- Beranda
- Stories from the Heart
Accidentally In Love [True Story]
...
TS
robotpintar
Accidentally In Love [True Story]
![Accidentally In Love [True Story]](https://s.kaskus.id/images/2014/02/14/6448808_20140214023854.png)
Spoiler for Cover:
![Accidentally In Love [True Story]](https://s.kaskus.id/images/2014/02/14/6448808_20140214024411.png)
So she said what's the problem baby
What's the problem I don't know
Well maybe I'm in love (love)
Think about it every time
I think about it
Can't stop thinking 'bout it
How much longer will it take to cure this
Just to cure it cause I can't ignore it if it's love (love)
Makes me wanna turn around and face me but I don't know nothing 'bout love
Come on, come on
Turn a little faster
Come on, come on
The world will follow after
Come on, come on
Cause everybody's after love
So I said I'm a snowball running
Running down into the spring that's coming all this love
Melting under blue skies
Belting out sunlight
Shimmering love
Well baby I surrender
To the strawberry ice cream
Never ever end of all this love
Well I didn't mean to do it
But there's no escaping your love
These lines of lightning
Mean we're never alone,
Never alone, no, no
We're accidentally in love
Accidentally in love [x7]
Accidentally I'm In Love
Spoiler for Bagian 1:
#1
Quote:
“Gila lu Bon, roti segitu banyak sayang-sayang bakal empan ikan semua!”
“Emang ngapa? Ikan jaman sekarang mah ogah makan cacing, Meng”
Gua jawab aja sekena-nya, memang niatnya gua bawa roti dari rumah buat bekal pas mancing tapi, gara-gara umpan cacing gua dari tadi nggak disentuh ikan terpaksa gua ganti dengan roti. Siapa tau mujarab.
Nggak seberapa berselang, tali pancing gua bergetar, refleks gua tarik joran sekuatnya dan mendarat dengan mulus seekor ikan yang kurang lebih seukuran telapak tangan.
“Anjritt.. dari tadi dapet sapu-sapu mulu gua!”
Sambil melepas mata kail dari mulut ikan sapu-sapu yang barusan gua angkat dan langsung gua lempar lagi kedalam kali.
Tidak berapa lama, melantun lagu “Time Like This”-nya Foo Fighter dari ponsel gua. Tertera tulisan “Rumah” dilayarnya.
“Kenapa mak?”
Karena memang cuma nyokap gua aja yang selalu telpon melalui telepon rumah. Bokap dan adik gua selalu menggunakan ponsel-nya masing-masing jika ada keperluan.
“Assalamualaikum , Mancing kagak rapi-rapi luh, nih ada kiriman surat buat elu”
“Dari siapa?”
“Kagak tau, bahasanya emak nggak ngerti”
“Simpenin dulu, nih aye udah mau pulang”
“Yaudah buruan, jangan maghriban dijalan, pamali. Assalamualaikum”
“Waalaikumsalam”
Gua kantongin lagi ponsel k-ekantong celana pendek yang sekarang udah kotor campur lumpur, sambil berteriak ke temen gua; Komeng, yang lagi berkutat dengan tali pancingnya yang kusut.
“Meng, ayo balik.. udah sore”
“Belon juga dapet sekilo, udah mau balik aje”
“Yauda elu terusin dah, gua balik duluan”
Komeng menjawab dengan sedikit gumam di bibirnya terdengar seperti “Yaelah..” sambil berjalan gontai menyusul gua.
------
Itu kejadian beberapa tahun yang lalu, dimana gua dan Komeng masih biasa mencari cacing buat umpan ikan di kebun singkong belakang rumahnya Haji Salim dan kemudian pergi memancing disepanjang pinggiran sungai Pesanggrahan, Jakarta.
Sekarang, gua sedang duduk sambil bersandar di sebuah kursi lipat di pinggir danau di daerah Leeds, Inggris. Menghabiskan hari libur akhir musim gugur dengan memancing sambil bernostalgia, mencoba membangkitkan memori tentang memancing, tentang si Komeng, tentang Jakarta, tentang rumah.
Setelah berjam-jam memancing, menghabiskan berkaleng-kaleng ‘Diet Coke’ akhirnya gua memutuskan untuk menyudahi kegiatan sialan ini. Pulang dengan membawa 6 Ekor ikan Yelowtail (di Indonesia disebut ikan patin) dan sedikit kenangan tentang ‘rumah’, gua berjalan gontai menuju tempat dimana sepeda kesayangan gua diparkir, sempat kebingungan awalnya karena sekarang ada banyak sepeda yang diparkir, padahal tadi pagi baru sepeda gua aja yang nongkrong disini, setelah celingak-celinguk akhirnya ketemu juga dan gua mulai mengayuh.
Jarak dari tempat gua biasa mancing ke tempat dimana gua tinggal di Moorland Ave, Leeds kurang lebih 3,5 mil atau kalau dalam satuan Kilometer sekitar 5,5 Km. Jarak segitu kalo disini, di Inggris bisa dibilang ‘deket’, kalau naik sepeda bisa cuma 30 menit.
Oiya, nama gua Boni. Gua lahir dan dibesarkan di Jakarta. Saat ini gua kerja dan tinggal di Leeds, Inggris sekitar 2-3 jam dari London (dengan kereta). Gua kerja sebagai Sound Designer disalah satu Agensi perfilman dan periklanan di Leeds yang juga punya kantor di London. Sudah hampir 4 tahun gua kerja dan tinggal disini, ditempat dimana nggak ada sungai dengan air berwarna cokelat keruh yang banyak ikan sapu-sapunya dan nggak ada teman yang suka menggerutu “Yaelah”.
Sambil mendengarkan “Heaven” nya Lost Lonely Boys lewat headset, gua mengayuh sepeda menuju ke rumah, pulang. Melewati jalan berpasir yang dipenuhi pohon-pohon maple di kedua sisinya menuju jalan utama. Jalan yang sangat sepi dan hening, jam menunjukkan angka 4 sore, menandakan waktu shalat maghrib, di sabtu sore seperti sekarang ini memang didaerah sini sangat sepi, kebanyakan penduduk sekitar sedang ke stadion atau pub-pub untuk menyaksikan Leeds United bertanding. Ingin buru-buru sampai di rumah, karena perut udah mulai keroncongan, gua kayuh sepeda lebih cepat. Sampai kemudian terdengar sayup-sayup suara musik yang makin lama makin nyaring, suara musik RnB yang sepertinya diputar dari dalam mobil dengan volume maksimal. Suara tersebut datang dari arah belakang dan kemudian menyusul gua, sebuah BMW silver yang melaju cepat bahkan boleh dibilang sangat cepat, sambil meninggalkan debu persis seperti mobil yang sedang Rally Dakkar.
“Orang Gila!!” gua mengumpat, masih sambil dengerin coda lagu “Heaven” nya Lost Lonely Boys. Sampai gua melihat beberapa detik kemudian lampu rem BMW tersebut menyala dan kemudian berhenti.
Deg!, “Wuanjrit, sakti juga tuh orang bisa denger suara gua” sambil berhenti dan melepas headset dari telinga. Yang ternyata setelah gua sadar, suara gua nggak sepelan pas pakai headset tadi. Gua nunggu sambil dag dig dug, kalau dia ngerti ucapan gua, dia pasti orang Indonesia dan kalo ternyata bukan gua bakal siap-siap kabur.
Pintu penumpang pun terbuka, terbuka secara paksa tepatnya, sedetik kemudian keluar seseorang dari kursi penumpang, terhuyung dan kemudian terjatuh, terdengar makian dari dalam BMW tersebut mungkin seperti “bitch” atau semacamnya dan sesaat kemudian BMW tersebut pergi, mengasapi orang yang tersungkur itu dengan debu jalanan.
Nggak mau terlalu ambil pusing, sambil bernafas lega dan bilang dalam hati; “untung bukan gua”, gua meneruskan mengayuh sepeda.
“Get up Bro, life is brutal”
gua berkata ke orang itu sambil melewatinya tetap melanjutkan mengayuh. Dan beberapa meter kemudian gua mendengar sebuah teriakan, teriakan yang (pada akhirnya) bakal merubah hidup gua.
“Woii.. Help me!, you’re Indonesian, right?”
“Tolongin gue dong…”
Gua berhenti mengayuh, turun dan bengong. Sudah hampir setahun gua nggak denger secara langsung orang bicara ke gua dengan bahasa Indonesia dan suara perempuan pula.. Lima, ah mungkin sepuluh detik kemudian baru gua memalingkan muka tapi masih tetap bengong.
“Woii..”
Akhirnya gua turun dari sepeda, kemudian menghampiri orang itu. Terduduk di depan gua sosok perempuan, hitam manis dengan kepala tertutup hood jaket hitam, celana jeans dan sepatu model boots sebetis berwarna cokelat.
“Elu nggak apa-apa?”
“Menurut Lo? Kalo gue gak apa-apa, ngapain gua teriak minta tolong elu!!”
Gua nggak menjawab, berusaha membantu dia berdiri sambil bertanya lagi bagaimana keadaannya. Sekali lagi dia mengumpat;
“Gila!, nggak punya hati banget sih lu!, ya jelas lah gue kenapa-kenapa.. nih liat!”
Sambil memperlihatkan telapak tangan dan siku-nya yang luka dan kemudian menyibak celana jeans-nya yang kotor terkena debu dan sobek di beberapa bagian akibat terlempar dari mobil tadi. Sesaat baru dia sadar kalau lutut kanannya juga luka sambil meringis kesakitan dia mencoba membersihkan luka tersebut dengan air liurnya. Sangat Indonesia sekali.
“Gua pikir tadi orang mabok yang lagi berantem, disini mah biasa begitu,mbak!”
Kemudia gua kasih satu-satunya ‘Diet Coke’ sisa memancing tadi, harusnya sih air putih tapi Cuma itu yang gua punya sekarang. Sambil menggerutu karena dikasih ‘Diet Coke’ daripada air putih, diminum juga tuh minuman soda. Kemudian gua menawarkan diri buat mengantar dia ke sebuah toko kecil di ujung jalan ini, untuk membeli plester untuk membalut luka-nya.
“Jauh nggak?”
Dia bertanya sambil menurunkan hood jaketnya dan menyibak rambutnya yang pendek seleher. Kemudian terlihat jelas sebuah luka lebam di sudut mata sebelah kiri-nya, tidak, bukan cuma satu, setidaknya ada 3 luka lebam, selain disudut matanya, satu lagi di dahi sebelah kiri dan satu lagi di sudut bibir sebelah kanan, yang terakhir tampak seperti luka yang baru karena masih meninggalkan sisa bekas darah yang membeku.
Gua nggak berani bertanya, gua hindari menatap kewajahnya sambil menjawab pertanyaa-nya bahwa tokonya nggak begitu jauh dari sini, sambil menunjuk ke arah jalan utama.
---
“Emang ngapa? Ikan jaman sekarang mah ogah makan cacing, Meng”
Gua jawab aja sekena-nya, memang niatnya gua bawa roti dari rumah buat bekal pas mancing tapi, gara-gara umpan cacing gua dari tadi nggak disentuh ikan terpaksa gua ganti dengan roti. Siapa tau mujarab.
Nggak seberapa berselang, tali pancing gua bergetar, refleks gua tarik joran sekuatnya dan mendarat dengan mulus seekor ikan yang kurang lebih seukuran telapak tangan.
“Anjritt.. dari tadi dapet sapu-sapu mulu gua!”
Sambil melepas mata kail dari mulut ikan sapu-sapu yang barusan gua angkat dan langsung gua lempar lagi kedalam kali.
Tidak berapa lama, melantun lagu “Time Like This”-nya Foo Fighter dari ponsel gua. Tertera tulisan “Rumah” dilayarnya.
“Kenapa mak?”
Karena memang cuma nyokap gua aja yang selalu telpon melalui telepon rumah. Bokap dan adik gua selalu menggunakan ponsel-nya masing-masing jika ada keperluan.
“Assalamualaikum , Mancing kagak rapi-rapi luh, nih ada kiriman surat buat elu”
“Dari siapa?”
“Kagak tau, bahasanya emak nggak ngerti”
“Simpenin dulu, nih aye udah mau pulang”
“Yaudah buruan, jangan maghriban dijalan, pamali. Assalamualaikum”
“Waalaikumsalam”
Gua kantongin lagi ponsel k-ekantong celana pendek yang sekarang udah kotor campur lumpur, sambil berteriak ke temen gua; Komeng, yang lagi berkutat dengan tali pancingnya yang kusut.
“Meng, ayo balik.. udah sore”
“Belon juga dapet sekilo, udah mau balik aje”
“Yauda elu terusin dah, gua balik duluan”
Komeng menjawab dengan sedikit gumam di bibirnya terdengar seperti “Yaelah..” sambil berjalan gontai menyusul gua.
------
Itu kejadian beberapa tahun yang lalu, dimana gua dan Komeng masih biasa mencari cacing buat umpan ikan di kebun singkong belakang rumahnya Haji Salim dan kemudian pergi memancing disepanjang pinggiran sungai Pesanggrahan, Jakarta.
Sekarang, gua sedang duduk sambil bersandar di sebuah kursi lipat di pinggir danau di daerah Leeds, Inggris. Menghabiskan hari libur akhir musim gugur dengan memancing sambil bernostalgia, mencoba membangkitkan memori tentang memancing, tentang si Komeng, tentang Jakarta, tentang rumah.
Setelah berjam-jam memancing, menghabiskan berkaleng-kaleng ‘Diet Coke’ akhirnya gua memutuskan untuk menyudahi kegiatan sialan ini. Pulang dengan membawa 6 Ekor ikan Yelowtail (di Indonesia disebut ikan patin) dan sedikit kenangan tentang ‘rumah’, gua berjalan gontai menuju tempat dimana sepeda kesayangan gua diparkir, sempat kebingungan awalnya karena sekarang ada banyak sepeda yang diparkir, padahal tadi pagi baru sepeda gua aja yang nongkrong disini, setelah celingak-celinguk akhirnya ketemu juga dan gua mulai mengayuh.
Jarak dari tempat gua biasa mancing ke tempat dimana gua tinggal di Moorland Ave, Leeds kurang lebih 3,5 mil atau kalau dalam satuan Kilometer sekitar 5,5 Km. Jarak segitu kalo disini, di Inggris bisa dibilang ‘deket’, kalau naik sepeda bisa cuma 30 menit.
Oiya, nama gua Boni. Gua lahir dan dibesarkan di Jakarta. Saat ini gua kerja dan tinggal di Leeds, Inggris sekitar 2-3 jam dari London (dengan kereta). Gua kerja sebagai Sound Designer disalah satu Agensi perfilman dan periklanan di Leeds yang juga punya kantor di London. Sudah hampir 4 tahun gua kerja dan tinggal disini, ditempat dimana nggak ada sungai dengan air berwarna cokelat keruh yang banyak ikan sapu-sapunya dan nggak ada teman yang suka menggerutu “Yaelah”.
Sambil mendengarkan “Heaven” nya Lost Lonely Boys lewat headset, gua mengayuh sepeda menuju ke rumah, pulang. Melewati jalan berpasir yang dipenuhi pohon-pohon maple di kedua sisinya menuju jalan utama. Jalan yang sangat sepi dan hening, jam menunjukkan angka 4 sore, menandakan waktu shalat maghrib, di sabtu sore seperti sekarang ini memang didaerah sini sangat sepi, kebanyakan penduduk sekitar sedang ke stadion atau pub-pub untuk menyaksikan Leeds United bertanding. Ingin buru-buru sampai di rumah, karena perut udah mulai keroncongan, gua kayuh sepeda lebih cepat. Sampai kemudian terdengar sayup-sayup suara musik yang makin lama makin nyaring, suara musik RnB yang sepertinya diputar dari dalam mobil dengan volume maksimal. Suara tersebut datang dari arah belakang dan kemudian menyusul gua, sebuah BMW silver yang melaju cepat bahkan boleh dibilang sangat cepat, sambil meninggalkan debu persis seperti mobil yang sedang Rally Dakkar.
“Orang Gila!!” gua mengumpat, masih sambil dengerin coda lagu “Heaven” nya Lost Lonely Boys. Sampai gua melihat beberapa detik kemudian lampu rem BMW tersebut menyala dan kemudian berhenti.
Deg!, “Wuanjrit, sakti juga tuh orang bisa denger suara gua” sambil berhenti dan melepas headset dari telinga. Yang ternyata setelah gua sadar, suara gua nggak sepelan pas pakai headset tadi. Gua nunggu sambil dag dig dug, kalau dia ngerti ucapan gua, dia pasti orang Indonesia dan kalo ternyata bukan gua bakal siap-siap kabur.
Pintu penumpang pun terbuka, terbuka secara paksa tepatnya, sedetik kemudian keluar seseorang dari kursi penumpang, terhuyung dan kemudian terjatuh, terdengar makian dari dalam BMW tersebut mungkin seperti “bitch” atau semacamnya dan sesaat kemudian BMW tersebut pergi, mengasapi orang yang tersungkur itu dengan debu jalanan.
Nggak mau terlalu ambil pusing, sambil bernafas lega dan bilang dalam hati; “untung bukan gua”, gua meneruskan mengayuh sepeda.
“Get up Bro, life is brutal”
gua berkata ke orang itu sambil melewatinya tetap melanjutkan mengayuh. Dan beberapa meter kemudian gua mendengar sebuah teriakan, teriakan yang (pada akhirnya) bakal merubah hidup gua.
“Woii.. Help me!, you’re Indonesian, right?”
“Tolongin gue dong…”
Gua berhenti mengayuh, turun dan bengong. Sudah hampir setahun gua nggak denger secara langsung orang bicara ke gua dengan bahasa Indonesia dan suara perempuan pula.. Lima, ah mungkin sepuluh detik kemudian baru gua memalingkan muka tapi masih tetap bengong.
“Woii..”
Akhirnya gua turun dari sepeda, kemudian menghampiri orang itu. Terduduk di depan gua sosok perempuan, hitam manis dengan kepala tertutup hood jaket hitam, celana jeans dan sepatu model boots sebetis berwarna cokelat.
“Elu nggak apa-apa?”
“Menurut Lo? Kalo gue gak apa-apa, ngapain gua teriak minta tolong elu!!”
Gua nggak menjawab, berusaha membantu dia berdiri sambil bertanya lagi bagaimana keadaannya. Sekali lagi dia mengumpat;
“Gila!, nggak punya hati banget sih lu!, ya jelas lah gue kenapa-kenapa.. nih liat!”
Sambil memperlihatkan telapak tangan dan siku-nya yang luka dan kemudian menyibak celana jeans-nya yang kotor terkena debu dan sobek di beberapa bagian akibat terlempar dari mobil tadi. Sesaat baru dia sadar kalau lutut kanannya juga luka sambil meringis kesakitan dia mencoba membersihkan luka tersebut dengan air liurnya. Sangat Indonesia sekali.
“Gua pikir tadi orang mabok yang lagi berantem, disini mah biasa begitu,mbak!”
Kemudia gua kasih satu-satunya ‘Diet Coke’ sisa memancing tadi, harusnya sih air putih tapi Cuma itu yang gua punya sekarang. Sambil menggerutu karena dikasih ‘Diet Coke’ daripada air putih, diminum juga tuh minuman soda. Kemudian gua menawarkan diri buat mengantar dia ke sebuah toko kecil di ujung jalan ini, untuk membeli plester untuk membalut luka-nya.
“Jauh nggak?”
Dia bertanya sambil menurunkan hood jaketnya dan menyibak rambutnya yang pendek seleher. Kemudian terlihat jelas sebuah luka lebam di sudut mata sebelah kiri-nya, tidak, bukan cuma satu, setidaknya ada 3 luka lebam, selain disudut matanya, satu lagi di dahi sebelah kiri dan satu lagi di sudut bibir sebelah kanan, yang terakhir tampak seperti luka yang baru karena masih meninggalkan sisa bekas darah yang membeku.
Gua nggak berani bertanya, gua hindari menatap kewajahnya sambil menjawab pertanyaa-nya bahwa tokonya nggak begitu jauh dari sini, sambil menunjuk ke arah jalan utama.
---
DAFTAR ISI
Quote:
CHAPTER 1
#1 The Beginning
#2 Truly Gentlemen
#3 Place Called Home
#4 The Morning Fever
#5 A Miserable Story
#6 Night Rain
#7 Inside My Head
#8 That Day
#9 Be Tough
#10 Mukena
#1 The Beginning
#2 Truly Gentlemen
#3 Place Called Home
#4 The Morning Fever
#5 A Miserable Story
#6 Night Rain
#7 Inside My Head
#8 That Day
#9 Be Tough
#10 Mukena
Quote:
CHAPTER 2
#11-A Trip To Manchester
#11-B The Swiss Army
#12 Here's and Back Again
#13 I Miss You So Bad
#14 Going Mad
#15 Promise
#16 You’ll Be The Only Light I See
#17 The Winter Tears
#18 She's Gone
#19 That Memories
#11-A Trip To Manchester
#11-B The Swiss Army
#12 Here's and Back Again
#13 I Miss You So Bad
#14 Going Mad
#15 Promise
#16 You’ll Be The Only Light I See
#17 The Winter Tears
#18 She's Gone
#19 That Memories
Quote:
CHAPTER 3
[URL="http://www.kaskus.co.id/show_post/530ff7e41acb17030d8b48f1/479/- "]#19-A The Hood[/URL]
#19-B Heres And Back Again II
#19-C Weak
#19-D Surrender
#19-E The Choice
#19-F Anything For You
#19-G Chelsea Number 8
#19-H Its not always about gold and glory
#19-I Aku
#19-J The Words
#19-K The Persian Cat
#19-L You Really The Only Light I See
#19-M So Be It
#19-N Less Than Perfect
#20 That Day II
[URL="http://www.kaskus.co.id/show_post/530ff7e41acb17030d8b48f1/479/- "]#19-A The Hood[/URL]
#19-B Heres And Back Again II
#19-C Weak
#19-D Surrender
#19-E The Choice
#19-F Anything For You
#19-G Chelsea Number 8
#19-H Its not always about gold and glory
#19-I Aku
#19-J The Words
#19-K The Persian Cat
#19-L You Really The Only Light I See
#19-M So Be It
#19-N Less Than Perfect
#20 That Day II
Quote:
CHAPTER 4 The Prekuel
#21 The Prologue
#22 My Precious
#23 Ticket to Ride
#24 Singapore
#25 Dreams
#26 The Awkward Moment
#27 Logic
#28 Driver In Life
#29 The Risk Taker
#30 Sorry
#31 Rise Again
#32 Goodbye
#21 The Prologue
#22 My Precious
#23 Ticket to Ride
#24 Singapore
#25 Dreams
#26 The Awkward Moment
#27 Logic
#28 Driver In Life
#29 The Risk Taker
#30 Sorry
#31 Rise Again
#32 Goodbye
Quote:
CHAPTER 5!!
#33 London
#34 Unwell
#35 I Was Here
#36 Leeds
#37 New Home, New Life
#38 Alone
#39 Intermezo
#40 Goin' Trough
#41 At Glance
#42 The Past of The Future
#33 London
#34 Unwell
#35 I Was Here
#36 Leeds
#37 New Home, New Life
#38 Alone
#39 Intermezo
#40 Goin' Trough
#41 At Glance
#42 The Past of The Future
Quote:
CHAPTER 6
#43 My First ...
#44 If Lovin' You ...
#45 Goin' Back
#46 Leeds II
#47 I Love You (Jealousy)
#48 After All
#49 Hell Yeah
#50 Conflict
#51 Liar-Liar
#52 Memories
#43 My First ...
#44 If Lovin' You ...
#45 Goin' Back
#46 Leeds II
#47 I Love You (Jealousy)
#48 After All
#49 Hell Yeah
#50 Conflict
#51 Liar-Liar
#52 Memories
Quote:
Quote:
Diubah oleh robotpintar 10-04-2014 08:46
namakuag dan 119 lainnya memberi reputasi
118
1.3M
Kutip
2.3K
Balasan
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#1023
Spoiler for Bagian ke dua puluh enam:
#26 The Awkward Moment
Quote:
Berlembar-lembar halaman gua cari, akhirnya mata gua tertuju pada sebuah tulisan yang membahas tentang bagaimana cara mendapat kerja di eropa dan amerika. Gua mengambil notes kecil kemudian mulai mencatat dan sejak malam itu gua menghapus semua impian-impian lawas yang ada di benak gua dan menggantinya dengan sebuah impian baru ”Working Overseas”
Gua menyobek sebuah kertas dari notes, menulis sesuatu diatasnya kemudian menempelnya ditembok, dihadapan meja tempat biasa gua dan heru makan.
Gua menguap lebar, walau pikiran ini memaksa untuk tidak berpaling dari modul yang masih gua baca, tapi tubuh ini sepertinya sudah tidak dapat berkompromi lagi, gua menjatuhkan diri di lantai dengan alas karpet permadani berwarna merah dan dua menit kemudian gua pun sudah berada di alam mimpi, tertidur.
---
Jam menunjukkan pukul 9 pagi saat heru menendang-nendang kaki gua, gua menggeliat dan membuka mata, terlihat heru sedang meniup cangkir berwarna putih dihadapannya. Gua bangun dan duduk disebelahnya;
”Apaan tuh ruk?”
”Obat!”
”Coba nyobain dikit..”
”Ah najis ah, cuci muka, gosok gigi sono..”
Heru berusaha melindungi cangkir kopi dengan tangannya. Gua kemudian beranjak ke kamar mandi.
”Bon.. ini apaan?”
”Apanya yang apaan?”
Gua menjawab setengah berteriak dari dalam kamar mandi, nggak seberapa lama gua keluar dari kamar mandi, si Heru sedang menatap catatan yang semalam gua buat dan ditempel di tembok.
”Ini apaan?”
Heru bertanya lagi, kali ini sambil menunjuk ke catatan kecil tersebut.
”Oh.. catetan..”
”Iya gua tau ini catetan, buat apaan...”
”Buat reminder aja..”
”IELTS.., lu mau ke Inggris?”
”Iya..”
”Begaya luh, emang bisa?”
”Tau nih ruk, masih mikir-mikir juga sih..”
”Ah elu ngikut-ngikut gua aja..”
”Ya sedapetnya aja sih, ruk.. gua sih maunya ke Inggris tapi misalnya nanti dapetnya ke US ya, nggak masalah..”
”Kalo lu dapetnya di sini, di-singapore gimana?”
”Ya nggak masalah juga sih...”
”Cemen lu bon.. punya cita-cita kok mencla-mencle gitu..”
”Yang pentingkan diluar negeri, ruk..”
”Jangan gitu dong.. udah ayo kita sama-sama setting cita-cita ke Inggris aja gimana?”
”Hmmm...”
Gua bergumam kemudian berdiri dan memandang ke jendela di luar;
”Gaji-nya gede nggak sih ruk kerja di sana?”
”Ya tergantung juga sih, tapi kalo dibandingin sama di singapore apalagi Indo, ya jauh dah..jangan mikirin gaji dulu orang mah, yang penting pengalamannya ”
”Ya kan gua pengen naekin haji bokap-nyokap, ruk.. ”
”Hahaha.. kalo lu udah kerja disono, trus jadi profesional, gaji lu sebulan mungkin bisa naekin haji orang sekampung...”
”Hahahahaha.. lebayy..”
Kemudian gua duduk di depan laptop sambil mengeringkan rambut dengan handuk, hari ini hari minggu, si Heru udah gatal mengajak gua untuk jalan-jalan ke luar, sedangkan gua lebih memilih untuk membuat tulisan baru buat dikirim ke David. Gua udah mulai ketagihan dapet fee-nya.
---
Saat tengah asik menulis, ponsel gua berdering. Sebuah pesan masuk, gua membacanya;
”Woi, jangan molor aja.. jalan yuk?”
Gua meletakkan ponsel dan terus menulis, mengabaikan pesan dari Resti yang baru saja masuk ke ponsel gua. Nggak lama berselang ponel gua berdering lagi, kali ini bukan nada untuk pesan masuk, melainkan lantunan nada ’Time like These’-nya Foo Fighters, gua mengambil ponsel, sebelum mengangkatnya gua melihat nama ’Resti’ di layarnya.
”Hallo..”
”Woi... sombong banget, sms nggak dibales.. jalan-jalan yuk?”
”Wah, lagi nulis nih res.. besok-besok deh..”
”Ah, besok-besok mah gue udah balik kalii.”
”Hmm... yaudah deh, lu dimana?”
”Di depan apartemen lo?”
”Hah? Didepan? ”
”Iya..”
”Kok elu tau?”
”Tau dong, udah buruan..”
Kemudian terdengar bunyi ’tut-tut-tut’, gua meletakkan ponsel dan menutup layar laptop. Sambil mengenakan celana jeans belel dan jaket consina, gua terus berfikir bagimana caranya si Resti bisa sampai tau apartemen tempat tinggal gua. Gua menutup pintu, menguncinya dan meletakkan kuncinya di bawah pot disamping pintu, hal yang biasa gua atau heru lakukan karena memang kami nggak punya dan nggak pernah berniat menggunakan kunci duplikat. Kemudian gua turun melewati tangga, di lobi luar apartment gua melihat sosok resti sedang berbincang dengan seorang pria, gua mencoba mendekat dan terlihat sosok yang akhirnya menjawab pertanyaan gua; kenapa Resti bisa tau tempat gua?.
”Lah, beruuk... gua kira lu udah pergi daritadi?”
”Emang, janjian sama resti trus balik kemari, jemput elu.. abisnya elu kalo nggak digituin, nggak mau keluar, bertapa aja dikamar..”
”Emang mau kemana sih?”
Gua bertanya sambil memalingkan mata ke arah Resti, dia kali ini menggunakan rok denim biru muda, sepatu boots hitam selutut dan sebuah jaket berbahan kulit dan gua yakin semuanya barang mahal.
”Boon, sekarang hari minggu kali,.. sekali-sekali manjain diri nggak dosa kok..”
Resti berbicara ke gua sambil kemudian berlalu meninggalkan kami berdua, gua dan heru saling pandang kemudian mengikutinya.
Lama kami mengikuti Resti berjalan, dibelakangnya sesekali heru menyeggol pundak gua, sambil berkata;
”Udah tembak.. tembak”
”Pala lu sini gua tembak.. ngomong aja lu..”
Kemudian kami berdua tertawa terkekeh-kekeh membuat si Resti berhenti, menengok ke belakang dan menghardik kami berdua;
”Elu berdua pada ngomongin gua ya?”
”Hahahaha.. nggak res, Pede banget siy lu...”
Gua menjawab sambil tetap tertawa.
”Apa jangan-jangan lu ngeliatan pant*t gue?”
”Iya tuh si Boni dari tadi ngeliatin bok*ng lu res.. hahaha..”
Heru berkata sambil lari ke depan, mencoba menghindari pukulan Resti yang sepertinya rona wajahnya sudah mulai berubah, merah. Kemudian masih memasang tampang cemberut dia menatap ke gua, gua yang nggak biasa diliatin cewe (apalagi cakep) mencoba membuang muka, kemudian mengambil posisi di sampingnya;
”Iya nih gua jalan disamping elu deh, biar nggak bisa ngeliat pant*t lu..”
Resti Cuma diam, sambil menonjok lengan kiri gua dia melanjutkan berjalan.
Heru berjalan sekitar dua meter didepan gua dan resti, sesekali dia menoleh ke belakang kemudian cekikikan dan gua tau kenapa dia cekikikan. Heru tengah melakukan proses per-comblangan antara kami.
Nggak berapa lama, heru menghentikan langkahnya didepan sebuah kedai dengan kanopi berwarna hijau, bertuliskan Sundae Ice Cream di bagian kaca-nya yang berukuran besar. Dia membuka pintu dan masuk kedalamnya kemudian disusul oleh Resti yang membuka pintu sambil memandang ke gua;
”Ayo, ngapain bengong aja..”
Gua bergegas masuk menyusul mereka berdua, dalam hati gua bertanya-tanya; Jajan ditempat begini, dinegara orang, kira-kira bawa duit 10 SGD cukup apa nggak ya, sambil merogoh kantong belakang celana jeans gua dan menyadari kalau gua nggak membawa dompet dan Cuma mengantongi dua lembar 5 SGD.
Heru dan Resti duduk di kursi tinggi menghadap ke meja panjang yang melingkar, bentuknya seperti meja bar yang biasa ada di hotel-hotel bintang lima. Gua berjalan menyusul mereka, meliuk-liukan tubuh melewati kursi dan meja-meja bundar yang saling berhimpitan, kemudian duduk dikursi tinggi disebelah Heru.
”Ruk, gua Cuma bawa duit 10 SGD nih...”
”Gancil, ntar gua pinjemin..”
”Sip dah..”
Resti memesan sebuah menu, kemudian menyenggol Heru yang sedang asik memandangi pelayan kafe yan mengenakan rok span mini, dia memandang ke atas, ke sebuah papan dengan berbagai daftar menu yang kebanyakan terdiri dari bahan Ice Cream dan memilih salah satu menu; ’Banana Split’. Setelah memilih, heru, resti dan seorang pelayan yang berada di sisi bagian dalam meja bar memandang ke arah gua, gua balas memandang heru yang tengah asik memandangi pelayan dengan rok mini tadi, kemudian gua menyebutkan; ’Banana Split’.
Nggak lama berselang, pesanan kami pun datang. Si heru, bagai orang kalap langsung ’membantai’ banana splitnya tanpa sisa, kemudian dia berdiri, mengambil ponsel dari saku celananya dan melihat ke layarnya;
”Wah, si Deby.. ngapain nih anak, nyariin gua?”
Heru berbicara sendiri, sambil tetap memandang ke arah layar ponselnya. Kemudian dia mendekatkan wajahnya ke telinga, tangannya mengepalkan sesuatu ke tangan gua dan membisikkan; ”Ntar abis bulan, lu kudu ganti, ditambah bunganya 10%”.
”Gua cabut dulu ya res, bon.. si deby udah nunggu nih..”
Kemudian heru langsung ngeloyor pergi meninggalkan kami berdua. Gua membuka genggaman tangan dan melihat selembar pecahan 100 SGD lecek yang tadi diberikan Heru.
”Gua yakin, yakin banget Heru nggak punya temen atau kenalan yang namanya ’Deby’, setan nih anak..” Gua membatin dalam hati.
Sepuluh menit sudah setelah Heru pergi meninggalkan gua, dan selama sepuluh menit itu juga gua dan resti duduk dalam diam.
Gua duduk disebelah seorang perempuan yang juga tengah larut dalam diamnya, sambil menikmati Ice Cream cokelat-vanilla yang sudah mulai melumer. Gua bingung, seumur-umur gua belum pernah berada di posisi seperti ini, the awkward moment, very awkward moment in my whole life. Sampai akhirnya Resti kemudian membuka suara;
”Bon...”
”Ya..”
”Kok diem aja?”
”Hahaha iya, masa suru joget-joget..”
”Hehehe nggak joget juga kali, maksudnya ngomong apa gitu..”
”Ngomong apa?”
”Ya terserah..”
Kemudian kami kembali terdiam.
Lima menit berikutnya kembali si Resti membuka suaranya;
”Bon..”
”Ya..”
”Gimana tulisan lo?”
”Tulisan gua? Nggak gimana-gimana..”
”Trus tawaran gua gimana? Tentang tulisan bola?”
”Oh.. itu.. belom kepikiran sama sekali res.. masih nge-blank..”
”Owh.. yaudah..”
Kemudian kami kembali terdiam (lagi).
Sepuluh menit kemudian (lagi-lagi) Resti membuka suaranya setelah terdiam;
”Balik yuk bon, bete gue..”
”Hah, balik..?”
”Iya, ngapain juga kita disini kalo juma diem-dieman aja..”
”Oh yaudah, ayo..”
Akhirnya kami berdua melangkahkan kaki keluar dari kafe tersebut dan mulai berjalan menyusuri jalan Upper Cross St menuju ke Apartemen gua di Telok Ayer dan lagi-lagi kami berjalan dalam diam.
Setelah lebig dari lima menit kami berjalan, akhirnya gua memutuskan untuk memulai obrolan, sebuah topik yang sudah gua pertimbangkan sejal keluar dari kafe lima menit yang lalu;
”Res, lu nginep dimana?”
”Horeee.. akhirnya boni nanya juga...”
”Lah..”
”Gue nginep dirumah adiknya bokap..”
”Oh.. Om lu dong?”
”Ho oh..”
”Dia tinggal disini?”
”Iya..”
Kemudian gua kembali terdiam, kehabisan topik pembicaraan.
”Kok diem lagi?”
”Ga papa..”
”Nanya lagi dong..”
”Ah elu aja deh yang nanya..”
”Dih kok gitu..”
”Tau nih res, gua kalo Cuma berdua doang sama cewek suka gugup..”
”Yaelah nyantai aja kali.. waktu itu pas dari kampus gua naek motor berdua sama elu, nyantai aja kan..”
”Iya ya.. kok sekarang beda ya..”
”Mungkin elo ada rasa kali sama gue..”
”Bisa jadi.. eh..”
Gua buru-buru menutup mulut dengan tangan, Resti Cuma cengar-cengir aja sambil memandang ke arah gua. Gua nggak tau harus bagaimana, Cuma celingak-celinguk nggak jelas kemudian meneruskan berjalan sambil menundukkan kepala.
”Sorry, res.. gua nggak maksud...”
”Hahahahaha.. nyantai aja lagi boon..”
Resti memotong omongan gua sambil tertawa.
”Maksudnya tuh gini... kita kan belom lama kenal..”
”Bon, bon...”
Resti kembali memotong omongan gua.
”Elo tuh nggak pernah deket sama cewek ya, bon?”
Gua Cuma menggeleng, sambil mengelap keringat dingin yang mulai mengalir di dahi gua.
”Sama sekali?”
Gua mengangguk.
”Ooo.. pantesan.. kaku banget..sama cewe..”
”Bon...”
”Ya..”
”Sama gue santai aja nggak usah canggung..”
”Gua nggak canggung, Cuma gugup..”
”Sama aja dodol.. kenapa sih..?”
”Ya nggak apa-apa, Cuma nggak biasa aja..”
”Ya nggak biasa-nya tuh gara-gara apa?”
”Nggak apa-apa..”
Akhirnya obrolan kami harus dihentikan, nggak terasa gua sudah tiba didepan apartemen;
”Aneh ya? Kok mau-maunya gua jemput terus nganter lo..”
Resti bicara sambil menunjuk-nunjuk ke kepalanya. Gua Cuma tersenyum, kemudian masuk ke dalam, melambaikan tangan, menaiki tangga dan berjalan didalam lorong menuju ke kamar, sambil mengutuki diri gua sendiri. ”bodoh!!..”
Gua menyobek sebuah kertas dari notes, menulis sesuatu diatasnya kemudian menempelnya ditembok, dihadapan meja tempat biasa gua dan heru makan.
Gua menguap lebar, walau pikiran ini memaksa untuk tidak berpaling dari modul yang masih gua baca, tapi tubuh ini sepertinya sudah tidak dapat berkompromi lagi, gua menjatuhkan diri di lantai dengan alas karpet permadani berwarna merah dan dua menit kemudian gua pun sudah berada di alam mimpi, tertidur.
---
Jam menunjukkan pukul 9 pagi saat heru menendang-nendang kaki gua, gua menggeliat dan membuka mata, terlihat heru sedang meniup cangkir berwarna putih dihadapannya. Gua bangun dan duduk disebelahnya;
”Apaan tuh ruk?”
”Obat!”
”Coba nyobain dikit..”
”Ah najis ah, cuci muka, gosok gigi sono..”
Heru berusaha melindungi cangkir kopi dengan tangannya. Gua kemudian beranjak ke kamar mandi.
”Bon.. ini apaan?”
”Apanya yang apaan?”
Gua menjawab setengah berteriak dari dalam kamar mandi, nggak seberapa lama gua keluar dari kamar mandi, si Heru sedang menatap catatan yang semalam gua buat dan ditempel di tembok.
”Ini apaan?”
Heru bertanya lagi, kali ini sambil menunjuk ke catatan kecil tersebut.
”Oh.. catetan..”
”Iya gua tau ini catetan, buat apaan...”
”Buat reminder aja..”
”IELTS.., lu mau ke Inggris?”
”Iya..”
”Begaya luh, emang bisa?”
”Tau nih ruk, masih mikir-mikir juga sih..”
”Ah elu ngikut-ngikut gua aja..”
”Ya sedapetnya aja sih, ruk.. gua sih maunya ke Inggris tapi misalnya nanti dapetnya ke US ya, nggak masalah..”
”Kalo lu dapetnya di sini, di-singapore gimana?”
”Ya nggak masalah juga sih...”
”Cemen lu bon.. punya cita-cita kok mencla-mencle gitu..”
”Yang pentingkan diluar negeri, ruk..”
”Jangan gitu dong.. udah ayo kita sama-sama setting cita-cita ke Inggris aja gimana?”
”Hmmm...”
Gua bergumam kemudian berdiri dan memandang ke jendela di luar;
”Gaji-nya gede nggak sih ruk kerja di sana?”
”Ya tergantung juga sih, tapi kalo dibandingin sama di singapore apalagi Indo, ya jauh dah..jangan mikirin gaji dulu orang mah, yang penting pengalamannya ”
”Ya kan gua pengen naekin haji bokap-nyokap, ruk.. ”
”Hahaha.. kalo lu udah kerja disono, trus jadi profesional, gaji lu sebulan mungkin bisa naekin haji orang sekampung...”
”Hahahahaha.. lebayy..”
Kemudian gua duduk di depan laptop sambil mengeringkan rambut dengan handuk, hari ini hari minggu, si Heru udah gatal mengajak gua untuk jalan-jalan ke luar, sedangkan gua lebih memilih untuk membuat tulisan baru buat dikirim ke David. Gua udah mulai ketagihan dapet fee-nya.
---
Saat tengah asik menulis, ponsel gua berdering. Sebuah pesan masuk, gua membacanya;
”Woi, jangan molor aja.. jalan yuk?”
Gua meletakkan ponsel dan terus menulis, mengabaikan pesan dari Resti yang baru saja masuk ke ponsel gua. Nggak lama berselang ponel gua berdering lagi, kali ini bukan nada untuk pesan masuk, melainkan lantunan nada ’Time like These’-nya Foo Fighters, gua mengambil ponsel, sebelum mengangkatnya gua melihat nama ’Resti’ di layarnya.
”Hallo..”
”Woi... sombong banget, sms nggak dibales.. jalan-jalan yuk?”
”Wah, lagi nulis nih res.. besok-besok deh..”
”Ah, besok-besok mah gue udah balik kalii.”
”Hmm... yaudah deh, lu dimana?”
”Di depan apartemen lo?”
”Hah? Didepan? ”
”Iya..”
”Kok elu tau?”
”Tau dong, udah buruan..”
Kemudian terdengar bunyi ’tut-tut-tut’, gua meletakkan ponsel dan menutup layar laptop. Sambil mengenakan celana jeans belel dan jaket consina, gua terus berfikir bagimana caranya si Resti bisa sampai tau apartemen tempat tinggal gua. Gua menutup pintu, menguncinya dan meletakkan kuncinya di bawah pot disamping pintu, hal yang biasa gua atau heru lakukan karena memang kami nggak punya dan nggak pernah berniat menggunakan kunci duplikat. Kemudian gua turun melewati tangga, di lobi luar apartment gua melihat sosok resti sedang berbincang dengan seorang pria, gua mencoba mendekat dan terlihat sosok yang akhirnya menjawab pertanyaan gua; kenapa Resti bisa tau tempat gua?.
”Lah, beruuk... gua kira lu udah pergi daritadi?”
”Emang, janjian sama resti trus balik kemari, jemput elu.. abisnya elu kalo nggak digituin, nggak mau keluar, bertapa aja dikamar..”
”Emang mau kemana sih?”
Gua bertanya sambil memalingkan mata ke arah Resti, dia kali ini menggunakan rok denim biru muda, sepatu boots hitam selutut dan sebuah jaket berbahan kulit dan gua yakin semuanya barang mahal.
”Boon, sekarang hari minggu kali,.. sekali-sekali manjain diri nggak dosa kok..”
Resti berbicara ke gua sambil kemudian berlalu meninggalkan kami berdua, gua dan heru saling pandang kemudian mengikutinya.
Lama kami mengikuti Resti berjalan, dibelakangnya sesekali heru menyeggol pundak gua, sambil berkata;
”Udah tembak.. tembak”
”Pala lu sini gua tembak.. ngomong aja lu..”
Kemudian kami berdua tertawa terkekeh-kekeh membuat si Resti berhenti, menengok ke belakang dan menghardik kami berdua;
”Elu berdua pada ngomongin gua ya?”
”Hahahaha.. nggak res, Pede banget siy lu...”
Gua menjawab sambil tetap tertawa.
”Apa jangan-jangan lu ngeliatan pant*t gue?”
”Iya tuh si Boni dari tadi ngeliatin bok*ng lu res.. hahaha..”
Heru berkata sambil lari ke depan, mencoba menghindari pukulan Resti yang sepertinya rona wajahnya sudah mulai berubah, merah. Kemudian masih memasang tampang cemberut dia menatap ke gua, gua yang nggak biasa diliatin cewe (apalagi cakep) mencoba membuang muka, kemudian mengambil posisi di sampingnya;
”Iya nih gua jalan disamping elu deh, biar nggak bisa ngeliat pant*t lu..”
Resti Cuma diam, sambil menonjok lengan kiri gua dia melanjutkan berjalan.
Heru berjalan sekitar dua meter didepan gua dan resti, sesekali dia menoleh ke belakang kemudian cekikikan dan gua tau kenapa dia cekikikan. Heru tengah melakukan proses per-comblangan antara kami.
Nggak berapa lama, heru menghentikan langkahnya didepan sebuah kedai dengan kanopi berwarna hijau, bertuliskan Sundae Ice Cream di bagian kaca-nya yang berukuran besar. Dia membuka pintu dan masuk kedalamnya kemudian disusul oleh Resti yang membuka pintu sambil memandang ke gua;
”Ayo, ngapain bengong aja..”
Gua bergegas masuk menyusul mereka berdua, dalam hati gua bertanya-tanya; Jajan ditempat begini, dinegara orang, kira-kira bawa duit 10 SGD cukup apa nggak ya, sambil merogoh kantong belakang celana jeans gua dan menyadari kalau gua nggak membawa dompet dan Cuma mengantongi dua lembar 5 SGD.
Heru dan Resti duduk di kursi tinggi menghadap ke meja panjang yang melingkar, bentuknya seperti meja bar yang biasa ada di hotel-hotel bintang lima. Gua berjalan menyusul mereka, meliuk-liukan tubuh melewati kursi dan meja-meja bundar yang saling berhimpitan, kemudian duduk dikursi tinggi disebelah Heru.
”Ruk, gua Cuma bawa duit 10 SGD nih...”
”Gancil, ntar gua pinjemin..”
”Sip dah..”
Resti memesan sebuah menu, kemudian menyenggol Heru yang sedang asik memandangi pelayan kafe yan mengenakan rok span mini, dia memandang ke atas, ke sebuah papan dengan berbagai daftar menu yang kebanyakan terdiri dari bahan Ice Cream dan memilih salah satu menu; ’Banana Split’. Setelah memilih, heru, resti dan seorang pelayan yang berada di sisi bagian dalam meja bar memandang ke arah gua, gua balas memandang heru yang tengah asik memandangi pelayan dengan rok mini tadi, kemudian gua menyebutkan; ’Banana Split’.
Nggak lama berselang, pesanan kami pun datang. Si heru, bagai orang kalap langsung ’membantai’ banana splitnya tanpa sisa, kemudian dia berdiri, mengambil ponsel dari saku celananya dan melihat ke layarnya;
”Wah, si Deby.. ngapain nih anak, nyariin gua?”
Heru berbicara sendiri, sambil tetap memandang ke arah layar ponselnya. Kemudian dia mendekatkan wajahnya ke telinga, tangannya mengepalkan sesuatu ke tangan gua dan membisikkan; ”Ntar abis bulan, lu kudu ganti, ditambah bunganya 10%”.
”Gua cabut dulu ya res, bon.. si deby udah nunggu nih..”
Kemudian heru langsung ngeloyor pergi meninggalkan kami berdua. Gua membuka genggaman tangan dan melihat selembar pecahan 100 SGD lecek yang tadi diberikan Heru.
”Gua yakin, yakin banget Heru nggak punya temen atau kenalan yang namanya ’Deby’, setan nih anak..” Gua membatin dalam hati.
Sepuluh menit sudah setelah Heru pergi meninggalkan gua, dan selama sepuluh menit itu juga gua dan resti duduk dalam diam.
Gua duduk disebelah seorang perempuan yang juga tengah larut dalam diamnya, sambil menikmati Ice Cream cokelat-vanilla yang sudah mulai melumer. Gua bingung, seumur-umur gua belum pernah berada di posisi seperti ini, the awkward moment, very awkward moment in my whole life. Sampai akhirnya Resti kemudian membuka suara;
”Bon...”
”Ya..”
”Kok diem aja?”
”Hahaha iya, masa suru joget-joget..”
”Hehehe nggak joget juga kali, maksudnya ngomong apa gitu..”
”Ngomong apa?”
”Ya terserah..”
Kemudian kami kembali terdiam.
Lima menit berikutnya kembali si Resti membuka suaranya;
”Bon..”
”Ya..”
”Gimana tulisan lo?”
”Tulisan gua? Nggak gimana-gimana..”
”Trus tawaran gua gimana? Tentang tulisan bola?”
”Oh.. itu.. belom kepikiran sama sekali res.. masih nge-blank..”
”Owh.. yaudah..”
Kemudian kami kembali terdiam (lagi).
Sepuluh menit kemudian (lagi-lagi) Resti membuka suaranya setelah terdiam;
”Balik yuk bon, bete gue..”
”Hah, balik..?”
”Iya, ngapain juga kita disini kalo juma diem-dieman aja..”
”Oh yaudah, ayo..”
Akhirnya kami berdua melangkahkan kaki keluar dari kafe tersebut dan mulai berjalan menyusuri jalan Upper Cross St menuju ke Apartemen gua di Telok Ayer dan lagi-lagi kami berjalan dalam diam.
Setelah lebig dari lima menit kami berjalan, akhirnya gua memutuskan untuk memulai obrolan, sebuah topik yang sudah gua pertimbangkan sejal keluar dari kafe lima menit yang lalu;
”Res, lu nginep dimana?”
”Horeee.. akhirnya boni nanya juga...”
”Lah..”
”Gue nginep dirumah adiknya bokap..”
”Oh.. Om lu dong?”
”Ho oh..”
”Dia tinggal disini?”
”Iya..”
Kemudian gua kembali terdiam, kehabisan topik pembicaraan.
”Kok diem lagi?”
”Ga papa..”
”Nanya lagi dong..”
”Ah elu aja deh yang nanya..”
”Dih kok gitu..”
”Tau nih res, gua kalo Cuma berdua doang sama cewek suka gugup..”
”Yaelah nyantai aja kali.. waktu itu pas dari kampus gua naek motor berdua sama elu, nyantai aja kan..”
”Iya ya.. kok sekarang beda ya..”
”Mungkin elo ada rasa kali sama gue..”
”Bisa jadi.. eh..”
Gua buru-buru menutup mulut dengan tangan, Resti Cuma cengar-cengir aja sambil memandang ke arah gua. Gua nggak tau harus bagaimana, Cuma celingak-celinguk nggak jelas kemudian meneruskan berjalan sambil menundukkan kepala.
”Sorry, res.. gua nggak maksud...”
”Hahahahaha.. nyantai aja lagi boon..”
Resti memotong omongan gua sambil tertawa.
”Maksudnya tuh gini... kita kan belom lama kenal..”
”Bon, bon...”
Resti kembali memotong omongan gua.
”Elo tuh nggak pernah deket sama cewek ya, bon?”
Gua Cuma menggeleng, sambil mengelap keringat dingin yang mulai mengalir di dahi gua.
”Sama sekali?”
Gua mengangguk.
”Ooo.. pantesan.. kaku banget..sama cewe..”
”Bon...”
”Ya..”
”Sama gue santai aja nggak usah canggung..”
”Gua nggak canggung, Cuma gugup..”
”Sama aja dodol.. kenapa sih..?”
”Ya nggak apa-apa, Cuma nggak biasa aja..”
”Ya nggak biasa-nya tuh gara-gara apa?”
”Nggak apa-apa..”
Akhirnya obrolan kami harus dihentikan, nggak terasa gua sudah tiba didepan apartemen;
”Aneh ya? Kok mau-maunya gua jemput terus nganter lo..”
Resti bicara sambil menunjuk-nunjuk ke kepalanya. Gua Cuma tersenyum, kemudian masuk ke dalam, melambaikan tangan, menaiki tangga dan berjalan didalam lorong menuju ke kamar, sambil mengutuki diri gua sendiri. ”bodoh!!..”
vizardan dan 18 lainnya memberi reputasi
19
Kutip
Balas
![Accidentally In Love [True Story]](https://s.kaskus.id/images/2014/04/07/6448808_20140407033338.jpg)