- Beranda
- Stories from the Heart
Close X Cross
...
TS
Travestron
Close X Cross
Chapter 1
The Club
Le GanBaTei Cafe
Malam mulai menyelimuti Jakarta, beberapa tempat nongkrong dan hiburan malam mulai dipenuhi tamu tamu setia mereka, baik untuk sekedar istirahat, berkumpul, atau menikmati secangkir kopi pelepas lelah. begitupun di salah satu sudut kota ini, tempat Anna dan Maya sedang duduk di meja bartender menikmati minuman mereka hasil racikan Sera, bartender Le GanBaTei.
“Ser, lemon tea aku kok asem banget ya?” Keluh Maya pada Sera.
“Kalau keasaman liatin wajah aku aja myaw?” goda Sera sambil mengedipkan mata.
“Dasar kucing, kamu kira aku lesbi apa?” sambil tersenyum balas menggoda.
“Hei kalo mau godain pegawai kesayangan gue godain gue dulu atuh Neng” bisik Lily di samping telinga Maya dengan sedikit hembusan nafas yang membuat Maya geli menggidik.
“Ih kalian apa-apaan sih, perempuan jadi-jadian mau sok jantan, udah trima nasib aja.” celetuk Anna kepada junior-juniornya yang saling menggoda sambil browsing dengan Note Pad nya dan browsing beberapa berita yang menarik. Waria satu ini menunjukkan bahwa waria pun harus sangat berwawasan.
“Mami ih, Lily ni yang godain aku, sok laki kali dia belain Sera” Bantah Maya.
“Gue masih Laki ya, mau liat?” Sambil memegang zipper skinny jeans model cewek yang di pakainya.
“Heh, laki engga ada yang make jeans begituan”. Celetuk Maya. “lagian cuma pajangan aja bangga”
“Heh perempuan....”
“Hus, brisik deh ya anak-anak mami, baru sebulan ni kafe buka bisa bubar gara-gara kalian yang berisik” potong Anna sebelum Lily membalas ucapan Maya.
“Dia nih Mi duluan!” Protes Lily.
“Hmmm.... Ser, Mochiatto kamu pas deh sesuai selera mami, makasih ya Sayang” ucap Anna sambil menikmati secangkir Mochiatto-nya.
“Thanks my lovely mommy, myaw”
“Eh, BTW Dea mana Ly? Kok engga keliatan hari ini”
“Lagi keluar bentar Mom, ada side job lain katanya”
“Nyebong[1]?”
“Mami ih, kayak engga kenal dia aja! Dia kan lesbong[2] mam!” Potong Sera disertai tawa kecilnya Maya dan Lily.
“Ada job make up assistant di JFW[3], Jessy tadi call, butuh tenaga tambahan katanya” jelas Lily
“Bagus deh, karir anak-anak mami makin nanjak semua”
“Ia dong mi, masak mau di jalan terus, naik kelas dong” tambah Maya.
“May, tadi pagi gue liat ada lekong[4] di kamar lu?” tanya Sera. Sera merasa wajib bertanya pada teman-teman dekatnya terhadap siapa saja tamu yang terlihat di kamar kos-kosan miliknya. Walaupun di cafe dia bekerja di bawah Lily, tapi dia tetaplah pemilik kos tempat Lily dan teman-temannya tinggal.
“Ia , temen aku dari Medan dateng” jelas Maya.
“Temen apa temen?” introgasi Lily.
“Temen lho, nanti dia mau kemari, nih aku tunjukin fotonya.” Maya lalu membuka sebuah page facebook, akun dengan nama Nadilla Humaira. Koleksi foto yang terlihat hanya seorang perempuan dengan hijab casual, dan beberapa foto lain sang pemilik akun dengan pakaian modis dengan model yang unik. Lily dan Anna terlihat bingung dan engga yakin dengan apa yang di tunjukan, sedikit berbeda dengan pernyataan Sera.
“Ser, lu yakin tadi cowok?” tanya Anna meyakinkan.
Sera segera menyelesaikan orderan minuman yang dibuatnya dan kembali menuju Anna, Sera memperhatikan dengan serius.
“Eh, kok mirip ya? Tapi kok perempuan?” Sera memperhatikan lebih jelas dan membongkar beberapa foto yang Maya tunjukkan.
“Kenapa dengan fotonya? Jelek ya?” tanya seseorang yang tiba-tiba muncul di belakang Maya. Sera, Maya, Anna, Lily yang semula serius melihat foto semua menoleh ke suara tersebut.
“Hey... kenalin designer muda kita, Dilla”. Maya memperkenalkan Dilla pada Geng-nya. Semua memperhatikan Dilla. “Semua pakaian dan kreasi hijab yang kalian liat tadi adalah hasil karya tangannya".
“Jangan percaya Maya, aku cuma tukang jahit biasa kok.” Ungkap Dilla merendah.
Sera memperhatikan pakaian Dilla, kaos o neck lengan panjang, sweather tipis panjang sampai lutut tanpa lengan, mengingatkan Sera pada Philip, karakter di Kamen Rider Double yang sering ditonton Dea “Lu otaku[5]?”.
“Ia, fashion Jepang jadi inspirasi aku.”
“Hmmm.... satu lagi ya...” ucap Lily, di ikuti senyum penuh arti yang lainnya.
“Mungkin lu harus kenal Dea. Kalian mungkin cocok” tambah Sera, ada raut bingung di wajah Dilla. Tapi senyumnya menutupi raut tersebut.
“Oh ya, Dil kenalin. Temen-temen aku, mereka tinggal di kosan yang sama dengan kita, kalau ada apa-apa kamu bisa minta bantuan dengan mereka”
“Anna, Kamu bukan gay kan ya? Suka yang lebih mateng engga?” senyum genit mama Anna.
“Lily, Owner Caffe ini. kalo mau pesen bilang aja ke aku langsung. Aku kasih diskon kok,selama seminggu,hihi...” Lily tak mau kalah menggoda.
“Samantha, panggil aja Sera, kalau butuh apa-apa di kos, ketuk aja pintu ku. Buat kamu aku pasti ada”. Sera pun tak mau kalah.
“duduk Dil” Maya mempersilahkan Dila duduk di sebelahnya, Sera, Anna dan Lily memperhatikan cowok cantik yang ada di sebelah mereka, cara bicaranya tidak seperti waria. Lebih lelaki, tapi ada sesuatu yang salah dengan dia.
Dilla mengambil posisi duduk di sebelah Maya dan duduk dengan menyilangkan kaki. “Yah.....” keluh Sera, Lily dan Anna. Menggugaratkan wajah kecewa. “Setengah mateng juga rupanya”.
“Dilla ada urusan apa ke Jakarta?” tanya Anna.
“Mau kerja Mbak”
“Kok panggil Mbak sih, panggil Mami aja gimana? Mau kerja apa?”
“Ia, m... Mam.”
“aku mau belajar design Mbak... eh Mam, sekalian buka usaha kalau bisa disini”
“Ia Mom, kami mau pergi ke JFW bentar lagi, sekalian mau cari mesin jahit yang murah dan bagus. By The Way Dea disana kan Ly?” jelas Maya.
“Ia, teteh hubungin aja”
“grgrgrgrgrgrgt” getaran muncul di Handphone Lily. Sebuah pesan masuk dihapenya.
“Siapa say?” tanya Sera.
“Papi, dia pesan sesuatu kalo aku pergi ke Bandung”
“kamu besok jadi ke Bandung?”
“Iya sayang, sekalian mau ziarah. Jaga cafe baik-baik ya Ser selama aku pergi”
“Hendra? udah empat tahun ya?” tanya Anna.
“Iya mom” ada sedikit guratan kesedihan di wajah Lily.
“Kenapa lily” Dilla berbisik pada Maya.
“Besok tepat empat tahun pacar lily meninggal”.
Lily
Bandung, 2009
Mungkin aku engga akan pernah menemukan pria sebaik dia, yang menerima aku apa adanya, yang menerima aku seperti wanita seutuhnya. Karena itu aku menerimanya, dan menyayanginya apa adanya dia. Dia hendra, pria yang dua tahun ini sudah mengisi hidupku dan hari-hariku. Pria yang hampir sempurna dimataku kecuali satu hal.
“Udah makannya?” Tanyaku setelah Hendra mulai mual dengan hampir satu bungkus nasi padang yang aku suapi kepadanya
“Udah ah, aku, kenyang” aku tak tega melihat badannya yang semakin kurus.ironisnya Melihat itu aku juga semakin tidak nafsu makan. aku memberikan segelas air putih yang di ambilnya dari dispenser kamar kami.
Setelah aku meminumkan air yang di gelas kepadanya aku bertanya “Mau sampe kapan kamu begini?”
Hendra menjawab “Aku bisa nanya hal yang sama buat kamu”
“Aku bakal langsung berhenti jualan ini pas hutang ke rentenir brengsek itu lunas, yang gak bisa dilakuin sampe sekarang kalo kamu masih aja ngerusak tubuh kamu kayak gini”
“Ya... kamu tau kan kalo aku mau rehab nanti, aku gak bakal bohong ke kamu”
“Kapan? Udah berbulan-bulan kamu bilang itu tapi sampe sekarang...”
“Aku gak bakal bohong kalo aku lagi gak “nagih””
Nada suaraku semakin meninggi “Aku bosen tau gak nyeramahin kamu! kenapa sih kamu gak pernah dengerin omonganku!?”
Suara hendra agak lemas, tapi terdengar seperti agak marah juga “Ya udah... tampar lagi aja aku kayak waktu itu, ajarin kalo aku ini salah, kamu itu bener, kasih tau aku kalo jualan heroin itu jauh lebih baik daripada jadi pembeli, itu kan yang mau kamu bilang?”
Mendengar kata itu aku hanya terdiam tak bisa mengeluarkan sepatah kata, aku tau bahwa aku sudah menjadi pengedar jauh sebelum Hendra menjadi pecandu berat, kurasa ini karma atas pilihan hidup yang kujalani, aku hanya bisa mendesah putus asa dan duduk termenung di sampingnya.
“Aku sayang sama kamu, dan aku tau kalo aku bukan contoh yang baik buat kamu, tapi aku berusaha ngelakuin yang terbaik buat kamu, aku gak mungkin ninggalin kamu begitu aja, gak dalam keadaan kamu kayak gini... maaf kalo kamu merasa aku bikin kamu terjerumus begini” Aku mulai menitikan air mata.
Hendra kemudian merangkul tubuhku, lalu berkata “Aku gak pernah bilang begitu, aku tau kamu udah berusaha yang terbaik buat aku, dan aku hargai itu,tapi... ini sulit Ly, sangat-sangat sangat sulit, buat bisa lepas dari ini, benda ini bikin aku kehilangan semuanya, secara fisik ataupun mental,tapi aku bakal ngasih harapan ke kita berdua,bahwa suatu hari nanti,aku bisa berhenti, dan kita bisa lepas dari cengkraman tragedi ini, lalu kita mengendarai sepeda motor berdua menuju matahari yang terbenam, seperti dulu lagi,pastiin kamu gak kehilangan itu” lalu hendra memberikanku kecupan di pipi.
Aku menatap wajahnya dan tersenyum,membayangkan masa suka cita kami dulu, sebelum aku terjun ke dalam bisnis ini, masa di saat kami hanyalah sepasang sejoli bahagia,mengendarai sepeda motor besar, menjelajahi tempat dan jalan-jalan di kota Bandung bersama, Hendra mulai menyentuh wajahku dengan lembut, perlahan wajahnya mulai mendekati wajahku,aku hanya terpana dengan itu, aku mulai menyayukan mata, sampai dia mencium bibirku, aku memejamkan mata,kami bercumbu untuk beberapa saat, sampai handphoneku berdering.
BERSAMBUNG
Catatan kaki
[1] Istilah lain untuk jual diri.
[2] lesbian
[3] Jakarta Fashion Week
[4] Laki-laki
[5] (Jepang) sebutan untuk penggemar anime, manga, atau tokusatsu
INDEX
Deskripsi para Tokoh utama.
The Club
Le GanBaTei Cafe
Malam mulai menyelimuti Jakarta, beberapa tempat nongkrong dan hiburan malam mulai dipenuhi tamu tamu setia mereka, baik untuk sekedar istirahat, berkumpul, atau menikmati secangkir kopi pelepas lelah. begitupun di salah satu sudut kota ini, tempat Anna dan Maya sedang duduk di meja bartender menikmati minuman mereka hasil racikan Sera, bartender Le GanBaTei.
“Ser, lemon tea aku kok asem banget ya?” Keluh Maya pada Sera.
“Kalau keasaman liatin wajah aku aja myaw?” goda Sera sambil mengedipkan mata.
“Dasar kucing, kamu kira aku lesbi apa?” sambil tersenyum balas menggoda.
“Hei kalo mau godain pegawai kesayangan gue godain gue dulu atuh Neng” bisik Lily di samping telinga Maya dengan sedikit hembusan nafas yang membuat Maya geli menggidik.
“Ih kalian apa-apaan sih, perempuan jadi-jadian mau sok jantan, udah trima nasib aja.” celetuk Anna kepada junior-juniornya yang saling menggoda sambil browsing dengan Note Pad nya dan browsing beberapa berita yang menarik. Waria satu ini menunjukkan bahwa waria pun harus sangat berwawasan.
“Mami ih, Lily ni yang godain aku, sok laki kali dia belain Sera” Bantah Maya.
“Gue masih Laki ya, mau liat?” Sambil memegang zipper skinny jeans model cewek yang di pakainya.
“Heh, laki engga ada yang make jeans begituan”. Celetuk Maya. “lagian cuma pajangan aja bangga”
“Heh perempuan....”
“Hus, brisik deh ya anak-anak mami, baru sebulan ni kafe buka bisa bubar gara-gara kalian yang berisik” potong Anna sebelum Lily membalas ucapan Maya.
“Dia nih Mi duluan!” Protes Lily.
“Hmmm.... Ser, Mochiatto kamu pas deh sesuai selera mami, makasih ya Sayang” ucap Anna sambil menikmati secangkir Mochiatto-nya.
“Thanks my lovely mommy, myaw”
“Eh, BTW Dea mana Ly? Kok engga keliatan hari ini”
“Lagi keluar bentar Mom, ada side job lain katanya”
“Nyebong[1]?”
“Mami ih, kayak engga kenal dia aja! Dia kan lesbong[2] mam!” Potong Sera disertai tawa kecilnya Maya dan Lily.
“Ada job make up assistant di JFW[3], Jessy tadi call, butuh tenaga tambahan katanya” jelas Lily
“Bagus deh, karir anak-anak mami makin nanjak semua”
“Ia dong mi, masak mau di jalan terus, naik kelas dong” tambah Maya.
“May, tadi pagi gue liat ada lekong[4] di kamar lu?” tanya Sera. Sera merasa wajib bertanya pada teman-teman dekatnya terhadap siapa saja tamu yang terlihat di kamar kos-kosan miliknya. Walaupun di cafe dia bekerja di bawah Lily, tapi dia tetaplah pemilik kos tempat Lily dan teman-temannya tinggal.
“Ia , temen aku dari Medan dateng” jelas Maya.
“Temen apa temen?” introgasi Lily.
“Temen lho, nanti dia mau kemari, nih aku tunjukin fotonya.” Maya lalu membuka sebuah page facebook, akun dengan nama Nadilla Humaira. Koleksi foto yang terlihat hanya seorang perempuan dengan hijab casual, dan beberapa foto lain sang pemilik akun dengan pakaian modis dengan model yang unik. Lily dan Anna terlihat bingung dan engga yakin dengan apa yang di tunjukan, sedikit berbeda dengan pernyataan Sera.
“Ser, lu yakin tadi cowok?” tanya Anna meyakinkan.
Sera segera menyelesaikan orderan minuman yang dibuatnya dan kembali menuju Anna, Sera memperhatikan dengan serius.
“Eh, kok mirip ya? Tapi kok perempuan?” Sera memperhatikan lebih jelas dan membongkar beberapa foto yang Maya tunjukkan.
“Kenapa dengan fotonya? Jelek ya?” tanya seseorang yang tiba-tiba muncul di belakang Maya. Sera, Maya, Anna, Lily yang semula serius melihat foto semua menoleh ke suara tersebut.
“Hey... kenalin designer muda kita, Dilla”. Maya memperkenalkan Dilla pada Geng-nya. Semua memperhatikan Dilla. “Semua pakaian dan kreasi hijab yang kalian liat tadi adalah hasil karya tangannya".
“Jangan percaya Maya, aku cuma tukang jahit biasa kok.” Ungkap Dilla merendah.
Sera memperhatikan pakaian Dilla, kaos o neck lengan panjang, sweather tipis panjang sampai lutut tanpa lengan, mengingatkan Sera pada Philip, karakter di Kamen Rider Double yang sering ditonton Dea “Lu otaku[5]?”.
“Ia, fashion Jepang jadi inspirasi aku.”
“Hmmm.... satu lagi ya...” ucap Lily, di ikuti senyum penuh arti yang lainnya.
“Mungkin lu harus kenal Dea. Kalian mungkin cocok” tambah Sera, ada raut bingung di wajah Dilla. Tapi senyumnya menutupi raut tersebut.
“Oh ya, Dil kenalin. Temen-temen aku, mereka tinggal di kosan yang sama dengan kita, kalau ada apa-apa kamu bisa minta bantuan dengan mereka”
“Anna, Kamu bukan gay kan ya? Suka yang lebih mateng engga?” senyum genit mama Anna.
“Lily, Owner Caffe ini. kalo mau pesen bilang aja ke aku langsung. Aku kasih diskon kok,selama seminggu,hihi...” Lily tak mau kalah menggoda.
“Samantha, panggil aja Sera, kalau butuh apa-apa di kos, ketuk aja pintu ku. Buat kamu aku pasti ada”. Sera pun tak mau kalah.
“duduk Dil” Maya mempersilahkan Dila duduk di sebelahnya, Sera, Anna dan Lily memperhatikan cowok cantik yang ada di sebelah mereka, cara bicaranya tidak seperti waria. Lebih lelaki, tapi ada sesuatu yang salah dengan dia.
Dilla mengambil posisi duduk di sebelah Maya dan duduk dengan menyilangkan kaki. “Yah.....” keluh Sera, Lily dan Anna. Menggugaratkan wajah kecewa. “Setengah mateng juga rupanya”.
“Dilla ada urusan apa ke Jakarta?” tanya Anna.
“Mau kerja Mbak”
“Kok panggil Mbak sih, panggil Mami aja gimana? Mau kerja apa?”
“Ia, m... Mam.”
“aku mau belajar design Mbak... eh Mam, sekalian buka usaha kalau bisa disini”
“Ia Mom, kami mau pergi ke JFW bentar lagi, sekalian mau cari mesin jahit yang murah dan bagus. By The Way Dea disana kan Ly?” jelas Maya.
“Ia, teteh hubungin aja”
“grgrgrgrgrgrgt” getaran muncul di Handphone Lily. Sebuah pesan masuk dihapenya.
“Siapa say?” tanya Sera.
“Papi, dia pesan sesuatu kalo aku pergi ke Bandung”
“kamu besok jadi ke Bandung?”
“Iya sayang, sekalian mau ziarah. Jaga cafe baik-baik ya Ser selama aku pergi”
“Hendra? udah empat tahun ya?” tanya Anna.
“Iya mom” ada sedikit guratan kesedihan di wajah Lily.
“Kenapa lily” Dilla berbisik pada Maya.
“Besok tepat empat tahun pacar lily meninggal”.
Lily
Bandung, 2009
Mungkin aku engga akan pernah menemukan pria sebaik dia, yang menerima aku apa adanya, yang menerima aku seperti wanita seutuhnya. Karena itu aku menerimanya, dan menyayanginya apa adanya dia. Dia hendra, pria yang dua tahun ini sudah mengisi hidupku dan hari-hariku. Pria yang hampir sempurna dimataku kecuali satu hal.
“Udah makannya?” Tanyaku setelah Hendra mulai mual dengan hampir satu bungkus nasi padang yang aku suapi kepadanya
“Udah ah, aku, kenyang” aku tak tega melihat badannya yang semakin kurus.ironisnya Melihat itu aku juga semakin tidak nafsu makan. aku memberikan segelas air putih yang di ambilnya dari dispenser kamar kami.
Setelah aku meminumkan air yang di gelas kepadanya aku bertanya “Mau sampe kapan kamu begini?”
Hendra menjawab “Aku bisa nanya hal yang sama buat kamu”
“Aku bakal langsung berhenti jualan ini pas hutang ke rentenir brengsek itu lunas, yang gak bisa dilakuin sampe sekarang kalo kamu masih aja ngerusak tubuh kamu kayak gini”
“Ya... kamu tau kan kalo aku mau rehab nanti, aku gak bakal bohong ke kamu”
“Kapan? Udah berbulan-bulan kamu bilang itu tapi sampe sekarang...”
“Aku gak bakal bohong kalo aku lagi gak “nagih””
Nada suaraku semakin meninggi “Aku bosen tau gak nyeramahin kamu! kenapa sih kamu gak pernah dengerin omonganku!?”
Suara hendra agak lemas, tapi terdengar seperti agak marah juga “Ya udah... tampar lagi aja aku kayak waktu itu, ajarin kalo aku ini salah, kamu itu bener, kasih tau aku kalo jualan heroin itu jauh lebih baik daripada jadi pembeli, itu kan yang mau kamu bilang?”
Mendengar kata itu aku hanya terdiam tak bisa mengeluarkan sepatah kata, aku tau bahwa aku sudah menjadi pengedar jauh sebelum Hendra menjadi pecandu berat, kurasa ini karma atas pilihan hidup yang kujalani, aku hanya bisa mendesah putus asa dan duduk termenung di sampingnya.
“Aku sayang sama kamu, dan aku tau kalo aku bukan contoh yang baik buat kamu, tapi aku berusaha ngelakuin yang terbaik buat kamu, aku gak mungkin ninggalin kamu begitu aja, gak dalam keadaan kamu kayak gini... maaf kalo kamu merasa aku bikin kamu terjerumus begini” Aku mulai menitikan air mata.
Hendra kemudian merangkul tubuhku, lalu berkata “Aku gak pernah bilang begitu, aku tau kamu udah berusaha yang terbaik buat aku, dan aku hargai itu,tapi... ini sulit Ly, sangat-sangat sangat sulit, buat bisa lepas dari ini, benda ini bikin aku kehilangan semuanya, secara fisik ataupun mental,tapi aku bakal ngasih harapan ke kita berdua,bahwa suatu hari nanti,aku bisa berhenti, dan kita bisa lepas dari cengkraman tragedi ini, lalu kita mengendarai sepeda motor berdua menuju matahari yang terbenam, seperti dulu lagi,pastiin kamu gak kehilangan itu” lalu hendra memberikanku kecupan di pipi.
Aku menatap wajahnya dan tersenyum,membayangkan masa suka cita kami dulu, sebelum aku terjun ke dalam bisnis ini, masa di saat kami hanyalah sepasang sejoli bahagia,mengendarai sepeda motor besar, menjelajahi tempat dan jalan-jalan di kota Bandung bersama, Hendra mulai menyentuh wajahku dengan lembut, perlahan wajahnya mulai mendekati wajahku,aku hanya terpana dengan itu, aku mulai menyayukan mata, sampai dia mencium bibirku, aku memejamkan mata,kami bercumbu untuk beberapa saat, sampai handphoneku berdering.
BERSAMBUNG
Catatan kaki
[1] Istilah lain untuk jual diri.
[2] lesbian
[3] Jakarta Fashion Week
[4] Laki-laki
[5] (Jepang) sebutan untuk penggemar anime, manga, atau tokusatsu
INDEX
Spoiler for Index:
Deskripsi para Tokoh utama.
Spoiler for CHAR:
Diubah oleh Travestron 13-09-2014 13:56
anasabila memberi reputasi
1
19.8K
42
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
Travestron
#12
Chapter 6
Bandung, 2014
Lily baru tiba di Bandung pagi hari dengan mobil yang dipinjam dari Anna, dia menghubungi seseorang di dekat stasiun Cimindi. Dia ada janji dengan seseorang hari itu, tapi tak ada yang mengangkat teleponnya. Tak lama kemudian seorang pria datang ke area stasiun memakai jaket hitam plus helm half face bermotif Doraemon,mengendarai sepeda motor bebek. Pria yang sedari tadi dihubungi dan ditunggu Lily. “Sori lama, ada kerjaan tadi”. Ucap pria itu.
“engga apa A’, Aa’ parkir aja dulu, naik mobil aku aja.” Ucap Lily.
Tak lama kemudian mereka telah ada di dalam satu mobil.
“Ih adik Aa’ nu badung pulang dari jakarta sukses nya’”
“Apaan sih A’ ini Cuma pinjeman kok, hehe..” Lily menghentikan ucapannya sambil mencari parkiran untuk tujuan berikutnya yang tak jauh dari stasiun Cimindi. “Papap sama Mamah sehat A?”
“alhamdulillah, Kamu aja yang engga pernah pulang, udah lima tahun kan?” Desta mengingatkan adik semata wayangnya ini.
“iya A’ lupain aja, aku engga mau Mamah sama Papap malu kalau aku pulang liat kondisi anaknya seperti ini” Lilly mengingatkan Desta bahwa adiknya ini sudah berubah, bukan lagi Ali, adik kecilnya yang pemalu dan penakut dulu. Berganti menjadi waria cantik, yang mencoba untuk sukses setelah masa kelamnya beberapa tahun terakhir.
“Ya gak apa-apa atuh dek, yang penting kamu gak nelantarin Mamah sama Papap yang udah tua”
Lily tersenyum bahagia mengetahui bahwa uang yang selalu dia kirim setiap bulan ke orangtuanya dihargai oleh kakaknya, lalu berkata “Aa’ hari ini temenin Aku ya?”
“iya, demi adek Aa yang jarang pulang, Aa hari ini izin deh”. Ucap desta mengabulkan permintaan adiknya.
Lily memarkirkan Mobil Jazz Silvernya tepat disamping pekuburan yang tak jauh dari stasiun. Tak membuang waktu Lily dan Desta lalu turun menuju pekuburan itu. “Aa inget dimana dikuburinnya?”
“kamu baru sekali ya kesini?” ucap Desta, dia memandang wajah lily yang sibuk memandang dan mencoba mengingat dimana dengan wajah murung.
“Sini, Aa tunjukin”. Desta lalu maju beberapa meter, dia sepertinya sudah hapal dengan lokasi yang dicari.
“Aa’ hampir tiap taun ke sini, jaga amanah kamu waktu kamu masih ‘disekolahin’, Aa juga kemari dulu kalo rindu sama kamu, sekalian bilang makasih sama Almarhum, udah jagain adek Aa nu geulis kieu” sambil mengelus rambut Lily.
Tak lama Desta berhenti tepat di sebuah kuburan. Ada deretan huruf dan angka yang terukir di nisan tersebut.
Hendra Kusnadi
1987-2009
Lily
Bandung, 2009
Hari ini seperti yang telah di janjikan aku dan Hendra berangkat menuju lokasi pertemuan menggunakan sepeda motornya. Tempat dimana aku harus mengantar barang pesanan klien ku kali ini. barang tersebut diantar di sebuah rumah yang cukup sederhana di pinggiran kota Bandung. Dengan diboncengi Hendra tak sampai satu jam kami sudah sampai di lokasi.
Suara musik mix sudah terdengar dari depan pintu, menandakan bahwa pesta sudah dimulai. Aku mengetuk pintu dan dibuka setengah oleh seseorang yang tidak di kenalnya. “Vino mana? Bilang lily antar pesanan”.
Mendengar ucapanku orang tersebut langsung tersenyum membuka pintu, dan mempersilahkan kami masuk. “Vin barangnya udah nyampe” teriaknya, agar suaranya tak tenggelam oleh riuhnya suara musik. Ada delapan orang disana, lima orang pria dan tiga orang wanita. Tapi yang ku kenal hanya satu orang. Dia yang dipanggil dengan sebutan Vino, anak yang memesan barang haram milikku.
Kami langsung menuju meja dimana Vino dan teman-temannya sedang duduk menikmati Minuman keras dimeja mereka, juga menikmati kesadaran mereka yang semakin hilang oleh minuman tersebut. Mungkin karena belum cukup hilang kesadaran mereka masih memesan barangku.
“Nih, pesenan lu, jangan sampe OD ya,rugi gue kalo ilang langganan kayak lo” ucapku dengan nada canda sambil meletakkan beberapa butir pil, dan serbuk yang sudah kubungkus dalam plastik ukuran sangat kecil.
“Yoi, lu emang BD top deh. Tenang aja gua engga bakal terus jadi langganan setia lo” ucapnya sambil mengeluarkan beberapa lembar uang tunai ratusan ribu rupiah yang kemudian di serahkan kepadaku. Aku menyambutnya sambil menghitung kmbali, lebih beberapa lembar dari yang di janjikan. Ini asiknya berdagang dengan pelanggan satu ini dia tak pernah lupa untuk memberi tip lebih. “Thanks ya say, nyantai aja di sini kalo lagi engga buru-buru” kata salah satu teman Vino
“Oke, lu coba tuh, barang bagus. Baru masuk minggu kemarin”
“Wah, eh lu masih hubungan dengan koh A Wi?” tanya Vino sedikit serius kali ini.
Aku mengingat nama tersebut, salah satu bandar besar di Bandung. Dulu aku sempat menjadi kurir bagi nama tersebut, dan mengambil produk dari nya. Tapi sejak setengah tahun lalu Aku sudah tidak berhubungan lagi karena mengetahui bahwa Hendra biasa membeli dari salah seorang anak buahnya. Setelah mengetahui bandar besar baru yang lebih menguntungkan aku lepas dari Koh A Wi.
“Kenapa dia?” tanyaku sedikit penasaran.
“Gua denger dia minggu lalu di ciduk pas lagi pesta, lu mulai hati-hati deh sekarang” pesan Vino.
“oh, jadi si ** SENSOR ** itu ketangkep? Syukur deh. Gua udah lama ngga hubungan sama dia”. Aku kali ini menatap Hendra, yang mendengar dengan serius. Aku tau bulan lalu dia masih berhubungan dengan anak buahnya. Kali ini wajah hendra sedikit pucat, mungkin ada sedikit ketakutan dia mendengar berita ini.
Lebih dari setengah jam setelah aku dan Hendra membawa paket, kami menikmati pesta itu. Vino dan teman-temannya sudah semakin larut dalam pengaruh obat, Bahkan ada salah satu pasangan yang mulai bercumbu di salah satu pojok ruangan tanpa memikirkan orang-orang yang ada di sekitarnya. Aku dan hendra sendiri hanya menikmati minuman dan riuhnya musik mereka hari itu. Sedikit aneh dengan Hendra, hari ini dia tidak ikut untuk menikmati obat tersebut. Walau hal tersebut cukup membahagiakan karena ini yang mungkin ku harapkan. Dia menepati janjinya. Membuatku semakin bergairah untuk mengecupnya malam ini.
“Li, aku keluar sebentar ya, beli rokok” Hendra permisi meninggalkan pesta dan aku diantara pemuda-pemuda mabuk ini.
“Sayang” ucapku memanggilnya yang sudah berdiri di depan pintu. “Cepet balik ya” yang hanya dibalas dengan senyuman.
Lima menit kemudian hendra kembali, kali ini ini wajahnya terlihat pucat dan buru-buru. Dia menarik tanganku kearah pintu belakang rumah. Tak ada yang memperhatikan mungkin karena semua penghuninya dalam keadaan mabuk. “Kita pergi sekarang”
“Hah? Kenapa?” aku heran dengan apa yang terjadi.
“Rumah ini udah dikepung” wajah Hendra keliatan panik “ada polisi yang udah ngintai tempat ini,dan ini bukan omongan parno karena ngobat, aku tau mereka lagi di sana”. Dia segera menarikku untuk keluar lewat pintu belakang rumah. Ada sebuah dinding yang menghalangi kami. “kamu panjat duluan, cepet”.
Aku segera memanjat pintu belakang rumah dibantu oleh hendra. Saat hendra mencoba naik kami mendengar suara dari dalam rumah “BRUUUUK” seperti suara pintu yang di dobrak paksa. Terdengar suara bentakan & jeritan dari dalam rumah Aku dan hendra semakin panik. Aku menarik tangan Hendra agar dia bisa melewati dinding pembatas ini dengan cepat. Suara-teriakan teriakan dari dalam rumah semakin terdengar jelas, dibarengi dengan suara tembakan saat kami berdua sudah ada di atas pagar pembatas. Ada jalan sempit rupanya di belakang rumah ini. sepertinya kami harus melompat kali ini untuk bisa turun.
“BRUUUUK” kali ini pintu belakang yang di dobrak, seorang polisi melihat kearah kami “Di Sana!” teriak polisi tersebut.
Kami berdua terus berlari, beberapa personil polisi sepertinya mulai mengejar dari arah belakang kami, tanpa memberikan tembakan peringatan, apa lagi sekedar peringatan verbal, mereka langsung menembaki kami. Kami pun berusaha membela diri kami dengan berlindung di balik tembok & tempat pembuangan sampah besi mengeluarkan senapan api pistol yang kami bawa dan mulai menembaki ke arah mereka untuk menghambat pengejaran mereka.
Terjadi baku tembak diantara aku bersama Hendra, menghadapi beberapa personil buser kepolisian,untungnya tempat berlindung di sisi mereka sangat minim dan mudah ditembus peluru, Hendra memberikan tembakan surpresif sementara tembakan terbidik akuratku berhasil mengenai beberapa personil polisi, mereka langsung mundur mengevakuasi polisi yang terluka tersebut, mereka tidak sekompeten yang kuduga.
“ayo,pasti bakal lebih banyak dari mereka yang dateng,cepet,mumpung rute ini belom mereka tutup” kata Hendra
Kami pun berlari menuju jalan keluar gang tersebut,namun tak disangka, setelah berada di jalan keluar,tiba-tiba Hendra mendorong tubuhku,lalu terdengar letusan suara senapan api laras panjang “Dhuaarr...” aku melihat hendra yang dadanya mulai berlumuran darah,dia menjatuhkan pistolnya dan mulai terjatuh tersungkur,ternyata hendra menyelamatkanku dari bidikan penembak jitu kepolisian.
Tubuhku terasa sangat kaku melihat dirinya yang sudah memejamkan mata tanpa sempat mengucapkan kata terakhir, aku langsung menghampiri tubuh Hendra yang berlumuran darah dan memeluknya
“Hendra... plis jangan mati... hendra,kamu udah mau berubah jadi lebih baik,jangan nyerah gitu aja... Hendra... HENDRA!!!....”
Aku menangis histeris atas kematiannya, aku sudah tidak peduli lagi untuk melarikan diri,aku sudah kehilangan satu-satunya harapanku untuk bisa hidup bersama orang yang kucintai, sampai pada akhirnya bunyi sirine semakin dekat dan seorang personil polisi menarik & memborgol diriku yang masih berduka atas meninggalnya kekasihku.
BERSAMBUNG
Bandung, 2014
Lily baru tiba di Bandung pagi hari dengan mobil yang dipinjam dari Anna, dia menghubungi seseorang di dekat stasiun Cimindi. Dia ada janji dengan seseorang hari itu, tapi tak ada yang mengangkat teleponnya. Tak lama kemudian seorang pria datang ke area stasiun memakai jaket hitam plus helm half face bermotif Doraemon,mengendarai sepeda motor bebek. Pria yang sedari tadi dihubungi dan ditunggu Lily. “Sori lama, ada kerjaan tadi”. Ucap pria itu.
“engga apa A’, Aa’ parkir aja dulu, naik mobil aku aja.” Ucap Lily.
Tak lama kemudian mereka telah ada di dalam satu mobil.
“Ih adik Aa’ nu badung pulang dari jakarta sukses nya’”
“Apaan sih A’ ini Cuma pinjeman kok, hehe..” Lily menghentikan ucapannya sambil mencari parkiran untuk tujuan berikutnya yang tak jauh dari stasiun Cimindi. “Papap sama Mamah sehat A?”
“alhamdulillah, Kamu aja yang engga pernah pulang, udah lima tahun kan?” Desta mengingatkan adik semata wayangnya ini.
“iya A’ lupain aja, aku engga mau Mamah sama Papap malu kalau aku pulang liat kondisi anaknya seperti ini” Lilly mengingatkan Desta bahwa adiknya ini sudah berubah, bukan lagi Ali, adik kecilnya yang pemalu dan penakut dulu. Berganti menjadi waria cantik, yang mencoba untuk sukses setelah masa kelamnya beberapa tahun terakhir.
“Ya gak apa-apa atuh dek, yang penting kamu gak nelantarin Mamah sama Papap yang udah tua”
Lily tersenyum bahagia mengetahui bahwa uang yang selalu dia kirim setiap bulan ke orangtuanya dihargai oleh kakaknya, lalu berkata “Aa’ hari ini temenin Aku ya?”
“iya, demi adek Aa yang jarang pulang, Aa hari ini izin deh”. Ucap desta mengabulkan permintaan adiknya.
Lily memarkirkan Mobil Jazz Silvernya tepat disamping pekuburan yang tak jauh dari stasiun. Tak membuang waktu Lily dan Desta lalu turun menuju pekuburan itu. “Aa inget dimana dikuburinnya?”
“kamu baru sekali ya kesini?” ucap Desta, dia memandang wajah lily yang sibuk memandang dan mencoba mengingat dimana dengan wajah murung.
“Sini, Aa tunjukin”. Desta lalu maju beberapa meter, dia sepertinya sudah hapal dengan lokasi yang dicari.
“Aa’ hampir tiap taun ke sini, jaga amanah kamu waktu kamu masih ‘disekolahin’, Aa juga kemari dulu kalo rindu sama kamu, sekalian bilang makasih sama Almarhum, udah jagain adek Aa nu geulis kieu” sambil mengelus rambut Lily.
Tak lama Desta berhenti tepat di sebuah kuburan. Ada deretan huruf dan angka yang terukir di nisan tersebut.
Hendra Kusnadi
1987-2009
Lily
Bandung, 2009
Hari ini seperti yang telah di janjikan aku dan Hendra berangkat menuju lokasi pertemuan menggunakan sepeda motornya. Tempat dimana aku harus mengantar barang pesanan klien ku kali ini. barang tersebut diantar di sebuah rumah yang cukup sederhana di pinggiran kota Bandung. Dengan diboncengi Hendra tak sampai satu jam kami sudah sampai di lokasi.
Suara musik mix sudah terdengar dari depan pintu, menandakan bahwa pesta sudah dimulai. Aku mengetuk pintu dan dibuka setengah oleh seseorang yang tidak di kenalnya. “Vino mana? Bilang lily antar pesanan”.
Mendengar ucapanku orang tersebut langsung tersenyum membuka pintu, dan mempersilahkan kami masuk. “Vin barangnya udah nyampe” teriaknya, agar suaranya tak tenggelam oleh riuhnya suara musik. Ada delapan orang disana, lima orang pria dan tiga orang wanita. Tapi yang ku kenal hanya satu orang. Dia yang dipanggil dengan sebutan Vino, anak yang memesan barang haram milikku.
Kami langsung menuju meja dimana Vino dan teman-temannya sedang duduk menikmati Minuman keras dimeja mereka, juga menikmati kesadaran mereka yang semakin hilang oleh minuman tersebut. Mungkin karena belum cukup hilang kesadaran mereka masih memesan barangku.
“Nih, pesenan lu, jangan sampe OD ya,rugi gue kalo ilang langganan kayak lo” ucapku dengan nada canda sambil meletakkan beberapa butir pil, dan serbuk yang sudah kubungkus dalam plastik ukuran sangat kecil.
“Yoi, lu emang BD top deh. Tenang aja gua engga bakal terus jadi langganan setia lo” ucapnya sambil mengeluarkan beberapa lembar uang tunai ratusan ribu rupiah yang kemudian di serahkan kepadaku. Aku menyambutnya sambil menghitung kmbali, lebih beberapa lembar dari yang di janjikan. Ini asiknya berdagang dengan pelanggan satu ini dia tak pernah lupa untuk memberi tip lebih. “Thanks ya say, nyantai aja di sini kalo lagi engga buru-buru” kata salah satu teman Vino
“Oke, lu coba tuh, barang bagus. Baru masuk minggu kemarin”
“Wah, eh lu masih hubungan dengan koh A Wi?” tanya Vino sedikit serius kali ini.
Aku mengingat nama tersebut, salah satu bandar besar di Bandung. Dulu aku sempat menjadi kurir bagi nama tersebut, dan mengambil produk dari nya. Tapi sejak setengah tahun lalu Aku sudah tidak berhubungan lagi karena mengetahui bahwa Hendra biasa membeli dari salah seorang anak buahnya. Setelah mengetahui bandar besar baru yang lebih menguntungkan aku lepas dari Koh A Wi.
“Kenapa dia?” tanyaku sedikit penasaran.
“Gua denger dia minggu lalu di ciduk pas lagi pesta, lu mulai hati-hati deh sekarang” pesan Vino.
“oh, jadi si ** SENSOR ** itu ketangkep? Syukur deh. Gua udah lama ngga hubungan sama dia”. Aku kali ini menatap Hendra, yang mendengar dengan serius. Aku tau bulan lalu dia masih berhubungan dengan anak buahnya. Kali ini wajah hendra sedikit pucat, mungkin ada sedikit ketakutan dia mendengar berita ini.
Lebih dari setengah jam setelah aku dan Hendra membawa paket, kami menikmati pesta itu. Vino dan teman-temannya sudah semakin larut dalam pengaruh obat, Bahkan ada salah satu pasangan yang mulai bercumbu di salah satu pojok ruangan tanpa memikirkan orang-orang yang ada di sekitarnya. Aku dan hendra sendiri hanya menikmati minuman dan riuhnya musik mereka hari itu. Sedikit aneh dengan Hendra, hari ini dia tidak ikut untuk menikmati obat tersebut. Walau hal tersebut cukup membahagiakan karena ini yang mungkin ku harapkan. Dia menepati janjinya. Membuatku semakin bergairah untuk mengecupnya malam ini.
“Li, aku keluar sebentar ya, beli rokok” Hendra permisi meninggalkan pesta dan aku diantara pemuda-pemuda mabuk ini.
“Sayang” ucapku memanggilnya yang sudah berdiri di depan pintu. “Cepet balik ya” yang hanya dibalas dengan senyuman.
Lima menit kemudian hendra kembali, kali ini ini wajahnya terlihat pucat dan buru-buru. Dia menarik tanganku kearah pintu belakang rumah. Tak ada yang memperhatikan mungkin karena semua penghuninya dalam keadaan mabuk. “Kita pergi sekarang”
“Hah? Kenapa?” aku heran dengan apa yang terjadi.
“Rumah ini udah dikepung” wajah Hendra keliatan panik “ada polisi yang udah ngintai tempat ini,dan ini bukan omongan parno karena ngobat, aku tau mereka lagi di sana”. Dia segera menarikku untuk keluar lewat pintu belakang rumah. Ada sebuah dinding yang menghalangi kami. “kamu panjat duluan, cepet”.
Aku segera memanjat pintu belakang rumah dibantu oleh hendra. Saat hendra mencoba naik kami mendengar suara dari dalam rumah “BRUUUUK” seperti suara pintu yang di dobrak paksa. Terdengar suara bentakan & jeritan dari dalam rumah Aku dan hendra semakin panik. Aku menarik tangan Hendra agar dia bisa melewati dinding pembatas ini dengan cepat. Suara-teriakan teriakan dari dalam rumah semakin terdengar jelas, dibarengi dengan suara tembakan saat kami berdua sudah ada di atas pagar pembatas. Ada jalan sempit rupanya di belakang rumah ini. sepertinya kami harus melompat kali ini untuk bisa turun.
“BRUUUUK” kali ini pintu belakang yang di dobrak, seorang polisi melihat kearah kami “Di Sana!” teriak polisi tersebut.
Kami berdua terus berlari, beberapa personil polisi sepertinya mulai mengejar dari arah belakang kami, tanpa memberikan tembakan peringatan, apa lagi sekedar peringatan verbal, mereka langsung menembaki kami. Kami pun berusaha membela diri kami dengan berlindung di balik tembok & tempat pembuangan sampah besi mengeluarkan senapan api pistol yang kami bawa dan mulai menembaki ke arah mereka untuk menghambat pengejaran mereka.
Terjadi baku tembak diantara aku bersama Hendra, menghadapi beberapa personil buser kepolisian,untungnya tempat berlindung di sisi mereka sangat minim dan mudah ditembus peluru, Hendra memberikan tembakan surpresif sementara tembakan terbidik akuratku berhasil mengenai beberapa personil polisi, mereka langsung mundur mengevakuasi polisi yang terluka tersebut, mereka tidak sekompeten yang kuduga.
“ayo,pasti bakal lebih banyak dari mereka yang dateng,cepet,mumpung rute ini belom mereka tutup” kata Hendra
Kami pun berlari menuju jalan keluar gang tersebut,namun tak disangka, setelah berada di jalan keluar,tiba-tiba Hendra mendorong tubuhku,lalu terdengar letusan suara senapan api laras panjang “Dhuaarr...” aku melihat hendra yang dadanya mulai berlumuran darah,dia menjatuhkan pistolnya dan mulai terjatuh tersungkur,ternyata hendra menyelamatkanku dari bidikan penembak jitu kepolisian.
Tubuhku terasa sangat kaku melihat dirinya yang sudah memejamkan mata tanpa sempat mengucapkan kata terakhir, aku langsung menghampiri tubuh Hendra yang berlumuran darah dan memeluknya
“Hendra... plis jangan mati... hendra,kamu udah mau berubah jadi lebih baik,jangan nyerah gitu aja... Hendra... HENDRA!!!....”
Aku menangis histeris atas kematiannya, aku sudah tidak peduli lagi untuk melarikan diri,aku sudah kehilangan satu-satunya harapanku untuk bisa hidup bersama orang yang kucintai, sampai pada akhirnya bunyi sirine semakin dekat dan seorang personil polisi menarik & memborgol diriku yang masih berduka atas meninggalnya kekasihku.
BERSAMBUNG
Diubah oleh Travestron 02-04-2014 15:53
0