- Beranda
- Stories from the Heart
Accidentally In Love [True Story]
...
TS
robotpintar
Accidentally In Love [True Story]
![Accidentally In Love [True Story]](https://s.kaskus.id/images/2014/02/14/6448808_20140214023854.png)
Spoiler for Cover:
![Accidentally In Love [True Story]](https://s.kaskus.id/images/2014/02/14/6448808_20140214024411.png)
So she said what's the problem baby
What's the problem I don't know
Well maybe I'm in love (love)
Think about it every time
I think about it
Can't stop thinking 'bout it
How much longer will it take to cure this
Just to cure it cause I can't ignore it if it's love (love)
Makes me wanna turn around and face me but I don't know nothing 'bout love
Come on, come on
Turn a little faster
Come on, come on
The world will follow after
Come on, come on
Cause everybody's after love
So I said I'm a snowball running
Running down into the spring that's coming all this love
Melting under blue skies
Belting out sunlight
Shimmering love
Well baby I surrender
To the strawberry ice cream
Never ever end of all this love
Well I didn't mean to do it
But there's no escaping your love
These lines of lightning
Mean we're never alone,
Never alone, no, no
We're accidentally in love
Accidentally in love [x7]
Accidentally I'm In Love
Spoiler for Bagian 1:
#1
Quote:
“Gila lu Bon, roti segitu banyak sayang-sayang bakal empan ikan semua!”
“Emang ngapa? Ikan jaman sekarang mah ogah makan cacing, Meng”
Gua jawab aja sekena-nya, memang niatnya gua bawa roti dari rumah buat bekal pas mancing tapi, gara-gara umpan cacing gua dari tadi nggak disentuh ikan terpaksa gua ganti dengan roti. Siapa tau mujarab.
Nggak seberapa berselang, tali pancing gua bergetar, refleks gua tarik joran sekuatnya dan mendarat dengan mulus seekor ikan yang kurang lebih seukuran telapak tangan.
“Anjritt.. dari tadi dapet sapu-sapu mulu gua!”
Sambil melepas mata kail dari mulut ikan sapu-sapu yang barusan gua angkat dan langsung gua lempar lagi kedalam kali.
Tidak berapa lama, melantun lagu “Time Like This”-nya Foo Fighter dari ponsel gua. Tertera tulisan “Rumah” dilayarnya.
“Kenapa mak?”
Karena memang cuma nyokap gua aja yang selalu telpon melalui telepon rumah. Bokap dan adik gua selalu menggunakan ponsel-nya masing-masing jika ada keperluan.
“Assalamualaikum , Mancing kagak rapi-rapi luh, nih ada kiriman surat buat elu”
“Dari siapa?”
“Kagak tau, bahasanya emak nggak ngerti”
“Simpenin dulu, nih aye udah mau pulang”
“Yaudah buruan, jangan maghriban dijalan, pamali. Assalamualaikum”
“Waalaikumsalam”
Gua kantongin lagi ponsel k-ekantong celana pendek yang sekarang udah kotor campur lumpur, sambil berteriak ke temen gua; Komeng, yang lagi berkutat dengan tali pancingnya yang kusut.
“Meng, ayo balik.. udah sore”
“Belon juga dapet sekilo, udah mau balik aje”
“Yauda elu terusin dah, gua balik duluan”
Komeng menjawab dengan sedikit gumam di bibirnya terdengar seperti “Yaelah..” sambil berjalan gontai menyusul gua.
------
Itu kejadian beberapa tahun yang lalu, dimana gua dan Komeng masih biasa mencari cacing buat umpan ikan di kebun singkong belakang rumahnya Haji Salim dan kemudian pergi memancing disepanjang pinggiran sungai Pesanggrahan, Jakarta.
Sekarang, gua sedang duduk sambil bersandar di sebuah kursi lipat di pinggir danau di daerah Leeds, Inggris. Menghabiskan hari libur akhir musim gugur dengan memancing sambil bernostalgia, mencoba membangkitkan memori tentang memancing, tentang si Komeng, tentang Jakarta, tentang rumah.
Setelah berjam-jam memancing, menghabiskan berkaleng-kaleng ‘Diet Coke’ akhirnya gua memutuskan untuk menyudahi kegiatan sialan ini. Pulang dengan membawa 6 Ekor ikan Yelowtail (di Indonesia disebut ikan patin) dan sedikit kenangan tentang ‘rumah’, gua berjalan gontai menuju tempat dimana sepeda kesayangan gua diparkir, sempat kebingungan awalnya karena sekarang ada banyak sepeda yang diparkir, padahal tadi pagi baru sepeda gua aja yang nongkrong disini, setelah celingak-celinguk akhirnya ketemu juga dan gua mulai mengayuh.
Jarak dari tempat gua biasa mancing ke tempat dimana gua tinggal di Moorland Ave, Leeds kurang lebih 3,5 mil atau kalau dalam satuan Kilometer sekitar 5,5 Km. Jarak segitu kalo disini, di Inggris bisa dibilang ‘deket’, kalau naik sepeda bisa cuma 30 menit.
Oiya, nama gua Boni. Gua lahir dan dibesarkan di Jakarta. Saat ini gua kerja dan tinggal di Leeds, Inggris sekitar 2-3 jam dari London (dengan kereta). Gua kerja sebagai Sound Designer disalah satu Agensi perfilman dan periklanan di Leeds yang juga punya kantor di London. Sudah hampir 4 tahun gua kerja dan tinggal disini, ditempat dimana nggak ada sungai dengan air berwarna cokelat keruh yang banyak ikan sapu-sapunya dan nggak ada teman yang suka menggerutu “Yaelah”.
Sambil mendengarkan “Heaven” nya Lost Lonely Boys lewat headset, gua mengayuh sepeda menuju ke rumah, pulang. Melewati jalan berpasir yang dipenuhi pohon-pohon maple di kedua sisinya menuju jalan utama. Jalan yang sangat sepi dan hening, jam menunjukkan angka 4 sore, menandakan waktu shalat maghrib, di sabtu sore seperti sekarang ini memang didaerah sini sangat sepi, kebanyakan penduduk sekitar sedang ke stadion atau pub-pub untuk menyaksikan Leeds United bertanding. Ingin buru-buru sampai di rumah, karena perut udah mulai keroncongan, gua kayuh sepeda lebih cepat. Sampai kemudian terdengar sayup-sayup suara musik yang makin lama makin nyaring, suara musik RnB yang sepertinya diputar dari dalam mobil dengan volume maksimal. Suara tersebut datang dari arah belakang dan kemudian menyusul gua, sebuah BMW silver yang melaju cepat bahkan boleh dibilang sangat cepat, sambil meninggalkan debu persis seperti mobil yang sedang Rally Dakkar.
“Orang Gila!!” gua mengumpat, masih sambil dengerin coda lagu “Heaven” nya Lost Lonely Boys. Sampai gua melihat beberapa detik kemudian lampu rem BMW tersebut menyala dan kemudian berhenti.
Deg!, “Wuanjrit, sakti juga tuh orang bisa denger suara gua” sambil berhenti dan melepas headset dari telinga. Yang ternyata setelah gua sadar, suara gua nggak sepelan pas pakai headset tadi. Gua nunggu sambil dag dig dug, kalau dia ngerti ucapan gua, dia pasti orang Indonesia dan kalo ternyata bukan gua bakal siap-siap kabur.
Pintu penumpang pun terbuka, terbuka secara paksa tepatnya, sedetik kemudian keluar seseorang dari kursi penumpang, terhuyung dan kemudian terjatuh, terdengar makian dari dalam BMW tersebut mungkin seperti “bitch” atau semacamnya dan sesaat kemudian BMW tersebut pergi, mengasapi orang yang tersungkur itu dengan debu jalanan.
Nggak mau terlalu ambil pusing, sambil bernafas lega dan bilang dalam hati; “untung bukan gua”, gua meneruskan mengayuh sepeda.
“Get up Bro, life is brutal”
gua berkata ke orang itu sambil melewatinya tetap melanjutkan mengayuh. Dan beberapa meter kemudian gua mendengar sebuah teriakan, teriakan yang (pada akhirnya) bakal merubah hidup gua.
“Woii.. Help me!, you’re Indonesian, right?”
“Tolongin gue dong…”
Gua berhenti mengayuh, turun dan bengong. Sudah hampir setahun gua nggak denger secara langsung orang bicara ke gua dengan bahasa Indonesia dan suara perempuan pula.. Lima, ah mungkin sepuluh detik kemudian baru gua memalingkan muka tapi masih tetap bengong.
“Woii..”
Akhirnya gua turun dari sepeda, kemudian menghampiri orang itu. Terduduk di depan gua sosok perempuan, hitam manis dengan kepala tertutup hood jaket hitam, celana jeans dan sepatu model boots sebetis berwarna cokelat.
“Elu nggak apa-apa?”
“Menurut Lo? Kalo gue gak apa-apa, ngapain gua teriak minta tolong elu!!”
Gua nggak menjawab, berusaha membantu dia berdiri sambil bertanya lagi bagaimana keadaannya. Sekali lagi dia mengumpat;
“Gila!, nggak punya hati banget sih lu!, ya jelas lah gue kenapa-kenapa.. nih liat!”
Sambil memperlihatkan telapak tangan dan siku-nya yang luka dan kemudian menyibak celana jeans-nya yang kotor terkena debu dan sobek di beberapa bagian akibat terlempar dari mobil tadi. Sesaat baru dia sadar kalau lutut kanannya juga luka sambil meringis kesakitan dia mencoba membersihkan luka tersebut dengan air liurnya. Sangat Indonesia sekali.
“Gua pikir tadi orang mabok yang lagi berantem, disini mah biasa begitu,mbak!”
Kemudia gua kasih satu-satunya ‘Diet Coke’ sisa memancing tadi, harusnya sih air putih tapi Cuma itu yang gua punya sekarang. Sambil menggerutu karena dikasih ‘Diet Coke’ daripada air putih, diminum juga tuh minuman soda. Kemudian gua menawarkan diri buat mengantar dia ke sebuah toko kecil di ujung jalan ini, untuk membeli plester untuk membalut luka-nya.
“Jauh nggak?”
Dia bertanya sambil menurunkan hood jaketnya dan menyibak rambutnya yang pendek seleher. Kemudian terlihat jelas sebuah luka lebam di sudut mata sebelah kiri-nya, tidak, bukan cuma satu, setidaknya ada 3 luka lebam, selain disudut matanya, satu lagi di dahi sebelah kiri dan satu lagi di sudut bibir sebelah kanan, yang terakhir tampak seperti luka yang baru karena masih meninggalkan sisa bekas darah yang membeku.
Gua nggak berani bertanya, gua hindari menatap kewajahnya sambil menjawab pertanyaa-nya bahwa tokonya nggak begitu jauh dari sini, sambil menunjuk ke arah jalan utama.
---
“Emang ngapa? Ikan jaman sekarang mah ogah makan cacing, Meng”
Gua jawab aja sekena-nya, memang niatnya gua bawa roti dari rumah buat bekal pas mancing tapi, gara-gara umpan cacing gua dari tadi nggak disentuh ikan terpaksa gua ganti dengan roti. Siapa tau mujarab.
Nggak seberapa berselang, tali pancing gua bergetar, refleks gua tarik joran sekuatnya dan mendarat dengan mulus seekor ikan yang kurang lebih seukuran telapak tangan.
“Anjritt.. dari tadi dapet sapu-sapu mulu gua!”
Sambil melepas mata kail dari mulut ikan sapu-sapu yang barusan gua angkat dan langsung gua lempar lagi kedalam kali.
Tidak berapa lama, melantun lagu “Time Like This”-nya Foo Fighter dari ponsel gua. Tertera tulisan “Rumah” dilayarnya.
“Kenapa mak?”
Karena memang cuma nyokap gua aja yang selalu telpon melalui telepon rumah. Bokap dan adik gua selalu menggunakan ponsel-nya masing-masing jika ada keperluan.
“Assalamualaikum , Mancing kagak rapi-rapi luh, nih ada kiriman surat buat elu”
“Dari siapa?”
“Kagak tau, bahasanya emak nggak ngerti”
“Simpenin dulu, nih aye udah mau pulang”
“Yaudah buruan, jangan maghriban dijalan, pamali. Assalamualaikum”
“Waalaikumsalam”
Gua kantongin lagi ponsel k-ekantong celana pendek yang sekarang udah kotor campur lumpur, sambil berteriak ke temen gua; Komeng, yang lagi berkutat dengan tali pancingnya yang kusut.
“Meng, ayo balik.. udah sore”
“Belon juga dapet sekilo, udah mau balik aje”
“Yauda elu terusin dah, gua balik duluan”
Komeng menjawab dengan sedikit gumam di bibirnya terdengar seperti “Yaelah..” sambil berjalan gontai menyusul gua.
------
Itu kejadian beberapa tahun yang lalu, dimana gua dan Komeng masih biasa mencari cacing buat umpan ikan di kebun singkong belakang rumahnya Haji Salim dan kemudian pergi memancing disepanjang pinggiran sungai Pesanggrahan, Jakarta.
Sekarang, gua sedang duduk sambil bersandar di sebuah kursi lipat di pinggir danau di daerah Leeds, Inggris. Menghabiskan hari libur akhir musim gugur dengan memancing sambil bernostalgia, mencoba membangkitkan memori tentang memancing, tentang si Komeng, tentang Jakarta, tentang rumah.
Setelah berjam-jam memancing, menghabiskan berkaleng-kaleng ‘Diet Coke’ akhirnya gua memutuskan untuk menyudahi kegiatan sialan ini. Pulang dengan membawa 6 Ekor ikan Yelowtail (di Indonesia disebut ikan patin) dan sedikit kenangan tentang ‘rumah’, gua berjalan gontai menuju tempat dimana sepeda kesayangan gua diparkir, sempat kebingungan awalnya karena sekarang ada banyak sepeda yang diparkir, padahal tadi pagi baru sepeda gua aja yang nongkrong disini, setelah celingak-celinguk akhirnya ketemu juga dan gua mulai mengayuh.
Jarak dari tempat gua biasa mancing ke tempat dimana gua tinggal di Moorland Ave, Leeds kurang lebih 3,5 mil atau kalau dalam satuan Kilometer sekitar 5,5 Km. Jarak segitu kalo disini, di Inggris bisa dibilang ‘deket’, kalau naik sepeda bisa cuma 30 menit.
Oiya, nama gua Boni. Gua lahir dan dibesarkan di Jakarta. Saat ini gua kerja dan tinggal di Leeds, Inggris sekitar 2-3 jam dari London (dengan kereta). Gua kerja sebagai Sound Designer disalah satu Agensi perfilman dan periklanan di Leeds yang juga punya kantor di London. Sudah hampir 4 tahun gua kerja dan tinggal disini, ditempat dimana nggak ada sungai dengan air berwarna cokelat keruh yang banyak ikan sapu-sapunya dan nggak ada teman yang suka menggerutu “Yaelah”.
Sambil mendengarkan “Heaven” nya Lost Lonely Boys lewat headset, gua mengayuh sepeda menuju ke rumah, pulang. Melewati jalan berpasir yang dipenuhi pohon-pohon maple di kedua sisinya menuju jalan utama. Jalan yang sangat sepi dan hening, jam menunjukkan angka 4 sore, menandakan waktu shalat maghrib, di sabtu sore seperti sekarang ini memang didaerah sini sangat sepi, kebanyakan penduduk sekitar sedang ke stadion atau pub-pub untuk menyaksikan Leeds United bertanding. Ingin buru-buru sampai di rumah, karena perut udah mulai keroncongan, gua kayuh sepeda lebih cepat. Sampai kemudian terdengar sayup-sayup suara musik yang makin lama makin nyaring, suara musik RnB yang sepertinya diputar dari dalam mobil dengan volume maksimal. Suara tersebut datang dari arah belakang dan kemudian menyusul gua, sebuah BMW silver yang melaju cepat bahkan boleh dibilang sangat cepat, sambil meninggalkan debu persis seperti mobil yang sedang Rally Dakkar.
“Orang Gila!!” gua mengumpat, masih sambil dengerin coda lagu “Heaven” nya Lost Lonely Boys. Sampai gua melihat beberapa detik kemudian lampu rem BMW tersebut menyala dan kemudian berhenti.
Deg!, “Wuanjrit, sakti juga tuh orang bisa denger suara gua” sambil berhenti dan melepas headset dari telinga. Yang ternyata setelah gua sadar, suara gua nggak sepelan pas pakai headset tadi. Gua nunggu sambil dag dig dug, kalau dia ngerti ucapan gua, dia pasti orang Indonesia dan kalo ternyata bukan gua bakal siap-siap kabur.
Pintu penumpang pun terbuka, terbuka secara paksa tepatnya, sedetik kemudian keluar seseorang dari kursi penumpang, terhuyung dan kemudian terjatuh, terdengar makian dari dalam BMW tersebut mungkin seperti “bitch” atau semacamnya dan sesaat kemudian BMW tersebut pergi, mengasapi orang yang tersungkur itu dengan debu jalanan.
Nggak mau terlalu ambil pusing, sambil bernafas lega dan bilang dalam hati; “untung bukan gua”, gua meneruskan mengayuh sepeda.
“Get up Bro, life is brutal”
gua berkata ke orang itu sambil melewatinya tetap melanjutkan mengayuh. Dan beberapa meter kemudian gua mendengar sebuah teriakan, teriakan yang (pada akhirnya) bakal merubah hidup gua.
“Woii.. Help me!, you’re Indonesian, right?”
“Tolongin gue dong…”
Gua berhenti mengayuh, turun dan bengong. Sudah hampir setahun gua nggak denger secara langsung orang bicara ke gua dengan bahasa Indonesia dan suara perempuan pula.. Lima, ah mungkin sepuluh detik kemudian baru gua memalingkan muka tapi masih tetap bengong.
“Woii..”
Akhirnya gua turun dari sepeda, kemudian menghampiri orang itu. Terduduk di depan gua sosok perempuan, hitam manis dengan kepala tertutup hood jaket hitam, celana jeans dan sepatu model boots sebetis berwarna cokelat.
“Elu nggak apa-apa?”
“Menurut Lo? Kalo gue gak apa-apa, ngapain gua teriak minta tolong elu!!”
Gua nggak menjawab, berusaha membantu dia berdiri sambil bertanya lagi bagaimana keadaannya. Sekali lagi dia mengumpat;
“Gila!, nggak punya hati banget sih lu!, ya jelas lah gue kenapa-kenapa.. nih liat!”
Sambil memperlihatkan telapak tangan dan siku-nya yang luka dan kemudian menyibak celana jeans-nya yang kotor terkena debu dan sobek di beberapa bagian akibat terlempar dari mobil tadi. Sesaat baru dia sadar kalau lutut kanannya juga luka sambil meringis kesakitan dia mencoba membersihkan luka tersebut dengan air liurnya. Sangat Indonesia sekali.
“Gua pikir tadi orang mabok yang lagi berantem, disini mah biasa begitu,mbak!”
Kemudia gua kasih satu-satunya ‘Diet Coke’ sisa memancing tadi, harusnya sih air putih tapi Cuma itu yang gua punya sekarang. Sambil menggerutu karena dikasih ‘Diet Coke’ daripada air putih, diminum juga tuh minuman soda. Kemudian gua menawarkan diri buat mengantar dia ke sebuah toko kecil di ujung jalan ini, untuk membeli plester untuk membalut luka-nya.
“Jauh nggak?”
Dia bertanya sambil menurunkan hood jaketnya dan menyibak rambutnya yang pendek seleher. Kemudian terlihat jelas sebuah luka lebam di sudut mata sebelah kiri-nya, tidak, bukan cuma satu, setidaknya ada 3 luka lebam, selain disudut matanya, satu lagi di dahi sebelah kiri dan satu lagi di sudut bibir sebelah kanan, yang terakhir tampak seperti luka yang baru karena masih meninggalkan sisa bekas darah yang membeku.
Gua nggak berani bertanya, gua hindari menatap kewajahnya sambil menjawab pertanyaa-nya bahwa tokonya nggak begitu jauh dari sini, sambil menunjuk ke arah jalan utama.
---
DAFTAR ISI
Quote:
CHAPTER 1
#1 The Beginning
#2 Truly Gentlemen
#3 Place Called Home
#4 The Morning Fever
#5 A Miserable Story
#6 Night Rain
#7 Inside My Head
#8 That Day
#9 Be Tough
#10 Mukena
#1 The Beginning
#2 Truly Gentlemen
#3 Place Called Home
#4 The Morning Fever
#5 A Miserable Story
#6 Night Rain
#7 Inside My Head
#8 That Day
#9 Be Tough
#10 Mukena
Quote:
CHAPTER 2
#11-A Trip To Manchester
#11-B The Swiss Army
#12 Here's and Back Again
#13 I Miss You So Bad
#14 Going Mad
#15 Promise
#16 You’ll Be The Only Light I See
#17 The Winter Tears
#18 She's Gone
#19 That Memories
#11-A Trip To Manchester
#11-B The Swiss Army
#12 Here's and Back Again
#13 I Miss You So Bad
#14 Going Mad
#15 Promise
#16 You’ll Be The Only Light I See
#17 The Winter Tears
#18 She's Gone
#19 That Memories
Quote:
CHAPTER 3
[URL="http://www.kaskus.co.id/show_post/530ff7e41acb17030d8b48f1/479/- "]#19-A The Hood[/URL]
#19-B Heres And Back Again II
#19-C Weak
#19-D Surrender
#19-E The Choice
#19-F Anything For You
#19-G Chelsea Number 8
#19-H Its not always about gold and glory
#19-I Aku
#19-J The Words
#19-K The Persian Cat
#19-L You Really The Only Light I See
#19-M So Be It
#19-N Less Than Perfect
#20 That Day II
[URL="http://www.kaskus.co.id/show_post/530ff7e41acb17030d8b48f1/479/- "]#19-A The Hood[/URL]
#19-B Heres And Back Again II
#19-C Weak
#19-D Surrender
#19-E The Choice
#19-F Anything For You
#19-G Chelsea Number 8
#19-H Its not always about gold and glory
#19-I Aku
#19-J The Words
#19-K The Persian Cat
#19-L You Really The Only Light I See
#19-M So Be It
#19-N Less Than Perfect
#20 That Day II
Quote:
CHAPTER 4 The Prekuel
#21 The Prologue
#22 My Precious
#23 Ticket to Ride
#24 Singapore
#25 Dreams
#26 The Awkward Moment
#27 Logic
#28 Driver In Life
#29 The Risk Taker
#30 Sorry
#31 Rise Again
#32 Goodbye
#21 The Prologue
#22 My Precious
#23 Ticket to Ride
#24 Singapore
#25 Dreams
#26 The Awkward Moment
#27 Logic
#28 Driver In Life
#29 The Risk Taker
#30 Sorry
#31 Rise Again
#32 Goodbye
Quote:
CHAPTER 5!!
#33 London
#34 Unwell
#35 I Was Here
#36 Leeds
#37 New Home, New Life
#38 Alone
#39 Intermezo
#40 Goin' Trough
#41 At Glance
#42 The Past of The Future
#33 London
#34 Unwell
#35 I Was Here
#36 Leeds
#37 New Home, New Life
#38 Alone
#39 Intermezo
#40 Goin' Trough
#41 At Glance
#42 The Past of The Future
Quote:
CHAPTER 6
#43 My First ...
#44 If Lovin' You ...
#45 Goin' Back
#46 Leeds II
#47 I Love You (Jealousy)
#48 After All
#49 Hell Yeah
#50 Conflict
#51 Liar-Liar
#52 Memories
#43 My First ...
#44 If Lovin' You ...
#45 Goin' Back
#46 Leeds II
#47 I Love You (Jealousy)
#48 After All
#49 Hell Yeah
#50 Conflict
#51 Liar-Liar
#52 Memories
Quote:
Quote:
Diubah oleh robotpintar 10-04-2014 08:46
namakuag dan 119 lainnya memberi reputasi
118
1.3M
Kutip
2.3K
Balasan
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#1008
Spoiler for bagian ke dua puluh lima:
#25 Dreams
Quote:
Dan kali ini gua terpaksa menghisap rokok putih ’cemen’ ini. Gue mangambil sebatang, menyulutnya,menghisapnya dalam-dalam dan menghembuskannya saat pandangan mata gua tertuju ke sebuah perempuan yang tengah berbincang disebuah meja; Resti. Ngapain nih orang disini?
”Res.. Res.. Resti..”
Gua mengangkat tangan, melambaikannya sambil memanggil-manggil perempuan tersebut.
Resti yang tengah asik mengobrol, menengok sebentar kemudian melanjutkan obrolannya lagi namun beberapa saat berikutnya dia kembali menengok dan tersenyum lebar sambil membalas lambaian tangan gua kemudian berpamitan kepada teman-temannya dan berjalan menuju ke meja tempat dimana gua duduk.
”Woiii.. bonii...”
”Restii..”
”Apa kabar lo?”
”Baik.. baik.., elu kok ada disini?”
Gua bertanya sambil mengarahkan jari telunjuk gua ke arah lantai sambil memandang perempuan cantik berkulit putih, temen sekampus yang baru gua kenal justru di akhir masa kuliah, dia mengenakan kaus hijau dengan motif tentara, celana denim biru muda, dibalut dengan sebuah cardigan hitam dan rambut yang dikuncir kuda.
”Bukannya elu nggak lolos tes?”
”Yee.. emang yang dapet beasiswa doang yang boleh kesini?”
Resti menarik sebuah kursi dan hendak duduk sambil menunjuk ke dua gelas minuman laknat yang tadi dipesan Heru;
”Eh elo lagi nge-date ya?”
”Oh Nggak.. nggak, gua lagi sama heru.. elu masih inget heru kan?”
”Heru.. heru..?”
”Heru, itu yang waktu itu se-grup sama kita pas tes..”
”Oh Heru, gund*r ya?”
”Iya..”
”Orangnya kemana?”
”Tuh..”
Gua menunjuk heru yang sedang berjalan ke arah kami sambil membawa dua buah mangkok melamin putih kecil.
Heru yang kemudian tiba di meja kami terlihat sama kaget-nya dengan gua saat bertemu Resti. Dia meletakkan dua mangkok melamin putih di meja dan menunjuk ke arah resti;
”Elu..?”
”Resti, yang waktu itu se-grup sama kita pas tes..”
Gua menjawab pertanyaan yang bahkan belum diucapkan oleh heru.
”Oh iya... iya.. elu kok disini res?”
Heru bertanya sambil duduk dan mengambil sebungkus Marlboro light, menyobeknya, mengambil sebatang dan menghisapnya.
”Elo berdua pada aneh deh.. emang lu pikir orang Indonesia yang disini Cuma yang dapet beasiswa aja apa?”
”Ha ha ha ha.. ya maka dari itu kan tadi gua nanya, ngapain elu disini?”
Gua kembali menggelontorkan pertanyaan yang tadi belum sempat dijawab oleh resti sambil tetep mencoba menatap ke wajahnya.
”Iya, gue lagi liburan..”
Resti menjelaskan, disambut seruan ”Ooo” dari kami berdua.
”Berarti elu tajir abis-abisan dong ya?”
Gua bertanya lagi ke resti, karena menurut pendapat gua pada waktu itu; Cuma orang-orang yang berduit luebih yang bisa plesiran ke negara orang. Orang-orang kelas dhuafa kayak gua ini, untuk liburan ke Singapore merupakan hal yang mewah dan boleh dibilang sesuatu yang mustahil. Boro-boro untuk liburan ke Singapore, membayangkan liburan ke Bali-pun gua anggap sudah melanggar norma dan ujung-ujungnya malah berteriak-teriak di wahana-wahana yang ada di Dunia Fantasi.
”Ah biasa aja kali.. emang Cuma orang tajir doang yang bisa liburan ke sini?”
”Menurut gua sih iya..”
Gua menjawab, kemudian disusul heru yang menambahkan;
”Iya, gua liburan ke ragunan aja jarang apalagi ke singapore..”
”But, you were here..”
”Iya sih, tapi gara-gara beasiswa..”
”Hahahahaha...”
”Gua malah nggak sekalipun bermimpi bisa sampe disini.”
”Iya sama, gua juga..”
”Ya kan sekarang kalian udah ada disini, tempat yang sama sekali nggak pernah kalian duga sebelumnya.. jadi nggak ada salahnya dong kalo kalian sekarang punya standar cita-cita yang lebih tinggi.., misalnya nerusin beasiswa kalian ke US atau ke Ausie..”
”Ah, gila lu res.. buat gua, bisa sampe disini aja udah cukup ah.. nggak sanggup gua jauh-jauh dari rumah..”
Gua berkata ke Resti sambil menyeruput sekoteng yang tadi dibeli heru, sekoteng nya terasa hambar, nggak seperti sekoteng yang ada di Indonesia, yang ini terasa ’adem’.
”Eh lu mau minum nggak?”
Gua menawarkan resti, memandangnya sekilas, cantik juga nih anak kemudian segera memalingkan wajah ke arah mangkok sektueng setelah sepertinya dia menyadari gua menatapnya.
”Ru, mintain apa kek tuh bakal si resti..”
”Vodka mau res? Nih si Boni nggak doyan minuman ginian..”
Si heru menyodorkan gelas vodka jatahnya ke hadapan resti.
Resti menggapai gelas tersebut, mengangkatnya dan mulai meminumnya, Habis! Gua memandang ke resti, antara takjub, heran dan kaget. Kemudian dalam hati bergumam; kok bisa perempuan kayak gini, mengkonsumsi minuman laknat ini.
”Selesai dari sini trus lo mau kemana, bon?”
Setelah menyelesaikan tegukan terakhirnya dia bertanya ke gua.
”Ya paling balik ke Indo, tapi kalo dapet link dari pihak kampus, pasti gua ambil..”
”Kalo elo, ru?”
”Ah kalo bisa gua mau ke Inggris, nyari kerja disana sambil nerusin S2..”
”Emang elu kata gampang, nyari kerja di sono.. beruk..?”
Gua bertanya sambil meledek heru kemudian melemparnya dengan lintingan kertas bekas sobekan bungkus rokok.
”Yee.. emang lu nggak dapet modul ’Career Development’ yang tempo hari dibagiin di kampus?”
”Dapet..”
”Lu baca?”
”Kagak..”
”Makanya baca duuul..”
Heru balas melempar gua dengan jeruk nipis yang menempel di sisi gelas.
”Hahaha nggak sempet gua, ru.. sibuk..”
”Makanya jangan kejar setoran mulu, nulis ampe begadang-begadang..”
”Elu udah nulis tesis, bon?”
Resti bertanya, kemudian mengeluarkan bungkusan rokok dengan merk yang sama dengan punya gua tapi motifnya berwarna hijau, mengeluarkannya sebatang dan menghisapnya.
”Oh nggak, bukan tesis.. Cuma artikel-artikel doang buat dimajalah..”
”Wah enak tuh bisa jadi sampingan..”
”Hahaha, ya lumayan buat jajan..”
”Buat majalah?”
”Iya, majalah ’prov*ke’, majalah buat kalangan SMA sama kuliahan sih..”
”Tentang apa?”
”Nggak tau juga deh, gua juga belom liat penampakan majalahnya.. itu juga si heru tuh yang ngasih tau..”
”Nggak, maksud gua.. tulisan lo tuh tentang apa?”
”Musik..”
Heru yang menjawab, karena gua sedang sibuk menghabiskan sisa-sisa sekoteng hambar.
”Elo suka bola nggak, bon?”
”Eh, suka.. Cuma sekarang karena di mess nggak ada tivi jadi nggak pernah nonton lagi..”
”Wah sayang ya.. ”
”Kenapa emangnya, lu suka bola res?”
Heru bertanya ke resti, kemudian dibalas resti dengan gelengan kepala.
Kemudian Resti mulai menjelaskan tentang kenalannya yang seorang editor tabloid sepak bola terkenal di Jakarta dan berkata kalau seandainya gua bisa membuat tulisan atau artikel tentang sepak bola dia bisa membantu agar tulisan-tulisan gua bisa dimuat di tabloid tersebut. Tapi apa daya, tivi aja gua nggak punya, menyaksikan pertandingan pun nihil, gimana bisa bikin tulisan tentang sepak bola. Dan gua yang terbiasa membuat tulisan yang berdasarkan ’opini’, bukan ’fakta’ atau ’statistik’ sepertinya kurang cocok untuk dijadikan dasar sebuah tulisan tentang sepak bola.
”Bayarannya lumayan lho bon..”
”Oya?”
”Hooh.. udah gitu perkara tulisan lu berdasarkan opini kayaknya nggak begitu ngaruh deh, soalnya nanti tulisan yang lu kirim juga bakal masuk proses editing dan copy writing sebelum di-publish..”
”Lah berarti nggak 100% tulisan nya boni dimuat dong?”
Si Heru bertanya, pertanyaan yang bahkan nggak terpikirkan sama sekali oleh gua.
”Ya begitu deh, soalnya kan ini tabloid konsumsinya skala nasional, ru.., nggak bisa ada toleransi kesalahan data bahkan spellingnya.. tapi kan yang penting tetep dapet bayaran..”
”Iya deh, next time gua coba deh.. tapi tau dah kapan, belom ada bayangan soalnya..”
”Yaudah gapapa.. Cuma sekedar info aja kok, bon.. elu juga kalo mau bisa kok ru..”
”Ah, gua males nulis, mendingan nge-gambar..”
Heru menjawab santai sambil menghembuskan asap rokok dari mulutnya.
Malam itu kami bertiga menghabiskan waktu dengan ngobrol tentang cita-cita, tentang harapan, tentang tulisan-tulisan gua, tentang beasiswa dan tidak sekalipun gua berhenti menatap ke wajahnya.
---
Dikamar, heru langsung merebahkan diri di kasur gua;
”Bon..”
”...”
”Elu suka sama Resti ya?”
”..”
”Bon..”
”Apaan?”
”Elu suka sama Resti?”
”Ah ada-ada aja lu, nggak lah..”
”Gua perhatiin dari tadi di kafe lu ngeliatin si resti mulu..”
”Ya kan dia duduk didepan gua, masa gua harus merem..”
”Nggak, cara lu memandangnya tuh beda..”
”Beda gimana?”
”Beda aja, pandangan lu ke gua sama pandangan lu kedia.. beda..”
”Ya iyalah, beruk... gua mandang lu lama-lama bisa kotok mata gua..”
”Serius gua..”
”Emang keliatan banget ya kalo gua merhatiin dia..?”
”Menurut gua sih iya.. elu suka kan?”
Gua hanya diam nggak menjawab pertanyaan dari heru, antara bingung dan penasaran. Bingung menerjemahkan antara ’suka’, ’kagum’ dengan ’cinta’ atau penasaran dengan latar belakang si Resti yang bisa liburan ke singapore, minum vodka, merokok menthol dan punya kenalan seorang editor majalah.
Ah lagian kalau pun gua suka sama dia juga palingan gua Cuma bisa jadi pemuja rahasianya aja, gua membayangkan betapa jauhnya perbedaan kasta antara kami, gua dari kasta ’sudra’ sedangkan dia dari golongan ’brahmana’. Dan ditambah kenyataan menyakitkan kalau selama ini gua emang tergolong cowok culun yang suka keringet dingin kalau dekat sama perempuan, akhirnya gua Cuma bisa mengelus dada sambil membesarkan hati dengan sebuah pembelaan;
”Ru, gua kan disini mau belajar.. sayang kalo waktu diabisin Cuma buat suka-sukaan..”
”Preeet..”
Gua sibuk membongkar-bongkar seisi tas, mencoba mencari modul ’Career Development’ yang tadi disebut-sebut oleh Heru. Sepertinya gua pernah menerima modul seperti yang tadi Heru bilang, tapi entah gua lupa meletakkannya dimana.
”Ru.. ru..”
”...”
”Buset.. udah molor aje nih kardus..”
Gua menggoyang-goyangkan kaki-nya sambil memanggil namanya.
”Ru.. ru.. Beruk.. modul yang lu bilang tadi, mana? Gua pinjem dong, punya gua nggak tau kemana?”
”Ah reseh banget lu, bon.. besok aja, males bangunnya nih..”
”Lah, yaudah elu enyah dari kasur gua..”
”Eeet.. tuh di tas gua, ambil aja..”
Heru menunjuk ke arah tas ranselnya kemudian membalik badannya menghadap ke dinding, nggak seberapa lama suara dengkurnya memenuhi seisi ruangan.
Gua mengambil modul ’Career Development’ dari tas Heru dan mulai membalik-balik halamannya, mencoba mencari-cari sebuah frase, kata atau judul yang berhubungan dengan pekerjaan setelah selesai program beasiswa ini. Memang yang gua tau dalam program beasiswa ini setelah lulus, para peserta bisa bekerja di perusahaan yang mensponsori program ini dan langsung terikat kontrak. Tapi, ada opsi lain yang menyebutkan bahwa peserta program beasiswa dapat mencari atau menerima pekerjaan ditempat lain dengan catatan membayar pinalti senilai biaya yang sudah dikeluarkan oleh perusahaan yang mensponsori program ini atau menunggu selama satu tahun sebelum bekerja ditempat lain.
Setelah berlembar-lembar halaman gua cari, akhirnya mata gua tertuju pada sebuah tulisan yang membahas tentang bagaimana cara mendapat kerja di eropa dan amerika. Gua mengambil notes kecil gua kemudian mulai mencatat dan sejak malam itu gua menghapus semua impian-impian lawas yang ada di benak gua dan menggantinya dengan sebuah impian baru ”Working Overseas”
”Res.. Res.. Resti..”
Gua mengangkat tangan, melambaikannya sambil memanggil-manggil perempuan tersebut.
Resti yang tengah asik mengobrol, menengok sebentar kemudian melanjutkan obrolannya lagi namun beberapa saat berikutnya dia kembali menengok dan tersenyum lebar sambil membalas lambaian tangan gua kemudian berpamitan kepada teman-temannya dan berjalan menuju ke meja tempat dimana gua duduk.
”Woiii.. bonii...”
”Restii..”
”Apa kabar lo?”
”Baik.. baik.., elu kok ada disini?”
Gua bertanya sambil mengarahkan jari telunjuk gua ke arah lantai sambil memandang perempuan cantik berkulit putih, temen sekampus yang baru gua kenal justru di akhir masa kuliah, dia mengenakan kaus hijau dengan motif tentara, celana denim biru muda, dibalut dengan sebuah cardigan hitam dan rambut yang dikuncir kuda.
”Bukannya elu nggak lolos tes?”
”Yee.. emang yang dapet beasiswa doang yang boleh kesini?”
Resti menarik sebuah kursi dan hendak duduk sambil menunjuk ke dua gelas minuman laknat yang tadi dipesan Heru;
”Eh elo lagi nge-date ya?”
”Oh Nggak.. nggak, gua lagi sama heru.. elu masih inget heru kan?”
”Heru.. heru..?”
”Heru, itu yang waktu itu se-grup sama kita pas tes..”
”Oh Heru, gund*r ya?”
”Iya..”
”Orangnya kemana?”
”Tuh..”
Gua menunjuk heru yang sedang berjalan ke arah kami sambil membawa dua buah mangkok melamin putih kecil.
Heru yang kemudian tiba di meja kami terlihat sama kaget-nya dengan gua saat bertemu Resti. Dia meletakkan dua mangkok melamin putih di meja dan menunjuk ke arah resti;
”Elu..?”
”Resti, yang waktu itu se-grup sama kita pas tes..”
Gua menjawab pertanyaan yang bahkan belum diucapkan oleh heru.
”Oh iya... iya.. elu kok disini res?”
Heru bertanya sambil duduk dan mengambil sebungkus Marlboro light, menyobeknya, mengambil sebatang dan menghisapnya.
”Elo berdua pada aneh deh.. emang lu pikir orang Indonesia yang disini Cuma yang dapet beasiswa aja apa?”
”Ha ha ha ha.. ya maka dari itu kan tadi gua nanya, ngapain elu disini?”
Gua kembali menggelontorkan pertanyaan yang tadi belum sempat dijawab oleh resti sambil tetep mencoba menatap ke wajahnya.
”Iya, gue lagi liburan..”
Resti menjelaskan, disambut seruan ”Ooo” dari kami berdua.
”Berarti elu tajir abis-abisan dong ya?”
Gua bertanya lagi ke resti, karena menurut pendapat gua pada waktu itu; Cuma orang-orang yang berduit luebih yang bisa plesiran ke negara orang. Orang-orang kelas dhuafa kayak gua ini, untuk liburan ke Singapore merupakan hal yang mewah dan boleh dibilang sesuatu yang mustahil. Boro-boro untuk liburan ke Singapore, membayangkan liburan ke Bali-pun gua anggap sudah melanggar norma dan ujung-ujungnya malah berteriak-teriak di wahana-wahana yang ada di Dunia Fantasi.
”Ah biasa aja kali.. emang Cuma orang tajir doang yang bisa liburan ke sini?”
”Menurut gua sih iya..”
Gua menjawab, kemudian disusul heru yang menambahkan;
”Iya, gua liburan ke ragunan aja jarang apalagi ke singapore..”
”But, you were here..”
”Iya sih, tapi gara-gara beasiswa..”
”Hahahahaha...”
”Gua malah nggak sekalipun bermimpi bisa sampe disini.”
”Iya sama, gua juga..”
”Ya kan sekarang kalian udah ada disini, tempat yang sama sekali nggak pernah kalian duga sebelumnya.. jadi nggak ada salahnya dong kalo kalian sekarang punya standar cita-cita yang lebih tinggi.., misalnya nerusin beasiswa kalian ke US atau ke Ausie..”
”Ah, gila lu res.. buat gua, bisa sampe disini aja udah cukup ah.. nggak sanggup gua jauh-jauh dari rumah..”
Gua berkata ke Resti sambil menyeruput sekoteng yang tadi dibeli heru, sekoteng nya terasa hambar, nggak seperti sekoteng yang ada di Indonesia, yang ini terasa ’adem’.
”Eh lu mau minum nggak?”
Gua menawarkan resti, memandangnya sekilas, cantik juga nih anak kemudian segera memalingkan wajah ke arah mangkok sektueng setelah sepertinya dia menyadari gua menatapnya.
”Ru, mintain apa kek tuh bakal si resti..”
”Vodka mau res? Nih si Boni nggak doyan minuman ginian..”
Si heru menyodorkan gelas vodka jatahnya ke hadapan resti.
Resti menggapai gelas tersebut, mengangkatnya dan mulai meminumnya, Habis! Gua memandang ke resti, antara takjub, heran dan kaget. Kemudian dalam hati bergumam; kok bisa perempuan kayak gini, mengkonsumsi minuman laknat ini.
”Selesai dari sini trus lo mau kemana, bon?”
Setelah menyelesaikan tegukan terakhirnya dia bertanya ke gua.
”Ya paling balik ke Indo, tapi kalo dapet link dari pihak kampus, pasti gua ambil..”
”Kalo elo, ru?”
”Ah kalo bisa gua mau ke Inggris, nyari kerja disana sambil nerusin S2..”
”Emang elu kata gampang, nyari kerja di sono.. beruk..?”
Gua bertanya sambil meledek heru kemudian melemparnya dengan lintingan kertas bekas sobekan bungkus rokok.
”Yee.. emang lu nggak dapet modul ’Career Development’ yang tempo hari dibagiin di kampus?”
”Dapet..”
”Lu baca?”
”Kagak..”
”Makanya baca duuul..”
Heru balas melempar gua dengan jeruk nipis yang menempel di sisi gelas.
”Hahaha nggak sempet gua, ru.. sibuk..”
”Makanya jangan kejar setoran mulu, nulis ampe begadang-begadang..”
”Elu udah nulis tesis, bon?”
Resti bertanya, kemudian mengeluarkan bungkusan rokok dengan merk yang sama dengan punya gua tapi motifnya berwarna hijau, mengeluarkannya sebatang dan menghisapnya.
”Oh nggak, bukan tesis.. Cuma artikel-artikel doang buat dimajalah..”
”Wah enak tuh bisa jadi sampingan..”
”Hahaha, ya lumayan buat jajan..”
”Buat majalah?”
”Iya, majalah ’prov*ke’, majalah buat kalangan SMA sama kuliahan sih..”
”Tentang apa?”
”Nggak tau juga deh, gua juga belom liat penampakan majalahnya.. itu juga si heru tuh yang ngasih tau..”
”Nggak, maksud gua.. tulisan lo tuh tentang apa?”
”Musik..”
Heru yang menjawab, karena gua sedang sibuk menghabiskan sisa-sisa sekoteng hambar.
”Elo suka bola nggak, bon?”
”Eh, suka.. Cuma sekarang karena di mess nggak ada tivi jadi nggak pernah nonton lagi..”
”Wah sayang ya.. ”
”Kenapa emangnya, lu suka bola res?”
Heru bertanya ke resti, kemudian dibalas resti dengan gelengan kepala.
Kemudian Resti mulai menjelaskan tentang kenalannya yang seorang editor tabloid sepak bola terkenal di Jakarta dan berkata kalau seandainya gua bisa membuat tulisan atau artikel tentang sepak bola dia bisa membantu agar tulisan-tulisan gua bisa dimuat di tabloid tersebut. Tapi apa daya, tivi aja gua nggak punya, menyaksikan pertandingan pun nihil, gimana bisa bikin tulisan tentang sepak bola. Dan gua yang terbiasa membuat tulisan yang berdasarkan ’opini’, bukan ’fakta’ atau ’statistik’ sepertinya kurang cocok untuk dijadikan dasar sebuah tulisan tentang sepak bola.
”Bayarannya lumayan lho bon..”
”Oya?”
”Hooh.. udah gitu perkara tulisan lu berdasarkan opini kayaknya nggak begitu ngaruh deh, soalnya nanti tulisan yang lu kirim juga bakal masuk proses editing dan copy writing sebelum di-publish..”
”Lah berarti nggak 100% tulisan nya boni dimuat dong?”
Si Heru bertanya, pertanyaan yang bahkan nggak terpikirkan sama sekali oleh gua.
”Ya begitu deh, soalnya kan ini tabloid konsumsinya skala nasional, ru.., nggak bisa ada toleransi kesalahan data bahkan spellingnya.. tapi kan yang penting tetep dapet bayaran..”
”Iya deh, next time gua coba deh.. tapi tau dah kapan, belom ada bayangan soalnya..”
”Yaudah gapapa.. Cuma sekedar info aja kok, bon.. elu juga kalo mau bisa kok ru..”
”Ah, gua males nulis, mendingan nge-gambar..”
Heru menjawab santai sambil menghembuskan asap rokok dari mulutnya.
Malam itu kami bertiga menghabiskan waktu dengan ngobrol tentang cita-cita, tentang harapan, tentang tulisan-tulisan gua, tentang beasiswa dan tidak sekalipun gua berhenti menatap ke wajahnya.
---
Dikamar, heru langsung merebahkan diri di kasur gua;
”Bon..”
”...”
”Elu suka sama Resti ya?”
”..”
”Bon..”
”Apaan?”
”Elu suka sama Resti?”
”Ah ada-ada aja lu, nggak lah..”
”Gua perhatiin dari tadi di kafe lu ngeliatin si resti mulu..”
”Ya kan dia duduk didepan gua, masa gua harus merem..”
”Nggak, cara lu memandangnya tuh beda..”
”Beda gimana?”
”Beda aja, pandangan lu ke gua sama pandangan lu kedia.. beda..”
”Ya iyalah, beruk... gua mandang lu lama-lama bisa kotok mata gua..”
”Serius gua..”
”Emang keliatan banget ya kalo gua merhatiin dia..?”
”Menurut gua sih iya.. elu suka kan?”
Gua hanya diam nggak menjawab pertanyaan dari heru, antara bingung dan penasaran. Bingung menerjemahkan antara ’suka’, ’kagum’ dengan ’cinta’ atau penasaran dengan latar belakang si Resti yang bisa liburan ke singapore, minum vodka, merokok menthol dan punya kenalan seorang editor majalah.
Ah lagian kalau pun gua suka sama dia juga palingan gua Cuma bisa jadi pemuja rahasianya aja, gua membayangkan betapa jauhnya perbedaan kasta antara kami, gua dari kasta ’sudra’ sedangkan dia dari golongan ’brahmana’. Dan ditambah kenyataan menyakitkan kalau selama ini gua emang tergolong cowok culun yang suka keringet dingin kalau dekat sama perempuan, akhirnya gua Cuma bisa mengelus dada sambil membesarkan hati dengan sebuah pembelaan;
”Ru, gua kan disini mau belajar.. sayang kalo waktu diabisin Cuma buat suka-sukaan..”
”Preeet..”
Gua sibuk membongkar-bongkar seisi tas, mencoba mencari modul ’Career Development’ yang tadi disebut-sebut oleh Heru. Sepertinya gua pernah menerima modul seperti yang tadi Heru bilang, tapi entah gua lupa meletakkannya dimana.
”Ru.. ru..”
”...”
”Buset.. udah molor aje nih kardus..”
Gua menggoyang-goyangkan kaki-nya sambil memanggil namanya.
”Ru.. ru.. Beruk.. modul yang lu bilang tadi, mana? Gua pinjem dong, punya gua nggak tau kemana?”
”Ah reseh banget lu, bon.. besok aja, males bangunnya nih..”
”Lah, yaudah elu enyah dari kasur gua..”
”Eeet.. tuh di tas gua, ambil aja..”
Heru menunjuk ke arah tas ranselnya kemudian membalik badannya menghadap ke dinding, nggak seberapa lama suara dengkurnya memenuhi seisi ruangan.
Gua mengambil modul ’Career Development’ dari tas Heru dan mulai membalik-balik halamannya, mencoba mencari-cari sebuah frase, kata atau judul yang berhubungan dengan pekerjaan setelah selesai program beasiswa ini. Memang yang gua tau dalam program beasiswa ini setelah lulus, para peserta bisa bekerja di perusahaan yang mensponsori program ini dan langsung terikat kontrak. Tapi, ada opsi lain yang menyebutkan bahwa peserta program beasiswa dapat mencari atau menerima pekerjaan ditempat lain dengan catatan membayar pinalti senilai biaya yang sudah dikeluarkan oleh perusahaan yang mensponsori program ini atau menunggu selama satu tahun sebelum bekerja ditempat lain.
Setelah berlembar-lembar halaman gua cari, akhirnya mata gua tertuju pada sebuah tulisan yang membahas tentang bagaimana cara mendapat kerja di eropa dan amerika. Gua mengambil notes kecil gua kemudian mulai mencatat dan sejak malam itu gua menghapus semua impian-impian lawas yang ada di benak gua dan menggantinya dengan sebuah impian baru ”Working Overseas”
Diubah oleh robotpintar 11-03-2014 09:04
vizardan dan 14 lainnya memberi reputasi
15
Kutip
Balas
![Accidentally In Love [True Story]](https://s.kaskus.id/images/2014/04/07/6448808_20140407033338.jpg)