- Beranda
- Stories from the Heart
Accidentally In Love [True Story]
...
TS
robotpintar
Accidentally In Love [True Story]
![Accidentally In Love [True Story]](https://s.kaskus.id/images/2014/02/14/6448808_20140214023854.png)
Spoiler for Cover:
![Accidentally In Love [True Story]](https://s.kaskus.id/images/2014/02/14/6448808_20140214024411.png)
So she said what's the problem baby
What's the problem I don't know
Well maybe I'm in love (love)
Think about it every time
I think about it
Can't stop thinking 'bout it
How much longer will it take to cure this
Just to cure it cause I can't ignore it if it's love (love)
Makes me wanna turn around and face me but I don't know nothing 'bout love
Come on, come on
Turn a little faster
Come on, come on
The world will follow after
Come on, come on
Cause everybody's after love
So I said I'm a snowball running
Running down into the spring that's coming all this love
Melting under blue skies
Belting out sunlight
Shimmering love
Well baby I surrender
To the strawberry ice cream
Never ever end of all this love
Well I didn't mean to do it
But there's no escaping your love
These lines of lightning
Mean we're never alone,
Never alone, no, no
We're accidentally in love
Accidentally in love [x7]
Accidentally I'm In Love
Spoiler for Bagian 1:
#1
Quote:
“Gila lu Bon, roti segitu banyak sayang-sayang bakal empan ikan semua!”
“Emang ngapa? Ikan jaman sekarang mah ogah makan cacing, Meng”
Gua jawab aja sekena-nya, memang niatnya gua bawa roti dari rumah buat bekal pas mancing tapi, gara-gara umpan cacing gua dari tadi nggak disentuh ikan terpaksa gua ganti dengan roti. Siapa tau mujarab.
Nggak seberapa berselang, tali pancing gua bergetar, refleks gua tarik joran sekuatnya dan mendarat dengan mulus seekor ikan yang kurang lebih seukuran telapak tangan.
“Anjritt.. dari tadi dapet sapu-sapu mulu gua!”
Sambil melepas mata kail dari mulut ikan sapu-sapu yang barusan gua angkat dan langsung gua lempar lagi kedalam kali.
Tidak berapa lama, melantun lagu “Time Like This”-nya Foo Fighter dari ponsel gua. Tertera tulisan “Rumah” dilayarnya.
“Kenapa mak?”
Karena memang cuma nyokap gua aja yang selalu telpon melalui telepon rumah. Bokap dan adik gua selalu menggunakan ponsel-nya masing-masing jika ada keperluan.
“Assalamualaikum , Mancing kagak rapi-rapi luh, nih ada kiriman surat buat elu”
“Dari siapa?”
“Kagak tau, bahasanya emak nggak ngerti”
“Simpenin dulu, nih aye udah mau pulang”
“Yaudah buruan, jangan maghriban dijalan, pamali. Assalamualaikum”
“Waalaikumsalam”
Gua kantongin lagi ponsel k-ekantong celana pendek yang sekarang udah kotor campur lumpur, sambil berteriak ke temen gua; Komeng, yang lagi berkutat dengan tali pancingnya yang kusut.
“Meng, ayo balik.. udah sore”
“Belon juga dapet sekilo, udah mau balik aje”
“Yauda elu terusin dah, gua balik duluan”
Komeng menjawab dengan sedikit gumam di bibirnya terdengar seperti “Yaelah..” sambil berjalan gontai menyusul gua.
------
Itu kejadian beberapa tahun yang lalu, dimana gua dan Komeng masih biasa mencari cacing buat umpan ikan di kebun singkong belakang rumahnya Haji Salim dan kemudian pergi memancing disepanjang pinggiran sungai Pesanggrahan, Jakarta.
Sekarang, gua sedang duduk sambil bersandar di sebuah kursi lipat di pinggir danau di daerah Leeds, Inggris. Menghabiskan hari libur akhir musim gugur dengan memancing sambil bernostalgia, mencoba membangkitkan memori tentang memancing, tentang si Komeng, tentang Jakarta, tentang rumah.
Setelah berjam-jam memancing, menghabiskan berkaleng-kaleng ‘Diet Coke’ akhirnya gua memutuskan untuk menyudahi kegiatan sialan ini. Pulang dengan membawa 6 Ekor ikan Yelowtail (di Indonesia disebut ikan patin) dan sedikit kenangan tentang ‘rumah’, gua berjalan gontai menuju tempat dimana sepeda kesayangan gua diparkir, sempat kebingungan awalnya karena sekarang ada banyak sepeda yang diparkir, padahal tadi pagi baru sepeda gua aja yang nongkrong disini, setelah celingak-celinguk akhirnya ketemu juga dan gua mulai mengayuh.
Jarak dari tempat gua biasa mancing ke tempat dimana gua tinggal di Moorland Ave, Leeds kurang lebih 3,5 mil atau kalau dalam satuan Kilometer sekitar 5,5 Km. Jarak segitu kalo disini, di Inggris bisa dibilang ‘deket’, kalau naik sepeda bisa cuma 30 menit.
Oiya, nama gua Boni. Gua lahir dan dibesarkan di Jakarta. Saat ini gua kerja dan tinggal di Leeds, Inggris sekitar 2-3 jam dari London (dengan kereta). Gua kerja sebagai Sound Designer disalah satu Agensi perfilman dan periklanan di Leeds yang juga punya kantor di London. Sudah hampir 4 tahun gua kerja dan tinggal disini, ditempat dimana nggak ada sungai dengan air berwarna cokelat keruh yang banyak ikan sapu-sapunya dan nggak ada teman yang suka menggerutu “Yaelah”.
Sambil mendengarkan “Heaven” nya Lost Lonely Boys lewat headset, gua mengayuh sepeda menuju ke rumah, pulang. Melewati jalan berpasir yang dipenuhi pohon-pohon maple di kedua sisinya menuju jalan utama. Jalan yang sangat sepi dan hening, jam menunjukkan angka 4 sore, menandakan waktu shalat maghrib, di sabtu sore seperti sekarang ini memang didaerah sini sangat sepi, kebanyakan penduduk sekitar sedang ke stadion atau pub-pub untuk menyaksikan Leeds United bertanding. Ingin buru-buru sampai di rumah, karena perut udah mulai keroncongan, gua kayuh sepeda lebih cepat. Sampai kemudian terdengar sayup-sayup suara musik yang makin lama makin nyaring, suara musik RnB yang sepertinya diputar dari dalam mobil dengan volume maksimal. Suara tersebut datang dari arah belakang dan kemudian menyusul gua, sebuah BMW silver yang melaju cepat bahkan boleh dibilang sangat cepat, sambil meninggalkan debu persis seperti mobil yang sedang Rally Dakkar.
“Orang Gila!!” gua mengumpat, masih sambil dengerin coda lagu “Heaven” nya Lost Lonely Boys. Sampai gua melihat beberapa detik kemudian lampu rem BMW tersebut menyala dan kemudian berhenti.
Deg!, “Wuanjrit, sakti juga tuh orang bisa denger suara gua” sambil berhenti dan melepas headset dari telinga. Yang ternyata setelah gua sadar, suara gua nggak sepelan pas pakai headset tadi. Gua nunggu sambil dag dig dug, kalau dia ngerti ucapan gua, dia pasti orang Indonesia dan kalo ternyata bukan gua bakal siap-siap kabur.
Pintu penumpang pun terbuka, terbuka secara paksa tepatnya, sedetik kemudian keluar seseorang dari kursi penumpang, terhuyung dan kemudian terjatuh, terdengar makian dari dalam BMW tersebut mungkin seperti “bitch” atau semacamnya dan sesaat kemudian BMW tersebut pergi, mengasapi orang yang tersungkur itu dengan debu jalanan.
Nggak mau terlalu ambil pusing, sambil bernafas lega dan bilang dalam hati; “untung bukan gua”, gua meneruskan mengayuh sepeda.
“Get up Bro, life is brutal”
gua berkata ke orang itu sambil melewatinya tetap melanjutkan mengayuh. Dan beberapa meter kemudian gua mendengar sebuah teriakan, teriakan yang (pada akhirnya) bakal merubah hidup gua.
“Woii.. Help me!, you’re Indonesian, right?”
“Tolongin gue dong…”
Gua berhenti mengayuh, turun dan bengong. Sudah hampir setahun gua nggak denger secara langsung orang bicara ke gua dengan bahasa Indonesia dan suara perempuan pula.. Lima, ah mungkin sepuluh detik kemudian baru gua memalingkan muka tapi masih tetap bengong.
“Woii..”
Akhirnya gua turun dari sepeda, kemudian menghampiri orang itu. Terduduk di depan gua sosok perempuan, hitam manis dengan kepala tertutup hood jaket hitam, celana jeans dan sepatu model boots sebetis berwarna cokelat.
“Elu nggak apa-apa?”
“Menurut Lo? Kalo gue gak apa-apa, ngapain gua teriak minta tolong elu!!”
Gua nggak menjawab, berusaha membantu dia berdiri sambil bertanya lagi bagaimana keadaannya. Sekali lagi dia mengumpat;
“Gila!, nggak punya hati banget sih lu!, ya jelas lah gue kenapa-kenapa.. nih liat!”
Sambil memperlihatkan telapak tangan dan siku-nya yang luka dan kemudian menyibak celana jeans-nya yang kotor terkena debu dan sobek di beberapa bagian akibat terlempar dari mobil tadi. Sesaat baru dia sadar kalau lutut kanannya juga luka sambil meringis kesakitan dia mencoba membersihkan luka tersebut dengan air liurnya. Sangat Indonesia sekali.
“Gua pikir tadi orang mabok yang lagi berantem, disini mah biasa begitu,mbak!”
Kemudia gua kasih satu-satunya ‘Diet Coke’ sisa memancing tadi, harusnya sih air putih tapi Cuma itu yang gua punya sekarang. Sambil menggerutu karena dikasih ‘Diet Coke’ daripada air putih, diminum juga tuh minuman soda. Kemudian gua menawarkan diri buat mengantar dia ke sebuah toko kecil di ujung jalan ini, untuk membeli plester untuk membalut luka-nya.
“Jauh nggak?”
Dia bertanya sambil menurunkan hood jaketnya dan menyibak rambutnya yang pendek seleher. Kemudian terlihat jelas sebuah luka lebam di sudut mata sebelah kiri-nya, tidak, bukan cuma satu, setidaknya ada 3 luka lebam, selain disudut matanya, satu lagi di dahi sebelah kiri dan satu lagi di sudut bibir sebelah kanan, yang terakhir tampak seperti luka yang baru karena masih meninggalkan sisa bekas darah yang membeku.
Gua nggak berani bertanya, gua hindari menatap kewajahnya sambil menjawab pertanyaa-nya bahwa tokonya nggak begitu jauh dari sini, sambil menunjuk ke arah jalan utama.
---
“Emang ngapa? Ikan jaman sekarang mah ogah makan cacing, Meng”
Gua jawab aja sekena-nya, memang niatnya gua bawa roti dari rumah buat bekal pas mancing tapi, gara-gara umpan cacing gua dari tadi nggak disentuh ikan terpaksa gua ganti dengan roti. Siapa tau mujarab.
Nggak seberapa berselang, tali pancing gua bergetar, refleks gua tarik joran sekuatnya dan mendarat dengan mulus seekor ikan yang kurang lebih seukuran telapak tangan.
“Anjritt.. dari tadi dapet sapu-sapu mulu gua!”
Sambil melepas mata kail dari mulut ikan sapu-sapu yang barusan gua angkat dan langsung gua lempar lagi kedalam kali.
Tidak berapa lama, melantun lagu “Time Like This”-nya Foo Fighter dari ponsel gua. Tertera tulisan “Rumah” dilayarnya.
“Kenapa mak?”
Karena memang cuma nyokap gua aja yang selalu telpon melalui telepon rumah. Bokap dan adik gua selalu menggunakan ponsel-nya masing-masing jika ada keperluan.
“Assalamualaikum , Mancing kagak rapi-rapi luh, nih ada kiriman surat buat elu”
“Dari siapa?”
“Kagak tau, bahasanya emak nggak ngerti”
“Simpenin dulu, nih aye udah mau pulang”
“Yaudah buruan, jangan maghriban dijalan, pamali. Assalamualaikum”
“Waalaikumsalam”
Gua kantongin lagi ponsel k-ekantong celana pendek yang sekarang udah kotor campur lumpur, sambil berteriak ke temen gua; Komeng, yang lagi berkutat dengan tali pancingnya yang kusut.
“Meng, ayo balik.. udah sore”
“Belon juga dapet sekilo, udah mau balik aje”
“Yauda elu terusin dah, gua balik duluan”
Komeng menjawab dengan sedikit gumam di bibirnya terdengar seperti “Yaelah..” sambil berjalan gontai menyusul gua.
------
Itu kejadian beberapa tahun yang lalu, dimana gua dan Komeng masih biasa mencari cacing buat umpan ikan di kebun singkong belakang rumahnya Haji Salim dan kemudian pergi memancing disepanjang pinggiran sungai Pesanggrahan, Jakarta.
Sekarang, gua sedang duduk sambil bersandar di sebuah kursi lipat di pinggir danau di daerah Leeds, Inggris. Menghabiskan hari libur akhir musim gugur dengan memancing sambil bernostalgia, mencoba membangkitkan memori tentang memancing, tentang si Komeng, tentang Jakarta, tentang rumah.
Setelah berjam-jam memancing, menghabiskan berkaleng-kaleng ‘Diet Coke’ akhirnya gua memutuskan untuk menyudahi kegiatan sialan ini. Pulang dengan membawa 6 Ekor ikan Yelowtail (di Indonesia disebut ikan patin) dan sedikit kenangan tentang ‘rumah’, gua berjalan gontai menuju tempat dimana sepeda kesayangan gua diparkir, sempat kebingungan awalnya karena sekarang ada banyak sepeda yang diparkir, padahal tadi pagi baru sepeda gua aja yang nongkrong disini, setelah celingak-celinguk akhirnya ketemu juga dan gua mulai mengayuh.
Jarak dari tempat gua biasa mancing ke tempat dimana gua tinggal di Moorland Ave, Leeds kurang lebih 3,5 mil atau kalau dalam satuan Kilometer sekitar 5,5 Km. Jarak segitu kalo disini, di Inggris bisa dibilang ‘deket’, kalau naik sepeda bisa cuma 30 menit.
Oiya, nama gua Boni. Gua lahir dan dibesarkan di Jakarta. Saat ini gua kerja dan tinggal di Leeds, Inggris sekitar 2-3 jam dari London (dengan kereta). Gua kerja sebagai Sound Designer disalah satu Agensi perfilman dan periklanan di Leeds yang juga punya kantor di London. Sudah hampir 4 tahun gua kerja dan tinggal disini, ditempat dimana nggak ada sungai dengan air berwarna cokelat keruh yang banyak ikan sapu-sapunya dan nggak ada teman yang suka menggerutu “Yaelah”.
Sambil mendengarkan “Heaven” nya Lost Lonely Boys lewat headset, gua mengayuh sepeda menuju ke rumah, pulang. Melewati jalan berpasir yang dipenuhi pohon-pohon maple di kedua sisinya menuju jalan utama. Jalan yang sangat sepi dan hening, jam menunjukkan angka 4 sore, menandakan waktu shalat maghrib, di sabtu sore seperti sekarang ini memang didaerah sini sangat sepi, kebanyakan penduduk sekitar sedang ke stadion atau pub-pub untuk menyaksikan Leeds United bertanding. Ingin buru-buru sampai di rumah, karena perut udah mulai keroncongan, gua kayuh sepeda lebih cepat. Sampai kemudian terdengar sayup-sayup suara musik yang makin lama makin nyaring, suara musik RnB yang sepertinya diputar dari dalam mobil dengan volume maksimal. Suara tersebut datang dari arah belakang dan kemudian menyusul gua, sebuah BMW silver yang melaju cepat bahkan boleh dibilang sangat cepat, sambil meninggalkan debu persis seperti mobil yang sedang Rally Dakkar.
“Orang Gila!!” gua mengumpat, masih sambil dengerin coda lagu “Heaven” nya Lost Lonely Boys. Sampai gua melihat beberapa detik kemudian lampu rem BMW tersebut menyala dan kemudian berhenti.
Deg!, “Wuanjrit, sakti juga tuh orang bisa denger suara gua” sambil berhenti dan melepas headset dari telinga. Yang ternyata setelah gua sadar, suara gua nggak sepelan pas pakai headset tadi. Gua nunggu sambil dag dig dug, kalau dia ngerti ucapan gua, dia pasti orang Indonesia dan kalo ternyata bukan gua bakal siap-siap kabur.
Pintu penumpang pun terbuka, terbuka secara paksa tepatnya, sedetik kemudian keluar seseorang dari kursi penumpang, terhuyung dan kemudian terjatuh, terdengar makian dari dalam BMW tersebut mungkin seperti “bitch” atau semacamnya dan sesaat kemudian BMW tersebut pergi, mengasapi orang yang tersungkur itu dengan debu jalanan.
Nggak mau terlalu ambil pusing, sambil bernafas lega dan bilang dalam hati; “untung bukan gua”, gua meneruskan mengayuh sepeda.
“Get up Bro, life is brutal”
gua berkata ke orang itu sambil melewatinya tetap melanjutkan mengayuh. Dan beberapa meter kemudian gua mendengar sebuah teriakan, teriakan yang (pada akhirnya) bakal merubah hidup gua.
“Woii.. Help me!, you’re Indonesian, right?”
“Tolongin gue dong…”
Gua berhenti mengayuh, turun dan bengong. Sudah hampir setahun gua nggak denger secara langsung orang bicara ke gua dengan bahasa Indonesia dan suara perempuan pula.. Lima, ah mungkin sepuluh detik kemudian baru gua memalingkan muka tapi masih tetap bengong.
“Woii..”
Akhirnya gua turun dari sepeda, kemudian menghampiri orang itu. Terduduk di depan gua sosok perempuan, hitam manis dengan kepala tertutup hood jaket hitam, celana jeans dan sepatu model boots sebetis berwarna cokelat.
“Elu nggak apa-apa?”
“Menurut Lo? Kalo gue gak apa-apa, ngapain gua teriak minta tolong elu!!”
Gua nggak menjawab, berusaha membantu dia berdiri sambil bertanya lagi bagaimana keadaannya. Sekali lagi dia mengumpat;
“Gila!, nggak punya hati banget sih lu!, ya jelas lah gue kenapa-kenapa.. nih liat!”
Sambil memperlihatkan telapak tangan dan siku-nya yang luka dan kemudian menyibak celana jeans-nya yang kotor terkena debu dan sobek di beberapa bagian akibat terlempar dari mobil tadi. Sesaat baru dia sadar kalau lutut kanannya juga luka sambil meringis kesakitan dia mencoba membersihkan luka tersebut dengan air liurnya. Sangat Indonesia sekali.
“Gua pikir tadi orang mabok yang lagi berantem, disini mah biasa begitu,mbak!”
Kemudia gua kasih satu-satunya ‘Diet Coke’ sisa memancing tadi, harusnya sih air putih tapi Cuma itu yang gua punya sekarang. Sambil menggerutu karena dikasih ‘Diet Coke’ daripada air putih, diminum juga tuh minuman soda. Kemudian gua menawarkan diri buat mengantar dia ke sebuah toko kecil di ujung jalan ini, untuk membeli plester untuk membalut luka-nya.
“Jauh nggak?”
Dia bertanya sambil menurunkan hood jaketnya dan menyibak rambutnya yang pendek seleher. Kemudian terlihat jelas sebuah luka lebam di sudut mata sebelah kiri-nya, tidak, bukan cuma satu, setidaknya ada 3 luka lebam, selain disudut matanya, satu lagi di dahi sebelah kiri dan satu lagi di sudut bibir sebelah kanan, yang terakhir tampak seperti luka yang baru karena masih meninggalkan sisa bekas darah yang membeku.
Gua nggak berani bertanya, gua hindari menatap kewajahnya sambil menjawab pertanyaa-nya bahwa tokonya nggak begitu jauh dari sini, sambil menunjuk ke arah jalan utama.
---
DAFTAR ISI
Quote:
CHAPTER 1
#1 The Beginning
#2 Truly Gentlemen
#3 Place Called Home
#4 The Morning Fever
#5 A Miserable Story
#6 Night Rain
#7 Inside My Head
#8 That Day
#9 Be Tough
#10 Mukena
#1 The Beginning
#2 Truly Gentlemen
#3 Place Called Home
#4 The Morning Fever
#5 A Miserable Story
#6 Night Rain
#7 Inside My Head
#8 That Day
#9 Be Tough
#10 Mukena
Quote:
CHAPTER 2
#11-A Trip To Manchester
#11-B The Swiss Army
#12 Here's and Back Again
#13 I Miss You So Bad
#14 Going Mad
#15 Promise
#16 You’ll Be The Only Light I See
#17 The Winter Tears
#18 She's Gone
#19 That Memories
#11-A Trip To Manchester
#11-B The Swiss Army
#12 Here's and Back Again
#13 I Miss You So Bad
#14 Going Mad
#15 Promise
#16 You’ll Be The Only Light I See
#17 The Winter Tears
#18 She's Gone
#19 That Memories
Quote:
CHAPTER 3
[URL="http://www.kaskus.co.id/show_post/530ff7e41acb17030d8b48f1/479/- "]#19-A The Hood[/URL]
#19-B Heres And Back Again II
#19-C Weak
#19-D Surrender
#19-E The Choice
#19-F Anything For You
#19-G Chelsea Number 8
#19-H Its not always about gold and glory
#19-I Aku
#19-J The Words
#19-K The Persian Cat
#19-L You Really The Only Light I See
#19-M So Be It
#19-N Less Than Perfect
#20 That Day II
[URL="http://www.kaskus.co.id/show_post/530ff7e41acb17030d8b48f1/479/- "]#19-A The Hood[/URL]
#19-B Heres And Back Again II
#19-C Weak
#19-D Surrender
#19-E The Choice
#19-F Anything For You
#19-G Chelsea Number 8
#19-H Its not always about gold and glory
#19-I Aku
#19-J The Words
#19-K The Persian Cat
#19-L You Really The Only Light I See
#19-M So Be It
#19-N Less Than Perfect
#20 That Day II
Quote:
CHAPTER 4 The Prekuel
#21 The Prologue
#22 My Precious
#23 Ticket to Ride
#24 Singapore
#25 Dreams
#26 The Awkward Moment
#27 Logic
#28 Driver In Life
#29 The Risk Taker
#30 Sorry
#31 Rise Again
#32 Goodbye
#21 The Prologue
#22 My Precious
#23 Ticket to Ride
#24 Singapore
#25 Dreams
#26 The Awkward Moment
#27 Logic
#28 Driver In Life
#29 The Risk Taker
#30 Sorry
#31 Rise Again
#32 Goodbye
Quote:
CHAPTER 5!!
#33 London
#34 Unwell
#35 I Was Here
#36 Leeds
#37 New Home, New Life
#38 Alone
#39 Intermezo
#40 Goin' Trough
#41 At Glance
#42 The Past of The Future
#33 London
#34 Unwell
#35 I Was Here
#36 Leeds
#37 New Home, New Life
#38 Alone
#39 Intermezo
#40 Goin' Trough
#41 At Glance
#42 The Past of The Future
Quote:
CHAPTER 6
#43 My First ...
#44 If Lovin' You ...
#45 Goin' Back
#46 Leeds II
#47 I Love You (Jealousy)
#48 After All
#49 Hell Yeah
#50 Conflict
#51 Liar-Liar
#52 Memories
#43 My First ...
#44 If Lovin' You ...
#45 Goin' Back
#46 Leeds II
#47 I Love You (Jealousy)
#48 After All
#49 Hell Yeah
#50 Conflict
#51 Liar-Liar
#52 Memories
Quote:
Quote:
Diubah oleh robotpintar 10-04-2014 08:46
namakuag dan 119 lainnya memberi reputasi
118
1.3M
Kutip
2.3K
Balasan
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#1053
Spoiler for Bagian ke dua puluh Tujuh:
#27 LOGIC
Quote:
Resti bicara sambil menunjuk-nunjuk ke kepalanya. Gua Cuma tersenyum, kemudian masuk ke dalam, melambaikan tangan, menaiki tangga dan berjalan didalam lorong menuju ke kamar, sambil mengutuki diri gua sendiri. ”bodoh!!..”
Sampai di depan pintu kamar, gua mengangkat pot bunga dan meraba dasarnya, kosong. Kemudian gua membuka pintu, heru sedang terbahak-bahak menonton sebuah film dari laptop gua, sambil duduk memeluk guling dan menggenggam plastik cemilan; ’Cassava Chips’. Gua berjalan melewatinya dan duduk diatas kasur;
”Gimana bon, dating-nya? Sukses?”
”Sukses, pala-lu..”
”Lah ngapa emang?”
Heru, menekan tombol spasi, mem-pause film dan beralih menghadap ke gua.
”Gua tau lu nggak punya temen yang namanya ’Deby’, so what its all about?”
”Yah, kaku banget sih lu jadi cowok..”
”Nah itu lu tau kalo gua kaku, ngapa malah ninggal gua berdua sama cewek?”
”Lah.. elu nya aja yang aneh, cowok-cowok ’normal’ mah seneng kalo ada diposisi lu..”
Gua diam, membisu, kemudian mengambil sebatang rokok dari bungkusan Marlboro light yang ada disamping laptop. Gua menyulutnya dan menikmati setiap hisapan-nya sambil berbaring di atas kasur.
Apa iya gua nggak ’normal’, ah masa sih? Tapi, gua deg-deg-an kok kalau dekat dengan perempuan yang bukan muhrim dan gua masih jijik kok kalau si heru tidur deket-deket gua, but siapa juga orang yang nggak jijik tidur dipeluk-peluk heru, seorang homo sekalipun gua rasa bakal jijik, abis-abisan.
”Bon.. emang lu mau ngebujang mulu apa?”
”Yaelah, ruk.. ruk.. suatu hari nanti.. inget nih, suatu hari nanti lu bakal terbengong-bengong pas ngeliat gua bawa pacar..”
”Iye, pacar lu cowok.. bwahahahahahaha..”
”Setaaaaan!”
Setelah lelah bergelut dengan Heru, terdengar suara pesan masuk dari ponsel gua, gua melepaskan pitingan ’arm-bar’ dan bergegas mengambil ponsel, sebuah pesan dari Resti;
”Woiii... lg ap?”
Gua nggak membalasnya, hanya meletakkan kembali ponsel di atas meja dan kemudian mengusir heru yang ikut-ikutan membaca pesan tersebut, dia masih meringis memegangi lengannya. Sedetik kemudian gua sudah dalam posisi menjepit leher si heru dengan teknik ’neck crank’, heru Cuma bisa meringis sambil menepuk-nepukan telapak tangannya di lantai sebagai tanda kalau dia menyerah. Gua melepaskan lehernya, dia sedikit tersedak-sedak kemudian heru mengambil ponsel, mengetikkan sesuatu dan meletakkannya kembali. Gua yang baru menyadari kalau yang dia ambil barusan adalah ponsel gua, buru-buru menyambar ponsel tersebut, terlihat dilayarnya sebuah notifikasi; ”Delivered..”. Gua membuka ’sent item’ disitu terlihat sebuah balasan untuk pesan dari Resti isinya; ”Lg mkirin km”.
Gua kembali meletakkan ponsel di atas meja, si Heru sedang berusaha keluar dari kamar, gua mengejarnya;
”Bangsaaaaatttttt!!!”
---
Sebulan setelah kejadian kejar-kejaran antara gua dan Heru di lorong apartemen yang berakhir dengan terkilirnya kaki si Heru dan biru-biru di bagian pundak, seperti biasa siang itu gua sedang menulis saat sebuah pesan masuk ke ponsel gua, tanpa melihat-pun gua tau siapa yang mengirimnya; Resti. Sejak kejadian Heru membalas pesan dari Resti melalui ponsel gua, si Resti jadi rajin mengirimi gua pesan, entah sekedar menanyakan kabar, mengingatkan makan atau sekedar pesan yang isinya Cuma; ”woii..”, ”ahay..”,”Cihuy” bahkan; ”Heyho”, absurd, sungguh perempuan yang absurd. Padahal udah hampir dua minggu yang lalu dia balik ke Indonesia tapi tetap nggak mengurangi intensitas sms-nya, gua yang emang belum sempat menjelaskan perkara ’isi sms yang dikirim heru’ akhirnya dengan ’terpaksa’ sambil senyam-senyum kecut membalas sms-sms dari Resti.
Buat beberapa orang, mungkin mendapat ’sedikit’ perhatian dari seorang perempuan melalui sms adalah suatu yang lumrah, tapi buat gua yang bahkan dinilai sebagai laki-laki nggak ’normal’ oleh Heru, hal seperti ini adalah sesuatu yang luar biasa. Sejak kecil; gua hanya dekat dengan dua orang wanita; Nyokap dan adik gua; si Ika, selebihnya perempuan yang gua kenal paling Cuma sebatas teman sekolah, tempat gua meminjam penghapus, pensil, pulpen dan meminta kertas ulangan, begitu pun menginjak masa-masa kuliah; perempuan yang dekat dengan gua tetap dua orang yang gua sebutkan tadi; Nyokap dan Ika selebihnya Cuma perempuan-perempuan yang menghiasi hidup gua melalui lagu, film dan cerita saja. Kalo ada yang bilang gua nggak normal, sebenarnya mereka nggak sepenuhnya salah. Tapi, gua juga nggak mungkin membenarkan hal tersebut, gua yakin mereka yang berasumsi gua nggak ’normal’, heru sebagai contohnya, mengatakan hal tersebut karena ’kedinginan’ gua terhadap lawan jenis dan track record gua sebagai cowo yang belum pernah pacaran dan sampai saat ini gua berusaha mematahkan asumsi tersebut dengan cara ini; ber-sms-an dengan Resti; Fair enough, i think.
Yess, dan kalau ada yang bertanya apakah gua menyimpan perasaan terhadap Resti, tentu saja jawabannya adalah; ’Yess’ mungking seratus ’Yess’. Tapi, lagi-lagi gua selalu terbentur dengan yang namanya Logika, ya sejak kecil boleh dibilang gua ini salah satu orang yang diperbudak oleh logika, sampai-sampai mempengaruhi daya resap perasaan gua sendiri. Buat orang lain, jika mengikuti kata hati dan perasaan; mungkin nggak ada yang salah kalau ada orang seperti ’Resti’ yang tajir, cakep, almost perfect, bisa suka sama pria seperti gua. ’Kata hati’ dan ’perasaan’ gua pun berkata sama; setuju-idem. Tapi, entah kenapa Logika dan nalar gua selalu berusaha menentang-nya, berusaha membatasi ’perasaan’ dan ’kata hati’ gua agar tetap pada jalurnya, not cross the line. Selalu menghalangi ’perasaan’ dengan berbagai pernyataan-pernyataan seperti;
”Secara Logika nggak mungkin Resti suka sama gua karena dia kaya sedangkan gua nggak, dia cakep sedangkan gua nggak, dan kalaupun nanti berlanjut, orang tua dia pasti nggak bakal setuju sama gua.”
Yang pada akhirnya malah membunuh ’kata hati; dan ’perasaan gua’. Jadi pada akhirnya, gua Cuma bisa ’berhubungan’ dengan Resti dengan perantara nalar, berusaha mengelabui orang lain agar terlihat ’normal’ sambil menghibur diri sendiri yang semakin semenjana akibat membohongi diri sendiri, sementara ’perasaan’ dan ’kata hati’-gua terpenjara jauh didalam jurang hati gua yang paling dalam, dijaga oleh sesosok makhluk bernama; Logika.
Logika ini juga-lah yang membuat, menanam dan menumbuhkan pohon nalar yang membuat ’kata hati’ dan perasaan gua menjadi benalu, benalu yang siap mengganggu gua menggapai cita-cita gua.
---
Dua bulan tersisa dari waktu program beasiswa gua di Singapore. Gua dan heru mati-matian belajar buat final exam yang belum ketahuan apa bentuknya; essay kah, multiple choice kah atau interview test kah. Sementara, buat yang bertanya-tanya tentang hubungan gua sama Resti; berjalan baik-baik saja tetap seperti bulan kemarin, kemarinnya lagi, kemarinnya lagi, kemarinnya lagi, masih dalam koridor ’nalar’ dan Logika gua.
”Buset, pedes juga nih mata gua bon.. ”
Heru meletakkan pulpen menggeleng-gelengkan kepala sambil memijat bagian belakang lehernya. Gua yang berada dimeja seberangnya Cuma menjawab ”ho-oh” dengan mata masih tertuju pada layar laptop gua. Heru yang penasaran kemudian mendatangi gua, berdiri di belakang gua. Nafasnya yang terdiri dari campuran bau asap rokok, bangkai tikus dan air comberan bikin gua menyingkir.
”Anjirr.. lu abis makan apaan sih ruk? Napas lu bau got..”
”Hahaha.. Bukan napas gua yang bau, tapi mulut lu yang terlalu deket sama idung.. lah gua pikir mah dari tadi lu belajar, coy.. pantesan dari tadi anteng banget maen beginian..”
Sudah barang tentu yang dimaksud ’beginian’ oleh Heru adalah sebuah game strategi; Age Of Empire yang sejak tadi gua mainkan, sejak kami tiba di perpustakaan kampus ini.
”Lah sakti juga lu coy, udah mau Exam bukannya belajar, malah maenan..”
”Ah, belajar juga bakal apaan? Kita aja belom dikasih tau tipe examnya.. ”
”Ya tapi kan tetep lu harus belajar kali...”
”Tadi lu belajar apaan?”
”Teori dasar desain, aplikasi dan penerapannya.. tuh buku-nya..”
”Trus, misalnya lu udah belajar kayak barusan terus besok examnya dalam bentuk praktek, misalnya suruh bikin ’sketch’, rugi nggak lu?”
”Lah misalnya besok ternyata examnya dalam bentuk essay dan yang dibahas adalah teori desain?”
”Ya kalo gitu gua bakal ngasih selamet deh ke elu..”
Gua kemudian menutup laptop gua, menyalaminya kemudian pergi meninggalkan Heru, pulang.
Sebenernya hal yang gua katakan ke Heru waktu di perpustakaan juga bukanlah prinsip dasar gua dalam belajar, malah boleh dibilang hampir setiap hari gua belajar. Tapi menurut gua, dalam industri kayak ’begini’ (baca; Desain, Broadcast, Advertising, Digital Art dan kronco-kronconya yang lain) belajar teori bukanlah suatu yang mutlak perlu diterapkan, justru gua malah berhasil mendapatkan ide, sense dan feel yang tepat untuk berkarya bukanlah dari hasil membaca buku, melainkan hasil dari explorasi dari kehidupan sehari-hari. Dan ya, gua tetep belajar, tapi cara belajar gua dengan heru berbeda.
---
Gua memandang ke selebaran yang barusan dibawa pulang heru dari kampus, secarik kertas berwarna hijau yang isinya merupakan jadwal Final Exam, dan untuk masing-masing jurusan berbeda waktu dan tempatnya. Heru mendapatkan jadwal exam lebih dulu dari gua yang dapat giliran dua minggu lagi. Dan yang paling mengejutkan adalah bahwa Final Exam peserta program beasiswa diadakan secara terpisah dengan peserta reguler, pun dengan waktu dan soal ujiannya. Diskriminasi!
Heru yang sejak pulang tadi, setelah menggeletakkan begitu saja brosur yang barusan gua baca jadi kelabakan seperti lintah dikasih garam, sebentar berdiri, meletakkan pensil di daun telinganya, menunjuk-nunjuk angka di kalender, sesaat kemudian dia duduk membolak-balik modul pembelajarannya, beberapa detik berikutnya dia sudah mengetuk-ngetuk pintu kamar sebelah, sepertinya hendak meminjam catatan, kemudian kembali ke kamar sambil menggaruk-garuk rambutnya yang mulai memanjang dan terduduk kembali sambil memegangi dahi-nya.
Sementara gua berbaring di kasur, memandangi selebaran hijau tersebut seraya merajut mimpi-mimpi untuk bisa sukses di Final Exam nanti, kemudian gua dikejutkan oleh nada dering ponsel gua, gua mengeluarkannya dari saku selana jeans dan tertera nama ’Ika’ dilayarnya;
”Halo, Assamualaikum..”
”Waalaikum salam..”
Terdengan suara nyokap yang cempreng-cempreng renyah di ujung sana.
”Gimana kabar lu ni? Sehat?”
”Alhamdulilah mak, sehat.. emak, baba gimana disono sehat juga?”
”Iya, Alhamdulilah bae-bae aja.. lagi ngapain lu ni?”
”Lagi tidur-tiduran mak? Dua minggu lagi mau ujian nih...”
”Lah mau ujian, ngapa lu leyeh-leyeh aje? Belajar orang mah..”
”Iya ntar abis tidur-tiduran, trus tidur beneran, abis itu baru belajar..”
”Bener-bener ni bocah atu, susah banget dikasi tau..”
”Iya mak, iya, oni belajar kok.. kalem bae..”
”Jangan kalem-kalem aja lu.. ntar kalo kagak lulus, baru nyaho..”
”Yaah jangan doain begitu dong mak...”
”Ye makannya belajar ni... emak ama baba luh ma dari dulu, tiap solat kagak pernah lupa nyebut nama lu sama ika.. emak mah nggak pernah doain lu supaya sukses..”
”Lah?”
”...emak mah doain supaya elu selalu berlaku bener, kagak macem-macem sama diri lu sendiri dan nggak macem-macemin anak orang...”
”Oh iya mak.. tambahin mak atu doanya.. ”
”Apaan?”
”Biar enteng jodoh...”
”Iya, kalem bae.. emak doain dah.. yaudah belajar gidah sono, solat jangan ditinggal ye..”
”Iya mak.. tetep doain oni ya mak..”
”Iya, assalamualaikum..”
”Waalaikum salam..”
Gua meletakkan ponsel di dada dan melanjutkan memandangi selebaran hijau mengenai informasi Final Exam. Ponsel gua berdering lagi, ah mungkin nyokap lupa menyampaikan sesuatu, gua mengangkat ponsel dan melihat layarnya; ’Resti’. Gua menghirup nafas panjang kemudian menghembuskannya sebelum mengangkat telepon darinya;
”Haloo..”
”Haloo, bon.. Kata heru lo mau exam ya? Minggu depan? Lagi belajar?”
”Hah,..”
Gua melirik ke heru yang tengah larut dalam modul-nya dan gua melihat ponselnya tergeletak disana, masih menyisakan ’backlight’ sebelum akhirnya mati dan tombolnya terkunci otomatis. Gua mengambil bungkus rokok dan melemparnya, tepat ke arah kepalanya. Tuk!. Heru mengelus kepalanya, berpaling ke gua kemudian terkekeh, sambil berjingkat membuka pintu kamar dan bergerak keluar; ”Keluar dulu ah, ntar ganggu orang pacaran lagi”
”Hallo.. hallo.. bon..”
”Ya..”
”Ditanyain..”
”Eh.. iya, gua sih masih dua minggu lagi, si beruk yang exam minggu depan..”
”Oh.. beda?”
”Iya beda..”
”Belajar ya..”
”Pasti, tenang aja?”
”Siip, eh udah makan?”
”Belom, nanti aja mau makan daging beruk..”
”Maksudnya?”
”Nggak, nggak.. ntar mau masak nasi goreng aja..”
”Oh oke deh.. trus sekarang lagi ngapain?”
”Lagi mau belajar, udah ya res.. ntar pulsa lo abis kalo kelamaan..”
”Yaah..”
”Daaa...”
”Iya deh..”
Tut tut tut tut tut...
Gua menutup telepon dari Resti, berdiri, mengambil sapu lidi dan bergegas ke kamar sebelah. Gua tau dia pasti ada disitu, Beruk Brengsek!
---
Seminggu berikutnya, gua sedang menulis di dalam kamar saat Heru merangsek masuk dan langsung melempar tas ranselnya kemudian menjatuhkan diri diatas kasur. Lima hari sebelumnya gua sempat membaca di papan pengumuman di kampus bahwa jurusan Heru akan mengadakan Final Exam berupa membuat essay yang kemudian harus di persentasikan di depan penguji dan bakal dihadiri oleh utusan-utusan dari berbagai perusahaan kelas internasional yang bekerjasama dengan pihak penyelenggara program beasiswa untuk merekrut lulusan-lulusannya.
”Ruk...”
”Mmmm...”
Heru menyembunyikan wajahnya diantara bantal dan kasur.
”Ruk.. gimana?”
”Tau dah.. pesimis nih gua..”
”Emang ngapa dah?”
”Ya nggak apa-apa siy, gila bon.. gua persentasi didepan orang banyak, ajigile.. gugup coy..”
”Yaelah paling juga kayak pas sidang skripsi..”
”Kayak sidang skripsi mata lu..”
Heru kemudian duduk.
”Gila kali lu.. bikin Essay Cuma dikasih waktu lima hari, trus persentasi didepan puluhan orang, pada pake jas sama dasi, udah gitu selesai persentasi, ada sesi tanya jawabnya, semuanya pada nanya..gimana nggak stress tuh..”
Gua kemudian terbengong-bengong ria. Memandang kosong ke layar laptop melihat ke kumpulan tentara bizantium gua yang sedang berbaris, bersiap menyerang musuh. Gila, nasib gua apa kabar nih.
Kemudian gua berdiri, mengambil jaket dan keluar, sedikit berlari kecil menuju ke kampus. Sesampainya disana gua masuk dan langsung menuju ke tempat dimana biasanya pengumuman di tempel. Disana sudah ada beberapa orang yang berkumpul, gua mengenali salah satunya; Lisa. Mahasiswa program beasiswa dari malaysia yang juga sejurusan sama gua; broadcast.
”Lis, jadwal exam kita udah ada?”
” Saya belum lah tahu, ingin melihat tapi tak boleh”
”Nggak boleh sama siapa?”
Lisa memukul pundak gua, iya gua tau maksudnya bukan ”Tak boleh” tapi ”Nggak bisa”, sungguh bahasa yang sulit, melayu.
Gua menyeruak kerumunan, dan sadar kenapa si Lisa yang badannya Cuma sebesar upil onta ’tak boleh’ melihat pengumuman ini. Kemudian gua memandang sebuah selebaran besar ditempel dengan menutupi pengumuman-pengumuman lainnya. Memberitahukan bahwa jadwal Exam untuk Jurusan Broadcast adalah minggu depan, hari Senin dan jenis Exam-nya adalah Essay ditambah ’mini-project’ dengan banyak pilihan project yang sudah ditentukan dan disusul dengan persentasi.
Sesaat gua seperti memandang ke sebuah gurun tanpa batas, gua menghela nafas dan mulai bergerak keluar dari kerumunan.
”How is it?”
Lisa bertanya, gua mencoba menjelaskannya sebentar sambil berlalu.
---
Gua memandang materi persentasi gua untuk yang terakhir kalinya, sebelum masuk ke sebuah ruangan besar berbentuk auditorium, tempat dimana waktu itu gua datang pertama kali disini untuk mendengarkan ceramah pria bule botak yang ternyata adalah kepala program pendidikan ini. Gua mengambil ponsel dari dalam saku dan menekan angka 2, speed dial untuk nyokap gua.
”Haloo..”
”Haloo kenapa bang?”
”Emak mana?”
Suara Ika terdengar dari seberang sana, disusul teriakan samar memanggiln nyokap.
”Haloo, assalamualaikum.. kenape ni..?”
”Mak, oni mau ujian.. doain oni ya..”
”Iya emak doain biar digampangin sama Allah semua urusan lu, biar cepet rapih semua urusan lu, mudah-mudahan elu selalu di jalan yang bener ya tong..”
”Iya mak, oni siap-siap dulu deh.. Assalamualaikum”
”Waalaikumsalam..”
Beberapa saat kemudian nama gua dipanggil, gua masuk kedalam sambil tersenyum kepada para hadirin yang datang, persis seperti yang digambarkan oleh Heru minggu kemarin, ada sekitar puluhan bahkan lebih dari lima puluh orang yang berdandang ala james bond duduk berderet memenuhi tribun auditorium. Gua melangkah canggung di atas panggung yang letaknya jauh dibawah, tepat pada posisi yang sama dengan saat pria bule botak ceramah. Gua memasang kabel proyektor ke laptop dan sesaat kemudian lampu-lampu mulai redup, ruangan ini Cuma diterangi oleh cahaya dari proyektor di ujung ruangan yang tersambung ke laptop gua. Gua berdiri, menggenggam microphone dan mengetuk-ngetuknya, suara riuh dari para James Bond ini mendadak senyap yang terdengar hanya raungan prosesor dari laptop jadul gua dan nafas gua yang mulai tidak beraturan. Tangan gua mulai basah oleh keringat, gua berdehem beberapa kali sebelum memulai persentasi dan.....
30 menit berlalu, gua malah keasikan sendiri menjelaskan isi dari materi persentasi gua, mungkin para james bond ini malah tertidur saking bosannya. Dan akhirnya gua menyelesaikan satu terakhir, lampu proyektor meredup, disusul dengan lampu auditorium yang kembali terang. Gua menutup layar laptop saat suara moderator terdengar, memberitahu bahwa sekarang adalah sesi tanya jawab.
10.. 20.. 30.. 40 menit, waktu yang gua habiskan dalam menjawab berbagai jenis pertanyaan seputar konten materi persentasi gua dan beberapa pertanyaan Out Of Topic dari audience yang terpaksa gua jawab setelah mendapat anggukan dari tim penguji. Kemudian gua dipersilahkan keluar, dan ruangan kembali riuh saat gua meninggalkan auditorium tersebut.
Gua duduk di bangku panjang di luar auditorium, menghembuskan nafas panjang kemudian gua berdoa, bukan meminta agar hasil Exam gua ini bagus dan gua lulus,tapi gua Cuma minta agar Do’a emak gua dikabulkan.
---
Seminggu berikutnya, gua menerima sebuah amplop berukuran besar dengan sebuah print-out nama, jurusan dan asal negara di bagian depannya. Terpampang sebuah tulisan kapital besar ; FINAL EXAM RESULT.
Gua membuka dan mengeluarkan isinya, ada berlembar-lembar kertas, brosur, stiker bahkan sebuah pin. Gua membaca dengan seksama selembar kertas yang menuliskan hasil Exam gua, gua terduduk didalam kamar kemudian mulai terbengong-bengong..
Sampai di depan pintu kamar, gua mengangkat pot bunga dan meraba dasarnya, kosong. Kemudian gua membuka pintu, heru sedang terbahak-bahak menonton sebuah film dari laptop gua, sambil duduk memeluk guling dan menggenggam plastik cemilan; ’Cassava Chips’. Gua berjalan melewatinya dan duduk diatas kasur;
”Gimana bon, dating-nya? Sukses?”
”Sukses, pala-lu..”
”Lah ngapa emang?”
Heru, menekan tombol spasi, mem-pause film dan beralih menghadap ke gua.
”Gua tau lu nggak punya temen yang namanya ’Deby’, so what its all about?”
”Yah, kaku banget sih lu jadi cowok..”
”Nah itu lu tau kalo gua kaku, ngapa malah ninggal gua berdua sama cewek?”
”Lah.. elu nya aja yang aneh, cowok-cowok ’normal’ mah seneng kalo ada diposisi lu..”
Gua diam, membisu, kemudian mengambil sebatang rokok dari bungkusan Marlboro light yang ada disamping laptop. Gua menyulutnya dan menikmati setiap hisapan-nya sambil berbaring di atas kasur.
Apa iya gua nggak ’normal’, ah masa sih? Tapi, gua deg-deg-an kok kalau dekat dengan perempuan yang bukan muhrim dan gua masih jijik kok kalau si heru tidur deket-deket gua, but siapa juga orang yang nggak jijik tidur dipeluk-peluk heru, seorang homo sekalipun gua rasa bakal jijik, abis-abisan.
”Bon.. emang lu mau ngebujang mulu apa?”
”Yaelah, ruk.. ruk.. suatu hari nanti.. inget nih, suatu hari nanti lu bakal terbengong-bengong pas ngeliat gua bawa pacar..”
”Iye, pacar lu cowok.. bwahahahahahaha..”
”Setaaaaan!”
Setelah lelah bergelut dengan Heru, terdengar suara pesan masuk dari ponsel gua, gua melepaskan pitingan ’arm-bar’ dan bergegas mengambil ponsel, sebuah pesan dari Resti;
”Woiii... lg ap?”
Gua nggak membalasnya, hanya meletakkan kembali ponsel di atas meja dan kemudian mengusir heru yang ikut-ikutan membaca pesan tersebut, dia masih meringis memegangi lengannya. Sedetik kemudian gua sudah dalam posisi menjepit leher si heru dengan teknik ’neck crank’, heru Cuma bisa meringis sambil menepuk-nepukan telapak tangannya di lantai sebagai tanda kalau dia menyerah. Gua melepaskan lehernya, dia sedikit tersedak-sedak kemudian heru mengambil ponsel, mengetikkan sesuatu dan meletakkannya kembali. Gua yang baru menyadari kalau yang dia ambil barusan adalah ponsel gua, buru-buru menyambar ponsel tersebut, terlihat dilayarnya sebuah notifikasi; ”Delivered..”. Gua membuka ’sent item’ disitu terlihat sebuah balasan untuk pesan dari Resti isinya; ”Lg mkirin km”.
Gua kembali meletakkan ponsel di atas meja, si Heru sedang berusaha keluar dari kamar, gua mengejarnya;
”Bangsaaaaatttttt!!!”
---
Sebulan setelah kejadian kejar-kejaran antara gua dan Heru di lorong apartemen yang berakhir dengan terkilirnya kaki si Heru dan biru-biru di bagian pundak, seperti biasa siang itu gua sedang menulis saat sebuah pesan masuk ke ponsel gua, tanpa melihat-pun gua tau siapa yang mengirimnya; Resti. Sejak kejadian Heru membalas pesan dari Resti melalui ponsel gua, si Resti jadi rajin mengirimi gua pesan, entah sekedar menanyakan kabar, mengingatkan makan atau sekedar pesan yang isinya Cuma; ”woii..”, ”ahay..”,”Cihuy” bahkan; ”Heyho”, absurd, sungguh perempuan yang absurd. Padahal udah hampir dua minggu yang lalu dia balik ke Indonesia tapi tetap nggak mengurangi intensitas sms-nya, gua yang emang belum sempat menjelaskan perkara ’isi sms yang dikirim heru’ akhirnya dengan ’terpaksa’ sambil senyam-senyum kecut membalas sms-sms dari Resti.
Buat beberapa orang, mungkin mendapat ’sedikit’ perhatian dari seorang perempuan melalui sms adalah suatu yang lumrah, tapi buat gua yang bahkan dinilai sebagai laki-laki nggak ’normal’ oleh Heru, hal seperti ini adalah sesuatu yang luar biasa. Sejak kecil; gua hanya dekat dengan dua orang wanita; Nyokap dan adik gua; si Ika, selebihnya perempuan yang gua kenal paling Cuma sebatas teman sekolah, tempat gua meminjam penghapus, pensil, pulpen dan meminta kertas ulangan, begitu pun menginjak masa-masa kuliah; perempuan yang dekat dengan gua tetap dua orang yang gua sebutkan tadi; Nyokap dan Ika selebihnya Cuma perempuan-perempuan yang menghiasi hidup gua melalui lagu, film dan cerita saja. Kalo ada yang bilang gua nggak normal, sebenarnya mereka nggak sepenuhnya salah. Tapi, gua juga nggak mungkin membenarkan hal tersebut, gua yakin mereka yang berasumsi gua nggak ’normal’, heru sebagai contohnya, mengatakan hal tersebut karena ’kedinginan’ gua terhadap lawan jenis dan track record gua sebagai cowo yang belum pernah pacaran dan sampai saat ini gua berusaha mematahkan asumsi tersebut dengan cara ini; ber-sms-an dengan Resti; Fair enough, i think.
Yess, dan kalau ada yang bertanya apakah gua menyimpan perasaan terhadap Resti, tentu saja jawabannya adalah; ’Yess’ mungking seratus ’Yess’. Tapi, lagi-lagi gua selalu terbentur dengan yang namanya Logika, ya sejak kecil boleh dibilang gua ini salah satu orang yang diperbudak oleh logika, sampai-sampai mempengaruhi daya resap perasaan gua sendiri. Buat orang lain, jika mengikuti kata hati dan perasaan; mungkin nggak ada yang salah kalau ada orang seperti ’Resti’ yang tajir, cakep, almost perfect, bisa suka sama pria seperti gua. ’Kata hati’ dan ’perasaan’ gua pun berkata sama; setuju-idem. Tapi, entah kenapa Logika dan nalar gua selalu berusaha menentang-nya, berusaha membatasi ’perasaan’ dan ’kata hati’ gua agar tetap pada jalurnya, not cross the line. Selalu menghalangi ’perasaan’ dengan berbagai pernyataan-pernyataan seperti;
”Secara Logika nggak mungkin Resti suka sama gua karena dia kaya sedangkan gua nggak, dia cakep sedangkan gua nggak, dan kalaupun nanti berlanjut, orang tua dia pasti nggak bakal setuju sama gua.”
Yang pada akhirnya malah membunuh ’kata hati; dan ’perasaan gua’. Jadi pada akhirnya, gua Cuma bisa ’berhubungan’ dengan Resti dengan perantara nalar, berusaha mengelabui orang lain agar terlihat ’normal’ sambil menghibur diri sendiri yang semakin semenjana akibat membohongi diri sendiri, sementara ’perasaan’ dan ’kata hati’-gua terpenjara jauh didalam jurang hati gua yang paling dalam, dijaga oleh sesosok makhluk bernama; Logika.
Logika ini juga-lah yang membuat, menanam dan menumbuhkan pohon nalar yang membuat ’kata hati’ dan perasaan gua menjadi benalu, benalu yang siap mengganggu gua menggapai cita-cita gua.
---
Dua bulan tersisa dari waktu program beasiswa gua di Singapore. Gua dan heru mati-matian belajar buat final exam yang belum ketahuan apa bentuknya; essay kah, multiple choice kah atau interview test kah. Sementara, buat yang bertanya-tanya tentang hubungan gua sama Resti; berjalan baik-baik saja tetap seperti bulan kemarin, kemarinnya lagi, kemarinnya lagi, kemarinnya lagi, masih dalam koridor ’nalar’ dan Logika gua.
”Buset, pedes juga nih mata gua bon.. ”
Heru meletakkan pulpen menggeleng-gelengkan kepala sambil memijat bagian belakang lehernya. Gua yang berada dimeja seberangnya Cuma menjawab ”ho-oh” dengan mata masih tertuju pada layar laptop gua. Heru yang penasaran kemudian mendatangi gua, berdiri di belakang gua. Nafasnya yang terdiri dari campuran bau asap rokok, bangkai tikus dan air comberan bikin gua menyingkir.
”Anjirr.. lu abis makan apaan sih ruk? Napas lu bau got..”
”Hahaha.. Bukan napas gua yang bau, tapi mulut lu yang terlalu deket sama idung.. lah gua pikir mah dari tadi lu belajar, coy.. pantesan dari tadi anteng banget maen beginian..”
Sudah barang tentu yang dimaksud ’beginian’ oleh Heru adalah sebuah game strategi; Age Of Empire yang sejak tadi gua mainkan, sejak kami tiba di perpustakaan kampus ini.
”Lah sakti juga lu coy, udah mau Exam bukannya belajar, malah maenan..”
”Ah, belajar juga bakal apaan? Kita aja belom dikasih tau tipe examnya.. ”
”Ya tapi kan tetep lu harus belajar kali...”
”Tadi lu belajar apaan?”
”Teori dasar desain, aplikasi dan penerapannya.. tuh buku-nya..”
”Trus, misalnya lu udah belajar kayak barusan terus besok examnya dalam bentuk praktek, misalnya suruh bikin ’sketch’, rugi nggak lu?”
”Lah misalnya besok ternyata examnya dalam bentuk essay dan yang dibahas adalah teori desain?”
”Ya kalo gitu gua bakal ngasih selamet deh ke elu..”
Gua kemudian menutup laptop gua, menyalaminya kemudian pergi meninggalkan Heru, pulang.
Sebenernya hal yang gua katakan ke Heru waktu di perpustakaan juga bukanlah prinsip dasar gua dalam belajar, malah boleh dibilang hampir setiap hari gua belajar. Tapi menurut gua, dalam industri kayak ’begini’ (baca; Desain, Broadcast, Advertising, Digital Art dan kronco-kronconya yang lain) belajar teori bukanlah suatu yang mutlak perlu diterapkan, justru gua malah berhasil mendapatkan ide, sense dan feel yang tepat untuk berkarya bukanlah dari hasil membaca buku, melainkan hasil dari explorasi dari kehidupan sehari-hari. Dan ya, gua tetep belajar, tapi cara belajar gua dengan heru berbeda.
---
Gua memandang ke selebaran yang barusan dibawa pulang heru dari kampus, secarik kertas berwarna hijau yang isinya merupakan jadwal Final Exam, dan untuk masing-masing jurusan berbeda waktu dan tempatnya. Heru mendapatkan jadwal exam lebih dulu dari gua yang dapat giliran dua minggu lagi. Dan yang paling mengejutkan adalah bahwa Final Exam peserta program beasiswa diadakan secara terpisah dengan peserta reguler, pun dengan waktu dan soal ujiannya. Diskriminasi!
Heru yang sejak pulang tadi, setelah menggeletakkan begitu saja brosur yang barusan gua baca jadi kelabakan seperti lintah dikasih garam, sebentar berdiri, meletakkan pensil di daun telinganya, menunjuk-nunjuk angka di kalender, sesaat kemudian dia duduk membolak-balik modul pembelajarannya, beberapa detik berikutnya dia sudah mengetuk-ngetuk pintu kamar sebelah, sepertinya hendak meminjam catatan, kemudian kembali ke kamar sambil menggaruk-garuk rambutnya yang mulai memanjang dan terduduk kembali sambil memegangi dahi-nya.
Sementara gua berbaring di kasur, memandangi selebaran hijau tersebut seraya merajut mimpi-mimpi untuk bisa sukses di Final Exam nanti, kemudian gua dikejutkan oleh nada dering ponsel gua, gua mengeluarkannya dari saku selana jeans dan tertera nama ’Ika’ dilayarnya;
”Halo, Assamualaikum..”
”Waalaikum salam..”
Terdengan suara nyokap yang cempreng-cempreng renyah di ujung sana.
”Gimana kabar lu ni? Sehat?”
”Alhamdulilah mak, sehat.. emak, baba gimana disono sehat juga?”
”Iya, Alhamdulilah bae-bae aja.. lagi ngapain lu ni?”
”Lagi tidur-tiduran mak? Dua minggu lagi mau ujian nih...”
”Lah mau ujian, ngapa lu leyeh-leyeh aje? Belajar orang mah..”
”Iya ntar abis tidur-tiduran, trus tidur beneran, abis itu baru belajar..”
”Bener-bener ni bocah atu, susah banget dikasi tau..”
”Iya mak, iya, oni belajar kok.. kalem bae..”
”Jangan kalem-kalem aja lu.. ntar kalo kagak lulus, baru nyaho..”
”Yaah jangan doain begitu dong mak...”
”Ye makannya belajar ni... emak ama baba luh ma dari dulu, tiap solat kagak pernah lupa nyebut nama lu sama ika.. emak mah nggak pernah doain lu supaya sukses..”
”Lah?”
”...emak mah doain supaya elu selalu berlaku bener, kagak macem-macem sama diri lu sendiri dan nggak macem-macemin anak orang...”
”Oh iya mak.. tambahin mak atu doanya.. ”
”Apaan?”
”Biar enteng jodoh...”
”Iya, kalem bae.. emak doain dah.. yaudah belajar gidah sono, solat jangan ditinggal ye..”
”Iya mak.. tetep doain oni ya mak..”
”Iya, assalamualaikum..”
”Waalaikum salam..”
Gua meletakkan ponsel di dada dan melanjutkan memandangi selebaran hijau mengenai informasi Final Exam. Ponsel gua berdering lagi, ah mungkin nyokap lupa menyampaikan sesuatu, gua mengangkat ponsel dan melihat layarnya; ’Resti’. Gua menghirup nafas panjang kemudian menghembuskannya sebelum mengangkat telepon darinya;
”Haloo..”
”Haloo, bon.. Kata heru lo mau exam ya? Minggu depan? Lagi belajar?”
”Hah,..”
Gua melirik ke heru yang tengah larut dalam modul-nya dan gua melihat ponselnya tergeletak disana, masih menyisakan ’backlight’ sebelum akhirnya mati dan tombolnya terkunci otomatis. Gua mengambil bungkus rokok dan melemparnya, tepat ke arah kepalanya. Tuk!. Heru mengelus kepalanya, berpaling ke gua kemudian terkekeh, sambil berjingkat membuka pintu kamar dan bergerak keluar; ”Keluar dulu ah, ntar ganggu orang pacaran lagi”
”Hallo.. hallo.. bon..”
”Ya..”
”Ditanyain..”
”Eh.. iya, gua sih masih dua minggu lagi, si beruk yang exam minggu depan..”
”Oh.. beda?”
”Iya beda..”
”Belajar ya..”
”Pasti, tenang aja?”
”Siip, eh udah makan?”
”Belom, nanti aja mau makan daging beruk..”
”Maksudnya?”
”Nggak, nggak.. ntar mau masak nasi goreng aja..”
”Oh oke deh.. trus sekarang lagi ngapain?”
”Lagi mau belajar, udah ya res.. ntar pulsa lo abis kalo kelamaan..”
”Yaah..”
”Daaa...”
”Iya deh..”
Tut tut tut tut tut...
Gua menutup telepon dari Resti, berdiri, mengambil sapu lidi dan bergegas ke kamar sebelah. Gua tau dia pasti ada disitu, Beruk Brengsek!
---
Seminggu berikutnya, gua sedang menulis di dalam kamar saat Heru merangsek masuk dan langsung melempar tas ranselnya kemudian menjatuhkan diri diatas kasur. Lima hari sebelumnya gua sempat membaca di papan pengumuman di kampus bahwa jurusan Heru akan mengadakan Final Exam berupa membuat essay yang kemudian harus di persentasikan di depan penguji dan bakal dihadiri oleh utusan-utusan dari berbagai perusahaan kelas internasional yang bekerjasama dengan pihak penyelenggara program beasiswa untuk merekrut lulusan-lulusannya.
”Ruk...”
”Mmmm...”
Heru menyembunyikan wajahnya diantara bantal dan kasur.
”Ruk.. gimana?”
”Tau dah.. pesimis nih gua..”
”Emang ngapa dah?”
”Ya nggak apa-apa siy, gila bon.. gua persentasi didepan orang banyak, ajigile.. gugup coy..”
”Yaelah paling juga kayak pas sidang skripsi..”
”Kayak sidang skripsi mata lu..”
Heru kemudian duduk.
”Gila kali lu.. bikin Essay Cuma dikasih waktu lima hari, trus persentasi didepan puluhan orang, pada pake jas sama dasi, udah gitu selesai persentasi, ada sesi tanya jawabnya, semuanya pada nanya..gimana nggak stress tuh..”
Gua kemudian terbengong-bengong ria. Memandang kosong ke layar laptop melihat ke kumpulan tentara bizantium gua yang sedang berbaris, bersiap menyerang musuh. Gila, nasib gua apa kabar nih.
Kemudian gua berdiri, mengambil jaket dan keluar, sedikit berlari kecil menuju ke kampus. Sesampainya disana gua masuk dan langsung menuju ke tempat dimana biasanya pengumuman di tempel. Disana sudah ada beberapa orang yang berkumpul, gua mengenali salah satunya; Lisa. Mahasiswa program beasiswa dari malaysia yang juga sejurusan sama gua; broadcast.
”Lis, jadwal exam kita udah ada?”
” Saya belum lah tahu, ingin melihat tapi tak boleh”
”Nggak boleh sama siapa?”
Lisa memukul pundak gua, iya gua tau maksudnya bukan ”Tak boleh” tapi ”Nggak bisa”, sungguh bahasa yang sulit, melayu.
Gua menyeruak kerumunan, dan sadar kenapa si Lisa yang badannya Cuma sebesar upil onta ’tak boleh’ melihat pengumuman ini. Kemudian gua memandang sebuah selebaran besar ditempel dengan menutupi pengumuman-pengumuman lainnya. Memberitahukan bahwa jadwal Exam untuk Jurusan Broadcast adalah minggu depan, hari Senin dan jenis Exam-nya adalah Essay ditambah ’mini-project’ dengan banyak pilihan project yang sudah ditentukan dan disusul dengan persentasi.
Sesaat gua seperti memandang ke sebuah gurun tanpa batas, gua menghela nafas dan mulai bergerak keluar dari kerumunan.
”How is it?”
Lisa bertanya, gua mencoba menjelaskannya sebentar sambil berlalu.
---
Gua memandang materi persentasi gua untuk yang terakhir kalinya, sebelum masuk ke sebuah ruangan besar berbentuk auditorium, tempat dimana waktu itu gua datang pertama kali disini untuk mendengarkan ceramah pria bule botak yang ternyata adalah kepala program pendidikan ini. Gua mengambil ponsel dari dalam saku dan menekan angka 2, speed dial untuk nyokap gua.
”Haloo..”
”Haloo kenapa bang?”
”Emak mana?”
Suara Ika terdengar dari seberang sana, disusul teriakan samar memanggiln nyokap.
”Haloo, assalamualaikum.. kenape ni..?”
”Mak, oni mau ujian.. doain oni ya..”
”Iya emak doain biar digampangin sama Allah semua urusan lu, biar cepet rapih semua urusan lu, mudah-mudahan elu selalu di jalan yang bener ya tong..”
”Iya mak, oni siap-siap dulu deh.. Assalamualaikum”
”Waalaikumsalam..”
Beberapa saat kemudian nama gua dipanggil, gua masuk kedalam sambil tersenyum kepada para hadirin yang datang, persis seperti yang digambarkan oleh Heru minggu kemarin, ada sekitar puluhan bahkan lebih dari lima puluh orang yang berdandang ala james bond duduk berderet memenuhi tribun auditorium. Gua melangkah canggung di atas panggung yang letaknya jauh dibawah, tepat pada posisi yang sama dengan saat pria bule botak ceramah. Gua memasang kabel proyektor ke laptop dan sesaat kemudian lampu-lampu mulai redup, ruangan ini Cuma diterangi oleh cahaya dari proyektor di ujung ruangan yang tersambung ke laptop gua. Gua berdiri, menggenggam microphone dan mengetuk-ngetuknya, suara riuh dari para James Bond ini mendadak senyap yang terdengar hanya raungan prosesor dari laptop jadul gua dan nafas gua yang mulai tidak beraturan. Tangan gua mulai basah oleh keringat, gua berdehem beberapa kali sebelum memulai persentasi dan.....
30 menit berlalu, gua malah keasikan sendiri menjelaskan isi dari materi persentasi gua, mungkin para james bond ini malah tertidur saking bosannya. Dan akhirnya gua menyelesaikan satu terakhir, lampu proyektor meredup, disusul dengan lampu auditorium yang kembali terang. Gua menutup layar laptop saat suara moderator terdengar, memberitahu bahwa sekarang adalah sesi tanya jawab.
10.. 20.. 30.. 40 menit, waktu yang gua habiskan dalam menjawab berbagai jenis pertanyaan seputar konten materi persentasi gua dan beberapa pertanyaan Out Of Topic dari audience yang terpaksa gua jawab setelah mendapat anggukan dari tim penguji. Kemudian gua dipersilahkan keluar, dan ruangan kembali riuh saat gua meninggalkan auditorium tersebut.
Gua duduk di bangku panjang di luar auditorium, menghembuskan nafas panjang kemudian gua berdoa, bukan meminta agar hasil Exam gua ini bagus dan gua lulus,tapi gua Cuma minta agar Do’a emak gua dikabulkan.
---
Seminggu berikutnya, gua menerima sebuah amplop berukuran besar dengan sebuah print-out nama, jurusan dan asal negara di bagian depannya. Terpampang sebuah tulisan kapital besar ; FINAL EXAM RESULT.
Gua membuka dan mengeluarkan isinya, ada berlembar-lembar kertas, brosur, stiker bahkan sebuah pin. Gua membaca dengan seksama selembar kertas yang menuliskan hasil Exam gua, gua terduduk didalam kamar kemudian mulai terbengong-bengong..
vizardan dan 15 lainnya memberi reputasi
14
Kutip
Balas
![Accidentally In Love [True Story]](https://s.kaskus.id/images/2014/04/07/6448808_20140407033338.jpg)