- Beranda
- Stories from the Heart
Accidentally In Love [True Story]
...
TS
robotpintar
Accidentally In Love [True Story]
Spoiler for Cover:
Cover by : Kayana89
So she said what's the problem baby
What's the problem I don't know
Well maybe I'm in love (love)
Think about it every time
I think about it
Can't stop thinking 'bout it
How much longer will it take to cure this
Just to cure it cause I can't ignore it if it's love (love)
Makes me wanna turn around and face me but I don't know nothing 'bout love
Come on, come on
Turn a little faster
Come on, come on
The world will follow after
Come on, come on
Cause everybody's after love
So I said I'm a snowball running
Running down into the spring that's coming all this love
Melting under blue skies
Belting out sunlight
Shimmering love
Well baby I surrender
To the strawberry ice cream
Never ever end of all this love
Well I didn't mean to do it
But there's no escaping your love
These lines of lightning
Mean we're never alone,
Never alone, no, no
We're accidentally in love
Accidentally in love [x7]
Accidentally I'm In Love
Spoiler for Bagian 1:
#1
Quote:
“Gila lu Bon, roti segitu banyak sayang-sayang bakal empan ikan semua!”
“Emang ngapa? Ikan jaman sekarang mah ogah makan cacing, Meng”
Gua jawab aja sekena-nya, memang niatnya gua bawa roti dari rumah buat bekal pas mancing tapi, gara-gara umpan cacing gua dari tadi nggak disentuh ikan terpaksa gua ganti dengan roti. Siapa tau mujarab.
Nggak seberapa berselang, tali pancing gua bergetar, refleks gua tarik joran sekuatnya dan mendarat dengan mulus seekor ikan yang kurang lebih seukuran telapak tangan.
“Anjritt.. dari tadi dapet sapu-sapu mulu gua!”
Sambil melepas mata kail dari mulut ikan sapu-sapu yang barusan gua angkat dan langsung gua lempar lagi kedalam kali.
Tidak berapa lama, melantun lagu “Time Like This”-nya Foo Fighter dari ponsel gua. Tertera tulisan “Rumah” dilayarnya.
“Kenapa mak?”
Karena memang cuma nyokap gua aja yang selalu telpon melalui telepon rumah. Bokap dan adik gua selalu menggunakan ponsel-nya masing-masing jika ada keperluan.
“Assalamualaikum , Mancing kagak rapi-rapi luh, nih ada kiriman surat buat elu”
“Dari siapa?”
“Kagak tau, bahasanya emak nggak ngerti”
“Simpenin dulu, nih aye udah mau pulang”
“Yaudah buruan, jangan maghriban dijalan, pamali. Assalamualaikum”
“Waalaikumsalam”
Gua kantongin lagi ponsel k-ekantong celana pendek yang sekarang udah kotor campur lumpur, sambil berteriak ke temen gua; Komeng, yang lagi berkutat dengan tali pancingnya yang kusut.
“Meng, ayo balik.. udah sore”
“Belon juga dapet sekilo, udah mau balik aje”
“Yauda elu terusin dah, gua balik duluan”
Komeng menjawab dengan sedikit gumam di bibirnya terdengar seperti “Yaelah..” sambil berjalan gontai menyusul gua.
------
Itu kejadian beberapa tahun yang lalu, dimana gua dan Komeng masih biasa mencari cacing buat umpan ikan di kebun singkong belakang rumahnya Haji Salim dan kemudian pergi memancing disepanjang pinggiran sungai Pesanggrahan, Jakarta.
Sekarang, gua sedang duduk sambil bersandar di sebuah kursi lipat di pinggir danau di daerah Leeds, Inggris. Menghabiskan hari libur akhir musim gugur dengan memancing sambil bernostalgia, mencoba membangkitkan memori tentang memancing, tentang si Komeng, tentang Jakarta, tentang rumah.
Setelah berjam-jam memancing, menghabiskan berkaleng-kaleng ‘Diet Coke’ akhirnya gua memutuskan untuk menyudahi kegiatan sialan ini. Pulang dengan membawa 6 Ekor ikan Yelowtail (di Indonesia disebut ikan patin) dan sedikit kenangan tentang ‘rumah’, gua berjalan gontai menuju tempat dimana sepeda kesayangan gua diparkir, sempat kebingungan awalnya karena sekarang ada banyak sepeda yang diparkir, padahal tadi pagi baru sepeda gua aja yang nongkrong disini, setelah celingak-celinguk akhirnya ketemu juga dan gua mulai mengayuh.
Jarak dari tempat gua biasa mancing ke tempat dimana gua tinggal di Moorland Ave, Leeds kurang lebih 3,5 mil atau kalau dalam satuan Kilometer sekitar 5,5 Km. Jarak segitu kalo disini, di Inggris bisa dibilang ‘deket’, kalau naik sepeda bisa cuma 30 menit.
Oiya, nama gua Boni. Gua lahir dan dibesarkan di Jakarta. Saat ini gua kerja dan tinggal di Leeds, Inggris sekitar 2-3 jam dari London (dengan kereta). Gua kerja sebagai Sound Designer disalah satu Agensi perfilman dan periklanan di Leeds yang juga punya kantor di London. Sudah hampir 4 tahun gua kerja dan tinggal disini, ditempat dimana nggak ada sungai dengan air berwarna cokelat keruh yang banyak ikan sapu-sapunya dan nggak ada teman yang suka menggerutu “Yaelah”.
Sambil mendengarkan “Heaven” nya Lost Lonely Boys lewat headset, gua mengayuh sepeda menuju ke rumah, pulang. Melewati jalan berpasir yang dipenuhi pohon-pohon maple di kedua sisinya menuju jalan utama. Jalan yang sangat sepi dan hening, jam menunjukkan angka 4 sore, menandakan waktu shalat maghrib, di sabtu sore seperti sekarang ini memang didaerah sini sangat sepi, kebanyakan penduduk sekitar sedang ke stadion atau pub-pub untuk menyaksikan Leeds United bertanding. Ingin buru-buru sampai di rumah, karena perut udah mulai keroncongan, gua kayuh sepeda lebih cepat. Sampai kemudian terdengar sayup-sayup suara musik yang makin lama makin nyaring, suara musik RnB yang sepertinya diputar dari dalam mobil dengan volume maksimal. Suara tersebut datang dari arah belakang dan kemudian menyusul gua, sebuah BMW silver yang melaju cepat bahkan boleh dibilang sangat cepat, sambil meninggalkan debu persis seperti mobil yang sedang Rally Dakkar.
“Orang Gila!!” gua mengumpat, masih sambil dengerin coda lagu “Heaven” nya Lost Lonely Boys. Sampai gua melihat beberapa detik kemudian lampu rem BMW tersebut menyala dan kemudian berhenti.
Deg!, “Wuanjrit, sakti juga tuh orang bisa denger suara gua” sambil berhenti dan melepas headset dari telinga. Yang ternyata setelah gua sadar, suara gua nggak sepelan pas pakai headset tadi. Gua nunggu sambil dag dig dug, kalau dia ngerti ucapan gua, dia pasti orang Indonesia dan kalo ternyata bukan gua bakal siap-siap kabur.
Pintu penumpang pun terbuka, terbuka secara paksa tepatnya, sedetik kemudian keluar seseorang dari kursi penumpang, terhuyung dan kemudian terjatuh, terdengar makian dari dalam BMW tersebut mungkin seperti “bitch” atau semacamnya dan sesaat kemudian BMW tersebut pergi, mengasapi orang yang tersungkur itu dengan debu jalanan.
Nggak mau terlalu ambil pusing, sambil bernafas lega dan bilang dalam hati; “untung bukan gua”, gua meneruskan mengayuh sepeda.
“Get up Bro, life is brutal”
gua berkata ke orang itu sambil melewatinya tetap melanjutkan mengayuh. Dan beberapa meter kemudian gua mendengar sebuah teriakan, teriakan yang (pada akhirnya) bakal merubah hidup gua.
“Woii.. Help me!, you’re Indonesian, right?”
“Tolongin gue dong…”
Gua berhenti mengayuh, turun dan bengong. Sudah hampir setahun gua nggak denger secara langsung orang bicara ke gua dengan bahasa Indonesia dan suara perempuan pula.. Lima, ah mungkin sepuluh detik kemudian baru gua memalingkan muka tapi masih tetap bengong.
“Woii..”
Akhirnya gua turun dari sepeda, kemudian menghampiri orang itu. Terduduk di depan gua sosok perempuan, hitam manis dengan kepala tertutup hood jaket hitam, celana jeans dan sepatu model boots sebetis berwarna cokelat.
“Elu nggak apa-apa?”
“Menurut Lo? Kalo gue gak apa-apa, ngapain gua teriak minta tolong elu!!”
Gua nggak menjawab, berusaha membantu dia berdiri sambil bertanya lagi bagaimana keadaannya. Sekali lagi dia mengumpat;
“Gila!, nggak punya hati banget sih lu!, ya jelas lah gue kenapa-kenapa.. nih liat!”
Sambil memperlihatkan telapak tangan dan siku-nya yang luka dan kemudian menyibak celana jeans-nya yang kotor terkena debu dan sobek di beberapa bagian akibat terlempar dari mobil tadi. Sesaat baru dia sadar kalau lutut kanannya juga luka sambil meringis kesakitan dia mencoba membersihkan luka tersebut dengan air liurnya. Sangat Indonesia sekali.
“Gua pikir tadi orang mabok yang lagi berantem, disini mah biasa begitu,mbak!”
Kemudia gua kasih satu-satunya ‘Diet Coke’ sisa memancing tadi, harusnya sih air putih tapi Cuma itu yang gua punya sekarang. Sambil menggerutu karena dikasih ‘Diet Coke’ daripada air putih, diminum juga tuh minuman soda. Kemudian gua menawarkan diri buat mengantar dia ke sebuah toko kecil di ujung jalan ini, untuk membeli plester untuk membalut luka-nya.
“Jauh nggak?”
Dia bertanya sambil menurunkan hood jaketnya dan menyibak rambutnya yang pendek seleher. Kemudian terlihat jelas sebuah luka lebam di sudut mata sebelah kiri-nya, tidak, bukan cuma satu, setidaknya ada 3 luka lebam, selain disudut matanya, satu lagi di dahi sebelah kiri dan satu lagi di sudut bibir sebelah kanan, yang terakhir tampak seperti luka yang baru karena masih meninggalkan sisa bekas darah yang membeku.
Gua nggak berani bertanya, gua hindari menatap kewajahnya sambil menjawab pertanyaa-nya bahwa tokonya nggak begitu jauh dari sini, sambil menunjuk ke arah jalan utama.
---
“Emang ngapa? Ikan jaman sekarang mah ogah makan cacing, Meng”
Gua jawab aja sekena-nya, memang niatnya gua bawa roti dari rumah buat bekal pas mancing tapi, gara-gara umpan cacing gua dari tadi nggak disentuh ikan terpaksa gua ganti dengan roti. Siapa tau mujarab.
Nggak seberapa berselang, tali pancing gua bergetar, refleks gua tarik joran sekuatnya dan mendarat dengan mulus seekor ikan yang kurang lebih seukuran telapak tangan.
“Anjritt.. dari tadi dapet sapu-sapu mulu gua!”
Sambil melepas mata kail dari mulut ikan sapu-sapu yang barusan gua angkat dan langsung gua lempar lagi kedalam kali.
Tidak berapa lama, melantun lagu “Time Like This”-nya Foo Fighter dari ponsel gua. Tertera tulisan “Rumah” dilayarnya.
“Kenapa mak?”
Karena memang cuma nyokap gua aja yang selalu telpon melalui telepon rumah. Bokap dan adik gua selalu menggunakan ponsel-nya masing-masing jika ada keperluan.
“Assalamualaikum , Mancing kagak rapi-rapi luh, nih ada kiriman surat buat elu”
“Dari siapa?”
“Kagak tau, bahasanya emak nggak ngerti”
“Simpenin dulu, nih aye udah mau pulang”
“Yaudah buruan, jangan maghriban dijalan, pamali. Assalamualaikum”
“Waalaikumsalam”
Gua kantongin lagi ponsel k-ekantong celana pendek yang sekarang udah kotor campur lumpur, sambil berteriak ke temen gua; Komeng, yang lagi berkutat dengan tali pancingnya yang kusut.
“Meng, ayo balik.. udah sore”
“Belon juga dapet sekilo, udah mau balik aje”
“Yauda elu terusin dah, gua balik duluan”
Komeng menjawab dengan sedikit gumam di bibirnya terdengar seperti “Yaelah..” sambil berjalan gontai menyusul gua.
------
Itu kejadian beberapa tahun yang lalu, dimana gua dan Komeng masih biasa mencari cacing buat umpan ikan di kebun singkong belakang rumahnya Haji Salim dan kemudian pergi memancing disepanjang pinggiran sungai Pesanggrahan, Jakarta.
Sekarang, gua sedang duduk sambil bersandar di sebuah kursi lipat di pinggir danau di daerah Leeds, Inggris. Menghabiskan hari libur akhir musim gugur dengan memancing sambil bernostalgia, mencoba membangkitkan memori tentang memancing, tentang si Komeng, tentang Jakarta, tentang rumah.
Setelah berjam-jam memancing, menghabiskan berkaleng-kaleng ‘Diet Coke’ akhirnya gua memutuskan untuk menyudahi kegiatan sialan ini. Pulang dengan membawa 6 Ekor ikan Yelowtail (di Indonesia disebut ikan patin) dan sedikit kenangan tentang ‘rumah’, gua berjalan gontai menuju tempat dimana sepeda kesayangan gua diparkir, sempat kebingungan awalnya karena sekarang ada banyak sepeda yang diparkir, padahal tadi pagi baru sepeda gua aja yang nongkrong disini, setelah celingak-celinguk akhirnya ketemu juga dan gua mulai mengayuh.
Jarak dari tempat gua biasa mancing ke tempat dimana gua tinggal di Moorland Ave, Leeds kurang lebih 3,5 mil atau kalau dalam satuan Kilometer sekitar 5,5 Km. Jarak segitu kalo disini, di Inggris bisa dibilang ‘deket’, kalau naik sepeda bisa cuma 30 menit.
Oiya, nama gua Boni. Gua lahir dan dibesarkan di Jakarta. Saat ini gua kerja dan tinggal di Leeds, Inggris sekitar 2-3 jam dari London (dengan kereta). Gua kerja sebagai Sound Designer disalah satu Agensi perfilman dan periklanan di Leeds yang juga punya kantor di London. Sudah hampir 4 tahun gua kerja dan tinggal disini, ditempat dimana nggak ada sungai dengan air berwarna cokelat keruh yang banyak ikan sapu-sapunya dan nggak ada teman yang suka menggerutu “Yaelah”.
Sambil mendengarkan “Heaven” nya Lost Lonely Boys lewat headset, gua mengayuh sepeda menuju ke rumah, pulang. Melewati jalan berpasir yang dipenuhi pohon-pohon maple di kedua sisinya menuju jalan utama. Jalan yang sangat sepi dan hening, jam menunjukkan angka 4 sore, menandakan waktu shalat maghrib, di sabtu sore seperti sekarang ini memang didaerah sini sangat sepi, kebanyakan penduduk sekitar sedang ke stadion atau pub-pub untuk menyaksikan Leeds United bertanding. Ingin buru-buru sampai di rumah, karena perut udah mulai keroncongan, gua kayuh sepeda lebih cepat. Sampai kemudian terdengar sayup-sayup suara musik yang makin lama makin nyaring, suara musik RnB yang sepertinya diputar dari dalam mobil dengan volume maksimal. Suara tersebut datang dari arah belakang dan kemudian menyusul gua, sebuah BMW silver yang melaju cepat bahkan boleh dibilang sangat cepat, sambil meninggalkan debu persis seperti mobil yang sedang Rally Dakkar.
“Orang Gila!!” gua mengumpat, masih sambil dengerin coda lagu “Heaven” nya Lost Lonely Boys. Sampai gua melihat beberapa detik kemudian lampu rem BMW tersebut menyala dan kemudian berhenti.
Deg!, “Wuanjrit, sakti juga tuh orang bisa denger suara gua” sambil berhenti dan melepas headset dari telinga. Yang ternyata setelah gua sadar, suara gua nggak sepelan pas pakai headset tadi. Gua nunggu sambil dag dig dug, kalau dia ngerti ucapan gua, dia pasti orang Indonesia dan kalo ternyata bukan gua bakal siap-siap kabur.
Pintu penumpang pun terbuka, terbuka secara paksa tepatnya, sedetik kemudian keluar seseorang dari kursi penumpang, terhuyung dan kemudian terjatuh, terdengar makian dari dalam BMW tersebut mungkin seperti “bitch” atau semacamnya dan sesaat kemudian BMW tersebut pergi, mengasapi orang yang tersungkur itu dengan debu jalanan.
Nggak mau terlalu ambil pusing, sambil bernafas lega dan bilang dalam hati; “untung bukan gua”, gua meneruskan mengayuh sepeda.
“Get up Bro, life is brutal”
gua berkata ke orang itu sambil melewatinya tetap melanjutkan mengayuh. Dan beberapa meter kemudian gua mendengar sebuah teriakan, teriakan yang (pada akhirnya) bakal merubah hidup gua.
“Woii.. Help me!, you’re Indonesian, right?”
“Tolongin gue dong…”
Gua berhenti mengayuh, turun dan bengong. Sudah hampir setahun gua nggak denger secara langsung orang bicara ke gua dengan bahasa Indonesia dan suara perempuan pula.. Lima, ah mungkin sepuluh detik kemudian baru gua memalingkan muka tapi masih tetap bengong.
“Woii..”
Akhirnya gua turun dari sepeda, kemudian menghampiri orang itu. Terduduk di depan gua sosok perempuan, hitam manis dengan kepala tertutup hood jaket hitam, celana jeans dan sepatu model boots sebetis berwarna cokelat.
“Elu nggak apa-apa?”
“Menurut Lo? Kalo gue gak apa-apa, ngapain gua teriak minta tolong elu!!”
Gua nggak menjawab, berusaha membantu dia berdiri sambil bertanya lagi bagaimana keadaannya. Sekali lagi dia mengumpat;
“Gila!, nggak punya hati banget sih lu!, ya jelas lah gue kenapa-kenapa.. nih liat!”
Sambil memperlihatkan telapak tangan dan siku-nya yang luka dan kemudian menyibak celana jeans-nya yang kotor terkena debu dan sobek di beberapa bagian akibat terlempar dari mobil tadi. Sesaat baru dia sadar kalau lutut kanannya juga luka sambil meringis kesakitan dia mencoba membersihkan luka tersebut dengan air liurnya. Sangat Indonesia sekali.
“Gua pikir tadi orang mabok yang lagi berantem, disini mah biasa begitu,mbak!”
Kemudia gua kasih satu-satunya ‘Diet Coke’ sisa memancing tadi, harusnya sih air putih tapi Cuma itu yang gua punya sekarang. Sambil menggerutu karena dikasih ‘Diet Coke’ daripada air putih, diminum juga tuh minuman soda. Kemudian gua menawarkan diri buat mengantar dia ke sebuah toko kecil di ujung jalan ini, untuk membeli plester untuk membalut luka-nya.
“Jauh nggak?”
Dia bertanya sambil menurunkan hood jaketnya dan menyibak rambutnya yang pendek seleher. Kemudian terlihat jelas sebuah luka lebam di sudut mata sebelah kiri-nya, tidak, bukan cuma satu, setidaknya ada 3 luka lebam, selain disudut matanya, satu lagi di dahi sebelah kiri dan satu lagi di sudut bibir sebelah kanan, yang terakhir tampak seperti luka yang baru karena masih meninggalkan sisa bekas darah yang membeku.
Gua nggak berani bertanya, gua hindari menatap kewajahnya sambil menjawab pertanyaa-nya bahwa tokonya nggak begitu jauh dari sini, sambil menunjuk ke arah jalan utama.
---
DAFTAR ISI
Quote:
CHAPTER 1
#1 The Beginning
#2 Truly Gentlemen
#3 Place Called Home
#4 The Morning Fever
#5 A Miserable Story
#6 Night Rain
#7 Inside My Head
#8 That Day
#9 Be Tough
#10 Mukena
#1 The Beginning
#2 Truly Gentlemen
#3 Place Called Home
#4 The Morning Fever
#5 A Miserable Story
#6 Night Rain
#7 Inside My Head
#8 That Day
#9 Be Tough
#10 Mukena
Quote:
CHAPTER 2
#11-A Trip To Manchester
#11-B The Swiss Army
#12 Here's and Back Again
#13 I Miss You So Bad
#14 Going Mad
#15 Promise
#16 You’ll Be The Only Light I See
#17 The Winter Tears
#18 She's Gone
#19 That Memories
#11-A Trip To Manchester
#11-B The Swiss Army
#12 Here's and Back Again
#13 I Miss You So Bad
#14 Going Mad
#15 Promise
#16 You’ll Be The Only Light I See
#17 The Winter Tears
#18 She's Gone
#19 That Memories
Quote:
CHAPTER 3
[URL="http://www.kaskus.co.id/show_post/530ff7e41acb17030d8b48f1/479/- "]#19-A The Hood[/URL]
#19-B Heres And Back Again II
#19-C Weak
#19-D Surrender
#19-E The Choice
#19-F Anything For You
#19-G Chelsea Number 8
#19-H Its not always about gold and glory
#19-I Aku
#19-J The Words
#19-K The Persian Cat
#19-L You Really The Only Light I See
#19-M So Be It
#19-N Less Than Perfect
#20 That Day II
[URL="http://www.kaskus.co.id/show_post/530ff7e41acb17030d8b48f1/479/- "]#19-A The Hood[/URL]
#19-B Heres And Back Again II
#19-C Weak
#19-D Surrender
#19-E The Choice
#19-F Anything For You
#19-G Chelsea Number 8
#19-H Its not always about gold and glory
#19-I Aku
#19-J The Words
#19-K The Persian Cat
#19-L You Really The Only Light I See
#19-M So Be It
#19-N Less Than Perfect
#20 That Day II
Quote:
CHAPTER 4 The Prekuel
#21 The Prologue
#22 My Precious
#23 Ticket to Ride
#24 Singapore
#25 Dreams
#26 The Awkward Moment
#27 Logic
#28 Driver In Life
#29 The Risk Taker
#30 Sorry
#31 Rise Again
#32 Goodbye
#21 The Prologue
#22 My Precious
#23 Ticket to Ride
#24 Singapore
#25 Dreams
#26 The Awkward Moment
#27 Logic
#28 Driver In Life
#29 The Risk Taker
#30 Sorry
#31 Rise Again
#32 Goodbye
Quote:
CHAPTER 5!!
#33 London
#34 Unwell
#35 I Was Here
#36 Leeds
#37 New Home, New Life
#38 Alone
#39 Intermezo
#40 Goin' Trough
#41 At Glance
#42 The Past of The Future
#33 London
#34 Unwell
#35 I Was Here
#36 Leeds
#37 New Home, New Life
#38 Alone
#39 Intermezo
#40 Goin' Trough
#41 At Glance
#42 The Past of The Future
Quote:
CHAPTER 6
#43 My First ...
#44 If Lovin' You ...
#45 Goin' Back
#46 Leeds II
#47 I Love You (Jealousy)
#48 After All
#49 Hell Yeah
#50 Conflict
#51 Liar-Liar
#52 Memories
#43 My First ...
#44 If Lovin' You ...
#45 Goin' Back
#46 Leeds II
#47 I Love You (Jealousy)
#48 After All
#49 Hell Yeah
#50 Conflict
#51 Liar-Liar
#52 Memories
Quote:
Quote:
Diubah oleh robotpintar 10-04-2014 01:46
junti27 dan 93 lainnya memberi reputasi
92
1.3M
Kutip
2.3K
Balasan
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
31.6KThread•43KAnggota
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#1708
Spoiler for Bagian Ke Empat Puluh Sembilan:
#49 Hell Yeah
Quote:
Kalau dirunut melalui akal sehat, nalar dan logika, yang namanya ’nyidam’/’ngidam’ itu buat gua sedikit nggak masuk akal. Apalagi kalau dikait-kaitkan dengan sebab si anak ’ileran’ karena waktu hamil si Ibu ’ngidam’ dan nggak kesampaian.
Ditambah nyokap gua yang masih pola pikirnya sangat ’old school’. Kalau hamil jangan ’nyiram’ air bekas cucian ke kaki, jangan keluar malam-malam, jangan ini, jangan itu, jangan ono, jangan anu. Ines Cuma senyam-senyum kecil, bersandar dipundak gua sambil mendengarkan wejangan dari nyokap. Malam itu setelah acara pengajian dan (tentu saja) selametan (yang kedua). Nyokap duduk sambil memijat-mijat kaki mungil Ines yang tengah berbaring.
”Dirumah jangan ’ngeja’ (bikin) apa-apa nes.. ngga usah masak.. ntar kecapean..”
”Iya bu..”
”Udah lu tinggal dimari aja dah.. biarin si Oni mah didepok..”
”Yah ntar yang ngurusin Oni siapa bu?”
”Lah lu pan lagi bunting, kebalik kudu nya Oni yang ngurusin lu..”
”Hehehe.. nggak papa bu.. ”
”Elu kerja masih nyetir sendiri nes?”
”Masih bu..”
Tiba-tiba sebuah sendal melayang tepat mengenai pipi gua, kaget gua menoleh. Nyokap menggenggam sebelah sendal satunya bersiap melempar lagi.
”Orang mah jadi laki, bini lagi bunting, kerja lu anterin..”
”Yaelah.. kepagian mak kalo nganter dia mulu, baliknya juga dia mah sore, oni kadang suka balik malem..”
”Ya elu ijin kek, gimana kek..”
”Iya kali ijin masa sampe sembilan bulan.. kalo perusahaan punya engkong mah gapapa..”
”Nggak apa apa bu, aku masih bisa kok sendiri.. nanti kalo udah hamil gede baru dianter jemput..”
Ines memotong pembicaraan membela gua.
---
Selama hamil ini hampir setiap hari nyokap menelpon, kadang malah sehari bisa dua atau tiga kali. Dia benar-benar khawatir dengan kondisi Ines dan si jabang bayi. Nyokap bahkan sampai bela-belain pasang AC dirumah-nya, ditempat yang tadinya kamar gua , takut-takut kalau Ines datang menginap nanti kepanasan. Dan saat menginap pun, nyokap meng-ultimatum gua untuk tidur dibawah, jangan tidur dikasur, disebelah Ines.
”Lu kan tidurnya jabrah, ntar kalo perut bini lu ketendang gimane?”
Yang jadi sasaran bukan Cuma gua aja, bokap juga kadang juga sering kena semprot nyokap jika merokok didalam rumah saat ada Ines, setelah pindah ke teras pun, bokap masih harus menerima lemparan sendal nyokap sambil berteriak;
”Sono yang jauh ngerokok nya, asepnya masuk kedalem,, nggak kesian apa sama mantu..”
Lain Nyokap, lain pula Ines; semakin besar usia kehamilan Ines, semakin bertambah manja-nya. Apalagi yang namanya menuruti ’ngidam’-nya Ines, badan gua jadi tambah kurus. Kadang gua suka beradu argumen dengan Ines perihal mitologi ’ngidam’. Gua bersikeras kalau ’ngidam’ itu Cuma sugesti sesaat aja, nggak ada pengaruhnya sama sekali terhadap kesehatan janin atau si ibu. Tapi Ines selalu menyanggahnya dengan sebuah teori menyangkut efek psikologis yang diemban si Ibu dan pada akhirnya gua harus menyerah, bukan terhadap teori-nya Ines melainkan terhadap pandangan manja-nya yang selalu berhasil bikin lutut gua lemes.
Pernah suatu siang, gua membaca status bbm yang dibuat Ines;
”Lg ngidam asinan aseli bogor, tp yg beli harus laki gua”
Membaca status tersebut gua Cuma geleng-geleng sambil mengusap-usap wajah. Ya walaupun bisa diakali dengan gua berpura-pura membeli asinan di bogor, padahal nongkrong di sevel fatmawati kemudian beli asinan di pasar minggu. Toh Ines juga nggak tau;
”Enak nggak asinan aseli bogor-nya?”
”Enak... banget..”
Ines menyuap dua kali kemudian menyerahkannya mangkok berisi asinan ke gua.
”Nih..”
”Lah.. udah? Gitu doang?”
”Iya, udah.. Cuma ngilangin pengen doang.. kamu abisin..”
”Nggak ah, taro kulkas aja ya?”
”Nggak nggak jangan, kamu abisin sekarang!”
”Hah?”
”Abisin!!”
Gua memandang nanar ke arah asinan bogor sambil meneguk liur.
Suatu malam pernah Ines, merajuk meminta rambutan bahkan sambil menangis sesenggukan. Nggak tega, gua buru-buru menyalakan motor dan berkeliling mencari rambutan. Ya yang namanya sedang nggak musim rambutan, jelas nggak ada yang berjualan. Akhirnya setelah mondar-mandir kesana-kemari, telepon sana-sini, tanya sana- tanya sini, gua mendapatkan seikat rambutan yang terdapat disebuah sepermarket yang menjual aneka buah dan sayuran. Lokasinya ada di kebon jeruk, silahkan bayangkan sendiri; Depok – Kebon Jeruk pulang pergi hanya untuk seikat rambutan.
Kalau itu parah, masih ada yang lebih parah lagi. Sampai sekarang gua menyebutnya Parah pangkat dua. Suatu malam, Ines membangunkan gua;
”Boon.. aku mau mie..”
”Hmmm... apa?”
Gua mengucek-ngucek mata, masih belum bisa mencerna perkataan Ines.
”Aku mau mie..”
”Yaah nes.. masa malem-malem makan mie, mie instan?”
”Hooh..”
Kemudian gua ’klontangan’ di dapur tengah malam buta membuat mie instan buat Ines. Setelah selesai gua membangunkan Ines, dia bangun dan menuju ke meja makan. Gua duduk disebelahnya saat Ines Cuma memandangi Mie instan yang masih mengepul asapnya.
”Kok pake teloor siih..”
Ines mengaduk-aduk mie instan yang baru gua buat sambil pasang tampang cemberut.
”Kamu mah nggak ngerti aku banget deh bon...”
Dan dia mulai menangis. Iya sejak usia kehamilannya semakin besar dia jadi bertambah manja dan lebih sensitif.
”Lah...”
Nggak pake ’ba-bi-bu’, gua buru-buru memasak mie instan lagi, kali ini nggak ditambah telur. Setelah matang gua menyodorkan semangkuk mie instan ke hadapan Ines, yang masih terisak. Gua bener-bener bingung, padahal sebelum-sebelumnya Ines kalau makan mie instan selalu pakai telur.
Ines masih memandangi Mie instan kedua yang juga masih mengepul asapnya. Dia memutar-mutar mangkok wadah mie instan, kemudian berkata;
”Aku mau mangkok yang ada gambar ayam jago-nya..”
”Ya Allah, nes.. kita mana punya mangkok kayak gituan..”
”Ya cari kek!!!..”
Gua menggaruk-garuk kepala, bingung harus marah atau gimana, ingin rasanya gua membentur-benturkan kepala ke meja dihadapan Ines. Tapi ines mulai terisak lagi. Gua bergegas berdiri, mengambil jaket dan kunci motor. Setelah mengecup kepalanya sambil berkata ”Aku cari dulu ya..udah jangan nangis”.
Gua menembus dingin-nya angin malam kota Depok. Menghampiri satu persatu warung-warung tenda yang masih buka, tukang pecel ayam, tukang nasi goreng, tukang jamu, tukang sekoteng dan akhirnya gua berhasil mendapatkan mangkok ayam-jago di tukang mie ayam yang tengah mendorong gerobaknya sepertinya selesai berdagang dan ingin pulang.
”Bang.. punya mangkok ayam jago nggak?”
”Hah?..”
”Mangkok ayam jago..”
Si abang tukang mie ayam memandang curiga ke gua, mungkin dikiranya gua mau merampok dia, dengan modus menanyakan jenis mangkok yang dia punya.
Gua mengeluarkan selembar dua puluh ribuan dan menyodorkannya ke abang tukang mie ayam tersebut.
”Kalo ada, saya bayarin bang..”
”Oh.. yang kayak gini?”
Si abang tukang mie ayam, mengangkat mangkok bergambar ayam jago dari dalam ember yang digantung pada gagang dorongan gerobak.
”Iya bener..”
Gua menyambar mangkok tersebut dan menyerahkan selembar uang dua puluh ribuan kepadanya, kemudian meluncur meninggalkan si abang tukang mie ayam dalam kesendirian ditengah heningnya malam dijalan Nusantara, Depok.
Sesampainya dirumah, gua langsung menuju ke dapur, mencuci mangkok ayam jago dan memindahkan mie instan yang sudah mulai dingin kedalamnya. Setelah siap saji gua memanggil-manggil Ines, nggak ada jawaban. Gua masuk kekamar, Ines sudah tidur.
”Nes.. nes bangun.. itu mie plus mangkok ayam jago-nya udah ada..”
”Hmmm...”
”Bangun.. itu mie plus mangkok ayam jago-nya udah ada..”
”Ah.. males, udah nggak pengen.. ngantuk aku.. udah kamu makan aja..”
Gua bengong, shock dan terduduk di lantai bersandar ditepian kasur, menatap nanar ke langit-langit kamar sambil mengacak-ngacak rambut sendiri.
”Gila nih lama-lama gua..”
Tapi kejadian itu baru masuk ke Parah pangkat dua, kejadian berikut masuk kedalam kategori Parah pangkat tiga.
Saat itu, sabtu sore. Gua dan Ines berencana menginap di rumah nyokap. Kami berada didalam mobil menuju ke jalan ciledug raya. Tanpa ada angin, tanpa ada petir, tiba-tiba Ines mematikan radio.
”Bon.. aku mau liat layar tancep deh..”
”Hah..”
”Aku mau nonton layar tancep..”
”Udah deh nes, nggak usah yang macem-macem lah.. jaman sekarang udah nggak ada orang yang ’nanggap’ layar tancep..”
”Ish.. kamu mah.. belon dicari udah bilang nggak ada..”
”Ya kamu-nya mintanya yang aneh-aneh aja..”
”Pokoknya aku mau nonton layar tancep, titik, no excuse..”
Dan sisa perjalanan sore itu dihabiskan Ines dengan membuang muka ke arah jendela, diam sepanjang jalan. Sesampainya dirumah nyokap pun dia tetap diam, nggak berkata apa-apa dan langusng masuk kedalam kamar. Nyokap yang mengetahui gelagat tersebut, bertanya ke gua;
”Ngapa bini lu..”
”Tau tuh,..”
Gua menjawab sambil mengeluarkan tas ransel berisi pakaian Ines dari dalam mobil.
”Lu apain bini lu?”
”Kagak diapa apain maaak, dia ngidam pengen nonton layar tancep..”
”Lah.. yauda gidah sono lu cari orang yang nanggap layar..”
”Yaah mak, jaman sekarang mana ada orang yang nanggap layar..”
Nyokap memukul pundak gua kemudian bergegas masuk kedalam kamar, menyusul Ines. Kemudian dia keluar dari kamar dan mengangkat gagang telepon, sejauh yang gua dengar sih sepertinya nyokap menghubungi bokap yang sedang keluar, menanyakan dimana ada orang yang menggelar ’Layar Tancep’.
”Udah.. lu buruan pulang dah bang...”
Suara nyokap menggema diseluruh ruangan mengakhiri pembicaraan antara nyokap dan bokap via telepon.
Setelah menutup gagang telepon, nyokap buru-buru menghambur keluar rumah, bergegas ke rumah tetangga mulai dari rumah Haji Kosim, Bang Oman, Bude Niroh, Mpo Adah, Hj Hasan, Baba Jirin, menanyakan satu persatu perihal informasi ’Layar Tancep’. Gua menepuk jidat, kemudian merebahkan diri di kursi ruang tamu.
---
Semakin besar usia kehamilan Ines, level manja dan sensitif-nya semakin bertambah. Bahkan sempat beberapa malam dia tiba-tiba menangis tanpa sebab dan alasan. Pernah Ines menangis sesenggukan, saat menonton sebuah acara tentang animal discovery di tivi;
”Kamu kenapa si? Kok tau-tau nangis..”
”Itu boon, kasian rusa-nya..”
”Kenapa rusa-nya?”
”Bapak ibunya mati.. dimakan singa, dia jadi sendirian deh..”
”Ya emang udah takdirnya..”
”Kasiaan booon, jadi yatim piatu... kayak aku..”
Sejak saat itu, setiap pergi kemanapun atau melihat dimanapun, seorang anak, atau bahkan seekor binatang yang sedang sendirian dia pasti menangis. Bertanya-tanya kemana bapak-ibunya.
Beruntung kejadian seperti itu nggak sampai berlarut-larut, takutnya nanti setiap ketemu tiang listrik dia nangis ’nggoser-nggoser’ nanyain emak-bapaknya tuh tiang kemana.
Seiring waktu permintaan-permintaan anehnya yang berkedok ’ngidam’ sudah mulai berkurang intensitasnya. Ya walaupun sesekali ada permintaan seperti kue cucur, toge goreng atau sekedar nyubitin tangan gua, yang overall nggak terlalu sulit untuk diturutin.
Saat itu, akhir bulan Oktober 2012.
Usia kehamilan Ines memasuki bulan ke sembilan, dia sudah mengambil cuti dari pekerjaannya, dan pindah sementara ke rumah nyokap. Selain karena dirumah nyokap selalu ada orang yang bisa menemani, gua juga jadi bisa meninggalkan dia bekerja dengan tenang. Jam dua belas siang, ponsel gua berbunyi, Ines menelpon;
”Halo..”
”Boon.. aku udah mules-mules deeh..”
”Laah.. emak mana?”
”Ada nih..”
”Ada siapa lagi?”
”Ada bapak juga.”
”Yaudah minta anter ke Avisena (nama rumah bersalin) aja...”
”Iya.. nanti kamu langsung nyusul ya..”
”Iya..”
Gua buru-buru membereskan pekerjaan dan segera meluncur ke Rumah sakit bersalin.
Berjam-jam gua menunggu, pembukaan Ines nggak juga bertambah. Seorang dokter menghampiri gua, menjelaskan kemungkinan-kemungkinan yang bisa dilakukan; antara normal namun proses-nya pasti butuh waktu dan si ibu bakal terus merasa sakit luar biasa atau dengan proses operasi (cesar) yang bisa dilakukan kapan saja, setelah mendapat persetujuan dari pihak pasien.
”Umm dok, boleh saya bicara sama istri saya dulu..?”
”Oh, iya silahkan..”
Kemudian gua menghampiri Ines yang tengah berbaring menahan ’mules’ yang intervalnya semakin lama semakin cepat. Gua bertanya kepada Ines tentang dua opsi yang tadi dikatakan oleh dokter. Ines Cuma meringis sambil menggeleng dan berkata;
”Aku udah nggak kuat boon..”
”Yaudah operasi aja ya?”
Ines mengangguk.
Gua kembali menghampiri dokter yang masih menunggu di luar ruangan.
”Begini dok, saya dan keluarga kan awam nih, kalau menurut dokter baiknya gimana dengan kondisi istri saya yang sekarang?”
”Mmm.. saya sih pro normal ya, jadi sesulit apapun saya usahakan normal, tapi itu kembali lagi ke pihak mas-nya..”
Gua menggaruk-garuk kepala, keputusan yang sulit.
Akhirnya setelah bertarung dengan kontraksi selama berjam-jam, tengah malam atau dini hari tanggal 6 Oktober seorang bayi laki-laki mungil hadir menyapa dunia melalui proses kelahiran secara normal. Setelah membasuh beberapa luka cakaran dibeberapa bagian di tangan dan wajah ditambah muntah-muntah karena menemani Ines melahirkan, gua kembali ke ruang persalinan untuk meng-adzani bocah ini.
”World.. Please welcome Fatih Murlan Al Khalifi..”
Gua berkata sambil menyerahkan si bayi yang sedari tadi nggak henti-hentinya menangis kepada seorang perawat, perawat tersebut kemudian menggendongnya dan menyerahkannya ke Ines yang masih terlihat lemah namun penuh senyum diwajahnya.
”Siapa bon tadi namanya?”
Ines bertanya ke gua dengan suara yang parau.
”Fatih Murlan Al Khalifi..”
”Yang artinya?..”
Ines bertanya sambil mengangkat alis.
”Fatih itu sang penakluk, diambil dari Sultan Ahmed Al Fatih, sultan turki penakluk constantine..”
”Terus...?”
”Al Khalifi itu artinya pemimpin, mudah-mudahan dia nanti bisa jadi pemimpin yang bijaksana, kalau nggak bisa jadi pemimpin umat, paling nggak bisa jadi pemimpun keluarga dan pemimpin atas dirinya sendiri..”
”Murlan..?’
Gua tersenyum sebelum menjawab.
”Murlan diambil dari nama jalan tempat tinggal kita eh.. tempat tinggal aku dulu..”
Gua bicara sambil memandang ke arah nyokap yang baru saja masuk.
Gua mengecup kening Ines,
”Selamat menjadi Ibu ya..”
Ditambah nyokap gua yang masih pola pikirnya sangat ’old school’. Kalau hamil jangan ’nyiram’ air bekas cucian ke kaki, jangan keluar malam-malam, jangan ini, jangan itu, jangan ono, jangan anu. Ines Cuma senyam-senyum kecil, bersandar dipundak gua sambil mendengarkan wejangan dari nyokap. Malam itu setelah acara pengajian dan (tentu saja) selametan (yang kedua). Nyokap duduk sambil memijat-mijat kaki mungil Ines yang tengah berbaring.
”Dirumah jangan ’ngeja’ (bikin) apa-apa nes.. ngga usah masak.. ntar kecapean..”
”Iya bu..”
”Udah lu tinggal dimari aja dah.. biarin si Oni mah didepok..”
”Yah ntar yang ngurusin Oni siapa bu?”
”Lah lu pan lagi bunting, kebalik kudu nya Oni yang ngurusin lu..”
”Hehehe.. nggak papa bu.. ”
”Elu kerja masih nyetir sendiri nes?”
”Masih bu..”
Tiba-tiba sebuah sendal melayang tepat mengenai pipi gua, kaget gua menoleh. Nyokap menggenggam sebelah sendal satunya bersiap melempar lagi.
”Orang mah jadi laki, bini lagi bunting, kerja lu anterin..”
”Yaelah.. kepagian mak kalo nganter dia mulu, baliknya juga dia mah sore, oni kadang suka balik malem..”
”Ya elu ijin kek, gimana kek..”
”Iya kali ijin masa sampe sembilan bulan.. kalo perusahaan punya engkong mah gapapa..”
”Nggak apa apa bu, aku masih bisa kok sendiri.. nanti kalo udah hamil gede baru dianter jemput..”
Ines memotong pembicaraan membela gua.
---
Selama hamil ini hampir setiap hari nyokap menelpon, kadang malah sehari bisa dua atau tiga kali. Dia benar-benar khawatir dengan kondisi Ines dan si jabang bayi. Nyokap bahkan sampai bela-belain pasang AC dirumah-nya, ditempat yang tadinya kamar gua , takut-takut kalau Ines datang menginap nanti kepanasan. Dan saat menginap pun, nyokap meng-ultimatum gua untuk tidur dibawah, jangan tidur dikasur, disebelah Ines.
”Lu kan tidurnya jabrah, ntar kalo perut bini lu ketendang gimane?”
Yang jadi sasaran bukan Cuma gua aja, bokap juga kadang juga sering kena semprot nyokap jika merokok didalam rumah saat ada Ines, setelah pindah ke teras pun, bokap masih harus menerima lemparan sendal nyokap sambil berteriak;
”Sono yang jauh ngerokok nya, asepnya masuk kedalem,, nggak kesian apa sama mantu..”
Lain Nyokap, lain pula Ines; semakin besar usia kehamilan Ines, semakin bertambah manja-nya. Apalagi yang namanya menuruti ’ngidam’-nya Ines, badan gua jadi tambah kurus. Kadang gua suka beradu argumen dengan Ines perihal mitologi ’ngidam’. Gua bersikeras kalau ’ngidam’ itu Cuma sugesti sesaat aja, nggak ada pengaruhnya sama sekali terhadap kesehatan janin atau si ibu. Tapi Ines selalu menyanggahnya dengan sebuah teori menyangkut efek psikologis yang diemban si Ibu dan pada akhirnya gua harus menyerah, bukan terhadap teori-nya Ines melainkan terhadap pandangan manja-nya yang selalu berhasil bikin lutut gua lemes.
Pernah suatu siang, gua membaca status bbm yang dibuat Ines;
”Lg ngidam asinan aseli bogor, tp yg beli harus laki gua”
Membaca status tersebut gua Cuma geleng-geleng sambil mengusap-usap wajah. Ya walaupun bisa diakali dengan gua berpura-pura membeli asinan di bogor, padahal nongkrong di sevel fatmawati kemudian beli asinan di pasar minggu. Toh Ines juga nggak tau;
”Enak nggak asinan aseli bogor-nya?”
”Enak... banget..”
Ines menyuap dua kali kemudian menyerahkannya mangkok berisi asinan ke gua.
”Nih..”
”Lah.. udah? Gitu doang?”
”Iya, udah.. Cuma ngilangin pengen doang.. kamu abisin..”
”Nggak ah, taro kulkas aja ya?”
”Nggak nggak jangan, kamu abisin sekarang!”
”Hah?”
”Abisin!!”
Gua memandang nanar ke arah asinan bogor sambil meneguk liur.
Suatu malam pernah Ines, merajuk meminta rambutan bahkan sambil menangis sesenggukan. Nggak tega, gua buru-buru menyalakan motor dan berkeliling mencari rambutan. Ya yang namanya sedang nggak musim rambutan, jelas nggak ada yang berjualan. Akhirnya setelah mondar-mandir kesana-kemari, telepon sana-sini, tanya sana- tanya sini, gua mendapatkan seikat rambutan yang terdapat disebuah sepermarket yang menjual aneka buah dan sayuran. Lokasinya ada di kebon jeruk, silahkan bayangkan sendiri; Depok – Kebon Jeruk pulang pergi hanya untuk seikat rambutan.
Kalau itu parah, masih ada yang lebih parah lagi. Sampai sekarang gua menyebutnya Parah pangkat dua. Suatu malam, Ines membangunkan gua;
”Boon.. aku mau mie..”
”Hmmm... apa?”
Gua mengucek-ngucek mata, masih belum bisa mencerna perkataan Ines.
”Aku mau mie..”
”Yaah nes.. masa malem-malem makan mie, mie instan?”
”Hooh..”
Kemudian gua ’klontangan’ di dapur tengah malam buta membuat mie instan buat Ines. Setelah selesai gua membangunkan Ines, dia bangun dan menuju ke meja makan. Gua duduk disebelahnya saat Ines Cuma memandangi Mie instan yang masih mengepul asapnya.
”Kok pake teloor siih..”
Ines mengaduk-aduk mie instan yang baru gua buat sambil pasang tampang cemberut.
”Kamu mah nggak ngerti aku banget deh bon...”
Dan dia mulai menangis. Iya sejak usia kehamilannya semakin besar dia jadi bertambah manja dan lebih sensitif.
”Lah...”
Nggak pake ’ba-bi-bu’, gua buru-buru memasak mie instan lagi, kali ini nggak ditambah telur. Setelah matang gua menyodorkan semangkuk mie instan ke hadapan Ines, yang masih terisak. Gua bener-bener bingung, padahal sebelum-sebelumnya Ines kalau makan mie instan selalu pakai telur.
Ines masih memandangi Mie instan kedua yang juga masih mengepul asapnya. Dia memutar-mutar mangkok wadah mie instan, kemudian berkata;
”Aku mau mangkok yang ada gambar ayam jago-nya..”
”Ya Allah, nes.. kita mana punya mangkok kayak gituan..”
”Ya cari kek!!!..”
Gua menggaruk-garuk kepala, bingung harus marah atau gimana, ingin rasanya gua membentur-benturkan kepala ke meja dihadapan Ines. Tapi ines mulai terisak lagi. Gua bergegas berdiri, mengambil jaket dan kunci motor. Setelah mengecup kepalanya sambil berkata ”Aku cari dulu ya..udah jangan nangis”.
Gua menembus dingin-nya angin malam kota Depok. Menghampiri satu persatu warung-warung tenda yang masih buka, tukang pecel ayam, tukang nasi goreng, tukang jamu, tukang sekoteng dan akhirnya gua berhasil mendapatkan mangkok ayam-jago di tukang mie ayam yang tengah mendorong gerobaknya sepertinya selesai berdagang dan ingin pulang.
”Bang.. punya mangkok ayam jago nggak?”
”Hah?..”
”Mangkok ayam jago..”
Si abang tukang mie ayam memandang curiga ke gua, mungkin dikiranya gua mau merampok dia, dengan modus menanyakan jenis mangkok yang dia punya.
Gua mengeluarkan selembar dua puluh ribuan dan menyodorkannya ke abang tukang mie ayam tersebut.
”Kalo ada, saya bayarin bang..”
”Oh.. yang kayak gini?”
Si abang tukang mie ayam, mengangkat mangkok bergambar ayam jago dari dalam ember yang digantung pada gagang dorongan gerobak.
”Iya bener..”
Gua menyambar mangkok tersebut dan menyerahkan selembar uang dua puluh ribuan kepadanya, kemudian meluncur meninggalkan si abang tukang mie ayam dalam kesendirian ditengah heningnya malam dijalan Nusantara, Depok.
Sesampainya dirumah, gua langsung menuju ke dapur, mencuci mangkok ayam jago dan memindahkan mie instan yang sudah mulai dingin kedalamnya. Setelah siap saji gua memanggil-manggil Ines, nggak ada jawaban. Gua masuk kekamar, Ines sudah tidur.
”Nes.. nes bangun.. itu mie plus mangkok ayam jago-nya udah ada..”
”Hmmm...”
”Bangun.. itu mie plus mangkok ayam jago-nya udah ada..”
”Ah.. males, udah nggak pengen.. ngantuk aku.. udah kamu makan aja..”
Gua bengong, shock dan terduduk di lantai bersandar ditepian kasur, menatap nanar ke langit-langit kamar sambil mengacak-ngacak rambut sendiri.
”Gila nih lama-lama gua..”
Tapi kejadian itu baru masuk ke Parah pangkat dua, kejadian berikut masuk kedalam kategori Parah pangkat tiga.
Saat itu, sabtu sore. Gua dan Ines berencana menginap di rumah nyokap. Kami berada didalam mobil menuju ke jalan ciledug raya. Tanpa ada angin, tanpa ada petir, tiba-tiba Ines mematikan radio.
”Bon.. aku mau liat layar tancep deh..”
”Hah..”
”Aku mau nonton layar tancep..”
”Udah deh nes, nggak usah yang macem-macem lah.. jaman sekarang udah nggak ada orang yang ’nanggap’ layar tancep..”
”Ish.. kamu mah.. belon dicari udah bilang nggak ada..”
”Ya kamu-nya mintanya yang aneh-aneh aja..”
”Pokoknya aku mau nonton layar tancep, titik, no excuse..”
Dan sisa perjalanan sore itu dihabiskan Ines dengan membuang muka ke arah jendela, diam sepanjang jalan. Sesampainya dirumah nyokap pun dia tetap diam, nggak berkata apa-apa dan langusng masuk kedalam kamar. Nyokap yang mengetahui gelagat tersebut, bertanya ke gua;
”Ngapa bini lu..”
”Tau tuh,..”
Gua menjawab sambil mengeluarkan tas ransel berisi pakaian Ines dari dalam mobil.
”Lu apain bini lu?”
”Kagak diapa apain maaak, dia ngidam pengen nonton layar tancep..”
”Lah.. yauda gidah sono lu cari orang yang nanggap layar..”
”Yaah mak, jaman sekarang mana ada orang yang nanggap layar..”
Nyokap memukul pundak gua kemudian bergegas masuk kedalam kamar, menyusul Ines. Kemudian dia keluar dari kamar dan mengangkat gagang telepon, sejauh yang gua dengar sih sepertinya nyokap menghubungi bokap yang sedang keluar, menanyakan dimana ada orang yang menggelar ’Layar Tancep’.
”Udah.. lu buruan pulang dah bang...”
Suara nyokap menggema diseluruh ruangan mengakhiri pembicaraan antara nyokap dan bokap via telepon.
Setelah menutup gagang telepon, nyokap buru-buru menghambur keluar rumah, bergegas ke rumah tetangga mulai dari rumah Haji Kosim, Bang Oman, Bude Niroh, Mpo Adah, Hj Hasan, Baba Jirin, menanyakan satu persatu perihal informasi ’Layar Tancep’. Gua menepuk jidat, kemudian merebahkan diri di kursi ruang tamu.
---
Semakin besar usia kehamilan Ines, level manja dan sensitif-nya semakin bertambah. Bahkan sempat beberapa malam dia tiba-tiba menangis tanpa sebab dan alasan. Pernah Ines menangis sesenggukan, saat menonton sebuah acara tentang animal discovery di tivi;
”Kamu kenapa si? Kok tau-tau nangis..”
”Itu boon, kasian rusa-nya..”
”Kenapa rusa-nya?”
”Bapak ibunya mati.. dimakan singa, dia jadi sendirian deh..”
”Ya emang udah takdirnya..”
”Kasiaan booon, jadi yatim piatu... kayak aku..”
Sejak saat itu, setiap pergi kemanapun atau melihat dimanapun, seorang anak, atau bahkan seekor binatang yang sedang sendirian dia pasti menangis. Bertanya-tanya kemana bapak-ibunya.
Beruntung kejadian seperti itu nggak sampai berlarut-larut, takutnya nanti setiap ketemu tiang listrik dia nangis ’nggoser-nggoser’ nanyain emak-bapaknya tuh tiang kemana.
Seiring waktu permintaan-permintaan anehnya yang berkedok ’ngidam’ sudah mulai berkurang intensitasnya. Ya walaupun sesekali ada permintaan seperti kue cucur, toge goreng atau sekedar nyubitin tangan gua, yang overall nggak terlalu sulit untuk diturutin.
Saat itu, akhir bulan Oktober 2012.
Usia kehamilan Ines memasuki bulan ke sembilan, dia sudah mengambil cuti dari pekerjaannya, dan pindah sementara ke rumah nyokap. Selain karena dirumah nyokap selalu ada orang yang bisa menemani, gua juga jadi bisa meninggalkan dia bekerja dengan tenang. Jam dua belas siang, ponsel gua berbunyi, Ines menelpon;
”Halo..”
”Boon.. aku udah mules-mules deeh..”
”Laah.. emak mana?”
”Ada nih..”
”Ada siapa lagi?”
”Ada bapak juga.”
”Yaudah minta anter ke Avisena (nama rumah bersalin) aja...”
”Iya.. nanti kamu langsung nyusul ya..”
”Iya..”
Gua buru-buru membereskan pekerjaan dan segera meluncur ke Rumah sakit bersalin.
Berjam-jam gua menunggu, pembukaan Ines nggak juga bertambah. Seorang dokter menghampiri gua, menjelaskan kemungkinan-kemungkinan yang bisa dilakukan; antara normal namun proses-nya pasti butuh waktu dan si ibu bakal terus merasa sakit luar biasa atau dengan proses operasi (cesar) yang bisa dilakukan kapan saja, setelah mendapat persetujuan dari pihak pasien.
”Umm dok, boleh saya bicara sama istri saya dulu..?”
”Oh, iya silahkan..”
Kemudian gua menghampiri Ines yang tengah berbaring menahan ’mules’ yang intervalnya semakin lama semakin cepat. Gua bertanya kepada Ines tentang dua opsi yang tadi dikatakan oleh dokter. Ines Cuma meringis sambil menggeleng dan berkata;
”Aku udah nggak kuat boon..”
”Yaudah operasi aja ya?”
Ines mengangguk.
Gua kembali menghampiri dokter yang masih menunggu di luar ruangan.
”Begini dok, saya dan keluarga kan awam nih, kalau menurut dokter baiknya gimana dengan kondisi istri saya yang sekarang?”
”Mmm.. saya sih pro normal ya, jadi sesulit apapun saya usahakan normal, tapi itu kembali lagi ke pihak mas-nya..”
Gua menggaruk-garuk kepala, keputusan yang sulit.
Akhirnya setelah bertarung dengan kontraksi selama berjam-jam, tengah malam atau dini hari tanggal 6 Oktober seorang bayi laki-laki mungil hadir menyapa dunia melalui proses kelahiran secara normal. Setelah membasuh beberapa luka cakaran dibeberapa bagian di tangan dan wajah ditambah muntah-muntah karena menemani Ines melahirkan, gua kembali ke ruang persalinan untuk meng-adzani bocah ini.
”World.. Please welcome Fatih Murlan Al Khalifi..”
Gua berkata sambil menyerahkan si bayi yang sedari tadi nggak henti-hentinya menangis kepada seorang perawat, perawat tersebut kemudian menggendongnya dan menyerahkannya ke Ines yang masih terlihat lemah namun penuh senyum diwajahnya.
”Siapa bon tadi namanya?”
Ines bertanya ke gua dengan suara yang parau.
”Fatih Murlan Al Khalifi..”
”Yang artinya?..”
Ines bertanya sambil mengangkat alis.
”Fatih itu sang penakluk, diambil dari Sultan Ahmed Al Fatih, sultan turki penakluk constantine..”
”Terus...?”
”Al Khalifi itu artinya pemimpin, mudah-mudahan dia nanti bisa jadi pemimpin yang bijaksana, kalau nggak bisa jadi pemimpin umat, paling nggak bisa jadi pemimpun keluarga dan pemimpin atas dirinya sendiri..”
”Murlan..?’
Gua tersenyum sebelum menjawab.
”Murlan diambil dari nama jalan tempat tinggal kita eh.. tempat tinggal aku dulu..”
Gua bicara sambil memandang ke arah nyokap yang baru saja masuk.
Gua mengecup kening Ines,
”Selamat menjadi Ibu ya..”
Backsound
Bias sinar di matamu
Indah tebarkan cinta
Semerbak kasihmu
Luluhkan relung hitam
Oh melati mekar mewangi
Menebarkan sari
Masa indah masa biru
Masa bersemi
Ku ingin terbang bersamamu
Dan gapai mentari
Tak ingin lepas tak menentu
Jiwa dan batinku
Terangi rasa hatiku yang membeku
Tebari bunga jalanku yang lugu
Untuk diriku (untuk diriku)
Tak\`kan sedih kumenangis
Tak\`kan pula tertawa
Bayangmu kan slalu bersinar
Walau waktu berjalan
Bias sinar di matamu
Indah tebarkan Cinta
Bias sinar di matamu
Indah tebarkan cinta
Semerbak kasihmu
Luluhkan relung hitam
Oh melati mekar mewangi
Menebarkan sari
Masa indah masa biru
Masa bersemi
Ku ingin terbang bersamamu
Dan gapai mentari
Tak ingin lepas tak menentu
Jiwa dan batinku
Terangi rasa hatiku yang membeku
Tebari bunga jalanku yang lugu
Untuk diriku (untuk diriku)
Tak\`kan sedih kumenangis
Tak\`kan pula tertawa
Bayangmu kan slalu bersinar
Walau waktu berjalan
Bias sinar di matamu
Indah tebarkan Cinta
Spoiler for Klipnya:
Diubah oleh robotpintar 02-04-2014 01:27
aripinastiko612 dan 15 lainnya memberi reputasi
16
Kutip
Balas