW silver yang melaju cepat bahkan boleh dibilang sangat cepat, sambil meninggalkan debu persis seperti mobil yang sedang Rally Dakkar.
“Orang Gila!!” gua mengumpat, masih sambil dengerin coda lagu “Heaven” nya Lost Lonely Boys. Sampai gua melihat beberapa detik kemudian lampu rem BMW tersebut menyala dan kemudian berhenti.
Deg!, “Wuanjrit, sakti juga tuh orang bisa denger suara gua” sambil berhenti dan melepas headset dari telinga. Yang ternyata setelah gua sadar, suara gua nggak sepelan pas pakai headset tadi. Gua nunggu sambil dag dig dug, kalau dia ngerti ucapan gua, dia pasti orang Indonesia dan kalo ternyata bukan gua bakal siap-siap kabur.
Pintu penumpang pun terbuka, terbuka secara paksa tepatnya, sedetik kemudian keluar seseorang dari kursi penumpang, terhuyung dan kemudian terjatuh, terdengar makian dari dalam BMW tersebut mungkin seperti “bitch” atau semacamnya dan sesaat kemudian BMW tersebut pergi, mengasapi orang yang tersungkur itu dengan debu jalanan.
Nggak mau terlalu ambil pusing, sambil bernafas lega dan bilang dalam hati; “untung bukan gua”, gua meneruskan mengayuh sepeda.
“Get up Bro, life is brutal”
gua berkata ke orang itu sambil melewatinya tetap melanjutkan mengayuh. Dan beberapa meter kemudian gua mendengar sebuah teriakan, teriakan yang (pada akhirnya) bakal merubah hidup gua.
“Woii.. Help me!, you’re Indonesian, right?”
“Tolongin gue dong…”
Gua berhenti mengayuh, turun dan bengong. Sudah hampir setahun gua nggak denger secara langsung orang bicara ke gua dengan bahasa Indonesia dan suara perempuan pula.. Lima, ah mungkin sepuluh detik kemudian baru gua memalingkan muka tapi masih tetap bengong.
“Woii..”
Akhirnya gua turun dari sepeda, kemudian menghampiri orang itu. Terduduk di depan gua sosok perempuan, hitam manis dengan kepala tertutup hood jaket hitam, celana jeans dan sepatu model boots sebetis berwarna cokelat.
“Elu nggak apa-apa?”
“Menurut Lo? Kalo gue gak apa-apa, ngapain gua teriak minta tolong elu!!”
Gua nggak menjawab, berusaha membantu dia berdiri sambil bertanya lagi bagaimana keadaannya. Sekali lagi dia mengumpat;
“Gila!, nggak punya hati banget sih lu!, ya jelas lah gue kenapa-kenapa.. nih liat!”
Sambil memperlihatkan telapak tangan dan siku-nya yang luka dan kemudian menyibak celana jeans-nya yang kotor terkena debu dan sobek di beberapa bagian akibat terlempar dari mobil tadi. Sesaat baru dia sadar kalau lutut kanannya juga luka sambil meringis kesakitan dia mencoba membersihkan luka tersebut dengan air liurnya. Sangat Indonesia sekali.
“Gua pikir tadi orang mabok yang lagi berantem, disini mah biasa begitu,mbak!”
Kemudia gua kasih satu-satunya ‘Diet Coke’ sisa memancing tadi, harusnya sih air putih tapi Cuma itu yang gua punya sekarang. Sambil menggerutu karena dikasih ‘Diet Coke’ daripada air putih, diminum juga tuh minuman soda. Kemudian gua menawarkan diri buat mengantar dia ke sebuah toko kecil di ujung jalan ini, untuk membeli plester untuk membalut luka-nya.
“Jauh nggak?”
Dia bertanya sambil menurunkan hood jaketnya dan menyibak rambutnya yang pendek seleher. Kemudian terlihat jelas sebuah luka lebam di sudut mata sebelah kiri-nya, tidak, bukan cuma satu, setidaknya ada 3 luka lebam, selain disudut matanya, satu lagi di dahi sebelah kiri dan satu lagi di sudut bibir sebelah kanan, yang terakhir tampak seperti luka yang baru karena masih meninggalkan sisa bekas darah yang membeku.
Gua nggak berani bertanya, gua hindari menatap kewajahnya sambil menjawab pertanyaa-nya bahwa tokonya nggak begitu jauh dari sini, sambil menunjuk ke arah jalan utama.
---
“Emang ngapa? Ikan jaman sekarang mah ogah makan cacing, Meng”
Gua jawab aja sekena-nya, memang niatnya gua bawa roti dari rumah buat bekal pas mancing tapi, gara-gara umpan cacing gua dari tadi nggak disentuh ikan terpaksa gua ganti dengan roti. Siapa tau mujarab.
Nggak seberapa berselang, tali pancing gua bergetar, refleks gua tarik joran sekuatnya dan mendarat dengan mulus seekor ikan yang kurang lebih seukuran telapak tangan.
“Anjritt.. dari tadi dapet sapu-sapu mulu gua!”
Sambil melepas mata kail dari mulut ikan sapu-sapu yang barusan gua angkat dan langsung gua lempar lagi kedalam kali.
Tidak berapa lama, melantun lagu “Time Like This”-nya Foo Fighter dari ponsel gua. Tertera tulisan “Rumah” dilayarnya.
“Kenapa mak?”
Karena memang cuma nyokap gua aja yang selalu telpon melalui telepon rumah. Bokap dan adik gua selalu menggunakan ponsel-nya masing-masing jika ada keperluan.
“Assalamualaikum , Mancing kagak rapi-rapi luh, nih ada kiriman surat buat elu”
“Dari siapa?”
“Kagak tau, bahasanya emak nggak ngerti”
“Simpenin dulu, nih aye udah mau pulang”
“Yaudah buruan, jangan maghriban dijalan, pamali. Assalamualaikum”
“Waalaikumsalam”
Gua kantongin lagi ponsel k-ekantong celana pendek yang sekarang udah kotor campur lumpur, sambil berteriak ke temen gua; Komeng, yang lagi berkutat dengan tali pancingnya yang kusut.
“Meng, ayo balik.. udah sore”
“Belon juga dapet sekilo, udah mau balik aje”
“Yauda elu terusin dah, gua balik duluan”
Komeng menjawab dengan sedikit gumam di bibirnya terdengar seperti “Yaelah..” sambil berjalan gontai menyusul gua.
------
Itu kejadian beberapa tahun yang lalu, dimana gua dan Komeng masih biasa mencari cacing buat umpan ikan di kebun singkong belakang rumahnya Haji Salim dan kemudian pergi memancing disepanjang pinggiran sungai Pesanggrahan, Jakarta.
Sekarang, gua sedang duduk sambil bersandar di sebuah kursi lipat di pinggir danau di daerah Leeds, Inggris. Menghabiskan hari libur akhir musim gugur dengan memancing sambil bernostalgia, mencoba membangkitkan memori tentang memancing, tentang si Komeng, tentang Jakarta, tentang rumah.
Setelah berjam-jam memancing, menghabiskan berkaleng-kaleng ‘Diet Coke’ akhirnya gua memutuskan untuk menyudahi kegiatan sialan ini. Pulang dengan membawa 6 Ekor ikan Yelowtail (di Indonesia disebut ikan patin) dan sedikit kenangan tentang ‘rumah’, gua berjalan gontai menuju tempat dimana sepeda kesayangan gua diparkir, sempat kebingungan awalnya karena sekarang ada banyak sepeda yang diparkir, padahal tadi pagi baru sepeda gua aja yang nongkrong disini, setelah celingak-celinguk akhirnya ketemu juga dan gua mulai mengayuh.
Jarak dari tempat gua biasa mancing ke tempat dimana gua tinggal di Moorland Ave, Leeds kurang lebih 3,5 mil atau kalau dalam satuan Kilometer sekitar 5,5 Km. Jarak segitu kalo disini, di Inggris bisa dibilang ‘deket’, kalau naik sepeda bisa cuma 30 menit.
Oiya, nama gua Boni. Gua lahir dan dibesarkan di Jakarta. Saat ini gua kerja dan tinggal di Leeds, Inggris sekitar 2-3 jam dari London (dengan kereta). Gua kerja sebagai Sound Designer disalah satu Agensi perfilman dan periklanan di Leeds yang juga punya kantor di London. Sudah hampir 4 tahun gua kerja dan tinggal disini, ditempat dimana nggak ada sungai dengan air berwarna cokelat keruh yang banyak ikan sapu-sapunya dan nggak ada teman yang suka menggerutu “Yaelah”.
Sambil mendengarkan “Heaven” nya Lost Lonely Boys lewat headset, gua mengayuh sepeda menuju ke rumah, pulang. Melewati jalan berpasir yang dipenuhi pohon-pohon maple di kedua sisinya menuju jalan utama. Jalan yang sangat sepi dan hening, jam menunjukkan angka 4 sore, menandakan waktu shalat maghrib, di sabtu sore seperti sekarang ini memang didaerah sini sangat sepi, kebanyakan penduduk sekitar sedang ke stadion atau pub-pub untuk menyaksikan Leeds United bertanding. Ingin buru-buru sampai di rumah, karena perut udah mulai keroncongan, gua kayuh sepeda lebih cepat. Sampai kemudian terdengar sayup-sayup suara musik yang makin lama makin nyaring, suara musik RnB yang sepertinya diputar dari dalam mobil dengan volume maksimal. Suara tersebut datang dari arah belakang dan kemudian menyusul gua, sebuah BMW silver yang melaju cepat bahkan boleh dibilang sangat cepat, sambil meninggalkan debu persis seperti mobil yang sedang Rally Dakkar.
“Orang Gila!!” gua mengumpat, masih sambil dengerin coda lagu “Heaven” nya Lost Lonely Boys. Sampai gua melihat beberapa detik kemudian lampu rem BMW tersebut menyala dan kemudian berhenti.
Deg!, “Wuanjrit, sakti juga tuh orang bisa denger suara gua” sambil berhenti dan melepas headset dari telinga. Yang ternyata setelah gua sadar, suara gua nggak sepelan pas pakai headset tadi. Gua nunggu sambil dag dig dug, kalau dia ngerti ucapan gua, dia pasti orang Indonesia dan kalo ternyata bukan gua bakal siap-siap kabur.
Pintu penumpang pun terbuka, terbuka secara paksa tepatnya, sedetik kemudian keluar seseorang dari kursi penumpang, terhuyung dan kemudian terjatuh, terdengar makian dari dalam BMW tersebut mungkin seperti “bitch” atau semacamnya dan sesaat kemudian BMW tersebut pergi, mengasapi orang yang tersungkur itu dengan debu jalanan.
Nggak mau terlalu ambil pusing, sambil bernafas lega dan bilang dalam hati; “untung bukan gua”, gua meneruskan mengayuh sepeda.
“Get up Bro, life is brutal”
gua berkata ke orang itu sambil melewatinya tetap melanjutkan mengayuh. Dan beberapa meter kemudian gua mendengar sebuah teriakan, teriakan yang (pada akhirnya) bakal merubah hidup gua.
“Woii.. Help me!, you’re Indonesian, right?”
“Tolongin gue dong…”
Gua berhenti mengayuh, turun dan bengong. Sudah hampir setahun gua nggak denger secara langsung orang bicara ke gua dengan bahasa Indonesia dan suara perempuan pula.. Lima, ah mungkin sepuluh detik kemudian baru gua memalingkan muka tapi masih tetap bengong.
“Woii..”
Akhirnya gua turun dari sepeda, kemudian menghampiri orang itu. Terduduk di depan gua sosok perempuan, hitam manis dengan kepala tertutup hood jaket hitam, celana jeans dan sepatu model boots sebetis berwarna cokelat.
“Elu nggak apa-apa?”
“Menurut Lo? Kalo gue gak apa-apa, ngapain gua teriak minta tolong elu!!”
Gua nggak menjawab, berusaha membantu dia berdiri sambil bertanya lagi bagaimana keadaannya. Sekali lagi dia mengumpat;
“Gila!, nggak punya hati banget sih lu!, ya jelas lah gue kenapa-kenapa.. nih liat!”
Sambil memperlihatkan telapak tangan dan siku-nya yang luka dan kemudian menyibak celana jeans-nya yang kotor terkena debu dan sobek di beberapa bagian akibat terlempar dari mobil tadi. Sesaat baru dia sadar kalau lutut kanannya juga luka sambil meringis kesakitan dia mencoba membersihkan luka tersebut dengan air liurnya. Sangat Indonesia sekali.
“Gua pikir tadi orang mabok yang lagi berantem, disini mah biasa begitu,mbak!”
Kemudia gua kasih satu-satunya ‘Diet Coke’ sisa memancing tadi, harusnya sih air putih tapi Cuma itu yang gua punya sekarang. Sambil menggerutu karena dikasih ‘Diet Coke’ daripada air putih, diminum juga tuh minuman soda. Kemudian gua menawarkan diri buat mengantar dia ke sebuah toko kecil di ujung jalan ini, untuk membeli plester untuk membalut luka-nya.
“Jauh nggak?”
Dia bertanya sambil menurunkan hood jaketnya dan menyibak rambutnya yang pendek seleher. Kemudian terlihat jelas sebuah luka lebam di sudut mata sebelah kiri-nya, tidak, bukan cuma satu, setidaknya ada 3 luka lebam, selain disudut matanya, satu lagi di dahi sebelah kiri dan satu lagi di sudut bibir sebelah kanan, yang terakhir tampak seperti luka yang baru karena masih meninggalkan sisa bekas darah yang membeku.
Gua nggak berani bertanya, gua hindari menatap kewajahnya sambil menjawab pertanyaa-nya bahwa tokonya nggak begitu jauh dari sini, sambil menunjuk ke arah jalan utama.
---
DAFTAR ISI
Quote:
CHAPTER 1
#1 The Beginning
#2 Truly Gentlemen
#3 Place Called Home
#4 The Morning Fever
#5 A Miserable Story
#6 Night Rain
#7 Inside My Head
#8 That Day
#9 Be Tough
#10 Mukena
#1 The Beginning
#2 Truly Gentlemen
#3 Place Called Home
#4 The Morning Fever
#5 A Miserable Story
#6 Night Rain
#7 Inside My Head
#8 That Day
#9 Be Tough
#10 Mukena
Quote:
CHAPTER 2
#11-A Trip To Manchester
#11-B The Swiss Army
#12 Here's and Back Again
#13 I Miss You So Bad
#14 Going Mad
#15 Promise
#16 You’ll Be The Only Light I See
#17 The Winter Tears
#18 She's Gone
#19 That Memories
#11-A Trip To Manchester
#11-B The Swiss Army
#12 Here's and Back Again
#13 I Miss You So Bad
#14 Going Mad
#15 Promise
#16 You’ll Be The Only Light I See
#17 The Winter Tears
#18 She's Gone
#19 That Memories
Quote:
CHAPTER 3
[URL="http://www.kaskus.co.id/show_post/530ff7e41acb17030d8b48f1/479/- "]#19-A The Hood[/URL]
#19-B Heres And Back Again II
#19-C Weak
#19-D Surrender
#19-E The Choice
#19-F Anything For You
#19-G Chelsea Number 8
#19-H Its not always about gold and glory
#19-I Aku
#19-J The Words
#19-K The Persian Cat
#19-L You Really The Only Light I See
#19-M So Be It
#19-N Less Than Perfect
#20 That Day II
[URL="http://www.kaskus.co.id/show_post/530ff7e41acb17030d8b48f1/479/- "]#19-A The Hood[/URL]
#19-B Heres And Back Again II
#19-C Weak
#19-D Surrender
#19-E The Choice
#19-F Anything For You
#19-G Chelsea Number 8
#19-H Its not always about gold and glory
#19-I Aku
#19-J The Words
#19-K The Persian Cat
#19-L You Really The Only Light I See
#19-M So Be It
#19-N Less Than Perfect
#20 That Day II
Quote:
CHAPTER 4 The Prekuel
#21 The Prologue
#22 My Precious
#23 Ticket to Ride
#24 Singapore
#25 Dreams
#26 The Awkward Moment
#27 Logic
#28 Driver In Life
#29 The Risk Taker
#30 Sorry
#31 Rise Again
#32 Goodbye
#21 The Prologue
#22 My Precious
#23 Ticket to Ride
#24 Singapore
#25 Dreams
#26 The Awkward Moment
#27 Logic
#28 Driver In Life
#29 The Risk Taker
#30 Sorry
#31 Rise Again
#32 Goodbye
Quote:
CHAPTER 5!!
#33 London
#34 Unwell
#35 I Was Here
#36 Leeds
#37 New Home, New Life
#38 Alone
#39 Intermezo
#40 Goin' Trough
#41 At Glance
#42 The Past of The Future
#33 London
#34 Unwell
#35 I Was Here
#36 Leeds
#37 New Home, New Life
#38 Alone
#39 Intermezo
#40 Goin' Trough
#41 At Glance
#42 The Past of The Future
Quote:
CHAPTER 6
#43 My First ...
#44 If Lovin' You ...
#45 Goin' Back
#46 Leeds II
#47 I Love You (Jealousy)
#48 After All
#49 Hell Yeah
#50 Conflict
#51 Liar-Liar
#52 Memories
#43 My First ...
#44 If Lovin' You ...
#45 Goin' Back
#46 Leeds II
#47 I Love You (Jealousy)
#48 After All
#49 Hell Yeah
#50 Conflict
#51 Liar-Liar
#52 Memories
Quote:
Quote:
Diubah oleh robotpintar 10-04-2014 08:46
namakuag dan 119 lainnya memberi reputasi
118
1.3M
Kutip
2.3K
Balasan
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#1796
Spoiler for Bagian Ke Lima Puluh Satu:
#51 Liar-Liar
Quote:
”Aku punya waktu semalaman untuk denger penjelasan kamu tentang Resti atau...”
”Atau apa?”
”... kamu kasih ke aku nomor hape cewek yang namanya Resti, biar aku yang tanya langsung ke dia..what you say?
Ines duduk disebelah gua sambil menyilangkan tangannya.
”Kamu apaan sih nes..”
”Lho.. aku kan minta penjelasan, emang nggak boleh? Kalo nggak mau jelasin aku minta nomor hape-nya biar aku cari tau sendiri, nggak susah kan..”
”Nggak ada yang bisa dijelasin dan aku nggak punya nomor hape-nya..”
”Bullsh*t... ”
Gua berdiri, membuka pintu, keluar dari kamar dan duduk di meja makan. Ines menyusul, menarik kursi dan duduk disebelah gua.
”Mau sampe kapan kamu ngumpetin cerita tentang cewek itu ke aku, bohong tentang hubungan masa lalu kamu ke aku..?
”...”
”... sedangkan aku, nggak pernah nutup-nutupin masa lalu aku...”
”...”
”... sejak awal aku emang udah curiga sama kamu, kok bisa-bisa-nya jaman sekarang ada cowok kayak kamu nggak pernah pacaran...”
”...”
”... aku nggak bakal marah bon, sama sekali enggak!, aku Cuma mau tau aja tentang cewek itu.., ya walaupun mungkin setelah mendengar penjelasan dari kamu nanti aku bakal sedikit kecewa..”
”Sssttt...”
Gua meletakkan jari telunjuk diatas mulut, memberikan isyarat agar Ines sedikit memelankan volume suaranya, kemudian gua menatap matanya yang saat ini mulai basah.
”Nes.. kamu percaya nggak sama aku?”
Gua bertanya sambil mencoba memegang tangannya, Ines menarik kedua tangannya dari atas meja, menghindar dari gua.
”Nes.. kamu percaya nggak sama aku?”
Gua bertanya untuk yang kedua kalinya.
”Untuk hal yang satu ini, susah buat aku percaya sama kamu.. Cuma untuk hal yang satu ini...”
”Aku.. bener-bener nggak ada apa-apa sama cewek yang namanya Resti itu, oke.. dulu kita sempet deket, dan kedeketan itu Cuma sebatas teman, thats it.. nggak lebih, nggak kurang..”
”Masa?”
Ines bertanya, tersenyum sambil menyatukan kedua tangan, menopang dagunya, memandang ke arah gua dengan sebuah senyuman yang menakutkan.
”Kamu mau jawaban yang pengen kamu denger atau jawaban yang harus aku katakan?”
”Yang sejujur-jujurnya..”
”Ya itulah yang sejujurnya..aku, resti, temen..”
”Boleh aku minta nomor hape-nya...”
Ines mengeluarkan ponsel dari saku baju tidurnya.
”Aku nggak punya...”
”Bohong!”
”Bener neess... aku udah nggak punya nomernya...”
Ines meletakkan ponsel pintarnya diatas meja makan, sesaat kemudian terdengar musik dari ponsel tersebut. Gua mengenali intro-nya, lagu dari The Used;
Liar, liar, pants on fire
And the pills go down and get you higher
Baby bottle's burning, motherfucker
And the mother hates him like the daughter
Only god and maker gripping tighter
Saying you will burn in hell, they say
You will burn in hell...
Lantunan lagu Liar-liar (Burn In Hell) menggema.
Gua mengambil ponsel tersebut, mematikan musik playernya dan meletakkanya diatas meja, gua memandangi wallpaper ponsel Ines yang memajang foto gua dan fatih yang saat itu tengah berpose ’nyengir’ kuda.
”Nes.. kamu udah lupa, gimana aku waktu pertama kali ketemu sama kamu?”
”Nggak.. aku nggak bakalan lupa..”
”Gimana aku pada waktu itu menghadapi kamu?”
”Cuek dan ... apa ya.. ngeselin..”
”Dan pada akhirnya...”
”.....”
”... Aku sekarang ada disini, duduk sama kamu, ninggalin semua yang sudah aku punya di Leeds buat kamu, apakah itu nggak berarti buat kamu? Apakah apa yang udah aku lakuin buat kamu terus ancur gara-gara kecurigaan kamu ke aku..?”
”Tapi aku punya alesan untuk curiga..”
”Dan aku udah kasih kamu penjelasan, kalau resti Cuma temen, kamu mau jawaban apa? Kamu mau aku jawab ’iya resti dulu pacar aku’, gitu?”
”...”
”...Kamu mau aku harus gimana supaya kamu puas dengan penjelasan aku, mau periksa hape aku, mau cek imel aku, apa yang bisa aku kasih ke kamu...?”
”...”
”... dan satu lagi nes, aku nggak suka kamu tanya-tanya tentang masa lalu aku sama orang lain, kalo kamu punya pertanyaan, tanya sama aku...”
”Tapi.. kalo kamu nggak mau jawab gimana?”
”At least you try...”
”Ya nggak bisa dong..”
”Ya jelas bisa!, sangat bisa! Sekarang kamu mau aku gimana?”
”...”
”KAMU MAU AKU GIMANA?”
Ines Cuma menunduk sambil menggeleng menyaksikan perubahan emosi dalam diri gua, tanpa sadar saat ini gua tengan berdiri sambil menggenggam ponsel Ines mengangkatnya, hendak membanting-nya.
Gua mengucap istigfar kemudian, meletakkan ponsel di atas meja, berjalan menuju ke teras. Gua membuka pintu rumah dan duduk di kursi teras, terdengar dari dalam suara isak tangis Ines dan pintu kamar yang menutup.
Sejak menasbihkan cinta terhadap Ines, gua tau saat ini akan datang, saat dimana gua harus menjelaskan perihal Resti kepadanya, penjelasan yang bukan sekedar kata ’teman’. Iya memang hubungan gua dan resti hanya sebatas itu, tapi penjelasan singkat tentang ’pertemanan’ tersebut nggak memuaskan Ines dan gua sadar akan hal itu, gua terlalu egois untuk berbesar hati mengisahkan semuanya. Setelah mengumpulkan keberanian dan mempersiapkan diri, gua bergegas masuk untuk menceritakan semuanya, ya.. semuanya ke Ines, gua akan menghabiskan malam ini untuk berkisah tentang Resti ke Ines.
Gua memutar gagang pintu kamar, cklek..tidak bisa terbuka, sepertinya terkunci dari dalam. Gua menghela nafas panjang dan menuju ke sofa ruang tamu, merebahkan diri diatasnya. Sepertinya sudah digariskan hari ini gua nggak bisa menjelaskan semuanya ke Ines. Sambil berusaha memejamkan mata gua mengucap janji didalam hati; suatu saat nanti nes, aku akan cerita, kamu akan tau semuanya, sementara ini biarkan aku berfikir bagaimana caranya, menceritakan ke kamu.. someday you’ll know.
---
Keesokan paginya, Ines menyiapkan sarapan tanpa bersuara dan mata yang masih sembab. Gua sengaja nggak mengajaknya bicara, biarlah emosi gua, emosi Ines, emosi kita berdua reda terlebih dahulu baru setelah itu gua akan mengajaknya bicara. Setelah selesai mempersiapkan semua; sarapan, ASI yang diletakkan dalam botol dikulkas, dia menciumi Fatih yang masih tertidur kemudian menghampiri gua yang tengah duduk di kursi meja makan, dia meraih tangan kanan gua dan menciumnya, Cuma satu kalimat terlontar dari bibirnya yang sengaja dipasang manyun; ”Aku berangkat dulu, Assalamualaikum..”
Gua memandangi Ines yang berjalan perlahan meninggalkan rumah, menjawab lirih; ”Waalaikumsalam, ati-ati...”
Beberapa hari sejak kejadian itu, Ines masih terlihat murung. Sesekali dia sudah mau berbicara kepada gua walaupun kalimat yang dikeluarkannya terbatas, beberapa kali gua mencoba mencairkan suasana dengan bercanda atau sekedar mencolek hidung-nya, tapi dia nggak menggubrisnya, hanya berkata ;”Diem ah, aku lagi males ngomong..”
Terakhir kali Ines bertingkah seperti itu adalah saat gua membeli konsol game PS3 tanpa berkonsultasi terlebih dulu kepadanya. Itupun durasi marahnya Cuma dua hari dan sekarang sudah masuk hari ke empat dalam ’event’ marah perihal ’Resti’.
”Nes..”
”...”
”Sampe kapan kamu mau diem kayak gitu?”
”...”
”Ines..”
”Ya..”
”Sampe kapan kamu mau diem kayak gitu?”
”Sampe aku rasa ’diem’-nya aku bisa ngobatin semua kecewa disini..”
Ines menjawab sambil menunjuk ke arah ulu hati-nya.
”Maapin aku ya..”
”Minta maaf untuk apa? Selama ini kan kamu ngerasa paling bener, paling powerfull, paling dominan.. buat apa minta maaf..kalo didalam hati kamu nggak tulus, itu juga kalo kamu punya ’hati’..”
Gua menggaruk-garuk kepala, bingung harus ngomong apa lagi.
”Yaudah.. aku ceritain ya semua tentang Resti..”
”Nggak perlu!..”
”Terus, aku harus gimana supaya kamu nggak marah lagi?”
”Lho.. aku nggak marah..”
”Tapi udah berhari-hari kamu diem aja, apa namanya kalo nggak marah?”
”Diem bukan berarti marah...”
”Ya terus artinya apaa?”
”Pikir aja sendiri...”
Gua kembali menggaruk-garuk kepala, kali ini ditambah mengusap-usap wajah sambil menghela nafas panjang dan berdiri meninggalkan Ines yang tengah berbaring diatas kasur sambil menemani Fatih.
Malamnya, gua merasakan ada yang mengguncang-guncang pundak gua, gua menoleh dan melihat Ines yang memasang tampang panik sambil terus mengguncang-guncang pundak;
”Ayaah.. banguun.. dedek badannya panas banget...”
Mendengarnya, tengkuk gua seakan panas terbakar, gua buru-buru bangun, naik ke atas kasur dan menyentuh dahi fatih dengan punggung tangan, Panas.
Gua berdiri, mengambil dompet dan ponsel;
”Pakein jaket sama kaos kaki tuh anaknya...”
Beberapa jam berikutnya gua sudah berada di salah satu rumah sakit Ibu dan Anak didaerah kukusan, Depok.
Dari diagnosa dokter, Fatih mengalami demam tinggi yang diakibatkan oleh infeksi, bakteri atau virus. Dokter mengatakan, Sejauh ini tidak ada yang perlu dikhawatirkan, orang tua hanya butuh pengetahuan tentang tentang Demam dan penanganan-nya. Ines masih menangis sesenggukan di bahu gua sambil menggendong Fatih yang saat ini tertidur pulas setelah diberi obat penurun panas dan antibiotik.
”Anak pertama ya bunda?”
”I..i..i ya dok..”
Ines menjawab masih sambil sesenggukan.
”Iya nggak apa-apa.. panasnya masih normal, nanti resepnya ditebus ya..”
Dokter menyodorkan kertas resep, gua meraihnya.
”Punya termometer nggak dirumah mas?”
Sebelum menjawab, gua memandang ke arah Ines. Dia menggeleng.
”Nggak punya dok..”
”Yasudah nanti, di apotik beli sekalian ya termometernya, jadi next time kalau ada keluhan demam jangan Cuma diraba dengan tangan saja, lebih baik pake termometer; kalau suhu lebih dari 37,5 derajat buru-buru dibawa kesini..”
”Iya dok..”
Gua menjawab sambil mengeluarkan ponsel, mencatat apa yang baru dikatakan dokter barusan.
”Masih ASI kan, dedek Fatihnya?”
”Alhamdulillah masih dok..”
Gua menjawab.
”Ayah sama bundanya kerja?”
”Iya dok..”
”Wah hebat yah, bundanya.. bisa kasih ASI sambil kerja..”
Gua tersenyum mendengar pujian si Dokter kemudian berpaling ke Ines yang sekarang tangisnya mulai reda.
Setelah menyelesaikan proses administrasi dan menebus obat di apotik, kami pun bergegar pulang. Didalam mobil Ines sambil memeluk Fatih yang tertidur dipangkuannya, menggenggam tangan gua;
”Ayah..”
Gua menoleh ke arah Ines, tumben saat Fatih sudah tidur dia memanggil gua dengan sebutan itu. Gua Cuma dipanggil dengan sebutan ’ayah’ saat tengah berkumpul bertiga, begitu juga gua saat memanggil Ines, jika ada Fatih atau Fatih belum tidur, gua memanggil Ines dengan sebutan Mami.
”Ya..”
”Maafin aku ya..”
”Lho kok jadi kamu yang sekarang minta maaf?”
”Nggak.. kok aku ngerasa kayak kualat ya sama kamu, diemin kamu berhari-hari..mau kan maafin aku?”
”Iya, aku juga..”
”Juga apa?”
”Minta maaf..”
”Bisa nggak ngomongnya lengkap?”
”Aku juga minta maaf ya nes...”
”Iya.. ayaaah..”
Malam itu kami sama-sama tersenyum menembus tengah malam kota Depok. Fatih justru menjadi penyelamat dalam pertengkaran mami dan ayahnya.
Gua tersenyum sambil memandang dua malaikat yang duduk dikursi disebelah gua, dua malaikat yang selalu memenuhi hari-hari gua dengan warna.
Saat mobil mulai berbelok masuk kedalam garasi rumah, Ines menatap gua dan berkata;
”Oiya aku masih penasaran sama cewek itu lho..”
Dia tersenyum, mengerlingkan mata seraya keluar dari mobil sambil menggendong fatih.
Gua membalas senyumnya, kemudian menjawab dalam hati;
”Iya suatu hari nanti kamu akan tau semuanya..tapi bukan dari aku, bukan dari heru, bukan dari siapa-siapa..”
”Atau apa?”
”... kamu kasih ke aku nomor hape cewek yang namanya Resti, biar aku yang tanya langsung ke dia..what you say?
Ines duduk disebelah gua sambil menyilangkan tangannya.
”Kamu apaan sih nes..”
”Lho.. aku kan minta penjelasan, emang nggak boleh? Kalo nggak mau jelasin aku minta nomor hape-nya biar aku cari tau sendiri, nggak susah kan..”
”Nggak ada yang bisa dijelasin dan aku nggak punya nomor hape-nya..”
”Bullsh*t... ”
Gua berdiri, membuka pintu, keluar dari kamar dan duduk di meja makan. Ines menyusul, menarik kursi dan duduk disebelah gua.
”Mau sampe kapan kamu ngumpetin cerita tentang cewek itu ke aku, bohong tentang hubungan masa lalu kamu ke aku..?
”...”
”... sedangkan aku, nggak pernah nutup-nutupin masa lalu aku...”
”...”
”... sejak awal aku emang udah curiga sama kamu, kok bisa-bisa-nya jaman sekarang ada cowok kayak kamu nggak pernah pacaran...”
”...”
”... aku nggak bakal marah bon, sama sekali enggak!, aku Cuma mau tau aja tentang cewek itu.., ya walaupun mungkin setelah mendengar penjelasan dari kamu nanti aku bakal sedikit kecewa..”
”Sssttt...”
Gua meletakkan jari telunjuk diatas mulut, memberikan isyarat agar Ines sedikit memelankan volume suaranya, kemudian gua menatap matanya yang saat ini mulai basah.
”Nes.. kamu percaya nggak sama aku?”
Gua bertanya sambil mencoba memegang tangannya, Ines menarik kedua tangannya dari atas meja, menghindar dari gua.
”Nes.. kamu percaya nggak sama aku?”
Gua bertanya untuk yang kedua kalinya.
”Untuk hal yang satu ini, susah buat aku percaya sama kamu.. Cuma untuk hal yang satu ini...”
”Aku.. bener-bener nggak ada apa-apa sama cewek yang namanya Resti itu, oke.. dulu kita sempet deket, dan kedeketan itu Cuma sebatas teman, thats it.. nggak lebih, nggak kurang..”
”Masa?”
Ines bertanya, tersenyum sambil menyatukan kedua tangan, menopang dagunya, memandang ke arah gua dengan sebuah senyuman yang menakutkan.
”Kamu mau jawaban yang pengen kamu denger atau jawaban yang harus aku katakan?”
”Yang sejujur-jujurnya..”
”Ya itulah yang sejujurnya..aku, resti, temen..”
”Boleh aku minta nomor hape-nya...”
Ines mengeluarkan ponsel dari saku baju tidurnya.
”Aku nggak punya...”
”Bohong!”
”Bener neess... aku udah nggak punya nomernya...”
Ines meletakkan ponsel pintarnya diatas meja makan, sesaat kemudian terdengar musik dari ponsel tersebut. Gua mengenali intro-nya, lagu dari The Used;
Liar, liar, pants on fire
And the pills go down and get you higher
Baby bottle's burning, motherfucker
And the mother hates him like the daughter
Only god and maker gripping tighter
Saying you will burn in hell, they say
You will burn in hell...
Lantunan lagu Liar-liar (Burn In Hell) menggema.
Gua mengambil ponsel tersebut, mematikan musik playernya dan meletakkanya diatas meja, gua memandangi wallpaper ponsel Ines yang memajang foto gua dan fatih yang saat itu tengah berpose ’nyengir’ kuda.
”Nes.. kamu udah lupa, gimana aku waktu pertama kali ketemu sama kamu?”
”Nggak.. aku nggak bakalan lupa..”
”Gimana aku pada waktu itu menghadapi kamu?”
”Cuek dan ... apa ya.. ngeselin..”
”Dan pada akhirnya...”
”.....”
”... Aku sekarang ada disini, duduk sama kamu, ninggalin semua yang sudah aku punya di Leeds buat kamu, apakah itu nggak berarti buat kamu? Apakah apa yang udah aku lakuin buat kamu terus ancur gara-gara kecurigaan kamu ke aku..?”
”Tapi aku punya alesan untuk curiga..”
”Dan aku udah kasih kamu penjelasan, kalau resti Cuma temen, kamu mau jawaban apa? Kamu mau aku jawab ’iya resti dulu pacar aku’, gitu?”
”...”
”...Kamu mau aku harus gimana supaya kamu puas dengan penjelasan aku, mau periksa hape aku, mau cek imel aku, apa yang bisa aku kasih ke kamu...?”
”...”
”... dan satu lagi nes, aku nggak suka kamu tanya-tanya tentang masa lalu aku sama orang lain, kalo kamu punya pertanyaan, tanya sama aku...”
”Tapi.. kalo kamu nggak mau jawab gimana?”
”At least you try...”
”Ya nggak bisa dong..”
”Ya jelas bisa!, sangat bisa! Sekarang kamu mau aku gimana?”
”...”
”KAMU MAU AKU GIMANA?”
Ines Cuma menunduk sambil menggeleng menyaksikan perubahan emosi dalam diri gua, tanpa sadar saat ini gua tengan berdiri sambil menggenggam ponsel Ines mengangkatnya, hendak membanting-nya.
Gua mengucap istigfar kemudian, meletakkan ponsel di atas meja, berjalan menuju ke teras. Gua membuka pintu rumah dan duduk di kursi teras, terdengar dari dalam suara isak tangis Ines dan pintu kamar yang menutup.
Sejak menasbihkan cinta terhadap Ines, gua tau saat ini akan datang, saat dimana gua harus menjelaskan perihal Resti kepadanya, penjelasan yang bukan sekedar kata ’teman’. Iya memang hubungan gua dan resti hanya sebatas itu, tapi penjelasan singkat tentang ’pertemanan’ tersebut nggak memuaskan Ines dan gua sadar akan hal itu, gua terlalu egois untuk berbesar hati mengisahkan semuanya. Setelah mengumpulkan keberanian dan mempersiapkan diri, gua bergegas masuk untuk menceritakan semuanya, ya.. semuanya ke Ines, gua akan menghabiskan malam ini untuk berkisah tentang Resti ke Ines.
Gua memutar gagang pintu kamar, cklek..tidak bisa terbuka, sepertinya terkunci dari dalam. Gua menghela nafas panjang dan menuju ke sofa ruang tamu, merebahkan diri diatasnya. Sepertinya sudah digariskan hari ini gua nggak bisa menjelaskan semuanya ke Ines. Sambil berusaha memejamkan mata gua mengucap janji didalam hati; suatu saat nanti nes, aku akan cerita, kamu akan tau semuanya, sementara ini biarkan aku berfikir bagaimana caranya, menceritakan ke kamu.. someday you’ll know.
---
Keesokan paginya, Ines menyiapkan sarapan tanpa bersuara dan mata yang masih sembab. Gua sengaja nggak mengajaknya bicara, biarlah emosi gua, emosi Ines, emosi kita berdua reda terlebih dahulu baru setelah itu gua akan mengajaknya bicara. Setelah selesai mempersiapkan semua; sarapan, ASI yang diletakkan dalam botol dikulkas, dia menciumi Fatih yang masih tertidur kemudian menghampiri gua yang tengah duduk di kursi meja makan, dia meraih tangan kanan gua dan menciumnya, Cuma satu kalimat terlontar dari bibirnya yang sengaja dipasang manyun; ”Aku berangkat dulu, Assalamualaikum..”
Gua memandangi Ines yang berjalan perlahan meninggalkan rumah, menjawab lirih; ”Waalaikumsalam, ati-ati...”
Beberapa hari sejak kejadian itu, Ines masih terlihat murung. Sesekali dia sudah mau berbicara kepada gua walaupun kalimat yang dikeluarkannya terbatas, beberapa kali gua mencoba mencairkan suasana dengan bercanda atau sekedar mencolek hidung-nya, tapi dia nggak menggubrisnya, hanya berkata ;”Diem ah, aku lagi males ngomong..”
Terakhir kali Ines bertingkah seperti itu adalah saat gua membeli konsol game PS3 tanpa berkonsultasi terlebih dulu kepadanya. Itupun durasi marahnya Cuma dua hari dan sekarang sudah masuk hari ke empat dalam ’event’ marah perihal ’Resti’.
”Nes..”
”...”
”Sampe kapan kamu mau diem kayak gitu?”
”...”
”Ines..”
”Ya..”
”Sampe kapan kamu mau diem kayak gitu?”
”Sampe aku rasa ’diem’-nya aku bisa ngobatin semua kecewa disini..”
Ines menjawab sambil menunjuk ke arah ulu hati-nya.
”Maapin aku ya..”
”Minta maaf untuk apa? Selama ini kan kamu ngerasa paling bener, paling powerfull, paling dominan.. buat apa minta maaf..kalo didalam hati kamu nggak tulus, itu juga kalo kamu punya ’hati’..”
Gua menggaruk-garuk kepala, bingung harus ngomong apa lagi.
”Yaudah.. aku ceritain ya semua tentang Resti..”
”Nggak perlu!..”
”Terus, aku harus gimana supaya kamu nggak marah lagi?”
”Lho.. aku nggak marah..”
”Tapi udah berhari-hari kamu diem aja, apa namanya kalo nggak marah?”
”Diem bukan berarti marah...”
”Ya terus artinya apaa?”
”Pikir aja sendiri...”
Gua kembali menggaruk-garuk kepala, kali ini ditambah mengusap-usap wajah sambil menghela nafas panjang dan berdiri meninggalkan Ines yang tengah berbaring diatas kasur sambil menemani Fatih.
Malamnya, gua merasakan ada yang mengguncang-guncang pundak gua, gua menoleh dan melihat Ines yang memasang tampang panik sambil terus mengguncang-guncang pundak;
”Ayaah.. banguun.. dedek badannya panas banget...”
Mendengarnya, tengkuk gua seakan panas terbakar, gua buru-buru bangun, naik ke atas kasur dan menyentuh dahi fatih dengan punggung tangan, Panas.
Gua berdiri, mengambil dompet dan ponsel;
”Pakein jaket sama kaos kaki tuh anaknya...”
Beberapa jam berikutnya gua sudah berada di salah satu rumah sakit Ibu dan Anak didaerah kukusan, Depok.
Dari diagnosa dokter, Fatih mengalami demam tinggi yang diakibatkan oleh infeksi, bakteri atau virus. Dokter mengatakan, Sejauh ini tidak ada yang perlu dikhawatirkan, orang tua hanya butuh pengetahuan tentang tentang Demam dan penanganan-nya. Ines masih menangis sesenggukan di bahu gua sambil menggendong Fatih yang saat ini tertidur pulas setelah diberi obat penurun panas dan antibiotik.
”Anak pertama ya bunda?”
”I..i..i ya dok..”
Ines menjawab masih sambil sesenggukan.
”Iya nggak apa-apa.. panasnya masih normal, nanti resepnya ditebus ya..”
Dokter menyodorkan kertas resep, gua meraihnya.
”Punya termometer nggak dirumah mas?”
Sebelum menjawab, gua memandang ke arah Ines. Dia menggeleng.
”Nggak punya dok..”
”Yasudah nanti, di apotik beli sekalian ya termometernya, jadi next time kalau ada keluhan demam jangan Cuma diraba dengan tangan saja, lebih baik pake termometer; kalau suhu lebih dari 37,5 derajat buru-buru dibawa kesini..”
”Iya dok..”
Gua menjawab sambil mengeluarkan ponsel, mencatat apa yang baru dikatakan dokter barusan.
”Masih ASI kan, dedek Fatihnya?”
”Alhamdulillah masih dok..”
Gua menjawab.
”Ayah sama bundanya kerja?”
”Iya dok..”
”Wah hebat yah, bundanya.. bisa kasih ASI sambil kerja..”
Gua tersenyum mendengar pujian si Dokter kemudian berpaling ke Ines yang sekarang tangisnya mulai reda.
Setelah menyelesaikan proses administrasi dan menebus obat di apotik, kami pun bergegar pulang. Didalam mobil Ines sambil memeluk Fatih yang tertidur dipangkuannya, menggenggam tangan gua;
”Ayah..”
Gua menoleh ke arah Ines, tumben saat Fatih sudah tidur dia memanggil gua dengan sebutan itu. Gua Cuma dipanggil dengan sebutan ’ayah’ saat tengah berkumpul bertiga, begitu juga gua saat memanggil Ines, jika ada Fatih atau Fatih belum tidur, gua memanggil Ines dengan sebutan Mami.
”Ya..”
”Maafin aku ya..”
”Lho kok jadi kamu yang sekarang minta maaf?”
”Nggak.. kok aku ngerasa kayak kualat ya sama kamu, diemin kamu berhari-hari..mau kan maafin aku?”
”Iya, aku juga..”
”Juga apa?”
”Minta maaf..”
”Bisa nggak ngomongnya lengkap?”
”Aku juga minta maaf ya nes...”
”Iya.. ayaaah..”
Malam itu kami sama-sama tersenyum menembus tengah malam kota Depok. Fatih justru menjadi penyelamat dalam pertengkaran mami dan ayahnya.
Gua tersenyum sambil memandang dua malaikat yang duduk dikursi disebelah gua, dua malaikat yang selalu memenuhi hari-hari gua dengan warna.
Saat mobil mulai berbelok masuk kedalam garasi rumah, Ines menatap gua dan berkata;
”Oiya aku masih penasaran sama cewek itu lho..”
Dia tersenyum, mengerlingkan mata seraya keluar dari mobil sambil menggendong fatih.
Gua membalas senyumnya, kemudian menjawab dalam hati;
”Iya suatu hari nanti kamu akan tau semuanya..tapi bukan dari aku, bukan dari heru, bukan dari siapa-siapa..”
Backsound


Liar, liar, pants on fire
And the pills go down and get you higher
Baby bottle's burning, motherfucker
And the mother hates him like the daughter
Only god and maker gripping tighter
Saying you will burn in hell, they say
You will burn in hell
Liar, liar, pants on fire
Liar, liar, stop your soul from catching
Fire, fire, god and maker
Liar, liar, pants on fire
Liar, liar, house of fire
And the glass tastes messy chew it louder
bet your tummy hurts you, you motherfucker
mother never loved you
father touched you with the hand of god
He's gripping tighter
Saying you will burn in hell, they say
You will burn in hell
Liar, liar, pants on fire
Liar, liar, stop your soul from catching
Fire, fire, god and maker
Liar, liar, you fucking liar
You're gonna burn in hell
You're gonna burn in hell
Hell, hell, hell
You will burn in hell, they say
You will burn in hell
Fucking liar
Liar, liar, pants on fire
Liar, liar, stop your soul from catching
Fire, fire, god and maker
Liar, liar, you fucking liar
Liar, liar, pants on fire
Liar, liar, stop your soul from catching
Fire, fire, god and maker
Liar, liar, you fucking liar
You fucking liar
Liar, liar, you fucking liar
Liar, liar, pants on fire
Hanging from a telephone wire


Liar, liar, pants on fire
And the pills go down and get you higher
Baby bottle's burning, motherfucker
And the mother hates him like the daughter
Only god and maker gripping tighter
Saying you will burn in hell, they say
You will burn in hell
Liar, liar, pants on fire
Liar, liar, stop your soul from catching
Fire, fire, god and maker
Liar, liar, pants on fire
Liar, liar, house of fire
And the glass tastes messy chew it louder
bet your tummy hurts you, you motherfucker
mother never loved you
father touched you with the hand of god
He's gripping tighter
Saying you will burn in hell, they say
You will burn in hell
Liar, liar, pants on fire
Liar, liar, stop your soul from catching
Fire, fire, god and maker
Liar, liar, you fucking liar
You're gonna burn in hell
You're gonna burn in hell
Hell, hell, hell
You will burn in hell, they say
You will burn in hell
Fucking liar
Liar, liar, pants on fire
Liar, liar, stop your soul from catching
Fire, fire, god and maker
Liar, liar, you fucking liar
Liar, liar, pants on fire
Liar, liar, stop your soul from catching
Fire, fire, god and maker
Liar, liar, you fucking liar
You fucking liar
Liar, liar, you fucking liar
Liar, liar, pants on fire
Hanging from a telephone wire
regmekujo dan 15 lainnya memberi reputasi
16
Kutip
Balas
![Accidentally In Love [True Story]](https://s.kaskus.id/images/2014/04/07/6448808_20140407033338.jpg)