- Beranda
- Stories from the Heart
Accidentally In Love [True Story]
...
TS
robotpintar
Accidentally In Love [True Story]
![Accidentally In Love [True Story]](https://s.kaskus.id/images/2014/02/14/6448808_20140214023854.png)
Spoiler for Cover:
![Accidentally In Love [True Story]](https://s.kaskus.id/images/2014/02/14/6448808_20140214024411.png)
So she said what's the problem baby
What's the problem I don't know
Well maybe I'm in love (love)
Think about it every time
I think about it
Can't stop thinking 'bout it
How much longer will it take to cure this
Just to cure it cause I can't ignore it if it's love (love)
Makes me wanna turn around and face me but I don't know nothing 'bout love
Come on, come on
Turn a little faster
Come on, come on
The world will follow after
Come on, come on
Cause everybody's after love
So I said I'm a snowball running
Running down into the spring that's coming all this love
Melting under blue skies
Belting out sunlight
Shimmering love
Well baby I surrender
To the strawberry ice cream
Never ever end of all this love
Well I didn't mean to do it
But there's no escaping your love
These lines of lightning
Mean we're never alone,
Never alone, no, no
We're accidentally in love
Accidentally in love [x7]
Accidentally I'm In Love
Spoiler for Bagian 1:
#1
Quote:
“Gila lu Bon, roti segitu banyak sayang-sayang bakal empan ikan semua!”
“Emang ngapa? Ikan jaman sekarang mah ogah makan cacing, Meng”
Gua jawab aja sekena-nya, memang niatnya gua bawa roti dari rumah buat bekal pas mancing tapi, gara-gara umpan cacing gua dari tadi nggak disentuh ikan terpaksa gua ganti dengan roti. Siapa tau mujarab.
Nggak seberapa berselang, tali pancing gua bergetar, refleks gua tarik joran sekuatnya dan mendarat dengan mulus seekor ikan yang kurang lebih seukuran telapak tangan.
“Anjritt.. dari tadi dapet sapu-sapu mulu gua!”
Sambil melepas mata kail dari mulut ikan sapu-sapu yang barusan gua angkat dan langsung gua lempar lagi kedalam kali.
Tidak berapa lama, melantun lagu “Time Like This”-nya Foo Fighter dari ponsel gua. Tertera tulisan “Rumah” dilayarnya.
“Kenapa mak?”
Karena memang cuma nyokap gua aja yang selalu telpon melalui telepon rumah. Bokap dan adik gua selalu menggunakan ponsel-nya masing-masing jika ada keperluan.
“Assalamualaikum , Mancing kagak rapi-rapi luh, nih ada kiriman surat buat elu”
“Dari siapa?”
“Kagak tau, bahasanya emak nggak ngerti”
“Simpenin dulu, nih aye udah mau pulang”
“Yaudah buruan, jangan maghriban dijalan, pamali. Assalamualaikum”
“Waalaikumsalam”
Gua kantongin lagi ponsel k-ekantong celana pendek yang sekarang udah kotor campur lumpur, sambil berteriak ke temen gua; Komeng, yang lagi berkutat dengan tali pancingnya yang kusut.
“Meng, ayo balik.. udah sore”
“Belon juga dapet sekilo, udah mau balik aje”
“Yauda elu terusin dah, gua balik duluan”
Komeng menjawab dengan sedikit gumam di bibirnya terdengar seperti “Yaelah..” sambil berjalan gontai menyusul gua.
------
Itu kejadian beberapa tahun yang lalu, dimana gua dan Komeng masih biasa mencari cacing buat umpan ikan di kebun singkong belakang rumahnya Haji Salim dan kemudian pergi memancing disepanjang pinggiran sungai Pesanggrahan, Jakarta.
Sekarang, gua sedang duduk sambil bersandar di sebuah kursi lipat di pinggir danau di daerah Leeds, Inggris. Menghabiskan hari libur akhir musim gugur dengan memancing sambil bernostalgia, mencoba membangkitkan memori tentang memancing, tentang si Komeng, tentang Jakarta, tentang rumah.
Setelah berjam-jam memancing, menghabiskan berkaleng-kaleng ‘Diet Coke’ akhirnya gua memutuskan untuk menyudahi kegiatan sialan ini. Pulang dengan membawa 6 Ekor ikan Yelowtail (di Indonesia disebut ikan patin) dan sedikit kenangan tentang ‘rumah’, gua berjalan gontai menuju tempat dimana sepeda kesayangan gua diparkir, sempat kebingungan awalnya karena sekarang ada banyak sepeda yang diparkir, padahal tadi pagi baru sepeda gua aja yang nongkrong disini, setelah celingak-celinguk akhirnya ketemu juga dan gua mulai mengayuh.
Jarak dari tempat gua biasa mancing ke tempat dimana gua tinggal di Moorland Ave, Leeds kurang lebih 3,5 mil atau kalau dalam satuan Kilometer sekitar 5,5 Km. Jarak segitu kalo disini, di Inggris bisa dibilang ‘deket’, kalau naik sepeda bisa cuma 30 menit.
Oiya, nama gua Boni. Gua lahir dan dibesarkan di Jakarta. Saat ini gua kerja dan tinggal di Leeds, Inggris sekitar 2-3 jam dari London (dengan kereta). Gua kerja sebagai Sound Designer disalah satu Agensi perfilman dan periklanan di Leeds yang juga punya kantor di London. Sudah hampir 4 tahun gua kerja dan tinggal disini, ditempat dimana nggak ada sungai dengan air berwarna cokelat keruh yang banyak ikan sapu-sapunya dan nggak ada teman yang suka menggerutu “Yaelah”.
Sambil mendengarkan “Heaven” nya Lost Lonely Boys lewat headset, gua mengayuh sepeda menuju ke rumah, pulang. Melewati jalan berpasir yang dipenuhi pohon-pohon maple di kedua sisinya menuju jalan utama. Jalan yang sangat sepi dan hening, jam menunjukkan angka 4 sore, menandakan waktu shalat maghrib, di sabtu sore seperti sekarang ini memang didaerah sini sangat sepi, kebanyakan penduduk sekitar sedang ke stadion atau pub-pub untuk menyaksikan Leeds United bertanding. Ingin buru-buru sampai di rumah, karena perut udah mulai keroncongan, gua kayuh sepeda lebih cepat. Sampai kemudian terdengar sayup-sayup suara musik yang makin lama makin nyaring, suara musik RnB yang sepertinya diputar dari dalam mobil dengan volume maksimal. Suara tersebut datang dari arah belakang dan kemudian menyusul gua, sebuah BMW silver yang melaju cepat bahkan boleh dibilang sangat cepat, sambil meninggalkan debu persis seperti mobil yang sedang Rally Dakkar.
“Orang Gila!!” gua mengumpat, masih sambil dengerin coda lagu “Heaven” nya Lost Lonely Boys. Sampai gua melihat beberapa detik kemudian lampu rem BMW tersebut menyala dan kemudian berhenti.
Deg!, “Wuanjrit, sakti juga tuh orang bisa denger suara gua” sambil berhenti dan melepas headset dari telinga. Yang ternyata setelah gua sadar, suara gua nggak sepelan pas pakai headset tadi. Gua nunggu sambil dag dig dug, kalau dia ngerti ucapan gua, dia pasti orang Indonesia dan kalo ternyata bukan gua bakal siap-siap kabur.
Pintu penumpang pun terbuka, terbuka secara paksa tepatnya, sedetik kemudian keluar seseorang dari kursi penumpang, terhuyung dan kemudian terjatuh, terdengar makian dari dalam BMW tersebut mungkin seperti “bitch” atau semacamnya dan sesaat kemudian BMW tersebut pergi, mengasapi orang yang tersungkur itu dengan debu jalanan.
Nggak mau terlalu ambil pusing, sambil bernafas lega dan bilang dalam hati; “untung bukan gua”, gua meneruskan mengayuh sepeda.
“Get up Bro, life is brutal”
gua berkata ke orang itu sambil melewatinya tetap melanjutkan mengayuh. Dan beberapa meter kemudian gua mendengar sebuah teriakan, teriakan yang (pada akhirnya) bakal merubah hidup gua.
“Woii.. Help me!, you’re Indonesian, right?”
“Tolongin gue dong…”
Gua berhenti mengayuh, turun dan bengong. Sudah hampir setahun gua nggak denger secara langsung orang bicara ke gua dengan bahasa Indonesia dan suara perempuan pula.. Lima, ah mungkin sepuluh detik kemudian baru gua memalingkan muka tapi masih tetap bengong.
“Woii..”
Akhirnya gua turun dari sepeda, kemudian menghampiri orang itu. Terduduk di depan gua sosok perempuan, hitam manis dengan kepala tertutup hood jaket hitam, celana jeans dan sepatu model boots sebetis berwarna cokelat.
“Elu nggak apa-apa?”
“Menurut Lo? Kalo gue gak apa-apa, ngapain gua teriak minta tolong elu!!”
Gua nggak menjawab, berusaha membantu dia berdiri sambil bertanya lagi bagaimana keadaannya. Sekali lagi dia mengumpat;
“Gila!, nggak punya hati banget sih lu!, ya jelas lah gue kenapa-kenapa.. nih liat!”
Sambil memperlihatkan telapak tangan dan siku-nya yang luka dan kemudian menyibak celana jeans-nya yang kotor terkena debu dan sobek di beberapa bagian akibat terlempar dari mobil tadi. Sesaat baru dia sadar kalau lutut kanannya juga luka sambil meringis kesakitan dia mencoba membersihkan luka tersebut dengan air liurnya. Sangat Indonesia sekali.
“Gua pikir tadi orang mabok yang lagi berantem, disini mah biasa begitu,mbak!”
Kemudia gua kasih satu-satunya ‘Diet Coke’ sisa memancing tadi, harusnya sih air putih tapi Cuma itu yang gua punya sekarang. Sambil menggerutu karena dikasih ‘Diet Coke’ daripada air putih, diminum juga tuh minuman soda. Kemudian gua menawarkan diri buat mengantar dia ke sebuah toko kecil di ujung jalan ini, untuk membeli plester untuk membalut luka-nya.
“Jauh nggak?”
Dia bertanya sambil menurunkan hood jaketnya dan menyibak rambutnya yang pendek seleher. Kemudian terlihat jelas sebuah luka lebam di sudut mata sebelah kiri-nya, tidak, bukan cuma satu, setidaknya ada 3 luka lebam, selain disudut matanya, satu lagi di dahi sebelah kiri dan satu lagi di sudut bibir sebelah kanan, yang terakhir tampak seperti luka yang baru karena masih meninggalkan sisa bekas darah yang membeku.
Gua nggak berani bertanya, gua hindari menatap kewajahnya sambil menjawab pertanyaa-nya bahwa tokonya nggak begitu jauh dari sini, sambil menunjuk ke arah jalan utama.
---
“Emang ngapa? Ikan jaman sekarang mah ogah makan cacing, Meng”
Gua jawab aja sekena-nya, memang niatnya gua bawa roti dari rumah buat bekal pas mancing tapi, gara-gara umpan cacing gua dari tadi nggak disentuh ikan terpaksa gua ganti dengan roti. Siapa tau mujarab.
Nggak seberapa berselang, tali pancing gua bergetar, refleks gua tarik joran sekuatnya dan mendarat dengan mulus seekor ikan yang kurang lebih seukuran telapak tangan.
“Anjritt.. dari tadi dapet sapu-sapu mulu gua!”
Sambil melepas mata kail dari mulut ikan sapu-sapu yang barusan gua angkat dan langsung gua lempar lagi kedalam kali.
Tidak berapa lama, melantun lagu “Time Like This”-nya Foo Fighter dari ponsel gua. Tertera tulisan “Rumah” dilayarnya.
“Kenapa mak?”
Karena memang cuma nyokap gua aja yang selalu telpon melalui telepon rumah. Bokap dan adik gua selalu menggunakan ponsel-nya masing-masing jika ada keperluan.
“Assalamualaikum , Mancing kagak rapi-rapi luh, nih ada kiriman surat buat elu”
“Dari siapa?”
“Kagak tau, bahasanya emak nggak ngerti”
“Simpenin dulu, nih aye udah mau pulang”
“Yaudah buruan, jangan maghriban dijalan, pamali. Assalamualaikum”
“Waalaikumsalam”
Gua kantongin lagi ponsel k-ekantong celana pendek yang sekarang udah kotor campur lumpur, sambil berteriak ke temen gua; Komeng, yang lagi berkutat dengan tali pancingnya yang kusut.
“Meng, ayo balik.. udah sore”
“Belon juga dapet sekilo, udah mau balik aje”
“Yauda elu terusin dah, gua balik duluan”
Komeng menjawab dengan sedikit gumam di bibirnya terdengar seperti “Yaelah..” sambil berjalan gontai menyusul gua.
------
Itu kejadian beberapa tahun yang lalu, dimana gua dan Komeng masih biasa mencari cacing buat umpan ikan di kebun singkong belakang rumahnya Haji Salim dan kemudian pergi memancing disepanjang pinggiran sungai Pesanggrahan, Jakarta.
Sekarang, gua sedang duduk sambil bersandar di sebuah kursi lipat di pinggir danau di daerah Leeds, Inggris. Menghabiskan hari libur akhir musim gugur dengan memancing sambil bernostalgia, mencoba membangkitkan memori tentang memancing, tentang si Komeng, tentang Jakarta, tentang rumah.
Setelah berjam-jam memancing, menghabiskan berkaleng-kaleng ‘Diet Coke’ akhirnya gua memutuskan untuk menyudahi kegiatan sialan ini. Pulang dengan membawa 6 Ekor ikan Yelowtail (di Indonesia disebut ikan patin) dan sedikit kenangan tentang ‘rumah’, gua berjalan gontai menuju tempat dimana sepeda kesayangan gua diparkir, sempat kebingungan awalnya karena sekarang ada banyak sepeda yang diparkir, padahal tadi pagi baru sepeda gua aja yang nongkrong disini, setelah celingak-celinguk akhirnya ketemu juga dan gua mulai mengayuh.
Jarak dari tempat gua biasa mancing ke tempat dimana gua tinggal di Moorland Ave, Leeds kurang lebih 3,5 mil atau kalau dalam satuan Kilometer sekitar 5,5 Km. Jarak segitu kalo disini, di Inggris bisa dibilang ‘deket’, kalau naik sepeda bisa cuma 30 menit.
Oiya, nama gua Boni. Gua lahir dan dibesarkan di Jakarta. Saat ini gua kerja dan tinggal di Leeds, Inggris sekitar 2-3 jam dari London (dengan kereta). Gua kerja sebagai Sound Designer disalah satu Agensi perfilman dan periklanan di Leeds yang juga punya kantor di London. Sudah hampir 4 tahun gua kerja dan tinggal disini, ditempat dimana nggak ada sungai dengan air berwarna cokelat keruh yang banyak ikan sapu-sapunya dan nggak ada teman yang suka menggerutu “Yaelah”.
Sambil mendengarkan “Heaven” nya Lost Lonely Boys lewat headset, gua mengayuh sepeda menuju ke rumah, pulang. Melewati jalan berpasir yang dipenuhi pohon-pohon maple di kedua sisinya menuju jalan utama. Jalan yang sangat sepi dan hening, jam menunjukkan angka 4 sore, menandakan waktu shalat maghrib, di sabtu sore seperti sekarang ini memang didaerah sini sangat sepi, kebanyakan penduduk sekitar sedang ke stadion atau pub-pub untuk menyaksikan Leeds United bertanding. Ingin buru-buru sampai di rumah, karena perut udah mulai keroncongan, gua kayuh sepeda lebih cepat. Sampai kemudian terdengar sayup-sayup suara musik yang makin lama makin nyaring, suara musik RnB yang sepertinya diputar dari dalam mobil dengan volume maksimal. Suara tersebut datang dari arah belakang dan kemudian menyusul gua, sebuah BMW silver yang melaju cepat bahkan boleh dibilang sangat cepat, sambil meninggalkan debu persis seperti mobil yang sedang Rally Dakkar.
“Orang Gila!!” gua mengumpat, masih sambil dengerin coda lagu “Heaven” nya Lost Lonely Boys. Sampai gua melihat beberapa detik kemudian lampu rem BMW tersebut menyala dan kemudian berhenti.
Deg!, “Wuanjrit, sakti juga tuh orang bisa denger suara gua” sambil berhenti dan melepas headset dari telinga. Yang ternyata setelah gua sadar, suara gua nggak sepelan pas pakai headset tadi. Gua nunggu sambil dag dig dug, kalau dia ngerti ucapan gua, dia pasti orang Indonesia dan kalo ternyata bukan gua bakal siap-siap kabur.
Pintu penumpang pun terbuka, terbuka secara paksa tepatnya, sedetik kemudian keluar seseorang dari kursi penumpang, terhuyung dan kemudian terjatuh, terdengar makian dari dalam BMW tersebut mungkin seperti “bitch” atau semacamnya dan sesaat kemudian BMW tersebut pergi, mengasapi orang yang tersungkur itu dengan debu jalanan.
Nggak mau terlalu ambil pusing, sambil bernafas lega dan bilang dalam hati; “untung bukan gua”, gua meneruskan mengayuh sepeda.
“Get up Bro, life is brutal”
gua berkata ke orang itu sambil melewatinya tetap melanjutkan mengayuh. Dan beberapa meter kemudian gua mendengar sebuah teriakan, teriakan yang (pada akhirnya) bakal merubah hidup gua.
“Woii.. Help me!, you’re Indonesian, right?”
“Tolongin gue dong…”
Gua berhenti mengayuh, turun dan bengong. Sudah hampir setahun gua nggak denger secara langsung orang bicara ke gua dengan bahasa Indonesia dan suara perempuan pula.. Lima, ah mungkin sepuluh detik kemudian baru gua memalingkan muka tapi masih tetap bengong.
“Woii..”
Akhirnya gua turun dari sepeda, kemudian menghampiri orang itu. Terduduk di depan gua sosok perempuan, hitam manis dengan kepala tertutup hood jaket hitam, celana jeans dan sepatu model boots sebetis berwarna cokelat.
“Elu nggak apa-apa?”
“Menurut Lo? Kalo gue gak apa-apa, ngapain gua teriak minta tolong elu!!”
Gua nggak menjawab, berusaha membantu dia berdiri sambil bertanya lagi bagaimana keadaannya. Sekali lagi dia mengumpat;
“Gila!, nggak punya hati banget sih lu!, ya jelas lah gue kenapa-kenapa.. nih liat!”
Sambil memperlihatkan telapak tangan dan siku-nya yang luka dan kemudian menyibak celana jeans-nya yang kotor terkena debu dan sobek di beberapa bagian akibat terlempar dari mobil tadi. Sesaat baru dia sadar kalau lutut kanannya juga luka sambil meringis kesakitan dia mencoba membersihkan luka tersebut dengan air liurnya. Sangat Indonesia sekali.
“Gua pikir tadi orang mabok yang lagi berantem, disini mah biasa begitu,mbak!”
Kemudia gua kasih satu-satunya ‘Diet Coke’ sisa memancing tadi, harusnya sih air putih tapi Cuma itu yang gua punya sekarang. Sambil menggerutu karena dikasih ‘Diet Coke’ daripada air putih, diminum juga tuh minuman soda. Kemudian gua menawarkan diri buat mengantar dia ke sebuah toko kecil di ujung jalan ini, untuk membeli plester untuk membalut luka-nya.
“Jauh nggak?”
Dia bertanya sambil menurunkan hood jaketnya dan menyibak rambutnya yang pendek seleher. Kemudian terlihat jelas sebuah luka lebam di sudut mata sebelah kiri-nya, tidak, bukan cuma satu, setidaknya ada 3 luka lebam, selain disudut matanya, satu lagi di dahi sebelah kiri dan satu lagi di sudut bibir sebelah kanan, yang terakhir tampak seperti luka yang baru karena masih meninggalkan sisa bekas darah yang membeku.
Gua nggak berani bertanya, gua hindari menatap kewajahnya sambil menjawab pertanyaa-nya bahwa tokonya nggak begitu jauh dari sini, sambil menunjuk ke arah jalan utama.
---
DAFTAR ISI
Quote:
CHAPTER 1
#1 The Beginning
#2 Truly Gentlemen
#3 Place Called Home
#4 The Morning Fever
#5 A Miserable Story
#6 Night Rain
#7 Inside My Head
#8 That Day
#9 Be Tough
#10 Mukena
#1 The Beginning
#2 Truly Gentlemen
#3 Place Called Home
#4 The Morning Fever
#5 A Miserable Story
#6 Night Rain
#7 Inside My Head
#8 That Day
#9 Be Tough
#10 Mukena
Quote:
CHAPTER 2
#11-A Trip To Manchester
#11-B The Swiss Army
#12 Here's and Back Again
#13 I Miss You So Bad
#14 Going Mad
#15 Promise
#16 You’ll Be The Only Light I See
#17 The Winter Tears
#18 She's Gone
#19 That Memories
#11-A Trip To Manchester
#11-B The Swiss Army
#12 Here's and Back Again
#13 I Miss You So Bad
#14 Going Mad
#15 Promise
#16 You’ll Be The Only Light I See
#17 The Winter Tears
#18 She's Gone
#19 That Memories
Quote:
CHAPTER 3
[URL="http://www.kaskus.co.id/show_post/530ff7e41acb17030d8b48f1/479/- "]#19-A The Hood[/URL]
#19-B Heres And Back Again II
#19-C Weak
#19-D Surrender
#19-E The Choice
#19-F Anything For You
#19-G Chelsea Number 8
#19-H Its not always about gold and glory
#19-I Aku
#19-J The Words
#19-K The Persian Cat
#19-L You Really The Only Light I See
#19-M So Be It
#19-N Less Than Perfect
#20 That Day II
[URL="http://www.kaskus.co.id/show_post/530ff7e41acb17030d8b48f1/479/- "]#19-A The Hood[/URL]
#19-B Heres And Back Again II
#19-C Weak
#19-D Surrender
#19-E The Choice
#19-F Anything For You
#19-G Chelsea Number 8
#19-H Its not always about gold and glory
#19-I Aku
#19-J The Words
#19-K The Persian Cat
#19-L You Really The Only Light I See
#19-M So Be It
#19-N Less Than Perfect
#20 That Day II
Quote:
CHAPTER 4 The Prekuel
#21 The Prologue
#22 My Precious
#23 Ticket to Ride
#24 Singapore
#25 Dreams
#26 The Awkward Moment
#27 Logic
#28 Driver In Life
#29 The Risk Taker
#30 Sorry
#31 Rise Again
#32 Goodbye
#21 The Prologue
#22 My Precious
#23 Ticket to Ride
#24 Singapore
#25 Dreams
#26 The Awkward Moment
#27 Logic
#28 Driver In Life
#29 The Risk Taker
#30 Sorry
#31 Rise Again
#32 Goodbye
Quote:
CHAPTER 5!!
#33 London
#34 Unwell
#35 I Was Here
#36 Leeds
#37 New Home, New Life
#38 Alone
#39 Intermezo
#40 Goin' Trough
#41 At Glance
#42 The Past of The Future
#33 London
#34 Unwell
#35 I Was Here
#36 Leeds
#37 New Home, New Life
#38 Alone
#39 Intermezo
#40 Goin' Trough
#41 At Glance
#42 The Past of The Future
Quote:
CHAPTER 6
#43 My First ...
#44 If Lovin' You ...
#45 Goin' Back
#46 Leeds II
#47 I Love You (Jealousy)
#48 After All
#49 Hell Yeah
#50 Conflict
#51 Liar-Liar
#52 Memories
#43 My First ...
#44 If Lovin' You ...
#45 Goin' Back
#46 Leeds II
#47 I Love You (Jealousy)
#48 After All
#49 Hell Yeah
#50 Conflict
#51 Liar-Liar
#52 Memories
Quote:
Quote:
Diubah oleh robotpintar 10-04-2014 08:46
namakuag dan 119 lainnya memberi reputasi
118
1.3M
Kutip
2.3K
Balasan
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#1088
Spoiler for Bagian Ke Dua Puluh Delapan:
#28 Driver In Life
Quote:
Gua membuka dan mengeluarkan isinya, ada berlembar-lembar kertas, brosur, stiker bahkan sebuah pin. Gua membaca dengan seksama selembar kertas yang menuliskan hasil Exam gua, gua terduduk didalam kamar kemudian mulai terbengong-bengong memandangi sebuah tulisan dengan tinta berwarna biru yang ditulis menggunakan tangan dengan metode kaligrafi; ”Passed”.
Dengan tangan yang masih bergetar, gua mengeluarkan ponsel dari dalam saku dan menghubungi nyokap. Terdengar beberapa kali nada sambung sebelum akhirnya nyokap mengangkat telepon-nya;
”Assalamualaikum..”
”Waalaikumsalam, mak.. ini oni... mak oni lulus mak.. lulus..”
”Alhamdulillah, ni.. anak emak emang hebat..”
”Nggak mak, yang hebat doa emak..”
”Ngambil wudhu ni, solat sunah, sujud syukur... ”
”Iya mak, makasih ya mak udah doa-in oni..”
”Sama emak sendiri mah nggak usah pake makasih-makasihan segala, udah gidah sono ke sumur ambil wudhu..”
”Iya, oni tutup ya mak..
”Iya, Assalamualaikum..”
”Waalaikumsalam..”
Gua meletakkan ponsel di atas kasur, mengambil wudhu dan kemudian solat sunnah dua rokaat.
Heru membuka pintu kamar saat gua sedang melakukan ’salam’, dia melongok sebentar kemudian menutup pintu dan menunggu diluar. Setelah selesai solat gua membuka pintu, heru sedang duduk bersandar disamping pot bunga sambil memegang amplop putih besar yang bentuknya mirip dengan punya gua. Dia menunduk mencoba menyembunyikan wajah murungnya.
”Ruk.. ngapain lu nongkrong disitu?”
”Gapapa...”
”Gimana hasil-nya?”
”Parah...”
Heru menjawab sambil berdiri kemudian menyerahkan amplop putihnya ke gua, sedangkan dia ngeloyor masuk kedalam kamar dan langsung merebahkan diri di kasur.
Gua menangkap gelagat seperti ini bukanlah sebuah hal yang baik, setelah menghela nafas gua mengeluarkan kertas hasil exam dari dalam amplop yang sudah disobek heru secara serampangan, membaca-nya sekilas dan...
”Kamprettt!!!...”
Gua kemudian menerjang heru yang ternyata sedang cengengesan dibalik bantal.
”Anjriittt... lulus juga lu, beruuuukkk...”
”Hahahaha.. tampang lu tadi kocak banget bon, asli.. gua nggak tau kalo ternyata lu segitu peduli-nya sama gua..”
”Kampret lu ruk... ”
Heru duduk di kasur, menghadap gua yang sedang menghidupkan laptop.
”Bon, lu udah ngasih tau Resti...”
”Belon.. ”
”Yaudah gua yang ngasih tau..”
Gua menatap beruk, berusaha membuat tatapan gua ini terlihat kalem namun tetap punya kesan sangar, macem chuck norris di film Forced Vengeance sambil menggulung modul milik si heru yang tergeletak di meja dan menggenggamnya di tangan.
”Ye.. gua kan mau ngasih tau tentang kelulusan gua sendiri ke resti, ngapa lu yang repot..”
Gua terdiam, nggak bisa bicara apa-apa, Si beruk memang lihai. Gua Cuma bisa memandang heru yang tengah asik menekan-nekan keypad ponselnya, mengirim pesan ke Resti.
Nggak lama berselang, ponsel gua berbunyi dan tanpa melihatpun gua tau siapa yang menelpon, gua kembali mengambil modul, menggulungnya dan menerjang si heru yang berusaha menangkis pukulan gua dengan menggunakan bantal.
”Woy..woy.. udah ah, sakit bon.. nyokap lu kali tuuuh yang telpon.. liat dulu..”
Gua berhenti memukuli heru, kemudian mengambil ponsel gua yang tergeletak di meja, masih berdering-dering dan layarnya menampilkan nama; ’Resti’. Gua meletakkan ponsel tersebut, kemudian kembali mengambil modul, menggulungnya dan menerjang si heru yang kali ini mencoba menghindar kemudian menyambar ponsel gua dan menjawab panggilan dari Resti;
”Halo, Resti ya.. iya nih boni-nya lagi ngamuk..”
Heru melemparkan ponsel ke gua sambil berlari keluar kamar, beberapa detik kemudian terdengar suara riuh dari kamar sebelah, ah rupanya mereka juga lulus.
”Halo.. halo.. halo..”
”Hallo, ya res, kenapa?”
”Eh lulus nggak lo?”
”Hahaha, alhamdulillah lulus..”
”Waah selamat ya booon.. kok nggak ngasih tau?”
”Baru mau ngasih tau, eh lu udah nelpon duluan..”
”Mau dihadiahin apaan?”
”Wah nggak perlu repot-repot, res..”
”Nggak repot kok, bilang aja...”
”Hahahaha.. beneran nggak usah..”
”Bener..?”
”Iya sungguh deh.. eh boleh deh.. ”
”Apa?”
”Hadiahin do’a aja biar gua sukses...”
”Ya ampun booon, nggak usah diminta juga tiap hari gua doa-in lo kali..tiap hari gua mikirin lo, tiap hari gua berharap lo cepet lulus dan balik ke Indo..”
”Masa? Kenapa?”
”Whaat? Lo nanya kenapa? Menurut lo kenapa selama ini gua sms-an terus sama lo? Telpon-telponan sama lo? Nanyain kabar lo?”
Gua terdiam sejenak, kemudian Resti melanjutkan omongannya;
”Halo..halo.. boon.. ”
”Iya..”
”Menurut lo? Gue ini apa?”
”Apa ya?”
Untuk pertanyaan yang ini gua benar-benar nggak bisa menjawabnya. Gua Cuma bisa terdiam lagi dan Resti juga ikut terdiam, lama kami tenggelam dalam diam, sampai akhirnya suara Resti memecah keheningan;
”Gilaa.. kok ada cowok nggak peka kayak elo ya bon...”
Tut tut tut tut tut tut..
Panggilan berakhir, gua melempar ponsel ke atas kasur dan bersandar di tembok, mengambil sebatang rokok dan menyalakannya, menghisapnya dalam-dalam dan menghembuskannya ke langit-langit kamar. Gua berdiri, mengambil jaket dan bergegas keluar. Gua berteriak ke arah kamar sebelah untuk memberitahu heru kalau gua mau keluar sebentar. Teriakan gua disambut oleh kejaran heru yang terlihat buru-buru memakai sweater, mengunci pintu dan menyusul gua, berlari sepanjang lorong kemudian menuruni tangga.
”Mo kemana lu?”
”Tau nih..”
Heru mungkin membaca ada yang aneh di wajah gua, kemudian dia bertanya;
”Kenapa lu? Abis berantem sama Resti..”
”Gara-gara elu nih ruk,... semua gara-gara elu..”
Gua bicara sambil mengangkat jari telunjuk gua ke arah wajah si Heru.
”Lah kok gua dah?”
”Nggak tau, pokoknya gua lagi pengen nyalahin lu aja.. udah terima aja..”
”Njirrr...”
Gua berjalan bersama heru, nggak tau mengarah kemana, gua Cuma terus berjalan aja sampai disebuah taman yang ramai oleh banyak orang, yang kemungkinan besar adalah turis-turis yang sedang berfoto-foto dalam berbagai pose. Si heru duduk disebuah bangku panjang berwana cokelat yang terletak dibawah pohon beringin yang nggak begitu besar.
”Woy, bon.. duduk dulu lah, capek..”
Heru meneriaki gua yang masih terus berjalan, gua menghentikan langkah, terdiam sebentar kemudian berbalik menuju ke bangku tempat heru duduk.
”Kenapa si lu? Berantem sama Resti? Gara-gara apa?”
Gua diam, Cuma menjawab dengan anggukan.
”Gara-gara apa?”
”Sebenernya sih nggak berantem, ruk.. definisi berantem menurut gua kan; dua pihak yang nggak sejalan, terus terjadi konfrontasi, itu namanya berantem..”
”Lah terus, lu sama resti, kenapa?”
”Kalo kasus gua sih, Resti yang marah sama gua.. sedangkan gua nggak marah sama Resti.. apa tuh namanya?”
”Ah, kebanyakan makan genjer kali luh, ngomong belibet banget.. udah pukul rata aja semua, pokoknya lu berantem sama Resti dan yang pengen gua tau itu sebabnya.. bencooong.. bukan definisi-nya..”
Kemudian gua menceritakan kejadian waktu Resti menelpon gua belum lama tadi, Heru mendengarkan penjelasan gua tanpa berbicara, tanpa menyela, dia Cuma mendengarkan gua dengan seksama sambil memandang ke arah kerumunan turis-turis yang sedang berfoto bersama sambil merentangkan spanduk.
Selesai mendengar penjelasan gua, heru kemudian berdiri, dia menghela nafas kemudian menggeleng-geleng kan kepala, sambil mengarahkan telunjuknya ke gua, dia berkata;
”bodoh!..”
Heru berjalan meninggalkan gua.
”Woi, mau kemana lu?”
Gua berteriak memanggilnya. Dia nggak menjawab, cuma berpaling sebentar kemudian mengacungkan jari tengahnya ke arah gua.
Gua duduk terdiam, memandang ke atas, ke arah juntai-juntai ranting yang menjurus ke bawah, melihat langit yang membiru melalui celah-celah dahan pohon beringin.
God.. What should i do..
---
Setelah kejadian di taman waktu itu, heru sama sekali nggak menyapa gua. Dia selalu saja ’mlengos’ kalau gua ajak bicara. Begitu juga Resti, dulu dalam sehari dia bisa sms 4-5 kali dan dalam seminggu bisa 3-4 kali telepon, sekarang ’boro-boro’ telepon sms aja nggak pernah.
Gua duduk memandang sebuah surat yang baru aja gua ambil dari kampus tadi pagi. Memang semenjak final exam dan pengumuman lulus, sebenernya Program Beasiswa gua udah berakhir dan gua tinggal nunggu ngabisin waktu program ini yang kira-kira tersisa satu bulan setengah. Dan banyak dari para peserta program yang sudah ikut tes kerja disana-sini, melalu online tes atau melalui tes di kampus. Bahkan ada beberapa peserta yang punya nilai tinggi, nggak pake tes-tes-an, langsung terbang ke Kanada atau ke US, semuanya langsung kerja.
Gua membuka amplop surat tersebut, mengeluarkan isinya.
Ah sebuah undangan interview kerja, gua memperhatikan lokasi interview dan waktunya. Besok.
Sebuah perusahaan yang berlokasi di Singapore, bergerak di bidang digital imaging dan advertising. Nggak membuang waktu, gua bergegas mengambil jaket dan keluar dari kamar, berusaha mencari tau lokasi kantor dan kendaraan apa saja yang melaluinya, semacam survey kecil-kecilan.
Sesampainya di lobi, gua menghampiri seorang petugas keamanan apartement dan menunjukkan alamat yang tertera di surat yang gua terima. Si Petugas mengambil surat tersebut, memandangnya, sedetik berikutnya dia tersenyum dan bergegas menuju ke luar apartement dan berjalan sedikit ke arah trotoar, gua mengikutinya. Dia menunjuk ke arah gedung tinggi berwarna biru yang ujungnya tidak simetris, kemudian dia memberitahu jalur yang harus gua ambil tanpa menggunakan angkutan umum.
Deket banget. Gua bergumam dalam hati, setelah mengucapkan terima kasih gua mulai berjalan menyusuri trotoar sepanjang Jalan Telok Ayer kemudian menyebrangi jalan besar; Maxwell St dan tiba disebuah jalan yang kalo nggak salah namanya mirip seperti nama merk biskuit terkenal di Indonesia yang berkaleng merah. Gua berjalan sambil memandangi gedung tersebut, ternyata untuk bisa masuk gua harus memutari gedung ini, jalan yang ditunjukkan oleh petugas keamanan tadi merupakan jalan ’belakang’ . Sesampainya didepan, gua menghampiri ’security’ yang sedang berjaga disana, seorang bertubuh tegap, berpakaian serba hitam dengan garis merah dan mengenakan topi seperti topi ’sherif’ di film-film Amerika. Gua tersenyum sambil bertanya dan menunjukkan surat panggilan yang gua bawa, dia mengangguk kemudian berkata dengan bahasa inggris, campur melayu, campur mandarin, campur bahasa kode mencoba menjelaskan bahwa perusahaan tersebut ada di lantai delapan dan dia menunjukkan sebuah ruangan mencoba mengarahkan gua untuk masuk dan melapor ke bagian CS untuk mendapatkan kartu Visitor baru kemudian boleh naik ke atas. Gua menggeleng, mencoba menjelaskan kalau baru besok gua bakal balik lagi kesini, dia tertawa, entah menertawakan apa, gua mengucapkan terima kasih sebelum akhirnya ngeloyor pergi.
Gua berjalan pulang ke apartemen melalui jalan berbeda dengan jalan yang gua tempuh waktu berangkat tadi, kali ini gua melewati jalan raya yang lebih besar; Anson Road. Mungkin kalau di Indonesia, kawasan ini semacam Sudirman-Thamrin-nya Singapore tapi lebih rapih dan jauh lebih bersih. Gua kemudian berbelok ke kiri menuju ke jalan waktu pertama kali gua datang dan berjalan cepat menuju ke Apartement.
---
Sesampainya di kamar, gua mulai membuka laptop dan melakukan pencarian tentang perusahaan yang bakal menginterview gua besok. Sesaat kemudian muncul disebuah halaman hasil dari pencarian yang tadi gua ketik, gua meng-klik hasil teratas yang memiliki domain lokal(.Sg) dan sedetik kemudian muncul sebuah website ciamik dengan tampilan dominan warna hitam. Gua meng-klik sebuah menu bertuliskan ’About’ dan mulai membaca dan mencatatnya di notes.
Saat gua sedang asik dengan catatan gua, pintu kamar terbuka si Heru yang sejak gua masih tidur tadi sudah menghilang, kemudian masuk kedalam kamar, menggunakan kemeja, dan sepatu pantofel, lengkap dengan dasi dan menenteng jas.
”Dari mana lu?”
Gua mencoba bertanya ke heru, siapa tau kali ini dia sudah nggak ’kesel’ sama gua.
”Abis interview..”
Heru menjawab sambil duduk disebelah gua, mengambil sebatang rokok dan menghisapnya.
”Lu udah nggak marah sama gua ruk?”
Gua bertanya sambil mengubah arah pandangan dari layar laptop ke arahnya.
Heru menghisap rokok dalam-dalam kemudian menghembuskannya ke wajah gua sebelum dia menjawab;
”Gua kadang-kadang bingung sama lu bon.. dibilang bodoh tapi lu dapet beasiswa, dibilang pinter tapi nyia-nyian cewek..”
Gua mengangkat bahu, mengambil sebatang rokok dan menghisapnya.
”Emang dimana salah gua, ruk.. coba kasih tau gua?”
”Whatt..?”
”Kenapa what?”
”Buset dah, bener-bener bodoh lu bon.. guoblok.. emang lu nggak tau kalo Resti demen sama lu?”
”Gua tau..”
”Trus, lu demen juga nggak sama dia?”
”Kalo dibilang demen mah ya demen.. tapi ntar kalo gua pacaran sama dia beasiswa gua malah berantakan...”
Heru mematikan puntung rokoknya diasbak, menghembuskan asap terakhirnya ke wajah gua;
”Ya kalo gitu, kenapa lu nggak bilang gitu ke dia.. kenapa lu masih terus ngasih harapan ke dia”
”Lho, dia nggak pernah bilang ’suka’ ke gua, gua harus gimana”
”Wah.. kali ini level lu mulai naek, dari bodoh ke tolol..”
”Lho kenapa? Kalo dia suka ke gua tinggal bilang aja beres kan? Perkara ntar gua jawab ’suka’ juga atau nggak kan sepele..”
”Ya perempuan nggak bisa kayak gitu boon?”
”Kenapa? Apa yang membuat perempuan nggak bisa begitu?”
”Ya emang darisono-nya begitu, dimana-mana tuh cowok yang ’nembak’ cewek, bukannya cewek yang nembak cowok..”
”Ah. Darisono tuh darimana? Ada hirarki asal-usulnya nggak?”
”Buset... buset.. buset... nggak ribet-ribet dah, males gua.. sekarang gini aja, kalo elu emang demen sama Resti, nih sekarang lu telpon dia..”
Heru menyodorkan ponselnya, gua bergeming tetap diam kemudian memalingkan pandangan ke layar laptop.
”Lu sebenernya demen nggak sih sama Resti?”
Heru berdiri menghardik gua.
Gua masih menatap ke layar laptop sambil bertopang dagu, menepuk nepuk lantai disamping gua, memberi tanda agar heru kembali duduk.
”Ruk...”
”Apaa???”
”Emang kalo demen sama cewek tuh tanda-tandanya apa?”
”Buseeet dah boooooooooooooonnn...”
”Udah jawab aja...”
”Nih tanda kalo lu demen sama cewek, pertama; Lu nggak bisa tidur..”
”Kenapa? Kalo ngantuk?”
”.... tubuh dan pikiran lu memaksa untuk tetap bangun karena tau kenyataan lebih indah daripada mimpi lu..”
”Trus..”
”Kedua; Lu kepikiran dia melulu...namanya, wajahnya, suaranya...”
”Kenapa? Kalo lagi ujian bakal nggak lulus dong.. trus.. trus.. apa lagi..?”
”Ketiga; kalo abis berantem lu nyesel banget....”
”Trus...trus..”
”Mmmm... apa lagi ya...”
Heru berfikir sambil memandang ke langit-langit.
”Ruk.. kalo tiga tanda-tanda tadi bener-bener mewakili ’rasa demen’ gua ke Resti, berarti gua nggak ’demen’ sama doi.. simple kan?, case closed..”
”Wah.. gembel emang lu bon.. gembel.. gembel..”
”Lah.. kan elu yang nyebutin tanda-tandanya tadi..dan nggak ada yang cocok..”
”Yaudah nih, lu telpon Resti sekarang, minta maap, peduli setan lu demen apa kagak sama dia..”
Heru menyodorkan ponselnya lagi, gua menolaknya.
”Nanti kalo gua bakal telpon dia ruk.. nggak sekarang..”
Heru mengangguk sambil memasukkan ponselnya ke saku.
Sesaat kemudian gua sudah kembali ’mesra’ dengan heru. Heru bercerita kalau dia baru saja selesai Interview di kampus, oleh perusahaan desain dari Inggris yang punya kantor di Manchester, London dan Birmingham. Dan hasil interviewnya akan diumumkan lusa, jika diterima maka sahabat gua yang wajahnya mirip beruk ini tentu bakal meninggalkan gua dan terbang ke Inggris. Gua juga bercerita ke heru kalau besok gua bakal ada Interview, tapi berbeda dengan Heru yang kalau diterima bakal kerja di Inggris, perusahaan tempat gua bekerja ini menurut yang gua baca di kolom ’about’ pada website nya Cuma perusahaan kelas nasional di Singapore dan sepertinya gua bakalan kerja di sini, di Singapore.
”Wah berarti lu kudu ngikut IELTS ruk..”
”Iya nih, sama nggak ya kayak TOEFL?”
Gua mengangkat bahu.
”Ntar aja kali ya tes-nya kalo udah pasti lolos?”
”Kalo menurut gua sih ruk, mendingan lu tes sekarang ntar jadi kalo lolos udah enak lu, tinggal ngurus visa doang..”
”Iya..ya.. coba brosing, cari tempat buat Tes IELTS..”
”Yaitu brosing sendiri, budakan amat.. ”
Gua bergeser, kemudian merebahkan diri ke kasur, mencoba merajut ulang mimpi-mimpi gua tentang ’working overseas’. Ah kayaknya kerja di Singapore pun sudah cukup buat naikin haji bokap-nyokap gua. Gua menggeleng-gelengkan kepala, nggak bisa. Gimanapun caranya gua harus bisa kayak si heru, masa iya gua nggak bisa sih. Gua berdiri kemudian memandang notes kecil yang gua buat dulu sebagai pengingat cita-cita gua.
”Ruk, coba donlotin lagunya ’Brand New Heavies’..”
”Apaan?”
”Brand New Heavies...”
”Judulnya?”
”You are the universe..”
Dengan tangan yang masih bergetar, gua mengeluarkan ponsel dari dalam saku dan menghubungi nyokap. Terdengar beberapa kali nada sambung sebelum akhirnya nyokap mengangkat telepon-nya;
”Assalamualaikum..”
”Waalaikumsalam, mak.. ini oni... mak oni lulus mak.. lulus..”
”Alhamdulillah, ni.. anak emak emang hebat..”
”Nggak mak, yang hebat doa emak..”
”Ngambil wudhu ni, solat sunah, sujud syukur... ”
”Iya mak, makasih ya mak udah doa-in oni..”
”Sama emak sendiri mah nggak usah pake makasih-makasihan segala, udah gidah sono ke sumur ambil wudhu..”
”Iya, oni tutup ya mak..
”Iya, Assalamualaikum..”
”Waalaikumsalam..”
Gua meletakkan ponsel di atas kasur, mengambil wudhu dan kemudian solat sunnah dua rokaat.
Heru membuka pintu kamar saat gua sedang melakukan ’salam’, dia melongok sebentar kemudian menutup pintu dan menunggu diluar. Setelah selesai solat gua membuka pintu, heru sedang duduk bersandar disamping pot bunga sambil memegang amplop putih besar yang bentuknya mirip dengan punya gua. Dia menunduk mencoba menyembunyikan wajah murungnya.
”Ruk.. ngapain lu nongkrong disitu?”
”Gapapa...”
”Gimana hasil-nya?”
”Parah...”
Heru menjawab sambil berdiri kemudian menyerahkan amplop putihnya ke gua, sedangkan dia ngeloyor masuk kedalam kamar dan langsung merebahkan diri di kasur.
Gua menangkap gelagat seperti ini bukanlah sebuah hal yang baik, setelah menghela nafas gua mengeluarkan kertas hasil exam dari dalam amplop yang sudah disobek heru secara serampangan, membaca-nya sekilas dan...
”Kamprettt!!!...”
Gua kemudian menerjang heru yang ternyata sedang cengengesan dibalik bantal.
”Anjriittt... lulus juga lu, beruuuukkk...”
”Hahahaha.. tampang lu tadi kocak banget bon, asli.. gua nggak tau kalo ternyata lu segitu peduli-nya sama gua..”
”Kampret lu ruk... ”
Heru duduk di kasur, menghadap gua yang sedang menghidupkan laptop.
”Bon, lu udah ngasih tau Resti...”
”Belon.. ”
”Yaudah gua yang ngasih tau..”
Gua menatap beruk, berusaha membuat tatapan gua ini terlihat kalem namun tetap punya kesan sangar, macem chuck norris di film Forced Vengeance sambil menggulung modul milik si heru yang tergeletak di meja dan menggenggamnya di tangan.
”Ye.. gua kan mau ngasih tau tentang kelulusan gua sendiri ke resti, ngapa lu yang repot..”
Gua terdiam, nggak bisa bicara apa-apa, Si beruk memang lihai. Gua Cuma bisa memandang heru yang tengah asik menekan-nekan keypad ponselnya, mengirim pesan ke Resti.
Nggak lama berselang, ponsel gua berbunyi dan tanpa melihatpun gua tau siapa yang menelpon, gua kembali mengambil modul, menggulungnya dan menerjang si heru yang berusaha menangkis pukulan gua dengan menggunakan bantal.
”Woy..woy.. udah ah, sakit bon.. nyokap lu kali tuuuh yang telpon.. liat dulu..”
Gua berhenti memukuli heru, kemudian mengambil ponsel gua yang tergeletak di meja, masih berdering-dering dan layarnya menampilkan nama; ’Resti’. Gua meletakkan ponsel tersebut, kemudian kembali mengambil modul, menggulungnya dan menerjang si heru yang kali ini mencoba menghindar kemudian menyambar ponsel gua dan menjawab panggilan dari Resti;
”Halo, Resti ya.. iya nih boni-nya lagi ngamuk..”
Heru melemparkan ponsel ke gua sambil berlari keluar kamar, beberapa detik kemudian terdengar suara riuh dari kamar sebelah, ah rupanya mereka juga lulus.
”Halo.. halo.. halo..”
”Hallo, ya res, kenapa?”
”Eh lulus nggak lo?”
”Hahaha, alhamdulillah lulus..”
”Waah selamat ya booon.. kok nggak ngasih tau?”
”Baru mau ngasih tau, eh lu udah nelpon duluan..”
”Mau dihadiahin apaan?”
”Wah nggak perlu repot-repot, res..”
”Nggak repot kok, bilang aja...”
”Hahahaha.. beneran nggak usah..”
”Bener..?”
”Iya sungguh deh.. eh boleh deh.. ”
”Apa?”
”Hadiahin do’a aja biar gua sukses...”
”Ya ampun booon, nggak usah diminta juga tiap hari gua doa-in lo kali..tiap hari gua mikirin lo, tiap hari gua berharap lo cepet lulus dan balik ke Indo..”
”Masa? Kenapa?”
”Whaat? Lo nanya kenapa? Menurut lo kenapa selama ini gua sms-an terus sama lo? Telpon-telponan sama lo? Nanyain kabar lo?”
Gua terdiam sejenak, kemudian Resti melanjutkan omongannya;
”Halo..halo.. boon.. ”
”Iya..”
”Menurut lo? Gue ini apa?”
”Apa ya?”
Untuk pertanyaan yang ini gua benar-benar nggak bisa menjawabnya. Gua Cuma bisa terdiam lagi dan Resti juga ikut terdiam, lama kami tenggelam dalam diam, sampai akhirnya suara Resti memecah keheningan;
”Gilaa.. kok ada cowok nggak peka kayak elo ya bon...”
Tut tut tut tut tut tut..
Panggilan berakhir, gua melempar ponsel ke atas kasur dan bersandar di tembok, mengambil sebatang rokok dan menyalakannya, menghisapnya dalam-dalam dan menghembuskannya ke langit-langit kamar. Gua berdiri, mengambil jaket dan bergegas keluar. Gua berteriak ke arah kamar sebelah untuk memberitahu heru kalau gua mau keluar sebentar. Teriakan gua disambut oleh kejaran heru yang terlihat buru-buru memakai sweater, mengunci pintu dan menyusul gua, berlari sepanjang lorong kemudian menuruni tangga.
”Mo kemana lu?”
”Tau nih..”
Heru mungkin membaca ada yang aneh di wajah gua, kemudian dia bertanya;
”Kenapa lu? Abis berantem sama Resti..”
”Gara-gara elu nih ruk,... semua gara-gara elu..”
Gua bicara sambil mengangkat jari telunjuk gua ke arah wajah si Heru.
”Lah kok gua dah?”
”Nggak tau, pokoknya gua lagi pengen nyalahin lu aja.. udah terima aja..”
”Njirrr...”
Gua berjalan bersama heru, nggak tau mengarah kemana, gua Cuma terus berjalan aja sampai disebuah taman yang ramai oleh banyak orang, yang kemungkinan besar adalah turis-turis yang sedang berfoto-foto dalam berbagai pose. Si heru duduk disebuah bangku panjang berwana cokelat yang terletak dibawah pohon beringin yang nggak begitu besar.
”Woy, bon.. duduk dulu lah, capek..”
Heru meneriaki gua yang masih terus berjalan, gua menghentikan langkah, terdiam sebentar kemudian berbalik menuju ke bangku tempat heru duduk.
”Kenapa si lu? Berantem sama Resti? Gara-gara apa?”
Gua diam, Cuma menjawab dengan anggukan.
”Gara-gara apa?”
”Sebenernya sih nggak berantem, ruk.. definisi berantem menurut gua kan; dua pihak yang nggak sejalan, terus terjadi konfrontasi, itu namanya berantem..”
”Lah terus, lu sama resti, kenapa?”
”Kalo kasus gua sih, Resti yang marah sama gua.. sedangkan gua nggak marah sama Resti.. apa tuh namanya?”
”Ah, kebanyakan makan genjer kali luh, ngomong belibet banget.. udah pukul rata aja semua, pokoknya lu berantem sama Resti dan yang pengen gua tau itu sebabnya.. bencooong.. bukan definisi-nya..”
Kemudian gua menceritakan kejadian waktu Resti menelpon gua belum lama tadi, Heru mendengarkan penjelasan gua tanpa berbicara, tanpa menyela, dia Cuma mendengarkan gua dengan seksama sambil memandang ke arah kerumunan turis-turis yang sedang berfoto bersama sambil merentangkan spanduk.
Selesai mendengar penjelasan gua, heru kemudian berdiri, dia menghela nafas kemudian menggeleng-geleng kan kepala, sambil mengarahkan telunjuknya ke gua, dia berkata;
”bodoh!..”
Heru berjalan meninggalkan gua.
”Woi, mau kemana lu?”
Gua berteriak memanggilnya. Dia nggak menjawab, cuma berpaling sebentar kemudian mengacungkan jari tengahnya ke arah gua.
Gua duduk terdiam, memandang ke atas, ke arah juntai-juntai ranting yang menjurus ke bawah, melihat langit yang membiru melalui celah-celah dahan pohon beringin.
God.. What should i do..
---
Setelah kejadian di taman waktu itu, heru sama sekali nggak menyapa gua. Dia selalu saja ’mlengos’ kalau gua ajak bicara. Begitu juga Resti, dulu dalam sehari dia bisa sms 4-5 kali dan dalam seminggu bisa 3-4 kali telepon, sekarang ’boro-boro’ telepon sms aja nggak pernah.
Gua duduk memandang sebuah surat yang baru aja gua ambil dari kampus tadi pagi. Memang semenjak final exam dan pengumuman lulus, sebenernya Program Beasiswa gua udah berakhir dan gua tinggal nunggu ngabisin waktu program ini yang kira-kira tersisa satu bulan setengah. Dan banyak dari para peserta program yang sudah ikut tes kerja disana-sini, melalu online tes atau melalui tes di kampus. Bahkan ada beberapa peserta yang punya nilai tinggi, nggak pake tes-tes-an, langsung terbang ke Kanada atau ke US, semuanya langsung kerja.
Gua membuka amplop surat tersebut, mengeluarkan isinya.
Ah sebuah undangan interview kerja, gua memperhatikan lokasi interview dan waktunya. Besok.
Sebuah perusahaan yang berlokasi di Singapore, bergerak di bidang digital imaging dan advertising. Nggak membuang waktu, gua bergegas mengambil jaket dan keluar dari kamar, berusaha mencari tau lokasi kantor dan kendaraan apa saja yang melaluinya, semacam survey kecil-kecilan.
Sesampainya di lobi, gua menghampiri seorang petugas keamanan apartement dan menunjukkan alamat yang tertera di surat yang gua terima. Si Petugas mengambil surat tersebut, memandangnya, sedetik berikutnya dia tersenyum dan bergegas menuju ke luar apartement dan berjalan sedikit ke arah trotoar, gua mengikutinya. Dia menunjuk ke arah gedung tinggi berwarna biru yang ujungnya tidak simetris, kemudian dia memberitahu jalur yang harus gua ambil tanpa menggunakan angkutan umum.
Deket banget. Gua bergumam dalam hati, setelah mengucapkan terima kasih gua mulai berjalan menyusuri trotoar sepanjang Jalan Telok Ayer kemudian menyebrangi jalan besar; Maxwell St dan tiba disebuah jalan yang kalo nggak salah namanya mirip seperti nama merk biskuit terkenal di Indonesia yang berkaleng merah. Gua berjalan sambil memandangi gedung tersebut, ternyata untuk bisa masuk gua harus memutari gedung ini, jalan yang ditunjukkan oleh petugas keamanan tadi merupakan jalan ’belakang’ . Sesampainya didepan, gua menghampiri ’security’ yang sedang berjaga disana, seorang bertubuh tegap, berpakaian serba hitam dengan garis merah dan mengenakan topi seperti topi ’sherif’ di film-film Amerika. Gua tersenyum sambil bertanya dan menunjukkan surat panggilan yang gua bawa, dia mengangguk kemudian berkata dengan bahasa inggris, campur melayu, campur mandarin, campur bahasa kode mencoba menjelaskan bahwa perusahaan tersebut ada di lantai delapan dan dia menunjukkan sebuah ruangan mencoba mengarahkan gua untuk masuk dan melapor ke bagian CS untuk mendapatkan kartu Visitor baru kemudian boleh naik ke atas. Gua menggeleng, mencoba menjelaskan kalau baru besok gua bakal balik lagi kesini, dia tertawa, entah menertawakan apa, gua mengucapkan terima kasih sebelum akhirnya ngeloyor pergi.
Gua berjalan pulang ke apartemen melalui jalan berbeda dengan jalan yang gua tempuh waktu berangkat tadi, kali ini gua melewati jalan raya yang lebih besar; Anson Road. Mungkin kalau di Indonesia, kawasan ini semacam Sudirman-Thamrin-nya Singapore tapi lebih rapih dan jauh lebih bersih. Gua kemudian berbelok ke kiri menuju ke jalan waktu pertama kali gua datang dan berjalan cepat menuju ke Apartement.
---
Sesampainya di kamar, gua mulai membuka laptop dan melakukan pencarian tentang perusahaan yang bakal menginterview gua besok. Sesaat kemudian muncul disebuah halaman hasil dari pencarian yang tadi gua ketik, gua meng-klik hasil teratas yang memiliki domain lokal(.Sg) dan sedetik kemudian muncul sebuah website ciamik dengan tampilan dominan warna hitam. Gua meng-klik sebuah menu bertuliskan ’About’ dan mulai membaca dan mencatatnya di notes.
Saat gua sedang asik dengan catatan gua, pintu kamar terbuka si Heru yang sejak gua masih tidur tadi sudah menghilang, kemudian masuk kedalam kamar, menggunakan kemeja, dan sepatu pantofel, lengkap dengan dasi dan menenteng jas.
”Dari mana lu?”
Gua mencoba bertanya ke heru, siapa tau kali ini dia sudah nggak ’kesel’ sama gua.
”Abis interview..”
Heru menjawab sambil duduk disebelah gua, mengambil sebatang rokok dan menghisapnya.
”Lu udah nggak marah sama gua ruk?”
Gua bertanya sambil mengubah arah pandangan dari layar laptop ke arahnya.
Heru menghisap rokok dalam-dalam kemudian menghembuskannya ke wajah gua sebelum dia menjawab;
”Gua kadang-kadang bingung sama lu bon.. dibilang bodoh tapi lu dapet beasiswa, dibilang pinter tapi nyia-nyian cewek..”
Gua mengangkat bahu, mengambil sebatang rokok dan menghisapnya.
”Emang dimana salah gua, ruk.. coba kasih tau gua?”
”Whatt..?”
”Kenapa what?”
”Buset dah, bener-bener bodoh lu bon.. guoblok.. emang lu nggak tau kalo Resti demen sama lu?”
”Gua tau..”
”Trus, lu demen juga nggak sama dia?”
”Kalo dibilang demen mah ya demen.. tapi ntar kalo gua pacaran sama dia beasiswa gua malah berantakan...”
Heru mematikan puntung rokoknya diasbak, menghembuskan asap terakhirnya ke wajah gua;
”Ya kalo gitu, kenapa lu nggak bilang gitu ke dia.. kenapa lu masih terus ngasih harapan ke dia”
”Lho, dia nggak pernah bilang ’suka’ ke gua, gua harus gimana”
”Wah.. kali ini level lu mulai naek, dari bodoh ke tolol..”
”Lho kenapa? Kalo dia suka ke gua tinggal bilang aja beres kan? Perkara ntar gua jawab ’suka’ juga atau nggak kan sepele..”
”Ya perempuan nggak bisa kayak gitu boon?”
”Kenapa? Apa yang membuat perempuan nggak bisa begitu?”
”Ya emang darisono-nya begitu, dimana-mana tuh cowok yang ’nembak’ cewek, bukannya cewek yang nembak cowok..”
”Ah. Darisono tuh darimana? Ada hirarki asal-usulnya nggak?”
”Buset... buset.. buset... nggak ribet-ribet dah, males gua.. sekarang gini aja, kalo elu emang demen sama Resti, nih sekarang lu telpon dia..”
Heru menyodorkan ponselnya, gua bergeming tetap diam kemudian memalingkan pandangan ke layar laptop.
”Lu sebenernya demen nggak sih sama Resti?”
Heru berdiri menghardik gua.
Gua masih menatap ke layar laptop sambil bertopang dagu, menepuk nepuk lantai disamping gua, memberi tanda agar heru kembali duduk.
”Ruk...”
”Apaa???”
”Emang kalo demen sama cewek tuh tanda-tandanya apa?”
”Buseeet dah boooooooooooooonnn...”
”Udah jawab aja...”
”Nih tanda kalo lu demen sama cewek, pertama; Lu nggak bisa tidur..”
”Kenapa? Kalo ngantuk?”
”.... tubuh dan pikiran lu memaksa untuk tetap bangun karena tau kenyataan lebih indah daripada mimpi lu..”
”Trus..”
”Kedua; Lu kepikiran dia melulu...namanya, wajahnya, suaranya...”
”Kenapa? Kalo lagi ujian bakal nggak lulus dong.. trus.. trus.. apa lagi..?”
”Ketiga; kalo abis berantem lu nyesel banget....”
”Trus...trus..”
”Mmmm... apa lagi ya...”
Heru berfikir sambil memandang ke langit-langit.
”Ruk.. kalo tiga tanda-tanda tadi bener-bener mewakili ’rasa demen’ gua ke Resti, berarti gua nggak ’demen’ sama doi.. simple kan?, case closed..”
”Wah.. gembel emang lu bon.. gembel.. gembel..”
”Lah.. kan elu yang nyebutin tanda-tandanya tadi..dan nggak ada yang cocok..”
”Yaudah nih, lu telpon Resti sekarang, minta maap, peduli setan lu demen apa kagak sama dia..”
Heru menyodorkan ponselnya lagi, gua menolaknya.
”Nanti kalo gua bakal telpon dia ruk.. nggak sekarang..”
Heru mengangguk sambil memasukkan ponselnya ke saku.
Sesaat kemudian gua sudah kembali ’mesra’ dengan heru. Heru bercerita kalau dia baru saja selesai Interview di kampus, oleh perusahaan desain dari Inggris yang punya kantor di Manchester, London dan Birmingham. Dan hasil interviewnya akan diumumkan lusa, jika diterima maka sahabat gua yang wajahnya mirip beruk ini tentu bakal meninggalkan gua dan terbang ke Inggris. Gua juga bercerita ke heru kalau besok gua bakal ada Interview, tapi berbeda dengan Heru yang kalau diterima bakal kerja di Inggris, perusahaan tempat gua bekerja ini menurut yang gua baca di kolom ’about’ pada website nya Cuma perusahaan kelas nasional di Singapore dan sepertinya gua bakalan kerja di sini, di Singapore.
”Wah berarti lu kudu ngikut IELTS ruk..”
”Iya nih, sama nggak ya kayak TOEFL?”
Gua mengangkat bahu.
”Ntar aja kali ya tes-nya kalo udah pasti lolos?”
”Kalo menurut gua sih ruk, mendingan lu tes sekarang ntar jadi kalo lolos udah enak lu, tinggal ngurus visa doang..”
”Iya..ya.. coba brosing, cari tempat buat Tes IELTS..”
”Yaitu brosing sendiri, budakan amat.. ”
Gua bergeser, kemudian merebahkan diri ke kasur, mencoba merajut ulang mimpi-mimpi gua tentang ’working overseas’. Ah kayaknya kerja di Singapore pun sudah cukup buat naikin haji bokap-nyokap gua. Gua menggeleng-gelengkan kepala, nggak bisa. Gimanapun caranya gua harus bisa kayak si heru, masa iya gua nggak bisa sih. Gua berdiri kemudian memandang notes kecil yang gua buat dulu sebagai pengingat cita-cita gua.
”Ruk, coba donlotin lagunya ’Brand New Heavies’..”
”Apaan?”
”Brand New Heavies...”
”Judulnya?”
”You are the universe..”
Backsound untuk #28


You're the future, and you've come for what is yours
The hidden treasure, locked behind the hidden doors
And the promise of a day that's shiny new
Only a dreamer, could afford this point of view
But you're a driver, not a passenger in life
And if you're ready, you won't have to try 'cause
You are the Universe
And there ain't nothin' you can't do
If you conceive it, you can achieve it
That's why, I believe in you, yes I do
You're a winner, so do what you came here for
The secret weapon, isn't secret anymore
You're a driver, never passenger in life
And when you're ready, you won't have to try 'cause
You are the Universe
And there ain't nothin' you can't do
If you conceive it, you can achieve it
That's why, I believe in you, yes I do
You are the Universe
And there ain't nothin' you can't be
If you conceive it, you can achieve it
That's why, I believe in you, and I believe in me
(Yes I do
Believe in you
I do)
You're a driver, not a passenger in life
And when you're ready, you won't have to try 'cause
You are the Universe...


You're the future, and you've come for what is yours
The hidden treasure, locked behind the hidden doors
And the promise of a day that's shiny new
Only a dreamer, could afford this point of view
But you're a driver, not a passenger in life
And if you're ready, you won't have to try 'cause
You are the Universe
And there ain't nothin' you can't do
If you conceive it, you can achieve it
That's why, I believe in you, yes I do
You're a winner, so do what you came here for
The secret weapon, isn't secret anymore
You're a driver, never passenger in life
And when you're ready, you won't have to try 'cause
You are the Universe
And there ain't nothin' you can't do
If you conceive it, you can achieve it
That's why, I believe in you, yes I do
You are the Universe
And there ain't nothin' you can't be
If you conceive it, you can achieve it
That's why, I believe in you, and I believe in me
(Yes I do
Believe in you
I do)
You're a driver, not a passenger in life
And when you're ready, you won't have to try 'cause
You are the Universe...
Diubah oleh robotpintar 12-03-2014 12:30
aripinastiko612 dan 11 lainnya memberi reputasi
12
Kutip
Balas
![Accidentally In Love [True Story]](https://s.kaskus.id/images/2014/04/07/6448808_20140407033338.jpg)