- Beranda
- Sejarah & Xenology
Mengenang Masa Dwifungsi ABRI yang Salah Satunya Berujung Pada Konflik Para Jendral
...
TS
MrBurakkuSan
Mengenang Masa Dwifungsi ABRI yang Salah Satunya Berujung Pada Konflik Para Jendral
Nuwun Sewu gan, ane cuma mau bikin thread yang bisa menjadi semacam kliping yang merekam kembali denyut politik orde baru. Dalam hal ini ane tertarik dengan dinamika manuver politik para jenderal, imbas dari penerapan dwifungsi ABRI.
Ane bakal coba update thread dengan kliping-kliping sumber yang mennceritakan permasalahan ini gan...
INTERUPSI LEGENDARIS BRIGJEN TNI IBRAHIM SALEH
Mengenai siapa calon Presiden Republik 2009-2014,
ia memuji Prabowo Subiyanto yang diamati cukup membumi dan menyentuh hati rakyat dalam menyampaikan pesan-pesan yang menyentuh rakyat banyak lewat televisi. Menurutnya tingkah laku serta niat dan keinginan luhur Prabowo untuk banyak berdharma bhakti kepada rakyat Indonesia sebaiknya dikerjakan dan diamalkan dalam kehidupan nyata para pemimpin bangsa yang ada di tanah air.
ibrahim_salehSiapa tak kenal dengan Jenderal fenomenal Ibrahim Saleh? Ia pernah menggegerkan Sidang Umum MPR 1988 lalu. Saat itu, Kamis, 9 Maret 1988, rapat paripurna baru saja secara aklamasi mengangkat kembali Jenderal (Purn) Soeharto sebagai presiden RI untuk masa bakti kelima, 1988-1993.
Padahal pimpinan sidang Kharis Suhud berancang-ancang hendak menutup sidang pagi itu. Tapi sekonyong-konyong, Brigadir Jenderal Ibrahim Saleh, yang duduk di deretan kursi fraksi ABRI, berlari menuju podium sambil berteriak: “Pak Ketua….Interupsi.”
Tanpa menunggu jawaban dari pimpinan sidang, Ibrahim berdiri di atas mimbar. Ia lalu membacakan secarik kertas yang telah disiapkannya. “Assalamualaikum…Majelis telah sepakat dan secara aklamasi meminta Soeharto untuk memangku kembali jabatan presiden untuk masa jabatan 1983-1988…eh 1988-1992 eh……” ujarnya terengah-engah.
“Kami telah mendengar desas-desus yang mengatakan bahwa pencalonan wakil presiden tidak fair…” Kontan saja sebagian anggota majelis berteriak-teriak,”Turun…turuuunn..” Ibrahim memang mempertanyakan pencalonan Sudharmono sebagai wapres dengan dalih identitasnya meragukan.
Suasana pun geger.
Pangab Jenderal Try Sutrisno dan Pangkopkamtib Jenderal Benny Moerdani bergegas menuju meja pimpinan sidang. Mereka tampak berbicara dengan Kharis Suhud sambil menunjuk ke arah mimbar tempat Ibrahim melakukan interupsi. Belakangan, Ketua F-ABRI, Mayjen Harsudiyono Hartas, mengajaknya turun mimbar. Hartas kaget atas ulah Ibrahim, lalu meminta maaf pada pimpinan sidang.
Keruan saja berita media massa langsung membidik Ibrahim. Ia sampai dianggap tengah menderita stress berat, bahkan gila, karena ulahnya itu. Tuduhan itu sama sekali tidak benar. Keinginan untuk menginterupsi itu datang dari diri saya sendiri. Jenderal L.B Moerdani sama sekali tidak memberi perintah apa pun pada saya.
Bagaimana semua itu bisa terjadi?
Menurut Brigjen (Purn) Ibrahim Saleh yang tetap fit di usia hampir tujuh puluh tahun ini dalam pertemuan ketiga jalur keluarga besar Golkar tanggal 28 Februari 1988, untuk pertama kalinya nama Sudharmono disebut-sebut sebagai calon wakil presiden. Ketika itu ia bertanya pada Soegiarto, Kassospol ABRI saat itu. “Gie, kamu tahu siapa Sudharmono ini?”
Saat itu samar-samar Ibrahim ingat sebuah peristiwa yang terjadi di tahun 1964, ketika masih berdinas di Kodam Diponegoro dan berpangkat letnan dua. Sewaktu ia pulang ke Semarang dari Solo, dan melewati Boyolali, otobus yang ditumpangi terjebak kemacetan. Rupanya penyebab kemacetan itu karena PKI sedang berpawai.
Sesampainya di Semarang, Ibrahim mendapat informasi dari Kolonel Soediro, Kasdam Diponegoro saat itu, bahwa yang mengadakan arak-arakan di Boyolali itu adalah Sudharmono. Jadi, ketika 28 Februari itu Sudharmono disebut sebagai calon wapres, Ibrahim belum yakin, dan masih bertanya-tanya, apakah Sudharmono ini orang yang sama dengan yang terlibat pawai tahun 1964?
Ketika ada pertemuan keluarga besar Golkar pada 29 Februari, Ibrahim mulai mendengar pencalonan Sudharmono sebagai wapres. Pada 1 Maret 1988, malam harinya, Ibrahim rasa-rasan dengan Soegiarto tentang siapa calon wapres dari ABRI? Masa mau mendukung orang yang riwayat hidupnya kita nggak tahu. Tadinya Ibrahim dkk. berniat mendukung Try, tetapi dia merasa sungkan.
Akhirnya, pada 2 Maret, saat berlangsung rapat fraksi ABRI, kembali ia bertanya kepada Pak Try sebagai pimpinan sidang tentang riwayat hidup Sudharmono ini. Tapi jawabannya mengambang. Dan akhirnya, ABRI memutuskan mendukung Soeharto sebagai presiden dan Sudharmono sebagai wakil presiden.
Maka, Ibrahim pun lalu memberanikan diri menginterupsi sidang umum yang saat itu dipimpin Kharis Suhud pada 9 Maret.
Dalam UUD 45, presiden dan wapres dipilih dengan suara terbanyak. Artinya, sah jika pemilihan itu dilakukan dengan voting. Tetapi mengapa pemilihan presiden selama Orde Baru dilakukan dengan musyawarah untuk mufakat. Jadi jelas terjadi penyimpangan penafsiran. Setelah interupsi biasanya sidang diskors dulu.
Ketika jeda itu berlangsung lobi-lobi. Walaupun kecil, kemungkinan terjadinya perubahan hasil sidang ada. Saat itu, akibat interupsi yang Ibrahim lakukan, hampir terjadi voting. Tetapi anehnya setelah itu pencalonan Naro sebagai wapres, dicabut oleh PPP. Sehingga Sudharmono terpilih menjadi wapres sebagai calon tunggal.
Bagaimana sosok Ibrahim Saleh saat ini? Pria kelahiran 22 Rajab 1357 H (10/8/1939) di Dusun TanahAbang,Kecamatan Talang Ubi, Kabupaten Muara Enim, Prabumulih, Sumatera Selatan ini menikah dengan Rukiawati, gadis sekampungnya. Setelah peristiwa interupsi itu, Ibrahim pensiun dari sebagai anggota Legislatif F-TNI/Polri pada 1993.
Kini, ia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk kegiatan sosial, seperti pengurus koperasi khusus pedagang kaki lima, panti asuhan anak yatim piatu, maupun sesekali menjadi da’i yang berkhotbah di masjid. Alasannya, menjadi apa pun kita, tidaklah terlalu penting. “Yang lebih penting bagaimana kita bisa mengabdi pada Allah,” katanya di sela acara Ulang Tahun Yayasan Lumbung Rakyat yang ke-10 pada Sabtu (18/10/2008) sore di Posko TAP, Gg.Berdikari No.27, Jl.Lawang Gintung, Kel.Batutulis, Bogor.
Mengenai siapa calon Presiden Republik 2009-2014, ia memuji Prabowo Subiyanto yang diamati cukup membumi dan menyentuh hati rakyat dalam menyampaikan pesan-pesan yang menyentuh rakyat banyak lewat televisi. Menurutnya tingkah laku serta niat dan keinginan luhur Prabowo untuk banyak berdharma bhakti kepada rakyat Indonesia sebaiknya dikerjakan dan diamalkan dalam kehidupan nyata para pemimpin bangsa yang ada di tanah air.
Label: suaratokoh.com
sumber: http://*networkedblogs.com/f1k9R
Konsep Dwifungsi ABRI yang ditanamkan Jenderal AH Nasution, dan diamalkan oleh Soeharto (menurut interpretasinya sendiri) di era Orba, ternyata tak hanya menimbulkan kesan militeristik pada pemerintahan zaman itu.
Mungkin orang asing pada hari itu memandang Indonesia seperti halnya kita pada hari ini memandang Korea Utara atau Myanmar. Itu kira-kira karakter militer yang tercitrakan pada pemerintahan Orba.
Namun selain kesan karakter kuat pemerintahan junta militer yang tertanam pada Orde Baru, konsep Dwifungsi ABRI yang diamalkan oleh Soeharto ini juga menimbulkan rekaman sejarah tentang pergulatan politik praktis para petinggi militer.
Ingin naik pangkat, ambisi politik menjadi pejabat, hingga ujung-ujungnya adalah perselisihan para Jenderal. Munculnya Hanura dan Gerindra, serta perdebatan tak kunjung henti seputar rencana kudeta Prabowo pada hari ini adalah salah satu ekses yang masih terlihat dari penerapan Dwifungsi yang dipraktekkan oleh Pak Harto.
List update kliping:
Wawancara 1998 Seputar Interupsi Brigjen Ibrahim Saleh di SU MPR 1988
Artikel Manuver Politik ABRI di Pilwapres 1997/1998
Seputar Jenderal Menjabat Menhankan Sekaligus Pangab (Eep Saefulloh Fatah - 1999)
Bahasan Rivalitas Petinggi Militer Vs Politikus Golkar 1980-an
Persaingan Ali Moertopo dan Soemitro Saat Malari
Kisah Hampir Terulangnya Supersemar dan Kopkamtib di Kelahiran Reformasi 1998
Wawancara Dengan Jenderal Rudini Tentang Dwifungsi Abri
mohon bimbingannya
Ane bakal coba update thread dengan kliping-kliping sumber yang mennceritakan permasalahan ini gan...
Quote:
INTERUPSI LEGENDARIS BRIGJEN TNI IBRAHIM SALEH
Mengenai siapa calon Presiden Republik 2009-2014,
ia memuji Prabowo Subiyanto yang diamati cukup membumi dan menyentuh hati rakyat dalam menyampaikan pesan-pesan yang menyentuh rakyat banyak lewat televisi. Menurutnya tingkah laku serta niat dan keinginan luhur Prabowo untuk banyak berdharma bhakti kepada rakyat Indonesia sebaiknya dikerjakan dan diamalkan dalam kehidupan nyata para pemimpin bangsa yang ada di tanah air.
ibrahim_salehSiapa tak kenal dengan Jenderal fenomenal Ibrahim Saleh? Ia pernah menggegerkan Sidang Umum MPR 1988 lalu. Saat itu, Kamis, 9 Maret 1988, rapat paripurna baru saja secara aklamasi mengangkat kembali Jenderal (Purn) Soeharto sebagai presiden RI untuk masa bakti kelima, 1988-1993.
Padahal pimpinan sidang Kharis Suhud berancang-ancang hendak menutup sidang pagi itu. Tapi sekonyong-konyong, Brigadir Jenderal Ibrahim Saleh, yang duduk di deretan kursi fraksi ABRI, berlari menuju podium sambil berteriak: “Pak Ketua….Interupsi.”
Tanpa menunggu jawaban dari pimpinan sidang, Ibrahim berdiri di atas mimbar. Ia lalu membacakan secarik kertas yang telah disiapkannya. “Assalamualaikum…Majelis telah sepakat dan secara aklamasi meminta Soeharto untuk memangku kembali jabatan presiden untuk masa jabatan 1983-1988…eh 1988-1992 eh……” ujarnya terengah-engah.
“Kami telah mendengar desas-desus yang mengatakan bahwa pencalonan wakil presiden tidak fair…” Kontan saja sebagian anggota majelis berteriak-teriak,”Turun…turuuunn..” Ibrahim memang mempertanyakan pencalonan Sudharmono sebagai wapres dengan dalih identitasnya meragukan.
Suasana pun geger.
Pangab Jenderal Try Sutrisno dan Pangkopkamtib Jenderal Benny Moerdani bergegas menuju meja pimpinan sidang. Mereka tampak berbicara dengan Kharis Suhud sambil menunjuk ke arah mimbar tempat Ibrahim melakukan interupsi. Belakangan, Ketua F-ABRI, Mayjen Harsudiyono Hartas, mengajaknya turun mimbar. Hartas kaget atas ulah Ibrahim, lalu meminta maaf pada pimpinan sidang.
Keruan saja berita media massa langsung membidik Ibrahim. Ia sampai dianggap tengah menderita stress berat, bahkan gila, karena ulahnya itu. Tuduhan itu sama sekali tidak benar. Keinginan untuk menginterupsi itu datang dari diri saya sendiri. Jenderal L.B Moerdani sama sekali tidak memberi perintah apa pun pada saya.
Bagaimana semua itu bisa terjadi?
Menurut Brigjen (Purn) Ibrahim Saleh yang tetap fit di usia hampir tujuh puluh tahun ini dalam pertemuan ketiga jalur keluarga besar Golkar tanggal 28 Februari 1988, untuk pertama kalinya nama Sudharmono disebut-sebut sebagai calon wakil presiden. Ketika itu ia bertanya pada Soegiarto, Kassospol ABRI saat itu. “Gie, kamu tahu siapa Sudharmono ini?”
Saat itu samar-samar Ibrahim ingat sebuah peristiwa yang terjadi di tahun 1964, ketika masih berdinas di Kodam Diponegoro dan berpangkat letnan dua. Sewaktu ia pulang ke Semarang dari Solo, dan melewati Boyolali, otobus yang ditumpangi terjebak kemacetan. Rupanya penyebab kemacetan itu karena PKI sedang berpawai.
Sesampainya di Semarang, Ibrahim mendapat informasi dari Kolonel Soediro, Kasdam Diponegoro saat itu, bahwa yang mengadakan arak-arakan di Boyolali itu adalah Sudharmono. Jadi, ketika 28 Februari itu Sudharmono disebut sebagai calon wapres, Ibrahim belum yakin, dan masih bertanya-tanya, apakah Sudharmono ini orang yang sama dengan yang terlibat pawai tahun 1964?
Ketika ada pertemuan keluarga besar Golkar pada 29 Februari, Ibrahim mulai mendengar pencalonan Sudharmono sebagai wapres. Pada 1 Maret 1988, malam harinya, Ibrahim rasa-rasan dengan Soegiarto tentang siapa calon wapres dari ABRI? Masa mau mendukung orang yang riwayat hidupnya kita nggak tahu. Tadinya Ibrahim dkk. berniat mendukung Try, tetapi dia merasa sungkan.
Akhirnya, pada 2 Maret, saat berlangsung rapat fraksi ABRI, kembali ia bertanya kepada Pak Try sebagai pimpinan sidang tentang riwayat hidup Sudharmono ini. Tapi jawabannya mengambang. Dan akhirnya, ABRI memutuskan mendukung Soeharto sebagai presiden dan Sudharmono sebagai wakil presiden.
Maka, Ibrahim pun lalu memberanikan diri menginterupsi sidang umum yang saat itu dipimpin Kharis Suhud pada 9 Maret.
Dalam UUD 45, presiden dan wapres dipilih dengan suara terbanyak. Artinya, sah jika pemilihan itu dilakukan dengan voting. Tetapi mengapa pemilihan presiden selama Orde Baru dilakukan dengan musyawarah untuk mufakat. Jadi jelas terjadi penyimpangan penafsiran. Setelah interupsi biasanya sidang diskors dulu.
Ketika jeda itu berlangsung lobi-lobi. Walaupun kecil, kemungkinan terjadinya perubahan hasil sidang ada. Saat itu, akibat interupsi yang Ibrahim lakukan, hampir terjadi voting. Tetapi anehnya setelah itu pencalonan Naro sebagai wapres, dicabut oleh PPP. Sehingga Sudharmono terpilih menjadi wapres sebagai calon tunggal.
Bagaimana sosok Ibrahim Saleh saat ini? Pria kelahiran 22 Rajab 1357 H (10/8/1939) di Dusun TanahAbang,Kecamatan Talang Ubi, Kabupaten Muara Enim, Prabumulih, Sumatera Selatan ini menikah dengan Rukiawati, gadis sekampungnya. Setelah peristiwa interupsi itu, Ibrahim pensiun dari sebagai anggota Legislatif F-TNI/Polri pada 1993.
Kini, ia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk kegiatan sosial, seperti pengurus koperasi khusus pedagang kaki lima, panti asuhan anak yatim piatu, maupun sesekali menjadi da’i yang berkhotbah di masjid. Alasannya, menjadi apa pun kita, tidaklah terlalu penting. “Yang lebih penting bagaimana kita bisa mengabdi pada Allah,” katanya di sela acara Ulang Tahun Yayasan Lumbung Rakyat yang ke-10 pada Sabtu (18/10/2008) sore di Posko TAP, Gg.Berdikari No.27, Jl.Lawang Gintung, Kel.Batutulis, Bogor.
Mengenai siapa calon Presiden Republik 2009-2014, ia memuji Prabowo Subiyanto yang diamati cukup membumi dan menyentuh hati rakyat dalam menyampaikan pesan-pesan yang menyentuh rakyat banyak lewat televisi. Menurutnya tingkah laku serta niat dan keinginan luhur Prabowo untuk banyak berdharma bhakti kepada rakyat Indonesia sebaiknya dikerjakan dan diamalkan dalam kehidupan nyata para pemimpin bangsa yang ada di tanah air.
Label: suaratokoh.com
sumber: http://*networkedblogs.com/f1k9R
Konsep Dwifungsi ABRI yang ditanamkan Jenderal AH Nasution, dan diamalkan oleh Soeharto (menurut interpretasinya sendiri) di era Orba, ternyata tak hanya menimbulkan kesan militeristik pada pemerintahan zaman itu.
Mungkin orang asing pada hari itu memandang Indonesia seperti halnya kita pada hari ini memandang Korea Utara atau Myanmar. Itu kira-kira karakter militer yang tercitrakan pada pemerintahan Orba.
Namun selain kesan karakter kuat pemerintahan junta militer yang tertanam pada Orde Baru, konsep Dwifungsi ABRI yang diamalkan oleh Soeharto ini juga menimbulkan rekaman sejarah tentang pergulatan politik praktis para petinggi militer.
Ingin naik pangkat, ambisi politik menjadi pejabat, hingga ujung-ujungnya adalah perselisihan para Jenderal. Munculnya Hanura dan Gerindra, serta perdebatan tak kunjung henti seputar rencana kudeta Prabowo pada hari ini adalah salah satu ekses yang masih terlihat dari penerapan Dwifungsi yang dipraktekkan oleh Pak Harto.
List update kliping:
Quote:
Wawancara 1998 Seputar Interupsi Brigjen Ibrahim Saleh di SU MPR 1988
Artikel Manuver Politik ABRI di Pilwapres 1997/1998
Seputar Jenderal Menjabat Menhankan Sekaligus Pangab (Eep Saefulloh Fatah - 1999)
Bahasan Rivalitas Petinggi Militer Vs Politikus Golkar 1980-an
Persaingan Ali Moertopo dan Soemitro Saat Malari
Kisah Hampir Terulangnya Supersemar dan Kopkamtib di Kelahiran Reformasi 1998
Wawancara Dengan Jenderal Rudini Tentang Dwifungsi Abri
mohon bimbingannya

Diubah oleh MrBurakkuSan 05-04-2014 01:36
0
10.5K
Kutip
21
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Sejarah & Xenology
6.5KThread•11.5KAnggota
Tampilkan semua post
TS
MrBurakkuSan
#5
RIVALITAS GOLKAR - MILITER DALAM MERAIH JABATAN WAPRES PADA DEKADE 80-AN
PANJI UTAMA / PANJI NO.18 TH. II 18 AGUSTUS 1999
Perseteruan Orang Dekat Soeharto
Hubungan Masa Lalu: Hubungan persahabatan yang dijalin selama belasan
tahun menjadi renggang ketika salah seorang dari mereka dicalonkan
sebagai wakil presiden. Inilah kisah masa lalu mereka berdua.
Sudah lama sebenarnya Leonardus Benjamin `Benny' Moerdani dan
Sudharmono jadi kawan akrab. Pertama kali Benny kenal dengan
Sudharmono sekitar tahun 1951 di Bandung. Saat itu ia menjadi siswa
Pusat Pendidikan Perwira Angkatan Darat. Sedangkan Sudharmono waktu
itu adalah perwira pimpinan (battalion's adjutant). Hubungan itu kian
dekat saat Benny pulang dari Seoul, Korea Selatan, tahun 1974.
"Kedekatan itu berlangsung lantaran tugas kami banyak berhubungan,"
kata Benny suatu ketika.
Mungkin betul apa yang dikatakan Benny. Selepas menjabat konsul
jenderal RI di Korea, pria kelahiran Cepu, Jawa Tengah, 2 Oktober
1932, itu langsung dipercaya sebagai asintel Hankam/Kopkamtib.
Sementara saat itu Sudharmono menjabat mensesneg. "Karena jabatan
serta tugas itulah, maka hubungan saya dengan Pak Dhar, baik dalam
kaitan kerja maupun secara pribadi, menjadi semakin erat," kata Benny
Moerdani seperti ditulis dalam buku Kesan dan Kenangan dari Teman: 70
Tahun H. Sudharmono, S.H. Puncak keeratan hubungan mereka terjadi saat
Benny menjadi panglima ABRI dan Sudharmono jadi mensesneg selain ketua
umum Golkar.
Namun, namanya juga manusia, hubungan pertemanan yang dicoba dijalin
secara mulus itu akhirnya bisa retak juga. Persoalannya pun sebetulnya
terkesan tidak rasional. Hanya gara-gara kepentingan politik, Benny
dengan Sudharmono harus beradu kepentingan.
Entah apa yang menjadi dasar, di penghujung jabatannya sebagai ketua
umum Golkar, beberapa orang pengurus DPP berkehendak mengegolkan
Sudharmono jadi orang nomor dua di Republik ini. Ketika itu Sarwono
dan Akbar Tandjunglah yang begitu bersemangat mengupayakan Sudharmono
jadi calon wakil presiden periode 1988-1993. Tekad mereka makin kuat
setelah mendapat sinyal dari Presiden Soeharto.
Sebenarnya, pria kelahiran Gresik, 12 Maret 1927, itu kurang berkenan
dengan pencalonan tersebut. Bukan apa-apa, Sudharmono merasa dirinya
tidak layak untuk menjabat posisi itu. Dalam otobiografi Sudharmono,
S.H.: Pengalaman dalam Masa Pengabdian, disebutkan Sudharmono bersikap
keras kepada Sarwono dan Akbar Tandjung. Dua orang inilah yang bertemu
dengan Sudharmono di Sekretariat Negara pada 25 Februari 1988 untuk
membicarakan masalah pencalonan sebagai wapres. "Pada saat itu reaksi
saya ialah sebaiknya Fraksi Karya Pembangunan mengadakan konsultasi
dengan ketua Dewan Pembina. Kalau mungkin bersama-sama dengan Fraksi
Utusan Daerah dan Fraksi ABRI," tulis Sudharmono.
Rupanya, pencalonan itu secara tidak langsung diketahui oleh Pak
Harto. Cuma, waktu itu Soeharto tidak secara tegas menunjuk hidung.
Waktu itu Soeharto cuma mengisyaratkan syarat-syarat untuk calon wakil
presiden. Pertama, dia haruslah seorang yang teguh pendiriannya atas
Pancasila dan UUD 1945. Kedua, menunjukkan kapabilitasnya, memiliki
prestasi dan integritas yang tinggi. Ketiga, dapat diterima oleh
masyarakat. Keempat, mendapat dukungan sebagian besar anggota fraksi.
Menurut Sarwono dan Akbar waktu itu, keempat syarat tersebut ada pada
diri Sudharmono. Kloplah sudah.
Tiga hari kemudian digelarlah rapat tiga fraksi, yaitu FKP, FUD dan
FABRI, di Mabes ABRI. Benny Moerdani selaku Pangkopkamtib bertindak
sebagai tuan rumah. Saat itu hadir juga pangab baru, Try Sutrisno.
Selain itu, pimpinan tiap-tiap fraksi tentu saja hadir. Demikian juga
Ketua Umum Golkar dan Pimpinan Korpri Soepardjo Roestam. Trifraksi
ketika itu sudah berkonsultasi kepada Soeharto ihwal calon yang akan
dipilih sebagai pendampingnya.
Dalam rapat tersebut terjadi situasi yang agak "aneh". Saat itu,
Cosmas Batubara, salah seorang anggota FKP, menanyakan kepada pimpinan
rapat, siapa calon tiga jalur untuk wakil presiden mendatang. Ini
dijawab Benny. Menurut Benny, FABRI sampai waktu itu belum mengambil
keputusan. Alasannya, dia baru saja kembali dari luar negeri dan belum
sempat berkonsultasi dengan Pak Harto.
Jawaban ini terang saja menimbulkan tanda tanya. Padahal ketiga fraksi
ketika berkonsultasi dengan Pak Harto telah menyatakan kesamaan
pandangannya untuk mencalonkan Pak Dhar. Timbul pertanyaan, ada apa
dengan Benny?
Dalam hubungan dengan pencalonan Sudharmono oleh ABRI, Sudharmono
mendengar kabar kurang sedap. "Keputusan ABRI untuk mencalonkan saya
itu diambil setelah diadakan rapat maraton di kantor Pak Benny di
Tebet (kantor intel)," tulis Sudharmono dalam buku Pengalaman dalam
Masa Pengabdian. Dalam rapat itu, lanjutnya, Benny awalnya keberatan
jika ABRI mencalonkan Sudharmono sebagai wakil presiden. Alasan yang
dia kemukakan sendiri tidak jelas. Baru setelah terjadi perdebatan
yang hangat antara peserta rapat--terdiri atas jenderal-jenderal
pimpinan ABRI, termasuk Benny, Try Sutrisno, Sugiharto (kepala staf
sosial politik ABRI), Harsudiono Hartas (asisten kassospol)--akhirnya
diambil keputusan untuk mendukung Sudharmono. Rupanya, yang menentukan
keputusan itu tidak lain karena Soeharto memang menjagokan Sudharmono.
Karena itu, dengan berat hati Benny terpaksa harus loyal atas
"keputusan" Soeharto tersebut.
Benny sendiri tampaknya kurang respek terhadap pencalonan Sudharmono.
Soalnya bukan apa-apa. Awalnya, nama Benny memang disebut-sebut
sebagai salah seorang kandidat wakil presiden. Tetapi soal ini ditolak
oleh Benny. "Bagus kalau demikian,...kalau saya masih menjadi ketua
Partai ABRI. Tetapi sejak dua jam yang lalu, ketua partai sudah bukan
di tangan saya lagi, melainkan Try..." tulis Benny dalam biografi
Benny Moerdani Profil Prajurit Negarawan.
Rupanya, Benny mengusulkan nama Try Sutrisno sebagai wapres. Try
sendiri belum genap dua jam sebelumnya menerima tanggung jawab sebagai
panglima ABRI. Tampaknya dia malah belum sempat menyadari sepenuhnya
terhadap isyarat yang diberikan Benny itu. Benny sudah berupaya agar
nama Try digelindingkan sebagai kandidat dari ABRI.
Namun apa lacur? Benny tetap saja Benny. Kehendak untuk berkuasa
tampaknya masih ada. Gagal dalam proses pencalonan di tingkat fraksi,
dia mencoba bermain dalam proses pemilihan di tingkat Sidang Umum MPR.
Saat pemilihan wapres berlangsung, muncul kejanggalan yang tidak
terduga. Semula, Sudharmono sudah bulat mendapatkan dukungan
trifraksi, tapi secara tak diduga Ketua PPP Jaelani Naro bagai jagoan
mencalonkan diri sebagai wakil presiden. Kemudian, muncullah Ibrahim
Saleh dari FABRI yang tiba-tiba melakukan interupsi. Dia mengucapkan
pidato yang tidak jelas. Intinya, tidak setuju calon wakil presiden
yang sudah diproses. Naro baru mundur pada detik-detik akhir
pemilihan, setelah dilobi oleh Awaloedin Djamin. Namun belakangan,
menurut pengakuan bekas seorang pimpinan FPP, pencalonan Naro memang
mendapat dukungan dari Benny. Begitu pula kasus Ibrahim Saleh adalah
bagian dari skenario untuk memprotes pencalonan Sudharmono.
Benny berkilah. "Apa pun yang diucapkan anggota FABRI yang maju ke
depan tadi itu tidak mencerminkan pendapat resmi fraksi... jelas
dilakukan oleh perorangan," katanya. Bantahan ini untuk menepis
anggapan bahwa peristiwa itu merupakan skenario yang diatur Fraksi
ABRI karena mereka sejak awal tidak setuju Sudharmono sebagai wapres.
Konflik Politik. Benarkah itu awal konflik Benny-Sudharmono? Bukan.
Perseteruan Benny dengan Sudharmono sudah lama terjadi. Saat
Sudharmono memangku jabatan ketua umum Golkar (1983-1988), memang
santer isu bahwa ABRI tidak setuju dengan program kaderisasi,
kemandirian Golkar, dan juga tidak menyetujui Golkar akan memperoleh
suara yang terlalu besar dalam pemilu. "Tetapi mengenai hal itu saya
tidak pernah mendengar dari Benny, baik dalam pertemuan maupun di luar
pertemuan," kata Sudharmono dalam otobiografinya, Pengalaman dalam
Masa Pengabdian.
Hal senada juga dikemukakan Harsudiono Hartas. Menurut dia,
perseteruan Benny dengan Sudharmono itu berawal dari penggunaan
tentara oleh Golkar. "Perseteruannya cuma begitu. Dulu saya pernah
mbalelo kan? Karena apa, jangan mendikte dong, karena ini kan
demokrasi. Tapi itu kan perseteruan sementara," katanya. Menurut
Hartas, Benny bersikap seperti itu agar Golkar jangan menguasai ABRI.
"ABRI itu kan milik rakyat. Mengapa ABRI berjuang untuk mendapat kursi
di DPR. Itu hakikatnya untuk mempertahankan semangat proklamasi,"
katanya.
Pernyataan ini dibantah oleh Sarwono. Justru sebaliknya, kata Sarwono,
saat itu ABRI berusaha mengobok-obok Golkar. Caranya? "Hampir semua
ketua DPD I dan II itu orang-orang militer. Dewan Pembina dan militer
tidak mau Golkar itu berkembang. Kalau berkembang bisa membahayakan
posisi presiden," kata Sarwono Kusumaatmadja.
Sudharmono sendiri mengakui, antara dia dan Benny pernah terjadi
sedikit beda pendapat mengenai soal operasional. Itu terjadi ketika
Golkar menyetujui diadakannya kiprah pemuda dengan menyelenggarakan
kirab AMPI dari Surabaya ke Jakarta, menjelang masa kampanye Pemilu
1987. Meskipun semua persiapan--termasuk perizinan--sudah diperoleh,
dalam pelaksanaannya ada beberapa pejabat militer daerah yang tidak
menyetujui kegiatan AMPI dengan berbagai alasan. "Namun, setelah saya
mengadakan pembicaraan langsung dengan Pak Benny dan menjelaskan
persoalannya, akhirnya dapat dicapai saling pengertian, dan kirab AMPI
dapat dilaksanakan sesuai rencana," katanya.
Sudharmono sebetulnya tahu jika dirinya dihadapkan secara kontradiktif
dengan Benny. Perbedaan itu, seperti dituduhkan beberapa pihak,
malahan menjurus ke rivalitas. "Saya sendiri tidak pernah percaya atas
isu-isu demikian," kata Sudharmono. Alasannya, karena selama dia
bergaul dengan Benny, dia tidak pernah melihat yang seperti itu.
"Kalau ada orang yang mencoba memanas-manasi saya mengenai Pak Benny,
saya selalu mengatakan hal itu sebagai usaha adu domba."
Persoalannya, siapakah yang mampu mengadu mereka? Banyak yang percaya:
Soeharto.
Dudi Rahman dan Budiyono
Quote:
PANJI UTAMA / PANJI NO.18 TH. II 18 AGUSTUS 1999
Perseteruan Orang Dekat Soeharto
Hubungan Masa Lalu: Hubungan persahabatan yang dijalin selama belasan
tahun menjadi renggang ketika salah seorang dari mereka dicalonkan
sebagai wakil presiden. Inilah kisah masa lalu mereka berdua.
Sudah lama sebenarnya Leonardus Benjamin `Benny' Moerdani dan
Sudharmono jadi kawan akrab. Pertama kali Benny kenal dengan
Sudharmono sekitar tahun 1951 di Bandung. Saat itu ia menjadi siswa
Pusat Pendidikan Perwira Angkatan Darat. Sedangkan Sudharmono waktu
itu adalah perwira pimpinan (battalion's adjutant). Hubungan itu kian
dekat saat Benny pulang dari Seoul, Korea Selatan, tahun 1974.
"Kedekatan itu berlangsung lantaran tugas kami banyak berhubungan,"
kata Benny suatu ketika.
Mungkin betul apa yang dikatakan Benny. Selepas menjabat konsul
jenderal RI di Korea, pria kelahiran Cepu, Jawa Tengah, 2 Oktober
1932, itu langsung dipercaya sebagai asintel Hankam/Kopkamtib.
Sementara saat itu Sudharmono menjabat mensesneg. "Karena jabatan
serta tugas itulah, maka hubungan saya dengan Pak Dhar, baik dalam
kaitan kerja maupun secara pribadi, menjadi semakin erat," kata Benny
Moerdani seperti ditulis dalam buku Kesan dan Kenangan dari Teman: 70
Tahun H. Sudharmono, S.H. Puncak keeratan hubungan mereka terjadi saat
Benny menjadi panglima ABRI dan Sudharmono jadi mensesneg selain ketua
umum Golkar.
Namun, namanya juga manusia, hubungan pertemanan yang dicoba dijalin
secara mulus itu akhirnya bisa retak juga. Persoalannya pun sebetulnya
terkesan tidak rasional. Hanya gara-gara kepentingan politik, Benny
dengan Sudharmono harus beradu kepentingan.
Entah apa yang menjadi dasar, di penghujung jabatannya sebagai ketua
umum Golkar, beberapa orang pengurus DPP berkehendak mengegolkan
Sudharmono jadi orang nomor dua di Republik ini. Ketika itu Sarwono
dan Akbar Tandjunglah yang begitu bersemangat mengupayakan Sudharmono
jadi calon wakil presiden periode 1988-1993. Tekad mereka makin kuat
setelah mendapat sinyal dari Presiden Soeharto.
Sebenarnya, pria kelahiran Gresik, 12 Maret 1927, itu kurang berkenan
dengan pencalonan tersebut. Bukan apa-apa, Sudharmono merasa dirinya
tidak layak untuk menjabat posisi itu. Dalam otobiografi Sudharmono,
S.H.: Pengalaman dalam Masa Pengabdian, disebutkan Sudharmono bersikap
keras kepada Sarwono dan Akbar Tandjung. Dua orang inilah yang bertemu
dengan Sudharmono di Sekretariat Negara pada 25 Februari 1988 untuk
membicarakan masalah pencalonan sebagai wapres. "Pada saat itu reaksi
saya ialah sebaiknya Fraksi Karya Pembangunan mengadakan konsultasi
dengan ketua Dewan Pembina. Kalau mungkin bersama-sama dengan Fraksi
Utusan Daerah dan Fraksi ABRI," tulis Sudharmono.
Rupanya, pencalonan itu secara tidak langsung diketahui oleh Pak
Harto. Cuma, waktu itu Soeharto tidak secara tegas menunjuk hidung.
Waktu itu Soeharto cuma mengisyaratkan syarat-syarat untuk calon wakil
presiden. Pertama, dia haruslah seorang yang teguh pendiriannya atas
Pancasila dan UUD 1945. Kedua, menunjukkan kapabilitasnya, memiliki
prestasi dan integritas yang tinggi. Ketiga, dapat diterima oleh
masyarakat. Keempat, mendapat dukungan sebagian besar anggota fraksi.
Menurut Sarwono dan Akbar waktu itu, keempat syarat tersebut ada pada
diri Sudharmono. Kloplah sudah.
Tiga hari kemudian digelarlah rapat tiga fraksi, yaitu FKP, FUD dan
FABRI, di Mabes ABRI. Benny Moerdani selaku Pangkopkamtib bertindak
sebagai tuan rumah. Saat itu hadir juga pangab baru, Try Sutrisno.
Selain itu, pimpinan tiap-tiap fraksi tentu saja hadir. Demikian juga
Ketua Umum Golkar dan Pimpinan Korpri Soepardjo Roestam. Trifraksi
ketika itu sudah berkonsultasi kepada Soeharto ihwal calon yang akan
dipilih sebagai pendampingnya.
Dalam rapat tersebut terjadi situasi yang agak "aneh". Saat itu,
Cosmas Batubara, salah seorang anggota FKP, menanyakan kepada pimpinan
rapat, siapa calon tiga jalur untuk wakil presiden mendatang. Ini
dijawab Benny. Menurut Benny, FABRI sampai waktu itu belum mengambil
keputusan. Alasannya, dia baru saja kembali dari luar negeri dan belum
sempat berkonsultasi dengan Pak Harto.
Jawaban ini terang saja menimbulkan tanda tanya. Padahal ketiga fraksi
ketika berkonsultasi dengan Pak Harto telah menyatakan kesamaan
pandangannya untuk mencalonkan Pak Dhar. Timbul pertanyaan, ada apa
dengan Benny?
Dalam hubungan dengan pencalonan Sudharmono oleh ABRI, Sudharmono
mendengar kabar kurang sedap. "Keputusan ABRI untuk mencalonkan saya
itu diambil setelah diadakan rapat maraton di kantor Pak Benny di
Tebet (kantor intel)," tulis Sudharmono dalam buku Pengalaman dalam
Masa Pengabdian. Dalam rapat itu, lanjutnya, Benny awalnya keberatan
jika ABRI mencalonkan Sudharmono sebagai wakil presiden. Alasan yang
dia kemukakan sendiri tidak jelas. Baru setelah terjadi perdebatan
yang hangat antara peserta rapat--terdiri atas jenderal-jenderal
pimpinan ABRI, termasuk Benny, Try Sutrisno, Sugiharto (kepala staf
sosial politik ABRI), Harsudiono Hartas (asisten kassospol)--akhirnya
diambil keputusan untuk mendukung Sudharmono. Rupanya, yang menentukan
keputusan itu tidak lain karena Soeharto memang menjagokan Sudharmono.
Karena itu, dengan berat hati Benny terpaksa harus loyal atas
"keputusan" Soeharto tersebut.
Benny sendiri tampaknya kurang respek terhadap pencalonan Sudharmono.
Soalnya bukan apa-apa. Awalnya, nama Benny memang disebut-sebut
sebagai salah seorang kandidat wakil presiden. Tetapi soal ini ditolak
oleh Benny. "Bagus kalau demikian,...kalau saya masih menjadi ketua
Partai ABRI. Tetapi sejak dua jam yang lalu, ketua partai sudah bukan
di tangan saya lagi, melainkan Try..." tulis Benny dalam biografi
Benny Moerdani Profil Prajurit Negarawan.
Rupanya, Benny mengusulkan nama Try Sutrisno sebagai wapres. Try
sendiri belum genap dua jam sebelumnya menerima tanggung jawab sebagai
panglima ABRI. Tampaknya dia malah belum sempat menyadari sepenuhnya
terhadap isyarat yang diberikan Benny itu. Benny sudah berupaya agar
nama Try digelindingkan sebagai kandidat dari ABRI.
Namun apa lacur? Benny tetap saja Benny. Kehendak untuk berkuasa
tampaknya masih ada. Gagal dalam proses pencalonan di tingkat fraksi,
dia mencoba bermain dalam proses pemilihan di tingkat Sidang Umum MPR.
Saat pemilihan wapres berlangsung, muncul kejanggalan yang tidak
terduga. Semula, Sudharmono sudah bulat mendapatkan dukungan
trifraksi, tapi secara tak diduga Ketua PPP Jaelani Naro bagai jagoan
mencalonkan diri sebagai wakil presiden. Kemudian, muncullah Ibrahim
Saleh dari FABRI yang tiba-tiba melakukan interupsi. Dia mengucapkan
pidato yang tidak jelas. Intinya, tidak setuju calon wakil presiden
yang sudah diproses. Naro baru mundur pada detik-detik akhir
pemilihan, setelah dilobi oleh Awaloedin Djamin. Namun belakangan,
menurut pengakuan bekas seorang pimpinan FPP, pencalonan Naro memang
mendapat dukungan dari Benny. Begitu pula kasus Ibrahim Saleh adalah
bagian dari skenario untuk memprotes pencalonan Sudharmono.
Benny berkilah. "Apa pun yang diucapkan anggota FABRI yang maju ke
depan tadi itu tidak mencerminkan pendapat resmi fraksi... jelas
dilakukan oleh perorangan," katanya. Bantahan ini untuk menepis
anggapan bahwa peristiwa itu merupakan skenario yang diatur Fraksi
ABRI karena mereka sejak awal tidak setuju Sudharmono sebagai wapres.
Konflik Politik. Benarkah itu awal konflik Benny-Sudharmono? Bukan.
Perseteruan Benny dengan Sudharmono sudah lama terjadi. Saat
Sudharmono memangku jabatan ketua umum Golkar (1983-1988), memang
santer isu bahwa ABRI tidak setuju dengan program kaderisasi,
kemandirian Golkar, dan juga tidak menyetujui Golkar akan memperoleh
suara yang terlalu besar dalam pemilu. "Tetapi mengenai hal itu saya
tidak pernah mendengar dari Benny, baik dalam pertemuan maupun di luar
pertemuan," kata Sudharmono dalam otobiografinya, Pengalaman dalam
Masa Pengabdian.
Hal senada juga dikemukakan Harsudiono Hartas. Menurut dia,
perseteruan Benny dengan Sudharmono itu berawal dari penggunaan
tentara oleh Golkar. "Perseteruannya cuma begitu. Dulu saya pernah
mbalelo kan? Karena apa, jangan mendikte dong, karena ini kan
demokrasi. Tapi itu kan perseteruan sementara," katanya. Menurut
Hartas, Benny bersikap seperti itu agar Golkar jangan menguasai ABRI.
"ABRI itu kan milik rakyat. Mengapa ABRI berjuang untuk mendapat kursi
di DPR. Itu hakikatnya untuk mempertahankan semangat proklamasi,"
katanya.
Pernyataan ini dibantah oleh Sarwono. Justru sebaliknya, kata Sarwono,
saat itu ABRI berusaha mengobok-obok Golkar. Caranya? "Hampir semua
ketua DPD I dan II itu orang-orang militer. Dewan Pembina dan militer
tidak mau Golkar itu berkembang. Kalau berkembang bisa membahayakan
posisi presiden," kata Sarwono Kusumaatmadja.
Sudharmono sendiri mengakui, antara dia dan Benny pernah terjadi
sedikit beda pendapat mengenai soal operasional. Itu terjadi ketika
Golkar menyetujui diadakannya kiprah pemuda dengan menyelenggarakan
kirab AMPI dari Surabaya ke Jakarta, menjelang masa kampanye Pemilu
1987. Meskipun semua persiapan--termasuk perizinan--sudah diperoleh,
dalam pelaksanaannya ada beberapa pejabat militer daerah yang tidak
menyetujui kegiatan AMPI dengan berbagai alasan. "Namun, setelah saya
mengadakan pembicaraan langsung dengan Pak Benny dan menjelaskan
persoalannya, akhirnya dapat dicapai saling pengertian, dan kirab AMPI
dapat dilaksanakan sesuai rencana," katanya.
Sudharmono sebetulnya tahu jika dirinya dihadapkan secara kontradiktif
dengan Benny. Perbedaan itu, seperti dituduhkan beberapa pihak,
malahan menjurus ke rivalitas. "Saya sendiri tidak pernah percaya atas
isu-isu demikian," kata Sudharmono. Alasannya, karena selama dia
bergaul dengan Benny, dia tidak pernah melihat yang seperti itu.
"Kalau ada orang yang mencoba memanas-manasi saya mengenai Pak Benny,
saya selalu mengatakan hal itu sebagai usaha adu domba."
Persoalannya, siapakah yang mampu mengadu mereka? Banyak yang percaya:
Soeharto.
Dudi Rahman dan Budiyono
0
Kutip
Balas