- Beranda
- Stories from the Heart
Close X Cross
...
TS
Travestron
Close X Cross
Chapter 1
The Club
Le GanBaTei Cafe
Malam mulai menyelimuti Jakarta, beberapa tempat nongkrong dan hiburan malam mulai dipenuhi tamu tamu setia mereka, baik untuk sekedar istirahat, berkumpul, atau menikmati secangkir kopi pelepas lelah. begitupun di salah satu sudut kota ini, tempat Anna dan Maya sedang duduk di meja bartender menikmati minuman mereka hasil racikan Sera, bartender Le GanBaTei.
“Ser, lemon tea aku kok asem banget ya?” Keluh Maya pada Sera.
“Kalau keasaman liatin wajah aku aja myaw?” goda Sera sambil mengedipkan mata.
“Dasar kucing, kamu kira aku lesbi apa?” sambil tersenyum balas menggoda.
“Hei kalo mau godain pegawai kesayangan gue godain gue dulu atuh Neng” bisik Lily di samping telinga Maya dengan sedikit hembusan nafas yang membuat Maya geli menggidik.
“Ih kalian apa-apaan sih, perempuan jadi-jadian mau sok jantan, udah trima nasib aja.” celetuk Anna kepada junior-juniornya yang saling menggoda sambil browsing dengan Note Pad nya dan browsing beberapa berita yang menarik. Waria satu ini menunjukkan bahwa waria pun harus sangat berwawasan.
“Mami ih, Lily ni yang godain aku, sok laki kali dia belain Sera” Bantah Maya.
“Gue masih Laki ya, mau liat?” Sambil memegang zipper skinny jeans model cewek yang di pakainya.
“Heh, laki engga ada yang make jeans begituan”. Celetuk Maya. “lagian cuma pajangan aja bangga”
“Heh perempuan....”
“Hus, brisik deh ya anak-anak mami, baru sebulan ni kafe buka bisa bubar gara-gara kalian yang berisik” potong Anna sebelum Lily membalas ucapan Maya.
“Dia nih Mi duluan!” Protes Lily.
“Hmmm.... Ser, Mochiatto kamu pas deh sesuai selera mami, makasih ya Sayang” ucap Anna sambil menikmati secangkir Mochiatto-nya.
“Thanks my lovely mommy, myaw”
“Eh, BTW Dea mana Ly? Kok engga keliatan hari ini”
“Lagi keluar bentar Mom, ada side job lain katanya”
“Nyebong[1]?”
“Mami ih, kayak engga kenal dia aja! Dia kan lesbong[2] mam!” Potong Sera disertai tawa kecilnya Maya dan Lily.
“Ada job make up assistant di JFW[3], Jessy tadi call, butuh tenaga tambahan katanya” jelas Lily
“Bagus deh, karir anak-anak mami makin nanjak semua”
“Ia dong mi, masak mau di jalan terus, naik kelas dong” tambah Maya.
“May, tadi pagi gue liat ada lekong[4] di kamar lu?” tanya Sera. Sera merasa wajib bertanya pada teman-teman dekatnya terhadap siapa saja tamu yang terlihat di kamar kos-kosan miliknya. Walaupun di cafe dia bekerja di bawah Lily, tapi dia tetaplah pemilik kos tempat Lily dan teman-temannya tinggal.
“Ia , temen aku dari Medan dateng” jelas Maya.
“Temen apa temen?” introgasi Lily.
“Temen lho, nanti dia mau kemari, nih aku tunjukin fotonya.” Maya lalu membuka sebuah page facebook, akun dengan nama Nadilla Humaira. Koleksi foto yang terlihat hanya seorang perempuan dengan hijab casual, dan beberapa foto lain sang pemilik akun dengan pakaian modis dengan model yang unik. Lily dan Anna terlihat bingung dan engga yakin dengan apa yang di tunjukan, sedikit berbeda dengan pernyataan Sera.
“Ser, lu yakin tadi cowok?” tanya Anna meyakinkan.
Sera segera menyelesaikan orderan minuman yang dibuatnya dan kembali menuju Anna, Sera memperhatikan dengan serius.
“Eh, kok mirip ya? Tapi kok perempuan?” Sera memperhatikan lebih jelas dan membongkar beberapa foto yang Maya tunjukkan.
“Kenapa dengan fotonya? Jelek ya?” tanya seseorang yang tiba-tiba muncul di belakang Maya. Sera, Maya, Anna, Lily yang semula serius melihat foto semua menoleh ke suara tersebut.
“Hey... kenalin designer muda kita, Dilla”. Maya memperkenalkan Dilla pada Geng-nya. Semua memperhatikan Dilla. “Semua pakaian dan kreasi hijab yang kalian liat tadi adalah hasil karya tangannya".
“Jangan percaya Maya, aku cuma tukang jahit biasa kok.” Ungkap Dilla merendah.
Sera memperhatikan pakaian Dilla, kaos o neck lengan panjang, sweather tipis panjang sampai lutut tanpa lengan, mengingatkan Sera pada Philip, karakter di Kamen Rider Double yang sering ditonton Dea “Lu otaku[5]?”.
“Ia, fashion Jepang jadi inspirasi aku.”
“Hmmm.... satu lagi ya...” ucap Lily, di ikuti senyum penuh arti yang lainnya.
“Mungkin lu harus kenal Dea. Kalian mungkin cocok” tambah Sera, ada raut bingung di wajah Dilla. Tapi senyumnya menutupi raut tersebut.
“Oh ya, Dil kenalin. Temen-temen aku, mereka tinggal di kosan yang sama dengan kita, kalau ada apa-apa kamu bisa minta bantuan dengan mereka”
“Anna, Kamu bukan gay kan ya? Suka yang lebih mateng engga?” senyum genit mama Anna.
“Lily, Owner Caffe ini. kalo mau pesen bilang aja ke aku langsung. Aku kasih diskon kok,selama seminggu,hihi...” Lily tak mau kalah menggoda.
“Samantha, panggil aja Sera, kalau butuh apa-apa di kos, ketuk aja pintu ku. Buat kamu aku pasti ada”. Sera pun tak mau kalah.
“duduk Dil” Maya mempersilahkan Dila duduk di sebelahnya, Sera, Anna dan Lily memperhatikan cowok cantik yang ada di sebelah mereka, cara bicaranya tidak seperti waria. Lebih lelaki, tapi ada sesuatu yang salah dengan dia.
Dilla mengambil posisi duduk di sebelah Maya dan duduk dengan menyilangkan kaki. “Yah.....” keluh Sera, Lily dan Anna. Menggugaratkan wajah kecewa. “Setengah mateng juga rupanya”.
“Dilla ada urusan apa ke Jakarta?” tanya Anna.
“Mau kerja Mbak”
“Kok panggil Mbak sih, panggil Mami aja gimana? Mau kerja apa?”
“Ia, m... Mam.”
“aku mau belajar design Mbak... eh Mam, sekalian buka usaha kalau bisa disini”
“Ia Mom, kami mau pergi ke JFW bentar lagi, sekalian mau cari mesin jahit yang murah dan bagus. By The Way Dea disana kan Ly?” jelas Maya.
“Ia, teteh hubungin aja”
“grgrgrgrgrgrgt” getaran muncul di Handphone Lily. Sebuah pesan masuk dihapenya.
“Siapa say?” tanya Sera.
“Papi, dia pesan sesuatu kalo aku pergi ke Bandung”
“kamu besok jadi ke Bandung?”
“Iya sayang, sekalian mau ziarah. Jaga cafe baik-baik ya Ser selama aku pergi”
“Hendra? udah empat tahun ya?” tanya Anna.
“Iya mom” ada sedikit guratan kesedihan di wajah Lily.
“Kenapa lily” Dilla berbisik pada Maya.
“Besok tepat empat tahun pacar lily meninggal”.
Lily
Bandung, 2009
Mungkin aku engga akan pernah menemukan pria sebaik dia, yang menerima aku apa adanya, yang menerima aku seperti wanita seutuhnya. Karena itu aku menerimanya, dan menyayanginya apa adanya dia. Dia hendra, pria yang dua tahun ini sudah mengisi hidupku dan hari-hariku. Pria yang hampir sempurna dimataku kecuali satu hal.
“Udah makannya?” Tanyaku setelah Hendra mulai mual dengan hampir satu bungkus nasi padang yang aku suapi kepadanya
“Udah ah, aku, kenyang” aku tak tega melihat badannya yang semakin kurus.ironisnya Melihat itu aku juga semakin tidak nafsu makan. aku memberikan segelas air putih yang di ambilnya dari dispenser kamar kami.
Setelah aku meminumkan air yang di gelas kepadanya aku bertanya “Mau sampe kapan kamu begini?”
Hendra menjawab “Aku bisa nanya hal yang sama buat kamu”
“Aku bakal langsung berhenti jualan ini pas hutang ke rentenir brengsek itu lunas, yang gak bisa dilakuin sampe sekarang kalo kamu masih aja ngerusak tubuh kamu kayak gini”
“Ya... kamu tau kan kalo aku mau rehab nanti, aku gak bakal bohong ke kamu”
“Kapan? Udah berbulan-bulan kamu bilang itu tapi sampe sekarang...”
“Aku gak bakal bohong kalo aku lagi gak “nagih””
Nada suaraku semakin meninggi “Aku bosen tau gak nyeramahin kamu! kenapa sih kamu gak pernah dengerin omonganku!?”
Suara hendra agak lemas, tapi terdengar seperti agak marah juga “Ya udah... tampar lagi aja aku kayak waktu itu, ajarin kalo aku ini salah, kamu itu bener, kasih tau aku kalo jualan heroin itu jauh lebih baik daripada jadi pembeli, itu kan yang mau kamu bilang?”
Mendengar kata itu aku hanya terdiam tak bisa mengeluarkan sepatah kata, aku tau bahwa aku sudah menjadi pengedar jauh sebelum Hendra menjadi pecandu berat, kurasa ini karma atas pilihan hidup yang kujalani, aku hanya bisa mendesah putus asa dan duduk termenung di sampingnya.
“Aku sayang sama kamu, dan aku tau kalo aku bukan contoh yang baik buat kamu, tapi aku berusaha ngelakuin yang terbaik buat kamu, aku gak mungkin ninggalin kamu begitu aja, gak dalam keadaan kamu kayak gini... maaf kalo kamu merasa aku bikin kamu terjerumus begini” Aku mulai menitikan air mata.
Hendra kemudian merangkul tubuhku, lalu berkata “Aku gak pernah bilang begitu, aku tau kamu udah berusaha yang terbaik buat aku, dan aku hargai itu,tapi... ini sulit Ly, sangat-sangat sangat sulit, buat bisa lepas dari ini, benda ini bikin aku kehilangan semuanya, secara fisik ataupun mental,tapi aku bakal ngasih harapan ke kita berdua,bahwa suatu hari nanti,aku bisa berhenti, dan kita bisa lepas dari cengkraman tragedi ini, lalu kita mengendarai sepeda motor berdua menuju matahari yang terbenam, seperti dulu lagi,pastiin kamu gak kehilangan itu” lalu hendra memberikanku kecupan di pipi.
Aku menatap wajahnya dan tersenyum,membayangkan masa suka cita kami dulu, sebelum aku terjun ke dalam bisnis ini, masa di saat kami hanyalah sepasang sejoli bahagia,mengendarai sepeda motor besar, menjelajahi tempat dan jalan-jalan di kota Bandung bersama, Hendra mulai menyentuh wajahku dengan lembut, perlahan wajahnya mulai mendekati wajahku,aku hanya terpana dengan itu, aku mulai menyayukan mata, sampai dia mencium bibirku, aku memejamkan mata,kami bercumbu untuk beberapa saat, sampai handphoneku berdering.
BERSAMBUNG
Catatan kaki
[1] Istilah lain untuk jual diri.
[2] lesbian
[3] Jakarta Fashion Week
[4] Laki-laki
[5] (Jepang) sebutan untuk penggemar anime, manga, atau tokusatsu
INDEX
Deskripsi para Tokoh utama.
The Club
Le GanBaTei Cafe
Malam mulai menyelimuti Jakarta, beberapa tempat nongkrong dan hiburan malam mulai dipenuhi tamu tamu setia mereka, baik untuk sekedar istirahat, berkumpul, atau menikmati secangkir kopi pelepas lelah. begitupun di salah satu sudut kota ini, tempat Anna dan Maya sedang duduk di meja bartender menikmati minuman mereka hasil racikan Sera, bartender Le GanBaTei.
“Ser, lemon tea aku kok asem banget ya?” Keluh Maya pada Sera.
“Kalau keasaman liatin wajah aku aja myaw?” goda Sera sambil mengedipkan mata.
“Dasar kucing, kamu kira aku lesbi apa?” sambil tersenyum balas menggoda.
“Hei kalo mau godain pegawai kesayangan gue godain gue dulu atuh Neng” bisik Lily di samping telinga Maya dengan sedikit hembusan nafas yang membuat Maya geli menggidik.
“Ih kalian apa-apaan sih, perempuan jadi-jadian mau sok jantan, udah trima nasib aja.” celetuk Anna kepada junior-juniornya yang saling menggoda sambil browsing dengan Note Pad nya dan browsing beberapa berita yang menarik. Waria satu ini menunjukkan bahwa waria pun harus sangat berwawasan.
“Mami ih, Lily ni yang godain aku, sok laki kali dia belain Sera” Bantah Maya.
“Gue masih Laki ya, mau liat?” Sambil memegang zipper skinny jeans model cewek yang di pakainya.
“Heh, laki engga ada yang make jeans begituan”. Celetuk Maya. “lagian cuma pajangan aja bangga”
“Heh perempuan....”
“Hus, brisik deh ya anak-anak mami, baru sebulan ni kafe buka bisa bubar gara-gara kalian yang berisik” potong Anna sebelum Lily membalas ucapan Maya.
“Dia nih Mi duluan!” Protes Lily.
“Hmmm.... Ser, Mochiatto kamu pas deh sesuai selera mami, makasih ya Sayang” ucap Anna sambil menikmati secangkir Mochiatto-nya.
“Thanks my lovely mommy, myaw”
“Eh, BTW Dea mana Ly? Kok engga keliatan hari ini”
“Lagi keluar bentar Mom, ada side job lain katanya”
“Nyebong[1]?”
“Mami ih, kayak engga kenal dia aja! Dia kan lesbong[2] mam!” Potong Sera disertai tawa kecilnya Maya dan Lily.
“Ada job make up assistant di JFW[3], Jessy tadi call, butuh tenaga tambahan katanya” jelas Lily
“Bagus deh, karir anak-anak mami makin nanjak semua”
“Ia dong mi, masak mau di jalan terus, naik kelas dong” tambah Maya.
“May, tadi pagi gue liat ada lekong[4] di kamar lu?” tanya Sera. Sera merasa wajib bertanya pada teman-teman dekatnya terhadap siapa saja tamu yang terlihat di kamar kos-kosan miliknya. Walaupun di cafe dia bekerja di bawah Lily, tapi dia tetaplah pemilik kos tempat Lily dan teman-temannya tinggal.
“Ia , temen aku dari Medan dateng” jelas Maya.
“Temen apa temen?” introgasi Lily.
“Temen lho, nanti dia mau kemari, nih aku tunjukin fotonya.” Maya lalu membuka sebuah page facebook, akun dengan nama Nadilla Humaira. Koleksi foto yang terlihat hanya seorang perempuan dengan hijab casual, dan beberapa foto lain sang pemilik akun dengan pakaian modis dengan model yang unik. Lily dan Anna terlihat bingung dan engga yakin dengan apa yang di tunjukan, sedikit berbeda dengan pernyataan Sera.
“Ser, lu yakin tadi cowok?” tanya Anna meyakinkan.
Sera segera menyelesaikan orderan minuman yang dibuatnya dan kembali menuju Anna, Sera memperhatikan dengan serius.
“Eh, kok mirip ya? Tapi kok perempuan?” Sera memperhatikan lebih jelas dan membongkar beberapa foto yang Maya tunjukkan.
“Kenapa dengan fotonya? Jelek ya?” tanya seseorang yang tiba-tiba muncul di belakang Maya. Sera, Maya, Anna, Lily yang semula serius melihat foto semua menoleh ke suara tersebut.
“Hey... kenalin designer muda kita, Dilla”. Maya memperkenalkan Dilla pada Geng-nya. Semua memperhatikan Dilla. “Semua pakaian dan kreasi hijab yang kalian liat tadi adalah hasil karya tangannya".
“Jangan percaya Maya, aku cuma tukang jahit biasa kok.” Ungkap Dilla merendah.
Sera memperhatikan pakaian Dilla, kaos o neck lengan panjang, sweather tipis panjang sampai lutut tanpa lengan, mengingatkan Sera pada Philip, karakter di Kamen Rider Double yang sering ditonton Dea “Lu otaku[5]?”.
“Ia, fashion Jepang jadi inspirasi aku.”
“Hmmm.... satu lagi ya...” ucap Lily, di ikuti senyum penuh arti yang lainnya.
“Mungkin lu harus kenal Dea. Kalian mungkin cocok” tambah Sera, ada raut bingung di wajah Dilla. Tapi senyumnya menutupi raut tersebut.
“Oh ya, Dil kenalin. Temen-temen aku, mereka tinggal di kosan yang sama dengan kita, kalau ada apa-apa kamu bisa minta bantuan dengan mereka”
“Anna, Kamu bukan gay kan ya? Suka yang lebih mateng engga?” senyum genit mama Anna.
“Lily, Owner Caffe ini. kalo mau pesen bilang aja ke aku langsung. Aku kasih diskon kok,selama seminggu,hihi...” Lily tak mau kalah menggoda.
“Samantha, panggil aja Sera, kalau butuh apa-apa di kos, ketuk aja pintu ku. Buat kamu aku pasti ada”. Sera pun tak mau kalah.
“duduk Dil” Maya mempersilahkan Dila duduk di sebelahnya, Sera, Anna dan Lily memperhatikan cowok cantik yang ada di sebelah mereka, cara bicaranya tidak seperti waria. Lebih lelaki, tapi ada sesuatu yang salah dengan dia.
Dilla mengambil posisi duduk di sebelah Maya dan duduk dengan menyilangkan kaki. “Yah.....” keluh Sera, Lily dan Anna. Menggugaratkan wajah kecewa. “Setengah mateng juga rupanya”.
“Dilla ada urusan apa ke Jakarta?” tanya Anna.
“Mau kerja Mbak”
“Kok panggil Mbak sih, panggil Mami aja gimana? Mau kerja apa?”
“Ia, m... Mam.”
“aku mau belajar design Mbak... eh Mam, sekalian buka usaha kalau bisa disini”
“Ia Mom, kami mau pergi ke JFW bentar lagi, sekalian mau cari mesin jahit yang murah dan bagus. By The Way Dea disana kan Ly?” jelas Maya.
“Ia, teteh hubungin aja”
“grgrgrgrgrgrgt” getaran muncul di Handphone Lily. Sebuah pesan masuk dihapenya.
“Siapa say?” tanya Sera.
“Papi, dia pesan sesuatu kalo aku pergi ke Bandung”
“kamu besok jadi ke Bandung?”
“Iya sayang, sekalian mau ziarah. Jaga cafe baik-baik ya Ser selama aku pergi”
“Hendra? udah empat tahun ya?” tanya Anna.
“Iya mom” ada sedikit guratan kesedihan di wajah Lily.
“Kenapa lily” Dilla berbisik pada Maya.
“Besok tepat empat tahun pacar lily meninggal”.
Lily
Bandung, 2009
Mungkin aku engga akan pernah menemukan pria sebaik dia, yang menerima aku apa adanya, yang menerima aku seperti wanita seutuhnya. Karena itu aku menerimanya, dan menyayanginya apa adanya dia. Dia hendra, pria yang dua tahun ini sudah mengisi hidupku dan hari-hariku. Pria yang hampir sempurna dimataku kecuali satu hal.
“Udah makannya?” Tanyaku setelah Hendra mulai mual dengan hampir satu bungkus nasi padang yang aku suapi kepadanya
“Udah ah, aku, kenyang” aku tak tega melihat badannya yang semakin kurus.ironisnya Melihat itu aku juga semakin tidak nafsu makan. aku memberikan segelas air putih yang di ambilnya dari dispenser kamar kami.
Setelah aku meminumkan air yang di gelas kepadanya aku bertanya “Mau sampe kapan kamu begini?”
Hendra menjawab “Aku bisa nanya hal yang sama buat kamu”
“Aku bakal langsung berhenti jualan ini pas hutang ke rentenir brengsek itu lunas, yang gak bisa dilakuin sampe sekarang kalo kamu masih aja ngerusak tubuh kamu kayak gini”
“Ya... kamu tau kan kalo aku mau rehab nanti, aku gak bakal bohong ke kamu”
“Kapan? Udah berbulan-bulan kamu bilang itu tapi sampe sekarang...”
“Aku gak bakal bohong kalo aku lagi gak “nagih””
Nada suaraku semakin meninggi “Aku bosen tau gak nyeramahin kamu! kenapa sih kamu gak pernah dengerin omonganku!?”
Suara hendra agak lemas, tapi terdengar seperti agak marah juga “Ya udah... tampar lagi aja aku kayak waktu itu, ajarin kalo aku ini salah, kamu itu bener, kasih tau aku kalo jualan heroin itu jauh lebih baik daripada jadi pembeli, itu kan yang mau kamu bilang?”
Mendengar kata itu aku hanya terdiam tak bisa mengeluarkan sepatah kata, aku tau bahwa aku sudah menjadi pengedar jauh sebelum Hendra menjadi pecandu berat, kurasa ini karma atas pilihan hidup yang kujalani, aku hanya bisa mendesah putus asa dan duduk termenung di sampingnya.
“Aku sayang sama kamu, dan aku tau kalo aku bukan contoh yang baik buat kamu, tapi aku berusaha ngelakuin yang terbaik buat kamu, aku gak mungkin ninggalin kamu begitu aja, gak dalam keadaan kamu kayak gini... maaf kalo kamu merasa aku bikin kamu terjerumus begini” Aku mulai menitikan air mata.
Hendra kemudian merangkul tubuhku, lalu berkata “Aku gak pernah bilang begitu, aku tau kamu udah berusaha yang terbaik buat aku, dan aku hargai itu,tapi... ini sulit Ly, sangat-sangat sangat sulit, buat bisa lepas dari ini, benda ini bikin aku kehilangan semuanya, secara fisik ataupun mental,tapi aku bakal ngasih harapan ke kita berdua,bahwa suatu hari nanti,aku bisa berhenti, dan kita bisa lepas dari cengkraman tragedi ini, lalu kita mengendarai sepeda motor berdua menuju matahari yang terbenam, seperti dulu lagi,pastiin kamu gak kehilangan itu” lalu hendra memberikanku kecupan di pipi.
Aku menatap wajahnya dan tersenyum,membayangkan masa suka cita kami dulu, sebelum aku terjun ke dalam bisnis ini, masa di saat kami hanyalah sepasang sejoli bahagia,mengendarai sepeda motor besar, menjelajahi tempat dan jalan-jalan di kota Bandung bersama, Hendra mulai menyentuh wajahku dengan lembut, perlahan wajahnya mulai mendekati wajahku,aku hanya terpana dengan itu, aku mulai menyayukan mata, sampai dia mencium bibirku, aku memejamkan mata,kami bercumbu untuk beberapa saat, sampai handphoneku berdering.
BERSAMBUNG
Catatan kaki
[1] Istilah lain untuk jual diri.
[2] lesbian
[3] Jakarta Fashion Week
[4] Laki-laki
[5] (Jepang) sebutan untuk penggemar anime, manga, atau tokusatsu
INDEX
Spoiler for Index:
Deskripsi para Tokoh utama.
Spoiler for CHAR:
Diubah oleh Travestron 13-09-2014 13:56
anasabila memberi reputasi
1
19.8K
42
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
Travestron
#6
Chapter 4
Ada sebuah rahasia yang selama ini mama sembunyikan, walau lama-kelamaan aku mengetahuinya. Hampir setiap malam mama menyuruhku untuk tidur lebih awal. Saat aku masih duduk di bangku SD aku tidak tau mama kemana. Seringkali aku terbangun tengah malam dan tidak menemukan mama di kamarnya. Belakangan aku tau dari pembicaraan tetangga, bahwa mam bekerja di sebuah Club malam sebagai Escort Ladies. Tidak hanya itu, aku juga sering menemukan mam pulang dalam keadaan mabuk.
Dulu aku kira kami hidup cukup dari Rumah kost peninggalan ayahku, sedangkan pendidikanku telah ayah selamatkan dengan asuransi. Kini aku tau dari mana tante memenuhi gaya hidupnya dan segala kebutuhan kami. Bukan aku tak pernah mengingatkan mama, sering malah. Tapi sikapnya yang ditunjukan hanya diam. Dan ujung dari semua ini, teman sekolahku pun tau rahasia ibuku.
“Heh, Maho, anak pramuria, ibu sama anak engga ada beda, hahahaha” aku mendengar kata-kata salah satu dari mereka yang paling sering membully ku. Alasan itu yang membuat kepalanku akhirnya mendarat di wajahnya.
“udah Ser, engga usah ladenin orang kayak dia” ajak Mbak fitri dan Nina untuk menjauhi ku dari keributan. Aku pun meninggalkan mereka yang masih tak percaya atas apa yang aku lakukan.
“gila lu ser, ternyata lu itu jantan juga ya. Lu brani banget lawan dia” Puji Nina sambil berbisik.
“Mbak” aku ingin mengeluh pada mbak fitri dan nina.
“Knapa Lu?” tanya nina
“jariku sakit, liat deh tanganku lecet” aku menunjukkan jari tanganku kepada mereka, walau tidak benar-benar lecet tapi terasa cukup sakit.
“ya elah, gua kira lu udah “sembuh”, lagian engga lecet juga” jawab Nina
“tapi sakit...” keluh manja ku.
"ya udah sini,kita cari es batu buat ngompres 'luka' kamu" kata fitri
Jakarta, 2014
Sebuah villa di pinggiran jakarta
Maya berpisah dengan Dea dan Dilla sepulang dari Senayan City. Malam itu dia mendapat panggilan “Private dance” di sebuah villa dari seorang tamunya. Tamu yang dikenalnya di sebuah club tempat maya pernah beraksi. Mungkin daripada private dance acara malam itu lebih tepat disebut private service.
Pukul empat pagi, tak terdengar lagi suara Maya dan tamunya saat itu. Mungkin aksi mereka malam itu telah selesai, atau mereka telah kelelahan, mungkin lebih tepatnya jika salah satunya saja yang kelelahan. Maya berdiri di depan tamunya yang terlelap dan mulai mendekatinya. Maya kemudian duduk antara kedua kaki tamunya dan memegang salah satu paha atas tamunya, hingga tamunya terbangun.
Maya melihat sesuatu yang berada diantara kedua paha tamunya tersebut, sesuatu yang dia puaskan tadi malam. Maya kemudian melihat wajah tamunya yang terbangun lalu memberi senyuman kecil, dan dibalas senyuman kepuasan atas tamunya. Maya mendekati wajahnya ke benda tersebut sambil memainkan lidahnya. Tapi kemudian maya melihat wajah tamunya.
“Say, kamu tau enggak, kalo makan pisang itu....... enaknya di kupas” Ucap maya sambil mengeluarkan sebuah pisau kecil yang sedari tadi disimpannya.
“AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA.........................” Menjelang pagi hari itu di pecahkan oleh suara teriakan, tapi tak ada yang mendengar. Tak ada yang perduli.
Maya
Padang, 2013.
“Pinjam dulu uangmu, besok aku janji aku bayar.”
“apa bayar, tiap hari abang pakai uang kita untuk berjudi”
“udah kasih aja kenapa. Kalo menang aku janji aku bakalan berhenti”
“tiap hari itu aja abang bilang terus, tapi nyatanya apa, engga pernah abang berhenti”
Aku terduduk dikamar bersama adikku di dalam kamarnya, dia memeluk Mungkin bukan pertama kali aku mendengar ibu dan ayah bertengkar, hampir setiap hari malah, dan permasalahanya hampir sama. Ayah yang gila berjudi yang sudah hampir menghabisi seluruh harta berharga, bahkan beberapa tahun terakhir ibu sampai bekerja bukan hanya untuk menutupi kebutuhan kami bahkan hutang-hutang ayah.
Aku memeluk adikku semata wayang, adik perempuan satu-satunya yang kumiliki. Aku tau dia takut. Hal sama yang aku rasakan, hanya saja sebagai anak yang lebih tua aku tak ingin menunjukkan hal tersebut didepan Farah. Hal yang bisa aku lakukan, hanya memeluknya dan menutup telinganya.
“Brrrrrr...brrrr...” ponselku berdering dua kali, sebuah pesan masuk mungkin. Aku mengambil ponsel yang telah menemaniku setahun terakhir tersebut. Pesan dari Flow. “Ntar malam kamu bisa kerja Mad?”
Aku menatap jam di kamar kami. Hampir pukul 10, aku lalu membalas pesan Flow, “bisa, sekitar sejam lagi aku sampai”
“Abang mau pergi lagi malam ini?” tanya adikku sambil melepas pelukannya.
“iya, kamu tidur sama mama ya malam ini” kataku menenangkannya. Aku pun pergi membereskan tasku dan mengambil beberapa baju dan wig yang ada di lemari. Hanya adikku dan aku yang tahu dimana letak kostum-kostum rahasiaku. Setelah selesai aku memeluk kembali adikku dan mengecup keningnya. “Abang pergi dulu ya”. Aku pergi meninggalkan adikku dan pergi melewati orang tuaku yang masih berdebat mulut.
“Mau kmana kamu malam-malam begini keluar?” ayahku memanggilku dengan nada bicaranya yang masih tinggi. Mungkin dia mencoba menghentikan aku.
“terserah aku mau kemana, daripada aku tinggal dirumah yang kondisinya kayak neraka” aku pergi meninggalkan rumah malam itu. Mungkin biasanya aku pamit dan berkata menginap dirumah teman. Dengan konsidisi rumah yang seprti sekarang. Mungkin tanpa pamit lebih baik. Agar mereka tau rasa benciku saat ini.
BERSAMBUNG
Ada sebuah rahasia yang selama ini mama sembunyikan, walau lama-kelamaan aku mengetahuinya. Hampir setiap malam mama menyuruhku untuk tidur lebih awal. Saat aku masih duduk di bangku SD aku tidak tau mama kemana. Seringkali aku terbangun tengah malam dan tidak menemukan mama di kamarnya. Belakangan aku tau dari pembicaraan tetangga, bahwa mam bekerja di sebuah Club malam sebagai Escort Ladies. Tidak hanya itu, aku juga sering menemukan mam pulang dalam keadaan mabuk.
Dulu aku kira kami hidup cukup dari Rumah kost peninggalan ayahku, sedangkan pendidikanku telah ayah selamatkan dengan asuransi. Kini aku tau dari mana tante memenuhi gaya hidupnya dan segala kebutuhan kami. Bukan aku tak pernah mengingatkan mama, sering malah. Tapi sikapnya yang ditunjukan hanya diam. Dan ujung dari semua ini, teman sekolahku pun tau rahasia ibuku.
“Heh, Maho, anak pramuria, ibu sama anak engga ada beda, hahahaha” aku mendengar kata-kata salah satu dari mereka yang paling sering membully ku. Alasan itu yang membuat kepalanku akhirnya mendarat di wajahnya.
“udah Ser, engga usah ladenin orang kayak dia” ajak Mbak fitri dan Nina untuk menjauhi ku dari keributan. Aku pun meninggalkan mereka yang masih tak percaya atas apa yang aku lakukan.
“gila lu ser, ternyata lu itu jantan juga ya. Lu brani banget lawan dia” Puji Nina sambil berbisik.
“Mbak” aku ingin mengeluh pada mbak fitri dan nina.
“Knapa Lu?” tanya nina
“jariku sakit, liat deh tanganku lecet” aku menunjukkan jari tanganku kepada mereka, walau tidak benar-benar lecet tapi terasa cukup sakit.
“ya elah, gua kira lu udah “sembuh”, lagian engga lecet juga” jawab Nina
“tapi sakit...” keluh manja ku.
"ya udah sini,kita cari es batu buat ngompres 'luka' kamu" kata fitri
Jakarta, 2014
Sebuah villa di pinggiran jakarta
Maya berpisah dengan Dea dan Dilla sepulang dari Senayan City. Malam itu dia mendapat panggilan “Private dance” di sebuah villa dari seorang tamunya. Tamu yang dikenalnya di sebuah club tempat maya pernah beraksi. Mungkin daripada private dance acara malam itu lebih tepat disebut private service.
Pukul empat pagi, tak terdengar lagi suara Maya dan tamunya saat itu. Mungkin aksi mereka malam itu telah selesai, atau mereka telah kelelahan, mungkin lebih tepatnya jika salah satunya saja yang kelelahan. Maya berdiri di depan tamunya yang terlelap dan mulai mendekatinya. Maya kemudian duduk antara kedua kaki tamunya dan memegang salah satu paha atas tamunya, hingga tamunya terbangun.
Maya melihat sesuatu yang berada diantara kedua paha tamunya tersebut, sesuatu yang dia puaskan tadi malam. Maya kemudian melihat wajah tamunya yang terbangun lalu memberi senyuman kecil, dan dibalas senyuman kepuasan atas tamunya. Maya mendekati wajahnya ke benda tersebut sambil memainkan lidahnya. Tapi kemudian maya melihat wajah tamunya.
“Say, kamu tau enggak, kalo makan pisang itu....... enaknya di kupas” Ucap maya sambil mengeluarkan sebuah pisau kecil yang sedari tadi disimpannya.
“AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA.........................” Menjelang pagi hari itu di pecahkan oleh suara teriakan, tapi tak ada yang mendengar. Tak ada yang perduli.
Maya
Padang, 2013.
“Pinjam dulu uangmu, besok aku janji aku bayar.”
“apa bayar, tiap hari abang pakai uang kita untuk berjudi”
“udah kasih aja kenapa. Kalo menang aku janji aku bakalan berhenti”
“tiap hari itu aja abang bilang terus, tapi nyatanya apa, engga pernah abang berhenti”
Aku terduduk dikamar bersama adikku di dalam kamarnya, dia memeluk Mungkin bukan pertama kali aku mendengar ibu dan ayah bertengkar, hampir setiap hari malah, dan permasalahanya hampir sama. Ayah yang gila berjudi yang sudah hampir menghabisi seluruh harta berharga, bahkan beberapa tahun terakhir ibu sampai bekerja bukan hanya untuk menutupi kebutuhan kami bahkan hutang-hutang ayah.
Aku memeluk adikku semata wayang, adik perempuan satu-satunya yang kumiliki. Aku tau dia takut. Hal sama yang aku rasakan, hanya saja sebagai anak yang lebih tua aku tak ingin menunjukkan hal tersebut didepan Farah. Hal yang bisa aku lakukan, hanya memeluknya dan menutup telinganya.
“Brrrrrr...brrrr...” ponselku berdering dua kali, sebuah pesan masuk mungkin. Aku mengambil ponsel yang telah menemaniku setahun terakhir tersebut. Pesan dari Flow. “Ntar malam kamu bisa kerja Mad?”
Aku menatap jam di kamar kami. Hampir pukul 10, aku lalu membalas pesan Flow, “bisa, sekitar sejam lagi aku sampai”
“Abang mau pergi lagi malam ini?” tanya adikku sambil melepas pelukannya.
“iya, kamu tidur sama mama ya malam ini” kataku menenangkannya. Aku pun pergi membereskan tasku dan mengambil beberapa baju dan wig yang ada di lemari. Hanya adikku dan aku yang tahu dimana letak kostum-kostum rahasiaku. Setelah selesai aku memeluk kembali adikku dan mengecup keningnya. “Abang pergi dulu ya”. Aku pergi meninggalkan adikku dan pergi melewati orang tuaku yang masih berdebat mulut.
“Mau kmana kamu malam-malam begini keluar?” ayahku memanggilku dengan nada bicaranya yang masih tinggi. Mungkin dia mencoba menghentikan aku.
“terserah aku mau kemana, daripada aku tinggal dirumah yang kondisinya kayak neraka” aku pergi meninggalkan rumah malam itu. Mungkin biasanya aku pamit dan berkata menginap dirumah teman. Dengan konsidisi rumah yang seprti sekarang. Mungkin tanpa pamit lebih baik. Agar mereka tau rasa benciku saat ini.
BERSAMBUNG
Diubah oleh Travestron 29-03-2014 06:52
0