- Beranda
- Sejarah & Xenology
Mengenang Masa Dwifungsi ABRI yang Salah Satunya Berujung Pada Konflik Para Jendral
...
TS
MrBurakkuSan
Mengenang Masa Dwifungsi ABRI yang Salah Satunya Berujung Pada Konflik Para Jendral
Nuwun Sewu gan, ane cuma mau bikin thread yang bisa menjadi semacam kliping yang merekam kembali denyut politik orde baru. Dalam hal ini ane tertarik dengan dinamika manuver politik para jenderal, imbas dari penerapan dwifungsi ABRI.
Ane bakal coba update thread dengan kliping-kliping sumber yang mennceritakan permasalahan ini gan...
INTERUPSI LEGENDARIS BRIGJEN TNI IBRAHIM SALEH
Mengenai siapa calon Presiden Republik 2009-2014,
ia memuji Prabowo Subiyanto yang diamati cukup membumi dan menyentuh hati rakyat dalam menyampaikan pesan-pesan yang menyentuh rakyat banyak lewat televisi. Menurutnya tingkah laku serta niat dan keinginan luhur Prabowo untuk banyak berdharma bhakti kepada rakyat Indonesia sebaiknya dikerjakan dan diamalkan dalam kehidupan nyata para pemimpin bangsa yang ada di tanah air.
ibrahim_salehSiapa tak kenal dengan Jenderal fenomenal Ibrahim Saleh? Ia pernah menggegerkan Sidang Umum MPR 1988 lalu. Saat itu, Kamis, 9 Maret 1988, rapat paripurna baru saja secara aklamasi mengangkat kembali Jenderal (Purn) Soeharto sebagai presiden RI untuk masa bakti kelima, 1988-1993.
Padahal pimpinan sidang Kharis Suhud berancang-ancang hendak menutup sidang pagi itu. Tapi sekonyong-konyong, Brigadir Jenderal Ibrahim Saleh, yang duduk di deretan kursi fraksi ABRI, berlari menuju podium sambil berteriak: “Pak Ketua….Interupsi.”
Tanpa menunggu jawaban dari pimpinan sidang, Ibrahim berdiri di atas mimbar. Ia lalu membacakan secarik kertas yang telah disiapkannya. “Assalamualaikum…Majelis telah sepakat dan secara aklamasi meminta Soeharto untuk memangku kembali jabatan presiden untuk masa jabatan 1983-1988…eh 1988-1992 eh……” ujarnya terengah-engah.
“Kami telah mendengar desas-desus yang mengatakan bahwa pencalonan wakil presiden tidak fair…” Kontan saja sebagian anggota majelis berteriak-teriak,”Turun…turuuunn..” Ibrahim memang mempertanyakan pencalonan Sudharmono sebagai wapres dengan dalih identitasnya meragukan.
Suasana pun geger.
Pangab Jenderal Try Sutrisno dan Pangkopkamtib Jenderal Benny Moerdani bergegas menuju meja pimpinan sidang. Mereka tampak berbicara dengan Kharis Suhud sambil menunjuk ke arah mimbar tempat Ibrahim melakukan interupsi. Belakangan, Ketua F-ABRI, Mayjen Harsudiyono Hartas, mengajaknya turun mimbar. Hartas kaget atas ulah Ibrahim, lalu meminta maaf pada pimpinan sidang.
Keruan saja berita media massa langsung membidik Ibrahim. Ia sampai dianggap tengah menderita stress berat, bahkan gila, karena ulahnya itu. Tuduhan itu sama sekali tidak benar. Keinginan untuk menginterupsi itu datang dari diri saya sendiri. Jenderal L.B Moerdani sama sekali tidak memberi perintah apa pun pada saya.
Bagaimana semua itu bisa terjadi?
Menurut Brigjen (Purn) Ibrahim Saleh yang tetap fit di usia hampir tujuh puluh tahun ini dalam pertemuan ketiga jalur keluarga besar Golkar tanggal 28 Februari 1988, untuk pertama kalinya nama Sudharmono disebut-sebut sebagai calon wakil presiden. Ketika itu ia bertanya pada Soegiarto, Kassospol ABRI saat itu. “Gie, kamu tahu siapa Sudharmono ini?”
Saat itu samar-samar Ibrahim ingat sebuah peristiwa yang terjadi di tahun 1964, ketika masih berdinas di Kodam Diponegoro dan berpangkat letnan dua. Sewaktu ia pulang ke Semarang dari Solo, dan melewati Boyolali, otobus yang ditumpangi terjebak kemacetan. Rupanya penyebab kemacetan itu karena PKI sedang berpawai.
Sesampainya di Semarang, Ibrahim mendapat informasi dari Kolonel Soediro, Kasdam Diponegoro saat itu, bahwa yang mengadakan arak-arakan di Boyolali itu adalah Sudharmono. Jadi, ketika 28 Februari itu Sudharmono disebut sebagai calon wapres, Ibrahim belum yakin, dan masih bertanya-tanya, apakah Sudharmono ini orang yang sama dengan yang terlibat pawai tahun 1964?
Ketika ada pertemuan keluarga besar Golkar pada 29 Februari, Ibrahim mulai mendengar pencalonan Sudharmono sebagai wapres. Pada 1 Maret 1988, malam harinya, Ibrahim rasa-rasan dengan Soegiarto tentang siapa calon wapres dari ABRI? Masa mau mendukung orang yang riwayat hidupnya kita nggak tahu. Tadinya Ibrahim dkk. berniat mendukung Try, tetapi dia merasa sungkan.
Akhirnya, pada 2 Maret, saat berlangsung rapat fraksi ABRI, kembali ia bertanya kepada Pak Try sebagai pimpinan sidang tentang riwayat hidup Sudharmono ini. Tapi jawabannya mengambang. Dan akhirnya, ABRI memutuskan mendukung Soeharto sebagai presiden dan Sudharmono sebagai wakil presiden.
Maka, Ibrahim pun lalu memberanikan diri menginterupsi sidang umum yang saat itu dipimpin Kharis Suhud pada 9 Maret.
Dalam UUD 45, presiden dan wapres dipilih dengan suara terbanyak. Artinya, sah jika pemilihan itu dilakukan dengan voting. Tetapi mengapa pemilihan presiden selama Orde Baru dilakukan dengan musyawarah untuk mufakat. Jadi jelas terjadi penyimpangan penafsiran. Setelah interupsi biasanya sidang diskors dulu.
Ketika jeda itu berlangsung lobi-lobi. Walaupun kecil, kemungkinan terjadinya perubahan hasil sidang ada. Saat itu, akibat interupsi yang Ibrahim lakukan, hampir terjadi voting. Tetapi anehnya setelah itu pencalonan Naro sebagai wapres, dicabut oleh PPP. Sehingga Sudharmono terpilih menjadi wapres sebagai calon tunggal.
Bagaimana sosok Ibrahim Saleh saat ini? Pria kelahiran 22 Rajab 1357 H (10/8/1939) di Dusun TanahAbang,Kecamatan Talang Ubi, Kabupaten Muara Enim, Prabumulih, Sumatera Selatan ini menikah dengan Rukiawati, gadis sekampungnya. Setelah peristiwa interupsi itu, Ibrahim pensiun dari sebagai anggota Legislatif F-TNI/Polri pada 1993.
Kini, ia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk kegiatan sosial, seperti pengurus koperasi khusus pedagang kaki lima, panti asuhan anak yatim piatu, maupun sesekali menjadi da’i yang berkhotbah di masjid. Alasannya, menjadi apa pun kita, tidaklah terlalu penting. “Yang lebih penting bagaimana kita bisa mengabdi pada Allah,” katanya di sela acara Ulang Tahun Yayasan Lumbung Rakyat yang ke-10 pada Sabtu (18/10/2008) sore di Posko TAP, Gg.Berdikari No.27, Jl.Lawang Gintung, Kel.Batutulis, Bogor.
Mengenai siapa calon Presiden Republik 2009-2014, ia memuji Prabowo Subiyanto yang diamati cukup membumi dan menyentuh hati rakyat dalam menyampaikan pesan-pesan yang menyentuh rakyat banyak lewat televisi. Menurutnya tingkah laku serta niat dan keinginan luhur Prabowo untuk banyak berdharma bhakti kepada rakyat Indonesia sebaiknya dikerjakan dan diamalkan dalam kehidupan nyata para pemimpin bangsa yang ada di tanah air.
Label: suaratokoh.com
sumber: http://*networkedblogs.com/f1k9R
Konsep Dwifungsi ABRI yang ditanamkan Jenderal AH Nasution, dan diamalkan oleh Soeharto (menurut interpretasinya sendiri) di era Orba, ternyata tak hanya menimbulkan kesan militeristik pada pemerintahan zaman itu.
Mungkin orang asing pada hari itu memandang Indonesia seperti halnya kita pada hari ini memandang Korea Utara atau Myanmar. Itu kira-kira karakter militer yang tercitrakan pada pemerintahan Orba.
Namun selain kesan karakter kuat pemerintahan junta militer yang tertanam pada Orde Baru, konsep Dwifungsi ABRI yang diamalkan oleh Soeharto ini juga menimbulkan rekaman sejarah tentang pergulatan politik praktis para petinggi militer.
Ingin naik pangkat, ambisi politik menjadi pejabat, hingga ujung-ujungnya adalah perselisihan para Jenderal. Munculnya Hanura dan Gerindra, serta perdebatan tak kunjung henti seputar rencana kudeta Prabowo pada hari ini adalah salah satu ekses yang masih terlihat dari penerapan Dwifungsi yang dipraktekkan oleh Pak Harto.
List update kliping:
Wawancara 1998 Seputar Interupsi Brigjen Ibrahim Saleh di SU MPR 1988
Artikel Manuver Politik ABRI di Pilwapres 1997/1998
Seputar Jenderal Menjabat Menhankan Sekaligus Pangab (Eep Saefulloh Fatah - 1999)
Bahasan Rivalitas Petinggi Militer Vs Politikus Golkar 1980-an
Persaingan Ali Moertopo dan Soemitro Saat Malari
Kisah Hampir Terulangnya Supersemar dan Kopkamtib di Kelahiran Reformasi 1998
Wawancara Dengan Jenderal Rudini Tentang Dwifungsi Abri
mohon bimbingannya
Ane bakal coba update thread dengan kliping-kliping sumber yang mennceritakan permasalahan ini gan...
Quote:
INTERUPSI LEGENDARIS BRIGJEN TNI IBRAHIM SALEH
Mengenai siapa calon Presiden Republik 2009-2014,
ia memuji Prabowo Subiyanto yang diamati cukup membumi dan menyentuh hati rakyat dalam menyampaikan pesan-pesan yang menyentuh rakyat banyak lewat televisi. Menurutnya tingkah laku serta niat dan keinginan luhur Prabowo untuk banyak berdharma bhakti kepada rakyat Indonesia sebaiknya dikerjakan dan diamalkan dalam kehidupan nyata para pemimpin bangsa yang ada di tanah air.
ibrahim_salehSiapa tak kenal dengan Jenderal fenomenal Ibrahim Saleh? Ia pernah menggegerkan Sidang Umum MPR 1988 lalu. Saat itu, Kamis, 9 Maret 1988, rapat paripurna baru saja secara aklamasi mengangkat kembali Jenderal (Purn) Soeharto sebagai presiden RI untuk masa bakti kelima, 1988-1993.
Padahal pimpinan sidang Kharis Suhud berancang-ancang hendak menutup sidang pagi itu. Tapi sekonyong-konyong, Brigadir Jenderal Ibrahim Saleh, yang duduk di deretan kursi fraksi ABRI, berlari menuju podium sambil berteriak: “Pak Ketua….Interupsi.”
Tanpa menunggu jawaban dari pimpinan sidang, Ibrahim berdiri di atas mimbar. Ia lalu membacakan secarik kertas yang telah disiapkannya. “Assalamualaikum…Majelis telah sepakat dan secara aklamasi meminta Soeharto untuk memangku kembali jabatan presiden untuk masa jabatan 1983-1988…eh 1988-1992 eh……” ujarnya terengah-engah.
“Kami telah mendengar desas-desus yang mengatakan bahwa pencalonan wakil presiden tidak fair…” Kontan saja sebagian anggota majelis berteriak-teriak,”Turun…turuuunn..” Ibrahim memang mempertanyakan pencalonan Sudharmono sebagai wapres dengan dalih identitasnya meragukan.
Suasana pun geger.
Pangab Jenderal Try Sutrisno dan Pangkopkamtib Jenderal Benny Moerdani bergegas menuju meja pimpinan sidang. Mereka tampak berbicara dengan Kharis Suhud sambil menunjuk ke arah mimbar tempat Ibrahim melakukan interupsi. Belakangan, Ketua F-ABRI, Mayjen Harsudiyono Hartas, mengajaknya turun mimbar. Hartas kaget atas ulah Ibrahim, lalu meminta maaf pada pimpinan sidang.
Keruan saja berita media massa langsung membidik Ibrahim. Ia sampai dianggap tengah menderita stress berat, bahkan gila, karena ulahnya itu. Tuduhan itu sama sekali tidak benar. Keinginan untuk menginterupsi itu datang dari diri saya sendiri. Jenderal L.B Moerdani sama sekali tidak memberi perintah apa pun pada saya.
Bagaimana semua itu bisa terjadi?
Menurut Brigjen (Purn) Ibrahim Saleh yang tetap fit di usia hampir tujuh puluh tahun ini dalam pertemuan ketiga jalur keluarga besar Golkar tanggal 28 Februari 1988, untuk pertama kalinya nama Sudharmono disebut-sebut sebagai calon wakil presiden. Ketika itu ia bertanya pada Soegiarto, Kassospol ABRI saat itu. “Gie, kamu tahu siapa Sudharmono ini?”
Saat itu samar-samar Ibrahim ingat sebuah peristiwa yang terjadi di tahun 1964, ketika masih berdinas di Kodam Diponegoro dan berpangkat letnan dua. Sewaktu ia pulang ke Semarang dari Solo, dan melewati Boyolali, otobus yang ditumpangi terjebak kemacetan. Rupanya penyebab kemacetan itu karena PKI sedang berpawai.
Sesampainya di Semarang, Ibrahim mendapat informasi dari Kolonel Soediro, Kasdam Diponegoro saat itu, bahwa yang mengadakan arak-arakan di Boyolali itu adalah Sudharmono. Jadi, ketika 28 Februari itu Sudharmono disebut sebagai calon wapres, Ibrahim belum yakin, dan masih bertanya-tanya, apakah Sudharmono ini orang yang sama dengan yang terlibat pawai tahun 1964?
Ketika ada pertemuan keluarga besar Golkar pada 29 Februari, Ibrahim mulai mendengar pencalonan Sudharmono sebagai wapres. Pada 1 Maret 1988, malam harinya, Ibrahim rasa-rasan dengan Soegiarto tentang siapa calon wapres dari ABRI? Masa mau mendukung orang yang riwayat hidupnya kita nggak tahu. Tadinya Ibrahim dkk. berniat mendukung Try, tetapi dia merasa sungkan.
Akhirnya, pada 2 Maret, saat berlangsung rapat fraksi ABRI, kembali ia bertanya kepada Pak Try sebagai pimpinan sidang tentang riwayat hidup Sudharmono ini. Tapi jawabannya mengambang. Dan akhirnya, ABRI memutuskan mendukung Soeharto sebagai presiden dan Sudharmono sebagai wakil presiden.
Maka, Ibrahim pun lalu memberanikan diri menginterupsi sidang umum yang saat itu dipimpin Kharis Suhud pada 9 Maret.
Dalam UUD 45, presiden dan wapres dipilih dengan suara terbanyak. Artinya, sah jika pemilihan itu dilakukan dengan voting. Tetapi mengapa pemilihan presiden selama Orde Baru dilakukan dengan musyawarah untuk mufakat. Jadi jelas terjadi penyimpangan penafsiran. Setelah interupsi biasanya sidang diskors dulu.
Ketika jeda itu berlangsung lobi-lobi. Walaupun kecil, kemungkinan terjadinya perubahan hasil sidang ada. Saat itu, akibat interupsi yang Ibrahim lakukan, hampir terjadi voting. Tetapi anehnya setelah itu pencalonan Naro sebagai wapres, dicabut oleh PPP. Sehingga Sudharmono terpilih menjadi wapres sebagai calon tunggal.
Bagaimana sosok Ibrahim Saleh saat ini? Pria kelahiran 22 Rajab 1357 H (10/8/1939) di Dusun TanahAbang,Kecamatan Talang Ubi, Kabupaten Muara Enim, Prabumulih, Sumatera Selatan ini menikah dengan Rukiawati, gadis sekampungnya. Setelah peristiwa interupsi itu, Ibrahim pensiun dari sebagai anggota Legislatif F-TNI/Polri pada 1993.
Kini, ia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk kegiatan sosial, seperti pengurus koperasi khusus pedagang kaki lima, panti asuhan anak yatim piatu, maupun sesekali menjadi da’i yang berkhotbah di masjid. Alasannya, menjadi apa pun kita, tidaklah terlalu penting. “Yang lebih penting bagaimana kita bisa mengabdi pada Allah,” katanya di sela acara Ulang Tahun Yayasan Lumbung Rakyat yang ke-10 pada Sabtu (18/10/2008) sore di Posko TAP, Gg.Berdikari No.27, Jl.Lawang Gintung, Kel.Batutulis, Bogor.
Mengenai siapa calon Presiden Republik 2009-2014, ia memuji Prabowo Subiyanto yang diamati cukup membumi dan menyentuh hati rakyat dalam menyampaikan pesan-pesan yang menyentuh rakyat banyak lewat televisi. Menurutnya tingkah laku serta niat dan keinginan luhur Prabowo untuk banyak berdharma bhakti kepada rakyat Indonesia sebaiknya dikerjakan dan diamalkan dalam kehidupan nyata para pemimpin bangsa yang ada di tanah air.
Label: suaratokoh.com
sumber: http://*networkedblogs.com/f1k9R
Konsep Dwifungsi ABRI yang ditanamkan Jenderal AH Nasution, dan diamalkan oleh Soeharto (menurut interpretasinya sendiri) di era Orba, ternyata tak hanya menimbulkan kesan militeristik pada pemerintahan zaman itu.
Mungkin orang asing pada hari itu memandang Indonesia seperti halnya kita pada hari ini memandang Korea Utara atau Myanmar. Itu kira-kira karakter militer yang tercitrakan pada pemerintahan Orba.
Namun selain kesan karakter kuat pemerintahan junta militer yang tertanam pada Orde Baru, konsep Dwifungsi ABRI yang diamalkan oleh Soeharto ini juga menimbulkan rekaman sejarah tentang pergulatan politik praktis para petinggi militer.
Ingin naik pangkat, ambisi politik menjadi pejabat, hingga ujung-ujungnya adalah perselisihan para Jenderal. Munculnya Hanura dan Gerindra, serta perdebatan tak kunjung henti seputar rencana kudeta Prabowo pada hari ini adalah salah satu ekses yang masih terlihat dari penerapan Dwifungsi yang dipraktekkan oleh Pak Harto.
List update kliping:
Quote:
Wawancara 1998 Seputar Interupsi Brigjen Ibrahim Saleh di SU MPR 1988
Artikel Manuver Politik ABRI di Pilwapres 1997/1998
Seputar Jenderal Menjabat Menhankan Sekaligus Pangab (Eep Saefulloh Fatah - 1999)
Bahasan Rivalitas Petinggi Militer Vs Politikus Golkar 1980-an
Persaingan Ali Moertopo dan Soemitro Saat Malari
Kisah Hampir Terulangnya Supersemar dan Kopkamtib di Kelahiran Reformasi 1998
Wawancara Dengan Jenderal Rudini Tentang Dwifungsi Abri
mohon bimbingannya

Diubah oleh MrBurakkuSan 05-04-2014 01:36
0
10.5K
Kutip
21
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Sejarah & Xenology
6.5KThread•11.5KAnggota
Tampilkan semua post
TS
MrBurakkuSan
#3
SEPUTAR MANUVER POLITIK MILITER ZAMAN ORBA DALAM PEMILIHAN WAPRES
Oleh: P. Hasudungan Sirait
Semakin dekat Pemilu, kian ramai pula bursa calon wakil presiden. Sementara bursa presiden sepi. Beberapa nama kini mulai disebut-sebut sebagai calon wapres. Termasuk Try Sutrisno, Habibie, Ginandjar Kartasasmita, Moerdiono, Hartono dan, yang terbaru, Buya Hasan Metareum. Adalah pernyataan Ketua Fraksi ABRI Letjen Suparman Achmad yang memicu munculnya nama-nama ini. Memang Suparman hanya menyebut bahwa ABRI sudah mengantungi nama calon untuk wapres mendatang. Tapi itu sudah cukup untuk merangsang orang mengelus jago. Tak peduli lagi kalau Kepala Staf Sospol ABRI Letjen Syarwan Hamid kemudian meluruskan pernyataan Suparman dengan menyebut Mabes ABRI belum menetapkan calon.
Ada penyebabnya sehingga banyak kalangan yang tetap percaya pada ucapan Ketua F-ABRI tadi. Yaitu manuver yang dilakukan F-ABRI dalam bursa serupa lima tahun silam. Waktu itu dalam Sidang Umum (SU) MPR, Ketua F-ABRI Harsudiono Hartas mendahului fraksi lain dalam mengajukan jago dari kubu militer yaitu Try Sutrisno. Langkah seperti ini di luar kebiasaan F-ABRI. Tapi terobosan ini bak gayung bersambut. Fraksi lain juga setuju. Maka jadilah Try yang terpilih. Bukan Wapres lama Sudharmono yang kabarnya sejak semula tak didukung ABRI.
Manuver tak lazim yang dilakukan Hartas dkk. itu kemudian mengundang berbagai penafsiran. Pengamat seperti Adam Schwarz misalnya melihatnya sebagai langkah yang diambil agar jangan sampai Sudharmono terpilih lagi atau supaya bukan Habibie yang gol. Konon interupsi Brigjen Ibrahim Saleh dalam SU MPR 1988 juga merupakan bagian dari skenario menjegal mantan Mensesneg tersebut. Ibrahim Saleh dalam interupsinya ketika itu menyebut tak ada masalah soal calon presiden. Tapi kalau soal wapres masih diragukan. Waktu itu kandidat tinggal Sudharmono seorang, sebab Naro sudah mundur beberapa jam menjelang pemilihan. Memang akhirnya Sudharmono tetap terpilih.
Sikap F-ABRI yang agak agresif dalam dua SU MPR terakhir cukup menjadi isyarat bagi kalangan tertentu untuk menyimpulkan bahwa militer memang serius dalam memajukan jagonya. Maka ketika Suparman Achmad mengatakan ABRI sudah mengantongi nama calonnya, banyak orang yang mempersepsikannya sebagai sebuah kesungguhan. Kalau memang demikian, siapa gerangan jagoan ABRI? Hingga sekarang belum jelas. Tapi niscaya berlatar belakang militer. Besar kemungkinan ada dalam daftar di atas. Di sana yang tak berlatar belakang militer hanya Habibie dan Buya Metareum.
Secara konsepsional, yaitu menurut UUD ‘45, baik presiden maupun wakilnya dipilih oleh MPR dengan suara terbanyak. Meski demikian, preferensi presiden tampaknya cukup berperan dalam pemilihan orang kedua di pemerintahan. Ini bisa dilihat khususnya dalam era Orde Baru. Kalau di zaman Orde Lama, pemilihan kedua proklamator menjadi orang pertama dan kedua di negeri ini spontan saja. Kala itu pada sesi kedua sidang pertama Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), sehari setelah kemerdekaan, anggota Oto Iskandardinata menyebut nama Soekarno. Hadirin bertepuk sorak. Demikian juga waktu nama Hatta ia ucapkan. Seperti diketahui, dalam Orla, presiden dan wapres hanyalah Soekarno dan Hatta.
Di zaman Orde Baru, entah kebetulan atau tidak, yang jadi wapres adalah mereka yang secara pribadi dekat dengan Pak Harto. Tapi tampaknya bukan kebetulan. Sri Sultan Hamengku Buwono IX adalah bagian dari triumvirat (bersama Soeharto dan Adam Malik) yang menjadi ujung tombak pembangunan nasional di masa awal Orde Baru. Adam Malik kemudian menggantikan Sri Sultan sebagai wapres. Selanjutnya yang terpilih adalah Umar Wirahadikusumah, orang Siliwangi yang menjadi Pandam V Jaya sewaktu Pak Harto menjadi Pangkostrad. Kedua mereka bahu-membahu dalam menumpas PKI menyusul perisitiwa G30S. Umar kemudian menggantikan Pak Harto sebagai Pangkostrad. Setelah Umar, Giliran Sudharmono yang mendampingi Kepala Negara. Sewaktu Pak Harto menjadi Ketua Presidium Kabinet Ampera tahun 1966, Sudharmono sudah dipercaya sebagai Sekretaris Presidim Kabinet.
Seperti Umar, penunjukan mantan Ketua Golkar ini memang agak mengejutkan. Pemilihan Umar yang waktu itu Ketua BPK, menjadi surprise sebab ia tidaklah sepopuler pendahulunya, Sri Sultan dan Adam Malik. Tapi seperti disebut tadi, ia diketahui merupakan sekutu lama Pak Harto. Sebagai Ketua Golkar yang berhasil, Sudharmono cukup tenar. Apalagi jika mengingat keberhasilannya sebagai king maker (yang berperan besar dalam mempromosikan karir seseorang-red) baik waktu di Sekneg maupun tatkala di Golkar.
Wapres yang terakhir, Try Sutrisno, adalah mantan ajudan Presiden yang kemudian dipercaya menjadi Pangdan V Jaya. Adalah Try yang kemudian menggantikan rekannya, Benny Murdani, sebagai Pangab.
Kalau melihat kedekatan hubungan pribadi yang demikian maka akan sulitlah untuk mengatakan bahwa wapres di masa Orde Baru merupakan pilihan MPR semata. Preferensi Presiden pun menentukan di sana. Dan itu mungkin, jika melihat struktur keanggotaan MPR yang lebih separo anggotanya bukanlah hasil pemilihan. Sebenarnya tidak terlalu masalah kalau wapres bukan pilihan murni MPR. Sebab bagaimanapun seorang kepala negara seyogyanya didampingi oleh seseorang yang klop dengan dia. Maka, untuk pemilihan wapres mendatang pun besar kemungkinan Presiden masih menentukan.
Mereka yang pernah menjadi wakil Pak Harto ini umumnya dikenal sebagai pribadi hebat. Sri Sultan misalnya merupakan figur yang disegani baik oleh sipil maupun militer. Dedikasinya yang luar biasa serta kearifannya membuat dia dihormati. Sewaktu mengurusi perekonomian nasional, dia telah membuktikan kemampuannya sebagai pelobi tangguh bank dunia, IMF, atau IGGI.
Adam Malik merupakan salah seorang pentolan kelompok pemuda revolusioner yang kemudian menculik Soekarno-Hatta. Ia turut mendirikan LKBN Antara dan menjadi seorang jurnalis terkemuka. Setelah menjadi Menlu yang sukses memulihkan kekuatan diplomasi Indonesia, ia dipercaya menjadi wapres. Dengan demikian ia merupakan sipil berjabatan tertinggi di zaman Orde Baru.
Meski namanya kurang terkenal sebelum jadi wapres, Umar merupakan seorang militer tangguh yang turut mengharumkan nama Siliwangi. Puncak karirnya sebagai militer adalah ketika ditunjuk menjadi KASAD tahun 1969. Kemudian ia ditugasi memimpin BPK sebelum jadi orang kedua.
Sudharmono bisa saja kurang populer di kalangan militer meski latar belakangnya sendiri adalah oditur militer. Namun sebagai organisatoris dia diakui jempolan. Di tangannyalah Sekneg berubah menjadi wahana yang sangat berpengaruh. Konsolidasi Golkar paling mantap pun berlangsung sewaktu ia pimpin. Satu hal lagi, ia melahirkan sejumlah kader yang di antaranya kelak menjadi anggota kabibet terkemuka. Yaitu Moerdiono, Ismail Saleh, Ginandjar, Akbar Tanjung, Siswono, dan Sarwono. Sukarton (alm.) dan Soni Harsono termasuk anak didiknya.
Adapun Try Sutrisno termasuk generasi muda ABRI yang paling menonjol. Sebelum menjadi wapres, lulusan Atekad semapat menjadi Pangdam IV (Sriwijaya), Pangdam V (Jaya), KSAD, dan Pangab.
Namun demikian, segenap kehebatan ini ternyata tak cukup membuat mereka bisa lebih kemilau setelah menjadi wapres. Peran yang cenderung seremoniallah yang mereka mainkan sebagai orang nomor dua. Secerdik apa pun si bung Kecil Adam Malik, misalnya, ternyata ilmu ‘semua bisa diatur’ yang ia miliki tak cukup ampuh untuk ia terapkan ketika menjadi wapres. Ada yang bilang bahwa ironis, posisi wapres telah ‘membunuh’ karir politik Adam Malik yang gemilang. Maka seperti pendahulunya, Sri Sultan, ia pun menyatakan tak mau dipilih lagi.
Kalau demikian apakah jabatan wapres masih menarik? Yang optimis mengatakan masih. Alasannya karena peluang untuk menjadi nomor satu kini semakin besar. Benarkah? ###
1997
Quote:
Oleh: P. Hasudungan Sirait
Semakin dekat Pemilu, kian ramai pula bursa calon wakil presiden. Sementara bursa presiden sepi. Beberapa nama kini mulai disebut-sebut sebagai calon wapres. Termasuk Try Sutrisno, Habibie, Ginandjar Kartasasmita, Moerdiono, Hartono dan, yang terbaru, Buya Hasan Metareum. Adalah pernyataan Ketua Fraksi ABRI Letjen Suparman Achmad yang memicu munculnya nama-nama ini. Memang Suparman hanya menyebut bahwa ABRI sudah mengantungi nama calon untuk wapres mendatang. Tapi itu sudah cukup untuk merangsang orang mengelus jago. Tak peduli lagi kalau Kepala Staf Sospol ABRI Letjen Syarwan Hamid kemudian meluruskan pernyataan Suparman dengan menyebut Mabes ABRI belum menetapkan calon.
Ada penyebabnya sehingga banyak kalangan yang tetap percaya pada ucapan Ketua F-ABRI tadi. Yaitu manuver yang dilakukan F-ABRI dalam bursa serupa lima tahun silam. Waktu itu dalam Sidang Umum (SU) MPR, Ketua F-ABRI Harsudiono Hartas mendahului fraksi lain dalam mengajukan jago dari kubu militer yaitu Try Sutrisno. Langkah seperti ini di luar kebiasaan F-ABRI. Tapi terobosan ini bak gayung bersambut. Fraksi lain juga setuju. Maka jadilah Try yang terpilih. Bukan Wapres lama Sudharmono yang kabarnya sejak semula tak didukung ABRI.
Manuver tak lazim yang dilakukan Hartas dkk. itu kemudian mengundang berbagai penafsiran. Pengamat seperti Adam Schwarz misalnya melihatnya sebagai langkah yang diambil agar jangan sampai Sudharmono terpilih lagi atau supaya bukan Habibie yang gol. Konon interupsi Brigjen Ibrahim Saleh dalam SU MPR 1988 juga merupakan bagian dari skenario menjegal mantan Mensesneg tersebut. Ibrahim Saleh dalam interupsinya ketika itu menyebut tak ada masalah soal calon presiden. Tapi kalau soal wapres masih diragukan. Waktu itu kandidat tinggal Sudharmono seorang, sebab Naro sudah mundur beberapa jam menjelang pemilihan. Memang akhirnya Sudharmono tetap terpilih.
Sikap F-ABRI yang agak agresif dalam dua SU MPR terakhir cukup menjadi isyarat bagi kalangan tertentu untuk menyimpulkan bahwa militer memang serius dalam memajukan jagonya. Maka ketika Suparman Achmad mengatakan ABRI sudah mengantongi nama calonnya, banyak orang yang mempersepsikannya sebagai sebuah kesungguhan. Kalau memang demikian, siapa gerangan jagoan ABRI? Hingga sekarang belum jelas. Tapi niscaya berlatar belakang militer. Besar kemungkinan ada dalam daftar di atas. Di sana yang tak berlatar belakang militer hanya Habibie dan Buya Metareum.
Secara konsepsional, yaitu menurut UUD ‘45, baik presiden maupun wakilnya dipilih oleh MPR dengan suara terbanyak. Meski demikian, preferensi presiden tampaknya cukup berperan dalam pemilihan orang kedua di pemerintahan. Ini bisa dilihat khususnya dalam era Orde Baru. Kalau di zaman Orde Lama, pemilihan kedua proklamator menjadi orang pertama dan kedua di negeri ini spontan saja. Kala itu pada sesi kedua sidang pertama Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), sehari setelah kemerdekaan, anggota Oto Iskandardinata menyebut nama Soekarno. Hadirin bertepuk sorak. Demikian juga waktu nama Hatta ia ucapkan. Seperti diketahui, dalam Orla, presiden dan wapres hanyalah Soekarno dan Hatta.
Di zaman Orde Baru, entah kebetulan atau tidak, yang jadi wapres adalah mereka yang secara pribadi dekat dengan Pak Harto. Tapi tampaknya bukan kebetulan. Sri Sultan Hamengku Buwono IX adalah bagian dari triumvirat (bersama Soeharto dan Adam Malik) yang menjadi ujung tombak pembangunan nasional di masa awal Orde Baru. Adam Malik kemudian menggantikan Sri Sultan sebagai wapres. Selanjutnya yang terpilih adalah Umar Wirahadikusumah, orang Siliwangi yang menjadi Pandam V Jaya sewaktu Pak Harto menjadi Pangkostrad. Kedua mereka bahu-membahu dalam menumpas PKI menyusul perisitiwa G30S. Umar kemudian menggantikan Pak Harto sebagai Pangkostrad. Setelah Umar, Giliran Sudharmono yang mendampingi Kepala Negara. Sewaktu Pak Harto menjadi Ketua Presidium Kabinet Ampera tahun 1966, Sudharmono sudah dipercaya sebagai Sekretaris Presidim Kabinet.
Seperti Umar, penunjukan mantan Ketua Golkar ini memang agak mengejutkan. Pemilihan Umar yang waktu itu Ketua BPK, menjadi surprise sebab ia tidaklah sepopuler pendahulunya, Sri Sultan dan Adam Malik. Tapi seperti disebut tadi, ia diketahui merupakan sekutu lama Pak Harto. Sebagai Ketua Golkar yang berhasil, Sudharmono cukup tenar. Apalagi jika mengingat keberhasilannya sebagai king maker (yang berperan besar dalam mempromosikan karir seseorang-red) baik waktu di Sekneg maupun tatkala di Golkar.
Wapres yang terakhir, Try Sutrisno, adalah mantan ajudan Presiden yang kemudian dipercaya menjadi Pangdan V Jaya. Adalah Try yang kemudian menggantikan rekannya, Benny Murdani, sebagai Pangab.
Kalau melihat kedekatan hubungan pribadi yang demikian maka akan sulitlah untuk mengatakan bahwa wapres di masa Orde Baru merupakan pilihan MPR semata. Preferensi Presiden pun menentukan di sana. Dan itu mungkin, jika melihat struktur keanggotaan MPR yang lebih separo anggotanya bukanlah hasil pemilihan. Sebenarnya tidak terlalu masalah kalau wapres bukan pilihan murni MPR. Sebab bagaimanapun seorang kepala negara seyogyanya didampingi oleh seseorang yang klop dengan dia. Maka, untuk pemilihan wapres mendatang pun besar kemungkinan Presiden masih menentukan.
Mereka yang pernah menjadi wakil Pak Harto ini umumnya dikenal sebagai pribadi hebat. Sri Sultan misalnya merupakan figur yang disegani baik oleh sipil maupun militer. Dedikasinya yang luar biasa serta kearifannya membuat dia dihormati. Sewaktu mengurusi perekonomian nasional, dia telah membuktikan kemampuannya sebagai pelobi tangguh bank dunia, IMF, atau IGGI.
Adam Malik merupakan salah seorang pentolan kelompok pemuda revolusioner yang kemudian menculik Soekarno-Hatta. Ia turut mendirikan LKBN Antara dan menjadi seorang jurnalis terkemuka. Setelah menjadi Menlu yang sukses memulihkan kekuatan diplomasi Indonesia, ia dipercaya menjadi wapres. Dengan demikian ia merupakan sipil berjabatan tertinggi di zaman Orde Baru.
Meski namanya kurang terkenal sebelum jadi wapres, Umar merupakan seorang militer tangguh yang turut mengharumkan nama Siliwangi. Puncak karirnya sebagai militer adalah ketika ditunjuk menjadi KASAD tahun 1969. Kemudian ia ditugasi memimpin BPK sebelum jadi orang kedua.
Sudharmono bisa saja kurang populer di kalangan militer meski latar belakangnya sendiri adalah oditur militer. Namun sebagai organisatoris dia diakui jempolan. Di tangannyalah Sekneg berubah menjadi wahana yang sangat berpengaruh. Konsolidasi Golkar paling mantap pun berlangsung sewaktu ia pimpin. Satu hal lagi, ia melahirkan sejumlah kader yang di antaranya kelak menjadi anggota kabibet terkemuka. Yaitu Moerdiono, Ismail Saleh, Ginandjar, Akbar Tanjung, Siswono, dan Sarwono. Sukarton (alm.) dan Soni Harsono termasuk anak didiknya.
Adapun Try Sutrisno termasuk generasi muda ABRI yang paling menonjol. Sebelum menjadi wapres, lulusan Atekad semapat menjadi Pangdam IV (Sriwijaya), Pangdam V (Jaya), KSAD, dan Pangab.
Namun demikian, segenap kehebatan ini ternyata tak cukup membuat mereka bisa lebih kemilau setelah menjadi wapres. Peran yang cenderung seremoniallah yang mereka mainkan sebagai orang nomor dua. Secerdik apa pun si bung Kecil Adam Malik, misalnya, ternyata ilmu ‘semua bisa diatur’ yang ia miliki tak cukup ampuh untuk ia terapkan ketika menjadi wapres. Ada yang bilang bahwa ironis, posisi wapres telah ‘membunuh’ karir politik Adam Malik yang gemilang. Maka seperti pendahulunya, Sri Sultan, ia pun menyatakan tak mau dipilih lagi.
Kalau demikian apakah jabatan wapres masih menarik? Yang optimis mengatakan masih. Alasannya karena peluang untuk menjadi nomor satu kini semakin besar. Benarkah? ###
1997
0
Kutip
Balas