- Beranda
- Stories from the Heart
Accidentally In Love [True Story]
...
TS
robotpintar
Accidentally In Love [True Story]
![Accidentally In Love [True Story]](https://s.kaskus.id/images/2014/02/14/6448808_20140214023854.png)
Spoiler for Cover:
![Accidentally In Love [True Story]](https://s.kaskus.id/images/2014/02/14/6448808_20140214024411.png)
So she said what's the problem baby
What's the problem I don't know
Well maybe I'm in love (love)
Think about it every time
I think about it
Can't stop thinking 'bout it
How much longer will it take to cure this
Just to cure it cause I can't ignore it if it's love (love)
Makes me wanna turn around and face me but I don't know nothing 'bout love
Come on, come on
Turn a little faster
Come on, come on
The world will follow after
Come on, come on
Cause everybody's after love
So I said I'm a snowball running
Running down into the spring that's coming all this love
Melting under blue skies
Belting out sunlight
Shimmering love
Well baby I surrender
To the strawberry ice cream
Never ever end of all this love
Well I didn't mean to do it
But there's no escaping your love
These lines of lightning
Mean we're never alone,
Never alone, no, no
We're accidentally in love
Accidentally in love [x7]
Accidentally I'm In Love
Spoiler for Bagian 1:
#1
Quote:
“Gila lu Bon, roti segitu banyak sayang-sayang bakal empan ikan semua!”
“Emang ngapa? Ikan jaman sekarang mah ogah makan cacing, Meng”
Gua jawab aja sekena-nya, memang niatnya gua bawa roti dari rumah buat bekal pas mancing tapi, gara-gara umpan cacing gua dari tadi nggak disentuh ikan terpaksa gua ganti dengan roti. Siapa tau mujarab.
Nggak seberapa berselang, tali pancing gua bergetar, refleks gua tarik joran sekuatnya dan mendarat dengan mulus seekor ikan yang kurang lebih seukuran telapak tangan.
“Anjritt.. dari tadi dapet sapu-sapu mulu gua!”
Sambil melepas mata kail dari mulut ikan sapu-sapu yang barusan gua angkat dan langsung gua lempar lagi kedalam kali.
Tidak berapa lama, melantun lagu “Time Like This”-nya Foo Fighter dari ponsel gua. Tertera tulisan “Rumah” dilayarnya.
“Kenapa mak?”
Karena memang cuma nyokap gua aja yang selalu telpon melalui telepon rumah. Bokap dan adik gua selalu menggunakan ponsel-nya masing-masing jika ada keperluan.
“Assalamualaikum , Mancing kagak rapi-rapi luh, nih ada kiriman surat buat elu”
“Dari siapa?”
“Kagak tau, bahasanya emak nggak ngerti”
“Simpenin dulu, nih aye udah mau pulang”
“Yaudah buruan, jangan maghriban dijalan, pamali. Assalamualaikum”
“Waalaikumsalam”
Gua kantongin lagi ponsel k-ekantong celana pendek yang sekarang udah kotor campur lumpur, sambil berteriak ke temen gua; Komeng, yang lagi berkutat dengan tali pancingnya yang kusut.
“Meng, ayo balik.. udah sore”
“Belon juga dapet sekilo, udah mau balik aje”
“Yauda elu terusin dah, gua balik duluan”
Komeng menjawab dengan sedikit gumam di bibirnya terdengar seperti “Yaelah..” sambil berjalan gontai menyusul gua.
------
Itu kejadian beberapa tahun yang lalu, dimana gua dan Komeng masih biasa mencari cacing buat umpan ikan di kebun singkong belakang rumahnya Haji Salim dan kemudian pergi memancing disepanjang pinggiran sungai Pesanggrahan, Jakarta.
Sekarang, gua sedang duduk sambil bersandar di sebuah kursi lipat di pinggir danau di daerah Leeds, Inggris. Menghabiskan hari libur akhir musim gugur dengan memancing sambil bernostalgia, mencoba membangkitkan memori tentang memancing, tentang si Komeng, tentang Jakarta, tentang rumah.
Setelah berjam-jam memancing, menghabiskan berkaleng-kaleng ‘Diet Coke’ akhirnya gua memutuskan untuk menyudahi kegiatan sialan ini. Pulang dengan membawa 6 Ekor ikan Yelowtail (di Indonesia disebut ikan patin) dan sedikit kenangan tentang ‘rumah’, gua berjalan gontai menuju tempat dimana sepeda kesayangan gua diparkir, sempat kebingungan awalnya karena sekarang ada banyak sepeda yang diparkir, padahal tadi pagi baru sepeda gua aja yang nongkrong disini, setelah celingak-celinguk akhirnya ketemu juga dan gua mulai mengayuh.
Jarak dari tempat gua biasa mancing ke tempat dimana gua tinggal di Moorland Ave, Leeds kurang lebih 3,5 mil atau kalau dalam satuan Kilometer sekitar 5,5 Km. Jarak segitu kalo disini, di Inggris bisa dibilang ‘deket’, kalau naik sepeda bisa cuma 30 menit.
Oiya, nama gua Boni. Gua lahir dan dibesarkan di Jakarta. Saat ini gua kerja dan tinggal di Leeds, Inggris sekitar 2-3 jam dari London (dengan kereta). Gua kerja sebagai Sound Designer disalah satu Agensi perfilman dan periklanan di Leeds yang juga punya kantor di London. Sudah hampir 4 tahun gua kerja dan tinggal disini, ditempat dimana nggak ada sungai dengan air berwarna cokelat keruh yang banyak ikan sapu-sapunya dan nggak ada teman yang suka menggerutu “Yaelah”.
Sambil mendengarkan “Heaven” nya Lost Lonely Boys lewat headset, gua mengayuh sepeda menuju ke rumah, pulang. Melewati jalan berpasir yang dipenuhi pohon-pohon maple di kedua sisinya menuju jalan utama. Jalan yang sangat sepi dan hening, jam menunjukkan angka 4 sore, menandakan waktu shalat maghrib, di sabtu sore seperti sekarang ini memang didaerah sini sangat sepi, kebanyakan penduduk sekitar sedang ke stadion atau pub-pub untuk menyaksikan Leeds United bertanding. Ingin buru-buru sampai di rumah, karena perut udah mulai keroncongan, gua kayuh sepeda lebih cepat. Sampai kemudian terdengar sayup-sayup suara musik yang makin lama makin nyaring, suara musik RnB yang sepertinya diputar dari dalam mobil dengan volume maksimal. Suara tersebut datang dari arah belakang dan kemudian menyusul gua, sebuah BMW silver yang melaju cepat bahkan boleh dibilang sangat cepat, sambil meninggalkan debu persis seperti mobil yang sedang Rally Dakkar.
“Orang Gila!!” gua mengumpat, masih sambil dengerin coda lagu “Heaven” nya Lost Lonely Boys. Sampai gua melihat beberapa detik kemudian lampu rem BMW tersebut menyala dan kemudian berhenti.
Deg!, “Wuanjrit, sakti juga tuh orang bisa denger suara gua” sambil berhenti dan melepas headset dari telinga. Yang ternyata setelah gua sadar, suara gua nggak sepelan pas pakai headset tadi. Gua nunggu sambil dag dig dug, kalau dia ngerti ucapan gua, dia pasti orang Indonesia dan kalo ternyata bukan gua bakal siap-siap kabur.
Pintu penumpang pun terbuka, terbuka secara paksa tepatnya, sedetik kemudian keluar seseorang dari kursi penumpang, terhuyung dan kemudian terjatuh, terdengar makian dari dalam BMW tersebut mungkin seperti “bitch” atau semacamnya dan sesaat kemudian BMW tersebut pergi, mengasapi orang yang tersungkur itu dengan debu jalanan.
Nggak mau terlalu ambil pusing, sambil bernafas lega dan bilang dalam hati; “untung bukan gua”, gua meneruskan mengayuh sepeda.
“Get up Bro, life is brutal”
gua berkata ke orang itu sambil melewatinya tetap melanjutkan mengayuh. Dan beberapa meter kemudian gua mendengar sebuah teriakan, teriakan yang (pada akhirnya) bakal merubah hidup gua.
“Woii.. Help me!, you’re Indonesian, right?”
“Tolongin gue dong…”
Gua berhenti mengayuh, turun dan bengong. Sudah hampir setahun gua nggak denger secara langsung orang bicara ke gua dengan bahasa Indonesia dan suara perempuan pula.. Lima, ah mungkin sepuluh detik kemudian baru gua memalingkan muka tapi masih tetap bengong.
“Woii..”
Akhirnya gua turun dari sepeda, kemudian menghampiri orang itu. Terduduk di depan gua sosok perempuan, hitam manis dengan kepala tertutup hood jaket hitam, celana jeans dan sepatu model boots sebetis berwarna cokelat.
“Elu nggak apa-apa?”
“Menurut Lo? Kalo gue gak apa-apa, ngapain gua teriak minta tolong elu!!”
Gua nggak menjawab, berusaha membantu dia berdiri sambil bertanya lagi bagaimana keadaannya. Sekali lagi dia mengumpat;
“Gila!, nggak punya hati banget sih lu!, ya jelas lah gue kenapa-kenapa.. nih liat!”
Sambil memperlihatkan telapak tangan dan siku-nya yang luka dan kemudian menyibak celana jeans-nya yang kotor terkena debu dan sobek di beberapa bagian akibat terlempar dari mobil tadi. Sesaat baru dia sadar kalau lutut kanannya juga luka sambil meringis kesakitan dia mencoba membersihkan luka tersebut dengan air liurnya. Sangat Indonesia sekali.
“Gua pikir tadi orang mabok yang lagi berantem, disini mah biasa begitu,mbak!”
Kemudia gua kasih satu-satunya ‘Diet Coke’ sisa memancing tadi, harusnya sih air putih tapi Cuma itu yang gua punya sekarang. Sambil menggerutu karena dikasih ‘Diet Coke’ daripada air putih, diminum juga tuh minuman soda. Kemudian gua menawarkan diri buat mengantar dia ke sebuah toko kecil di ujung jalan ini, untuk membeli plester untuk membalut luka-nya.
“Jauh nggak?”
Dia bertanya sambil menurunkan hood jaketnya dan menyibak rambutnya yang pendek seleher. Kemudian terlihat jelas sebuah luka lebam di sudut mata sebelah kiri-nya, tidak, bukan cuma satu, setidaknya ada 3 luka lebam, selain disudut matanya, satu lagi di dahi sebelah kiri dan satu lagi di sudut bibir sebelah kanan, yang terakhir tampak seperti luka yang baru karena masih meninggalkan sisa bekas darah yang membeku.
Gua nggak berani bertanya, gua hindari menatap kewajahnya sambil menjawab pertanyaa-nya bahwa tokonya nggak begitu jauh dari sini, sambil menunjuk ke arah jalan utama.
---
“Emang ngapa? Ikan jaman sekarang mah ogah makan cacing, Meng”
Gua jawab aja sekena-nya, memang niatnya gua bawa roti dari rumah buat bekal pas mancing tapi, gara-gara umpan cacing gua dari tadi nggak disentuh ikan terpaksa gua ganti dengan roti. Siapa tau mujarab.
Nggak seberapa berselang, tali pancing gua bergetar, refleks gua tarik joran sekuatnya dan mendarat dengan mulus seekor ikan yang kurang lebih seukuran telapak tangan.
“Anjritt.. dari tadi dapet sapu-sapu mulu gua!”
Sambil melepas mata kail dari mulut ikan sapu-sapu yang barusan gua angkat dan langsung gua lempar lagi kedalam kali.
Tidak berapa lama, melantun lagu “Time Like This”-nya Foo Fighter dari ponsel gua. Tertera tulisan “Rumah” dilayarnya.
“Kenapa mak?”
Karena memang cuma nyokap gua aja yang selalu telpon melalui telepon rumah. Bokap dan adik gua selalu menggunakan ponsel-nya masing-masing jika ada keperluan.
“Assalamualaikum , Mancing kagak rapi-rapi luh, nih ada kiriman surat buat elu”
“Dari siapa?”
“Kagak tau, bahasanya emak nggak ngerti”
“Simpenin dulu, nih aye udah mau pulang”
“Yaudah buruan, jangan maghriban dijalan, pamali. Assalamualaikum”
“Waalaikumsalam”
Gua kantongin lagi ponsel k-ekantong celana pendek yang sekarang udah kotor campur lumpur, sambil berteriak ke temen gua; Komeng, yang lagi berkutat dengan tali pancingnya yang kusut.
“Meng, ayo balik.. udah sore”
“Belon juga dapet sekilo, udah mau balik aje”
“Yauda elu terusin dah, gua balik duluan”
Komeng menjawab dengan sedikit gumam di bibirnya terdengar seperti “Yaelah..” sambil berjalan gontai menyusul gua.
------
Itu kejadian beberapa tahun yang lalu, dimana gua dan Komeng masih biasa mencari cacing buat umpan ikan di kebun singkong belakang rumahnya Haji Salim dan kemudian pergi memancing disepanjang pinggiran sungai Pesanggrahan, Jakarta.
Sekarang, gua sedang duduk sambil bersandar di sebuah kursi lipat di pinggir danau di daerah Leeds, Inggris. Menghabiskan hari libur akhir musim gugur dengan memancing sambil bernostalgia, mencoba membangkitkan memori tentang memancing, tentang si Komeng, tentang Jakarta, tentang rumah.
Setelah berjam-jam memancing, menghabiskan berkaleng-kaleng ‘Diet Coke’ akhirnya gua memutuskan untuk menyudahi kegiatan sialan ini. Pulang dengan membawa 6 Ekor ikan Yelowtail (di Indonesia disebut ikan patin) dan sedikit kenangan tentang ‘rumah’, gua berjalan gontai menuju tempat dimana sepeda kesayangan gua diparkir, sempat kebingungan awalnya karena sekarang ada banyak sepeda yang diparkir, padahal tadi pagi baru sepeda gua aja yang nongkrong disini, setelah celingak-celinguk akhirnya ketemu juga dan gua mulai mengayuh.
Jarak dari tempat gua biasa mancing ke tempat dimana gua tinggal di Moorland Ave, Leeds kurang lebih 3,5 mil atau kalau dalam satuan Kilometer sekitar 5,5 Km. Jarak segitu kalo disini, di Inggris bisa dibilang ‘deket’, kalau naik sepeda bisa cuma 30 menit.
Oiya, nama gua Boni. Gua lahir dan dibesarkan di Jakarta. Saat ini gua kerja dan tinggal di Leeds, Inggris sekitar 2-3 jam dari London (dengan kereta). Gua kerja sebagai Sound Designer disalah satu Agensi perfilman dan periklanan di Leeds yang juga punya kantor di London. Sudah hampir 4 tahun gua kerja dan tinggal disini, ditempat dimana nggak ada sungai dengan air berwarna cokelat keruh yang banyak ikan sapu-sapunya dan nggak ada teman yang suka menggerutu “Yaelah”.
Sambil mendengarkan “Heaven” nya Lost Lonely Boys lewat headset, gua mengayuh sepeda menuju ke rumah, pulang. Melewati jalan berpasir yang dipenuhi pohon-pohon maple di kedua sisinya menuju jalan utama. Jalan yang sangat sepi dan hening, jam menunjukkan angka 4 sore, menandakan waktu shalat maghrib, di sabtu sore seperti sekarang ini memang didaerah sini sangat sepi, kebanyakan penduduk sekitar sedang ke stadion atau pub-pub untuk menyaksikan Leeds United bertanding. Ingin buru-buru sampai di rumah, karena perut udah mulai keroncongan, gua kayuh sepeda lebih cepat. Sampai kemudian terdengar sayup-sayup suara musik yang makin lama makin nyaring, suara musik RnB yang sepertinya diputar dari dalam mobil dengan volume maksimal. Suara tersebut datang dari arah belakang dan kemudian menyusul gua, sebuah BMW silver yang melaju cepat bahkan boleh dibilang sangat cepat, sambil meninggalkan debu persis seperti mobil yang sedang Rally Dakkar.
“Orang Gila!!” gua mengumpat, masih sambil dengerin coda lagu “Heaven” nya Lost Lonely Boys. Sampai gua melihat beberapa detik kemudian lampu rem BMW tersebut menyala dan kemudian berhenti.
Deg!, “Wuanjrit, sakti juga tuh orang bisa denger suara gua” sambil berhenti dan melepas headset dari telinga. Yang ternyata setelah gua sadar, suara gua nggak sepelan pas pakai headset tadi. Gua nunggu sambil dag dig dug, kalau dia ngerti ucapan gua, dia pasti orang Indonesia dan kalo ternyata bukan gua bakal siap-siap kabur.
Pintu penumpang pun terbuka, terbuka secara paksa tepatnya, sedetik kemudian keluar seseorang dari kursi penumpang, terhuyung dan kemudian terjatuh, terdengar makian dari dalam BMW tersebut mungkin seperti “bitch” atau semacamnya dan sesaat kemudian BMW tersebut pergi, mengasapi orang yang tersungkur itu dengan debu jalanan.
Nggak mau terlalu ambil pusing, sambil bernafas lega dan bilang dalam hati; “untung bukan gua”, gua meneruskan mengayuh sepeda.
“Get up Bro, life is brutal”
gua berkata ke orang itu sambil melewatinya tetap melanjutkan mengayuh. Dan beberapa meter kemudian gua mendengar sebuah teriakan, teriakan yang (pada akhirnya) bakal merubah hidup gua.
“Woii.. Help me!, you’re Indonesian, right?”
“Tolongin gue dong…”
Gua berhenti mengayuh, turun dan bengong. Sudah hampir setahun gua nggak denger secara langsung orang bicara ke gua dengan bahasa Indonesia dan suara perempuan pula.. Lima, ah mungkin sepuluh detik kemudian baru gua memalingkan muka tapi masih tetap bengong.
“Woii..”
Akhirnya gua turun dari sepeda, kemudian menghampiri orang itu. Terduduk di depan gua sosok perempuan, hitam manis dengan kepala tertutup hood jaket hitam, celana jeans dan sepatu model boots sebetis berwarna cokelat.
“Elu nggak apa-apa?”
“Menurut Lo? Kalo gue gak apa-apa, ngapain gua teriak minta tolong elu!!”
Gua nggak menjawab, berusaha membantu dia berdiri sambil bertanya lagi bagaimana keadaannya. Sekali lagi dia mengumpat;
“Gila!, nggak punya hati banget sih lu!, ya jelas lah gue kenapa-kenapa.. nih liat!”
Sambil memperlihatkan telapak tangan dan siku-nya yang luka dan kemudian menyibak celana jeans-nya yang kotor terkena debu dan sobek di beberapa bagian akibat terlempar dari mobil tadi. Sesaat baru dia sadar kalau lutut kanannya juga luka sambil meringis kesakitan dia mencoba membersihkan luka tersebut dengan air liurnya. Sangat Indonesia sekali.
“Gua pikir tadi orang mabok yang lagi berantem, disini mah biasa begitu,mbak!”
Kemudia gua kasih satu-satunya ‘Diet Coke’ sisa memancing tadi, harusnya sih air putih tapi Cuma itu yang gua punya sekarang. Sambil menggerutu karena dikasih ‘Diet Coke’ daripada air putih, diminum juga tuh minuman soda. Kemudian gua menawarkan diri buat mengantar dia ke sebuah toko kecil di ujung jalan ini, untuk membeli plester untuk membalut luka-nya.
“Jauh nggak?”
Dia bertanya sambil menurunkan hood jaketnya dan menyibak rambutnya yang pendek seleher. Kemudian terlihat jelas sebuah luka lebam di sudut mata sebelah kiri-nya, tidak, bukan cuma satu, setidaknya ada 3 luka lebam, selain disudut matanya, satu lagi di dahi sebelah kiri dan satu lagi di sudut bibir sebelah kanan, yang terakhir tampak seperti luka yang baru karena masih meninggalkan sisa bekas darah yang membeku.
Gua nggak berani bertanya, gua hindari menatap kewajahnya sambil menjawab pertanyaa-nya bahwa tokonya nggak begitu jauh dari sini, sambil menunjuk ke arah jalan utama.
---
DAFTAR ISI
Quote:
CHAPTER 1
#1 The Beginning
#2 Truly Gentlemen
#3 Place Called Home
#4 The Morning Fever
#5 A Miserable Story
#6 Night Rain
#7 Inside My Head
#8 That Day
#9 Be Tough
#10 Mukena
#1 The Beginning
#2 Truly Gentlemen
#3 Place Called Home
#4 The Morning Fever
#5 A Miserable Story
#6 Night Rain
#7 Inside My Head
#8 That Day
#9 Be Tough
#10 Mukena
Quote:
CHAPTER 2
#11-A Trip To Manchester
#11-B The Swiss Army
#12 Here's and Back Again
#13 I Miss You So Bad
#14 Going Mad
#15 Promise
#16 You’ll Be The Only Light I See
#17 The Winter Tears
#18 She's Gone
#19 That Memories
#11-A Trip To Manchester
#11-B The Swiss Army
#12 Here's and Back Again
#13 I Miss You So Bad
#14 Going Mad
#15 Promise
#16 You’ll Be The Only Light I See
#17 The Winter Tears
#18 She's Gone
#19 That Memories
Quote:
CHAPTER 3
[URL="http://www.kaskus.co.id/show_post/530ff7e41acb17030d8b48f1/479/- "]#19-A The Hood[/URL]
#19-B Heres And Back Again II
#19-C Weak
#19-D Surrender
#19-E The Choice
#19-F Anything For You
#19-G Chelsea Number 8
#19-H Its not always about gold and glory
#19-I Aku
#19-J The Words
#19-K The Persian Cat
#19-L You Really The Only Light I See
#19-M So Be It
#19-N Less Than Perfect
#20 That Day II
[URL="http://www.kaskus.co.id/show_post/530ff7e41acb17030d8b48f1/479/- "]#19-A The Hood[/URL]
#19-B Heres And Back Again II
#19-C Weak
#19-D Surrender
#19-E The Choice
#19-F Anything For You
#19-G Chelsea Number 8
#19-H Its not always about gold and glory
#19-I Aku
#19-J The Words
#19-K The Persian Cat
#19-L You Really The Only Light I See
#19-M So Be It
#19-N Less Than Perfect
#20 That Day II
Quote:
CHAPTER 4 The Prekuel
#21 The Prologue
#22 My Precious
#23 Ticket to Ride
#24 Singapore
#25 Dreams
#26 The Awkward Moment
#27 Logic
#28 Driver In Life
#29 The Risk Taker
#30 Sorry
#31 Rise Again
#32 Goodbye
#21 The Prologue
#22 My Precious
#23 Ticket to Ride
#24 Singapore
#25 Dreams
#26 The Awkward Moment
#27 Logic
#28 Driver In Life
#29 The Risk Taker
#30 Sorry
#31 Rise Again
#32 Goodbye
Quote:
CHAPTER 5!!
#33 London
#34 Unwell
#35 I Was Here
#36 Leeds
#37 New Home, New Life
#38 Alone
#39 Intermezo
#40 Goin' Trough
#41 At Glance
#42 The Past of The Future
#33 London
#34 Unwell
#35 I Was Here
#36 Leeds
#37 New Home, New Life
#38 Alone
#39 Intermezo
#40 Goin' Trough
#41 At Glance
#42 The Past of The Future
Quote:
CHAPTER 6
#43 My First ...
#44 If Lovin' You ...
#45 Goin' Back
#46 Leeds II
#47 I Love You (Jealousy)
#48 After All
#49 Hell Yeah
#50 Conflict
#51 Liar-Liar
#52 Memories
#43 My First ...
#44 If Lovin' You ...
#45 Goin' Back
#46 Leeds II
#47 I Love You (Jealousy)
#48 After All
#49 Hell Yeah
#50 Conflict
#51 Liar-Liar
#52 Memories
Quote:
Quote:
Diubah oleh robotpintar 10-04-2014 08:46
namakuag dan 119 lainnya memberi reputasi
118
1.3M
Kutip
2.3K
Balasan
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#1293
Spoiler for Bagian Ke TIga Puluh Empat:
#34 Unwell
Quote:
Gua menggenggam amplop berisi uang saku yang gua bawa dari Indonesia sambil terduduk dilantai dingin tengah ruangan kamar seluas 3x3 meter, sebuah kamar sempit tanpa cat yang terdapat retakan dibeberapa bagian. Baru tadi gua membayar uang sewa sebesar £295 untuk satu bulan, include listrik dan air.
Gua membuka koper, mengeluarkan notes kecil, pensil dan mulai menulis catatan kecil; Rent : £295.
---
Sore itu gua tengah berada di sebuah jalan antah berantah yang nggak begitu jauh dari ’flat’ gua. Gua berjalan menyusuri trotoar yang disisi-nya berderet toko dan kafe-kafe yang menjajakan beraneka ragam jenis makanan dan minuman. Gua sempat terhenti di sebuah restaurant kecil dengan sebuah papan bertuliskan nama-nama menu di dekat pintu masuknya, gua menggeleng saat melihat harga yang dicantumkan disana kemudian meneruskan berjalan menyususri trotoar, berharap ada semacam warteg yang terselip diantara deretan kafe dan restaurant ini. Sampai akhirnya kaki gua terhenti di sebuah toko yang mirip seperti ’indom*rt’, gua menjauhi trotoar sedikit dan melihat papan namanya; ’Tesco Express’, sedikit ragu gua masuk kedalam, bentuknya nyaris sama dengan indoma*t atau alfama*t di Indonesia yang berbeda Cuma barang-barang yang didisplay dan susunan raknya yang dibuat sangat tinggi. Gua menyusuri rak demi rak sambil mencatat harga barang-barang yang mungkin bakal gua butuhkan dalam waktu sebulan, kemudian gua tersenyum saat melihat bungkusan mie instan berwarna hijau yang sangat familiar; Indom*e rasa soto ayam, nggak pake melihat harga-nya, gua mengambil 10 bungkus dan bergegas membawanya ke kasir kemudian membayarnya, untuk sepuluh bungkus Indom*e rasa soto ayam gua tebus dengan £2,5 saja, well.. fair enough. Setelah selesai membayar gua buru-buru ngeloyor pergi dan bergegas kembali flat.
Gua agak kesulitan juga untuk bisa menemukan jalan pulang ke’flat’, rasanya semua jalan disini terlihat sama, bahkan gua sampai kembali lagi ke supermarket untuk mengulang dan mencoba mengingat jalan gua untuk sampai kesini.
Setelah dua kali mondar-mandir, akhirnya gua bisa sampai juga ke flat.
Gua meletakkan plastik berisi mie instan dan merebahkan diri di kasur yang bahkan belum ada seprai-nya, kemudian mengeluarkan notes gua yang berisi catatan mengenai jalan-jalan yang barusan gua tempuh dan daftar harga dari barang-barang yang kemungkinan bakal gua butuhkan dalam waktu sebulan. Gua bangun dan duduk dilantai yang dingin, memandang kamar kosong (yak bener-bener kosong) yang mungkin mulai sekarang bisa gua sebut ’rumah’. Kemudian gua mulai mengkalkulasi pengeluaran dalam satu bulan berdasarkan daftar barang-barang yang tadi gua catat di supermarket, berikut hal-hal lain seperti komunikasi, transportasi dan hiburan. Setelah selesai, gua mencoret dua pengeluaran terakhir; sepertinya gua belum butuh hiburan saat ini, dan transportasi sepertinya bisa ditekan dengan berjalan kaki. Kemudian gua memandang ke arah sepatu pantofel dan menggeleng, nggak mungkin sepertinya untuk berjalan jauh dengan menggunakan sepatu seperti itu, gua memandang sepatu ’converse’ hitam yang masih gua kenakan, Cuma satu kata yang bisa menggambarkan kondisi sepatu hitam kesayangan gua ini; ’memprihatinkan’.
Kemudian gua menambahkan ’Shoes’ di daftar belanja gua.
Gua memandang kearah bungkusan mie instan yang tergeletak disudut ruangan, perut gua sudah meronta-ronta meminta untuk diisi. Gua mengambil bungkusan tersebut dan menyalakan kompor yang sudah tertanam disudut ruangan diatas sebuah beton yang membentuk seperti meja, bersebelahan dengan wastafel dan pintu ke kamar mandi. Gua menepuk jidat saat sadar kalau gua nggak punya alat untuk memasak, amsiong.. mana perut udah lapar banget. Akhirnya gua memutuskan untuk menikmati mie instan dengan cara seperti gua makan snack ’anak mas’, meremasnya, memasukkan bumbu-bumbunya, dikocok sebentar kemudian dimakan, kalo istilah orang betawi; ’digado’.
Dan gua pun tertidur dalam hangatnya kasur tanpa seprai, dengan perut melilit yang mungkin disebabkan mie instan yang gua makan mentah dan rasa kangen kepada keluarga di rumah yang belum apa-apa sudah memuncak.
All day staring at the ceiling
Making friends with shadows on my wall
All night hearing voices telling me
That I should get some sleep
Because tomorrow might be good for something
I'm not crazy, I'm just a little unwell
I know right now you can't tell
---
Sabtu, London di Musim Panas.
Dua orang pemuda rantau melayu sedang duduk di sebuah pagar beton di sisi Victoria Embk St, menikmati diet coke kalengan, mengobrol, sesekali mereka menghembuskan asap rokok ke udara disusul suara tawa yang membahana. Sambil memandangi kapal-kalap turis yang lalu lalang disepanjang sungai Thames, mereka menghabiskan sore tanpa mempedulikan orang-orang yang lalu-lalang dibelakangnya.
---
Gua menghabiskan tetesan terakhir diet coke dan memasukkan puntung rokok marlboro light kedalamnya. Heru melemparkan puntung rokoknya dengan jentik-kan jarinya ke arah sungai Thames. Gua memukul pundaknya sambil celingak-celinguk, ajegile. Kalau sampai ketahuan petugas, kita buang puntung disitu bisa disuru cari tuh puntung sekalian nguras sungai thames.
”Ruk..”
”Ngapa?”
”Lu kangen rumah nggak?”
”Haha.. kangen lah..”
”Kirain gua doang.. baru seminggu udah kangen rumah..”
”Udah dua hari nih ruk.. gua mencret-mencret..”
”Makan apa emang lu?”
”Indom*e..”
”Tiap hari..?”
”Iya..”
”Buset.. masih mending Cuma mencret luh, bisa-bisa tipes tuh kebanyakan makan mie instan..”
”Abisnya mau makan apa, bingung gua..mau makan diluar mahal, mau masak sendiri kagak ada perlengkapannya, gimana ruk..?
”Ya makanya lu beli peralatan masak.. lu udah gajian kan?
Gua mengangguk kemudian terbayang dikepala gua, uang yang baru gua terima kemarin £800 kotor sekotor kotornya, setelah dipotong pajak PAYE (Pay As You Earn) dan NIC (Semacam pajak penghasilan untuk penduduk overseas) dan yang ada di dompet gua sekarang Cuma sekitar £668.
Dan gua sudah membuat komitmen diri sendiri untuk menyisihkan sedikit penghasilan gua untuk biaya orang tua naik haji. Minggu ini gua menyisihkan £100 jadi dalam sebulan harus ada £400, jadi menurut perhitungan gua dalam waktu satu tahun setengah bokap-nyokap gua harus udah bisa berangkat haji.
Buat gua atau Heru, sebagai newbie di negara dengan taraf hidup tinggi dan berasal dari salah satu negara paling konsumtif di Dunia. Menahan Godaan-godaan untuk menghabiskan uang untuk hal-hal seperti membeli gadget-gadget terbaru dan menonton langsung liga Inggris bukanlah hal yang mudah, sungguh.
Belum ada setengah tahun disini, si Heru udah tiga kali nonton United berlaga di Old Trafford dan mendengar ceritanya gua langsung melupakan seluruh kengininan untuk menabung dan membeli perlengkapan memasak.
”Ayo ruk, kapan-kapan ajak gua.. mahal nggak..?”
”Lumayan.. ”
”Lumayan apa? Lumayan mahal apa lumayan murah?”
”Yaelah bon, yang namanya lumayan ya adanya di tengah-tengah, nggak murah dan nggak mahal..”
”Ah kalo mahal mah gua ogah.. ntar aja kalo United tandang ke London gua baru nonton...”
”Minggu depan... minggu depan United lawan Westham di Upton..”
”Wew.. sebelah mana tuh Upton?”
Heru mengangkat bahunya sambil menggeleng.
”Kan elu yang tinggal di London, kok malah nanya gua...”
”Yaah maklum, masih nubi banget gua ...”
Akhirnya sore itu gua mengantar Heru ke Statsiun KingCross St untuk kembali ke Manchester setelah tadi dia menemani gua belanja perlengkapan masak. Saat dalam perjalanan menuju ke rumah, gua dikejutkan dengan tepukan di bahu kemudian seorang pemuda dengan wajah yang familiar berjalan disebelh gua dan menyapa:
”Orang Indo ya mas?”
”Iya.. siapa ya?”
Pria tersebut mengulurkan tangan;
”Irfan..”
”Boni..”
”Baru ya?”
”Iya, baru seminggu.. hehe, situ udah lama disini?”
”Udah lumayan..”
Gua memutar bola mata, ’lumayan’ itu nggak ada definisinya. Dan ’Oke’ gua definisikan aja kalau si Irfan ini udah lama tinggal disini.
”Tinggal dimana, bon?”
”Eh.. dimana ya..”
Gua menggaruk-garuk kepala, bingung harus menjawab apa. Karena dari awal gua tinggal disitu dan mencatat semua nama-nama jalan yang gua lewati, gua malah lupa mencatat alamat dan nama tempat gua sendiri.
”Hahaha.. lupa saya nama tempatnya...”
”Wah, harus dicatet itu, ntar kalo nyasar gimana..”
”Hehe iya, nah elu tinggal dimana?”
”Gua tinggal di Birmingham, sekarang sih lagi maen aja kesini..”
”Oh.. oke-oke..”
”Kalo hari minggu biasanya suka ada acara di KBRI, kumpul-kumpul gitu.. mampir aja besok..”
”Oh gitu, oke deh.. ”
”Lumayan ada makanan gratisnya..”
”Hahaha.. iya juga..”
”Yaudah gua cabut ya bro..”
”Oke deh fan..”
Gokil, kalau di Indonesia boro-boro ada orang yang belum kenal tau-tau menyapa kayak Irfan tadi. Mungkin karena sama-sama perantau jadi merasa senasib sepenanggungan atau jangan-jangan, si Irfan tadi adalah homo, idih.. mudah-mudah perkiraan terakhir gua salah, amin.
Dan benar apa yang dibilang oleh Irfan, cowok yang gua sangka homo kemarin. Saat ini gua berdiri disebuah ruangan besar semacam aula yang terdapat di KBRI di London. Gua sedikit tercengan dengan betapa banyaknya orang-orang Indonesia yang tinggal di London, ruangan yang cukup besar ini terlihat ramai, hampir mirip seperti acara pernikahan di gedung-gedung. Beberapa meja besar disusun, berbaris sementara diatas-nya bejejer beraneka makanan tradisional Indonesia, dari mulai gudeg, rendang dan nggak ketinggalan sayur asem (entah darimana mereka bisa dapet melinjo-nya). Gua berdiri mematung, diam, suasana yang berasa sangat nasionalis ini malah bikin gua merasa asing, gua familiar dengan bahasa yang digunakan disini, gua familiar dengan gurauan-guraun khas indonesia, gua sangat familiar dengan masakan-masakan yang disajikan, tapi entah kenapa gua malah merasa asing.
Ditengah kebingungan akan keterasingan, gua melihat Irfan, cowok yang kemarin menyapa gua dan sempat gua kira homo. Gua mengangkat tangan, mencoba memanggilnya. Irfan yang tengah ngobrol santai melihat kemudian membalas lambaian tangan gua, kemudian dia bergerak menghampiri.
”Dateng juga lo..”
”Iya, tergiur sama makanan yang kemaren lu kasih tau.. maklum orang baru..”
”Hahaha...”
”Eh, fan.. ni yang dateng orang Indo yang tinggal disini semua?”
”Mostly, yes.. kenapa? Kaget?”
”Iya, banyak juga ya orang Indo disini..”
”Haha, banyaklah.. nih lo perhatiin deh...”
Irfan berhenti berbicara kemudian menunjuk ke beberapa orang-orang yang berbicara sambil bergerombol, membentuk lingkaran-lingkaran asimetris.
”Lo liat kan? Ngerti nggak maksudnya?”
Irfan bertanya, gua Cuma menggeleng.
”Mereka tinggal jauh dari tanah air, jauh dari rumah, jauh dari keluarga, tapi disini mereka nggak ’nyatu’, nggak membaur, malah membentuk golongan sendiri sendiri..”
”Ooo.. iya, iya, jadi kayak jaman gua sekolah dulu..”
”Persis!”
Irfan menjentikkan jarinya didepan wajah gua.
”Yang mahasiswa high-end, kumpul sama mahasiswa high-end, sedangkan yang mahasiswa beasiswa juga begitu, kumpulnya dengan mahasiswa yang sama-sama yang dapet beasiswa, yang karyawan kumpul sama karyawan, yang reporter kumpul sama reporter, yang atlit kumpul sama atlit..”
”Apa semuanya begitu fan?”
Gua bertanya, ragu. Masa iya sih di negeri orang mereka masih berlaku dan bertingkah seperti itu.
”Di London, ya begini ini..”
”Emang kalo dikota lain?”
”Kalo di Birmingham sih jarang ada gath kayak gini, kalaupun ada paling yang dateng Cuma beberapa orang.. tapi mereka biasanya blended banget, nggak kayak gini..”
Gua mengangguk-angguk pelan, mencoba mencerna kemungkinan alasan-alasan kenapa mereka bersikap seperti ini. Gua mencoba mengacuhkannya dan bergerak kederetan makanan yang tersaji di atas meja, mengambil piring dan membabatnya tanpa ampun.
Setelah makan gua melanjutkan obrolan dengan Irfan, satu-satunya orang yang gua kenal di ruangan ini. Dia bercerita kalau dia dulu kuliah disini, sekarang sudah lulus dan bekerja sebagai Desainer Interior yang berkantor di Birmingham tapi sering bolak-balik ke London dan Leeds. Setelah menghabiskan waktu mengobrol cukup lama dengan Irfan, gua pamit untuk pulang. Sebenernya gua masih ingin menikmati hidangan-hidangan yang ada disini, bahkan kalau memungkinan gua mau bungkus buat dirumah, tapi apa daya badan ini sudah berteriak meminta jatahnya untuk diistirahatkan.
---
Gua berjalan gontai menaiki tangga menuju ke kamar gua yang terletak di lantai empat. Setelah menunaikan solat maghrib, gua merebahkan diri diatas kasur yang masih tanpa seprai, kemudian langsung terlelap tidur. Lelah dan kantuk benar-benar menyerang gua, semenjak pindah dan kerja disini, gua sama sekali belum pernah merasakan bersantai dimalam hari dengan ditemani secangkir kopi dan sebatang rokok. Bagaimana mungkin, gua berangkat kerja jam 9 pagi dan sampai dirumah jam 10 malam, makan gua pun bisa dibilang nggak teratur, baru satu minggu disini badan gua udah berasa kurusan. Mungkin kalau nyokap gua mendengar atau bahkan melihat kondisi hidup gua disini, dia bakal buru-buru ’nyuruh’ gua pulang.
Gua membuka koper, mengeluarkan notes kecil, pensil dan mulai menulis catatan kecil; Rent : £295.
---
Sore itu gua tengah berada di sebuah jalan antah berantah yang nggak begitu jauh dari ’flat’ gua. Gua berjalan menyusuri trotoar yang disisi-nya berderet toko dan kafe-kafe yang menjajakan beraneka ragam jenis makanan dan minuman. Gua sempat terhenti di sebuah restaurant kecil dengan sebuah papan bertuliskan nama-nama menu di dekat pintu masuknya, gua menggeleng saat melihat harga yang dicantumkan disana kemudian meneruskan berjalan menyususri trotoar, berharap ada semacam warteg yang terselip diantara deretan kafe dan restaurant ini. Sampai akhirnya kaki gua terhenti di sebuah toko yang mirip seperti ’indom*rt’, gua menjauhi trotoar sedikit dan melihat papan namanya; ’Tesco Express’, sedikit ragu gua masuk kedalam, bentuknya nyaris sama dengan indoma*t atau alfama*t di Indonesia yang berbeda Cuma barang-barang yang didisplay dan susunan raknya yang dibuat sangat tinggi. Gua menyusuri rak demi rak sambil mencatat harga barang-barang yang mungkin bakal gua butuhkan dalam waktu sebulan, kemudian gua tersenyum saat melihat bungkusan mie instan berwarna hijau yang sangat familiar; Indom*e rasa soto ayam, nggak pake melihat harga-nya, gua mengambil 10 bungkus dan bergegas membawanya ke kasir kemudian membayarnya, untuk sepuluh bungkus Indom*e rasa soto ayam gua tebus dengan £2,5 saja, well.. fair enough. Setelah selesai membayar gua buru-buru ngeloyor pergi dan bergegas kembali flat.
Gua agak kesulitan juga untuk bisa menemukan jalan pulang ke’flat’, rasanya semua jalan disini terlihat sama, bahkan gua sampai kembali lagi ke supermarket untuk mengulang dan mencoba mengingat jalan gua untuk sampai kesini.
Setelah dua kali mondar-mandir, akhirnya gua bisa sampai juga ke flat.
Gua meletakkan plastik berisi mie instan dan merebahkan diri di kasur yang bahkan belum ada seprai-nya, kemudian mengeluarkan notes gua yang berisi catatan mengenai jalan-jalan yang barusan gua tempuh dan daftar harga dari barang-barang yang kemungkinan bakal gua butuhkan dalam waktu sebulan. Gua bangun dan duduk dilantai yang dingin, memandang kamar kosong (yak bener-bener kosong) yang mungkin mulai sekarang bisa gua sebut ’rumah’. Kemudian gua mulai mengkalkulasi pengeluaran dalam satu bulan berdasarkan daftar barang-barang yang tadi gua catat di supermarket, berikut hal-hal lain seperti komunikasi, transportasi dan hiburan. Setelah selesai, gua mencoret dua pengeluaran terakhir; sepertinya gua belum butuh hiburan saat ini, dan transportasi sepertinya bisa ditekan dengan berjalan kaki. Kemudian gua memandang ke arah sepatu pantofel dan menggeleng, nggak mungkin sepertinya untuk berjalan jauh dengan menggunakan sepatu seperti itu, gua memandang sepatu ’converse’ hitam yang masih gua kenakan, Cuma satu kata yang bisa menggambarkan kondisi sepatu hitam kesayangan gua ini; ’memprihatinkan’.
Kemudian gua menambahkan ’Shoes’ di daftar belanja gua.
Gua memandang kearah bungkusan mie instan yang tergeletak disudut ruangan, perut gua sudah meronta-ronta meminta untuk diisi. Gua mengambil bungkusan tersebut dan menyalakan kompor yang sudah tertanam disudut ruangan diatas sebuah beton yang membentuk seperti meja, bersebelahan dengan wastafel dan pintu ke kamar mandi. Gua menepuk jidat saat sadar kalau gua nggak punya alat untuk memasak, amsiong.. mana perut udah lapar banget. Akhirnya gua memutuskan untuk menikmati mie instan dengan cara seperti gua makan snack ’anak mas’, meremasnya, memasukkan bumbu-bumbunya, dikocok sebentar kemudian dimakan, kalo istilah orang betawi; ’digado’.
Dan gua pun tertidur dalam hangatnya kasur tanpa seprai, dengan perut melilit yang mungkin disebabkan mie instan yang gua makan mentah dan rasa kangen kepada keluarga di rumah yang belum apa-apa sudah memuncak.
All day staring at the ceiling
Making friends with shadows on my wall
All night hearing voices telling me
That I should get some sleep
Because tomorrow might be good for something
I'm not crazy, I'm just a little unwell
I know right now you can't tell
---
Sabtu, London di Musim Panas.
Dua orang pemuda rantau melayu sedang duduk di sebuah pagar beton di sisi Victoria Embk St, menikmati diet coke kalengan, mengobrol, sesekali mereka menghembuskan asap rokok ke udara disusul suara tawa yang membahana. Sambil memandangi kapal-kalap turis yang lalu lalang disepanjang sungai Thames, mereka menghabiskan sore tanpa mempedulikan orang-orang yang lalu-lalang dibelakangnya.
---
Gua menghabiskan tetesan terakhir diet coke dan memasukkan puntung rokok marlboro light kedalamnya. Heru melemparkan puntung rokoknya dengan jentik-kan jarinya ke arah sungai Thames. Gua memukul pundaknya sambil celingak-celinguk, ajegile. Kalau sampai ketahuan petugas, kita buang puntung disitu bisa disuru cari tuh puntung sekalian nguras sungai thames.
”Ruk..”
”Ngapa?”
”Lu kangen rumah nggak?”
”Haha.. kangen lah..”
”Kirain gua doang.. baru seminggu udah kangen rumah..”
”Udah dua hari nih ruk.. gua mencret-mencret..”
”Makan apa emang lu?”
”Indom*e..”
”Tiap hari..?”
”Iya..”
”Buset.. masih mending Cuma mencret luh, bisa-bisa tipes tuh kebanyakan makan mie instan..”
”Abisnya mau makan apa, bingung gua..mau makan diluar mahal, mau masak sendiri kagak ada perlengkapannya, gimana ruk..?
”Ya makanya lu beli peralatan masak.. lu udah gajian kan?
Gua mengangguk kemudian terbayang dikepala gua, uang yang baru gua terima kemarin £800 kotor sekotor kotornya, setelah dipotong pajak PAYE (Pay As You Earn) dan NIC (Semacam pajak penghasilan untuk penduduk overseas) dan yang ada di dompet gua sekarang Cuma sekitar £668.
Dan gua sudah membuat komitmen diri sendiri untuk menyisihkan sedikit penghasilan gua untuk biaya orang tua naik haji. Minggu ini gua menyisihkan £100 jadi dalam sebulan harus ada £400, jadi menurut perhitungan gua dalam waktu satu tahun setengah bokap-nyokap gua harus udah bisa berangkat haji.
Buat gua atau Heru, sebagai newbie di negara dengan taraf hidup tinggi dan berasal dari salah satu negara paling konsumtif di Dunia. Menahan Godaan-godaan untuk menghabiskan uang untuk hal-hal seperti membeli gadget-gadget terbaru dan menonton langsung liga Inggris bukanlah hal yang mudah, sungguh.
Belum ada setengah tahun disini, si Heru udah tiga kali nonton United berlaga di Old Trafford dan mendengar ceritanya gua langsung melupakan seluruh kengininan untuk menabung dan membeli perlengkapan memasak.
”Ayo ruk, kapan-kapan ajak gua.. mahal nggak..?”
”Lumayan.. ”
”Lumayan apa? Lumayan mahal apa lumayan murah?”
”Yaelah bon, yang namanya lumayan ya adanya di tengah-tengah, nggak murah dan nggak mahal..”
”Ah kalo mahal mah gua ogah.. ntar aja kalo United tandang ke London gua baru nonton...”
”Minggu depan... minggu depan United lawan Westham di Upton..”
”Wew.. sebelah mana tuh Upton?”
Heru mengangkat bahunya sambil menggeleng.
”Kan elu yang tinggal di London, kok malah nanya gua...”
”Yaah maklum, masih nubi banget gua ...”
Akhirnya sore itu gua mengantar Heru ke Statsiun KingCross St untuk kembali ke Manchester setelah tadi dia menemani gua belanja perlengkapan masak. Saat dalam perjalanan menuju ke rumah, gua dikejutkan dengan tepukan di bahu kemudian seorang pemuda dengan wajah yang familiar berjalan disebelh gua dan menyapa:
”Orang Indo ya mas?”
”Iya.. siapa ya?”
Pria tersebut mengulurkan tangan;
”Irfan..”
”Boni..”
”Baru ya?”
”Iya, baru seminggu.. hehe, situ udah lama disini?”
”Udah lumayan..”
Gua memutar bola mata, ’lumayan’ itu nggak ada definisinya. Dan ’Oke’ gua definisikan aja kalau si Irfan ini udah lama tinggal disini.
”Tinggal dimana, bon?”
”Eh.. dimana ya..”
Gua menggaruk-garuk kepala, bingung harus menjawab apa. Karena dari awal gua tinggal disitu dan mencatat semua nama-nama jalan yang gua lewati, gua malah lupa mencatat alamat dan nama tempat gua sendiri.
”Hahaha.. lupa saya nama tempatnya...”
”Wah, harus dicatet itu, ntar kalo nyasar gimana..”
”Hehe iya, nah elu tinggal dimana?”
”Gua tinggal di Birmingham, sekarang sih lagi maen aja kesini..”
”Oh.. oke-oke..”
”Kalo hari minggu biasanya suka ada acara di KBRI, kumpul-kumpul gitu.. mampir aja besok..”
”Oh gitu, oke deh.. ”
”Lumayan ada makanan gratisnya..”
”Hahaha.. iya juga..”
”Yaudah gua cabut ya bro..”
”Oke deh fan..”
Gokil, kalau di Indonesia boro-boro ada orang yang belum kenal tau-tau menyapa kayak Irfan tadi. Mungkin karena sama-sama perantau jadi merasa senasib sepenanggungan atau jangan-jangan, si Irfan tadi adalah homo, idih.. mudah-mudah perkiraan terakhir gua salah, amin.
Dan benar apa yang dibilang oleh Irfan, cowok yang gua sangka homo kemarin. Saat ini gua berdiri disebuah ruangan besar semacam aula yang terdapat di KBRI di London. Gua sedikit tercengan dengan betapa banyaknya orang-orang Indonesia yang tinggal di London, ruangan yang cukup besar ini terlihat ramai, hampir mirip seperti acara pernikahan di gedung-gedung. Beberapa meja besar disusun, berbaris sementara diatas-nya bejejer beraneka makanan tradisional Indonesia, dari mulai gudeg, rendang dan nggak ketinggalan sayur asem (entah darimana mereka bisa dapet melinjo-nya). Gua berdiri mematung, diam, suasana yang berasa sangat nasionalis ini malah bikin gua merasa asing, gua familiar dengan bahasa yang digunakan disini, gua familiar dengan gurauan-guraun khas indonesia, gua sangat familiar dengan masakan-masakan yang disajikan, tapi entah kenapa gua malah merasa asing.
Ditengah kebingungan akan keterasingan, gua melihat Irfan, cowok yang kemarin menyapa gua dan sempat gua kira homo. Gua mengangkat tangan, mencoba memanggilnya. Irfan yang tengah ngobrol santai melihat kemudian membalas lambaian tangan gua, kemudian dia bergerak menghampiri.
”Dateng juga lo..”
”Iya, tergiur sama makanan yang kemaren lu kasih tau.. maklum orang baru..”
”Hahaha...”
”Eh, fan.. ni yang dateng orang Indo yang tinggal disini semua?”
”Mostly, yes.. kenapa? Kaget?”
”Iya, banyak juga ya orang Indo disini..”
”Haha, banyaklah.. nih lo perhatiin deh...”
Irfan berhenti berbicara kemudian menunjuk ke beberapa orang-orang yang berbicara sambil bergerombol, membentuk lingkaran-lingkaran asimetris.
”Lo liat kan? Ngerti nggak maksudnya?”
Irfan bertanya, gua Cuma menggeleng.
”Mereka tinggal jauh dari tanah air, jauh dari rumah, jauh dari keluarga, tapi disini mereka nggak ’nyatu’, nggak membaur, malah membentuk golongan sendiri sendiri..”
”Ooo.. iya, iya, jadi kayak jaman gua sekolah dulu..”
”Persis!”
Irfan menjentikkan jarinya didepan wajah gua.
”Yang mahasiswa high-end, kumpul sama mahasiswa high-end, sedangkan yang mahasiswa beasiswa juga begitu, kumpulnya dengan mahasiswa yang sama-sama yang dapet beasiswa, yang karyawan kumpul sama karyawan, yang reporter kumpul sama reporter, yang atlit kumpul sama atlit..”
”Apa semuanya begitu fan?”
Gua bertanya, ragu. Masa iya sih di negeri orang mereka masih berlaku dan bertingkah seperti itu.
”Di London, ya begini ini..”
”Emang kalo dikota lain?”
”Kalo di Birmingham sih jarang ada gath kayak gini, kalaupun ada paling yang dateng Cuma beberapa orang.. tapi mereka biasanya blended banget, nggak kayak gini..”
Gua mengangguk-angguk pelan, mencoba mencerna kemungkinan alasan-alasan kenapa mereka bersikap seperti ini. Gua mencoba mengacuhkannya dan bergerak kederetan makanan yang tersaji di atas meja, mengambil piring dan membabatnya tanpa ampun.
Setelah makan gua melanjutkan obrolan dengan Irfan, satu-satunya orang yang gua kenal di ruangan ini. Dia bercerita kalau dia dulu kuliah disini, sekarang sudah lulus dan bekerja sebagai Desainer Interior yang berkantor di Birmingham tapi sering bolak-balik ke London dan Leeds. Setelah menghabiskan waktu mengobrol cukup lama dengan Irfan, gua pamit untuk pulang. Sebenernya gua masih ingin menikmati hidangan-hidangan yang ada disini, bahkan kalau memungkinan gua mau bungkus buat dirumah, tapi apa daya badan ini sudah berteriak meminta jatahnya untuk diistirahatkan.
---
Gua berjalan gontai menaiki tangga menuju ke kamar gua yang terletak di lantai empat. Setelah menunaikan solat maghrib, gua merebahkan diri diatas kasur yang masih tanpa seprai, kemudian langsung terlelap tidur. Lelah dan kantuk benar-benar menyerang gua, semenjak pindah dan kerja disini, gua sama sekali belum pernah merasakan bersantai dimalam hari dengan ditemani secangkir kopi dan sebatang rokok. Bagaimana mungkin, gua berangkat kerja jam 9 pagi dan sampai dirumah jam 10 malam, makan gua pun bisa dibilang nggak teratur, baru satu minggu disini badan gua udah berasa kurusan. Mungkin kalau nyokap gua mendengar atau bahkan melihat kondisi hidup gua disini, dia bakal buru-buru ’nyuruh’ gua pulang.
Backsound


All day staring at the ceiling
Making friends with shadows on my wall
All night hearing voices telling me
That I should get some sleep
Because tomorrow might be good for something
Hold on
Feeling like I'm headed for a breakdown
And I don't know why
But I'm not crazy, I'm just a little unwell
I know right now you can't tell
But stay awhile and maybe then you'll see
A different side of me
I'm not crazy, I'm just a little impaired
I know right now you don't care
But soon enough you're gonna think of me
And how I used to be...me
I'm talking to myself in public
Dodging glances on the train
And I know, I know they've all been talking about me
I can hear them whisper
And it makes me think there must be something wrong with me
Out of all the hours thinking
Somehow I've lost my mind
But I'm not crazy, I'm just a little unwell
I know right now you can't tell
But stay awhile and maybe then you'll see
A different side of me
I'm not crazy, I'm just a little impaired
I know right now you don't care
But soon enough you're gonna think of me
And how I used to be
I've been talking in my sleep
Pretty soon they'll come to get me
Yeah, they're taking me away
But I'm not crazy, I'm just a little unwell
I know right now you can't tell
But stay awhile and maybe then you'll see
A different side of me
I'm not crazy, I'm just a little impaired
I know right now you don't care
But soon enough you're gonna think of me
And how I used to be
Yeah, how I used to be
How I used to be
Well, I'm just a little unwell
How I used to be
How I used to be
I'm just a little unwell


All day staring at the ceiling
Making friends with shadows on my wall
All night hearing voices telling me
That I should get some sleep
Because tomorrow might be good for something
Hold on
Feeling like I'm headed for a breakdown
And I don't know why
But I'm not crazy, I'm just a little unwell
I know right now you can't tell
But stay awhile and maybe then you'll see
A different side of me
I'm not crazy, I'm just a little impaired
I know right now you don't care
But soon enough you're gonna think of me
And how I used to be...me
I'm talking to myself in public
Dodging glances on the train
And I know, I know they've all been talking about me
I can hear them whisper
And it makes me think there must be something wrong with me
Out of all the hours thinking
Somehow I've lost my mind
But I'm not crazy, I'm just a little unwell
I know right now you can't tell
But stay awhile and maybe then you'll see
A different side of me
I'm not crazy, I'm just a little impaired
I know right now you don't care
But soon enough you're gonna think of me
And how I used to be
I've been talking in my sleep
Pretty soon they'll come to get me
Yeah, they're taking me away
But I'm not crazy, I'm just a little unwell
I know right now you can't tell
But stay awhile and maybe then you'll see
A different side of me
I'm not crazy, I'm just a little impaired
I know right now you don't care
But soon enough you're gonna think of me
And how I used to be
Yeah, how I used to be
How I used to be
Well, I'm just a little unwell
How I used to be
How I used to be
I'm just a little unwell
Spoiler for Klipnya:
vizardan dan 13 lainnya memberi reputasi
14
Kutip
Balas
![Accidentally In Love [True Story]](https://s.kaskus.id/images/2014/04/07/6448808_20140407033338.jpg)