- Beranda
- Stories from the Heart
Accidentally In Love [True Story]
...
TS
robotpintar
Accidentally In Love [True Story]
![Accidentally In Love [True Story]](https://s.kaskus.id/images/2014/02/14/6448808_20140214023854.png)
Spoiler for Cover:
![Accidentally In Love [True Story]](https://s.kaskus.id/images/2014/02/14/6448808_20140214024411.png)
So she said what's the problem baby
What's the problem I don't know
Well maybe I'm in love (love)
Think about it every time
I think about it
Can't stop thinking 'bout it
How much longer will it take to cure this
Just to cure it cause I can't ignore it if it's love (love)
Makes me wanna turn around and face me but I don't know nothing 'bout love
Come on, come on
Turn a little faster
Come on, come on
The world will follow after
Come on, come on
Cause everybody's after love
So I said I'm a snowball running
Running down into the spring that's coming all this love
Melting under blue skies
Belting out sunlight
Shimmering love
Well baby I surrender
To the strawberry ice cream
Never ever end of all this love
Well I didn't mean to do it
But there's no escaping your love
These lines of lightning
Mean we're never alone,
Never alone, no, no
We're accidentally in love
Accidentally in love [x7]
Accidentally I'm In Love
Spoiler for Bagian 1:
#1
Quote:
“Gila lu Bon, roti segitu banyak sayang-sayang bakal empan ikan semua!”
“Emang ngapa? Ikan jaman sekarang mah ogah makan cacing, Meng”
Gua jawab aja sekena-nya, memang niatnya gua bawa roti dari rumah buat bekal pas mancing tapi, gara-gara umpan cacing gua dari tadi nggak disentuh ikan terpaksa gua ganti dengan roti. Siapa tau mujarab.
Nggak seberapa berselang, tali pancing gua bergetar, refleks gua tarik joran sekuatnya dan mendarat dengan mulus seekor ikan yang kurang lebih seukuran telapak tangan.
“Anjritt.. dari tadi dapet sapu-sapu mulu gua!”
Sambil melepas mata kail dari mulut ikan sapu-sapu yang barusan gua angkat dan langsung gua lempar lagi kedalam kali.
Tidak berapa lama, melantun lagu “Time Like This”-nya Foo Fighter dari ponsel gua. Tertera tulisan “Rumah” dilayarnya.
“Kenapa mak?”
Karena memang cuma nyokap gua aja yang selalu telpon melalui telepon rumah. Bokap dan adik gua selalu menggunakan ponsel-nya masing-masing jika ada keperluan.
“Assalamualaikum , Mancing kagak rapi-rapi luh, nih ada kiriman surat buat elu”
“Dari siapa?”
“Kagak tau, bahasanya emak nggak ngerti”
“Simpenin dulu, nih aye udah mau pulang”
“Yaudah buruan, jangan maghriban dijalan, pamali. Assalamualaikum”
“Waalaikumsalam”
Gua kantongin lagi ponsel k-ekantong celana pendek yang sekarang udah kotor campur lumpur, sambil berteriak ke temen gua; Komeng, yang lagi berkutat dengan tali pancingnya yang kusut.
“Meng, ayo balik.. udah sore”
“Belon juga dapet sekilo, udah mau balik aje”
“Yauda elu terusin dah, gua balik duluan”
Komeng menjawab dengan sedikit gumam di bibirnya terdengar seperti “Yaelah..” sambil berjalan gontai menyusul gua.
------
Itu kejadian beberapa tahun yang lalu, dimana gua dan Komeng masih biasa mencari cacing buat umpan ikan di kebun singkong belakang rumahnya Haji Salim dan kemudian pergi memancing disepanjang pinggiran sungai Pesanggrahan, Jakarta.
Sekarang, gua sedang duduk sambil bersandar di sebuah kursi lipat di pinggir danau di daerah Leeds, Inggris. Menghabiskan hari libur akhir musim gugur dengan memancing sambil bernostalgia, mencoba membangkitkan memori tentang memancing, tentang si Komeng, tentang Jakarta, tentang rumah.
Setelah berjam-jam memancing, menghabiskan berkaleng-kaleng ‘Diet Coke’ akhirnya gua memutuskan untuk menyudahi kegiatan sialan ini. Pulang dengan membawa 6 Ekor ikan Yelowtail (di Indonesia disebut ikan patin) dan sedikit kenangan tentang ‘rumah’, gua berjalan gontai menuju tempat dimana sepeda kesayangan gua diparkir, sempat kebingungan awalnya karena sekarang ada banyak sepeda yang diparkir, padahal tadi pagi baru sepeda gua aja yang nongkrong disini, setelah celingak-celinguk akhirnya ketemu juga dan gua mulai mengayuh.
Jarak dari tempat gua biasa mancing ke tempat dimana gua tinggal di Moorland Ave, Leeds kurang lebih 3,5 mil atau kalau dalam satuan Kilometer sekitar 5,5 Km. Jarak segitu kalo disini, di Inggris bisa dibilang ‘deket’, kalau naik sepeda bisa cuma 30 menit.
Oiya, nama gua Boni. Gua lahir dan dibesarkan di Jakarta. Saat ini gua kerja dan tinggal di Leeds, Inggris sekitar 2-3 jam dari London (dengan kereta). Gua kerja sebagai Sound Designer disalah satu Agensi perfilman dan periklanan di Leeds yang juga punya kantor di London. Sudah hampir 4 tahun gua kerja dan tinggal disini, ditempat dimana nggak ada sungai dengan air berwarna cokelat keruh yang banyak ikan sapu-sapunya dan nggak ada teman yang suka menggerutu “Yaelah”.
Sambil mendengarkan “Heaven” nya Lost Lonely Boys lewat headset, gua mengayuh sepeda menuju ke rumah, pulang. Melewati jalan berpasir yang dipenuhi pohon-pohon maple di kedua sisinya menuju jalan utama. Jalan yang sangat sepi dan hening, jam menunjukkan angka 4 sore, menandakan waktu shalat maghrib, di sabtu sore seperti sekarang ini memang didaerah sini sangat sepi, kebanyakan penduduk sekitar sedang ke stadion atau pub-pub untuk menyaksikan Leeds United bertanding. Ingin buru-buru sampai di rumah, karena perut udah mulai keroncongan, gua kayuh sepeda lebih cepat. Sampai kemudian terdengar sayup-sayup suara musik yang makin lama makin nyaring, suara musik RnB yang sepertinya diputar dari dalam mobil dengan volume maksimal. Suara tersebut datang dari arah belakang dan kemudian menyusul gua, sebuah BMW silver yang melaju cepat bahkan boleh dibilang sangat cepat, sambil meninggalkan debu persis seperti mobil yang sedang Rally Dakkar.
“Orang Gila!!” gua mengumpat, masih sambil dengerin coda lagu “Heaven” nya Lost Lonely Boys. Sampai gua melihat beberapa detik kemudian lampu rem BMW tersebut menyala dan kemudian berhenti.
Deg!, “Wuanjrit, sakti juga tuh orang bisa denger suara gua” sambil berhenti dan melepas headset dari telinga. Yang ternyata setelah gua sadar, suara gua nggak sepelan pas pakai headset tadi. Gua nunggu sambil dag dig dug, kalau dia ngerti ucapan gua, dia pasti orang Indonesia dan kalo ternyata bukan gua bakal siap-siap kabur.
Pintu penumpang pun terbuka, terbuka secara paksa tepatnya, sedetik kemudian keluar seseorang dari kursi penumpang, terhuyung dan kemudian terjatuh, terdengar makian dari dalam BMW tersebut mungkin seperti “bitch” atau semacamnya dan sesaat kemudian BMW tersebut pergi, mengasapi orang yang tersungkur itu dengan debu jalanan.
Nggak mau terlalu ambil pusing, sambil bernafas lega dan bilang dalam hati; “untung bukan gua”, gua meneruskan mengayuh sepeda.
“Get up Bro, life is brutal”
gua berkata ke orang itu sambil melewatinya tetap melanjutkan mengayuh. Dan beberapa meter kemudian gua mendengar sebuah teriakan, teriakan yang (pada akhirnya) bakal merubah hidup gua.
“Woii.. Help me!, you’re Indonesian, right?”
“Tolongin gue dong…”
Gua berhenti mengayuh, turun dan bengong. Sudah hampir setahun gua nggak denger secara langsung orang bicara ke gua dengan bahasa Indonesia dan suara perempuan pula.. Lima, ah mungkin sepuluh detik kemudian baru gua memalingkan muka tapi masih tetap bengong.
“Woii..”
Akhirnya gua turun dari sepeda, kemudian menghampiri orang itu. Terduduk di depan gua sosok perempuan, hitam manis dengan kepala tertutup hood jaket hitam, celana jeans dan sepatu model boots sebetis berwarna cokelat.
“Elu nggak apa-apa?”
“Menurut Lo? Kalo gue gak apa-apa, ngapain gua teriak minta tolong elu!!”
Gua nggak menjawab, berusaha membantu dia berdiri sambil bertanya lagi bagaimana keadaannya. Sekali lagi dia mengumpat;
“Gila!, nggak punya hati banget sih lu!, ya jelas lah gue kenapa-kenapa.. nih liat!”
Sambil memperlihatkan telapak tangan dan siku-nya yang luka dan kemudian menyibak celana jeans-nya yang kotor terkena debu dan sobek di beberapa bagian akibat terlempar dari mobil tadi. Sesaat baru dia sadar kalau lutut kanannya juga luka sambil meringis kesakitan dia mencoba membersihkan luka tersebut dengan air liurnya. Sangat Indonesia sekali.
“Gua pikir tadi orang mabok yang lagi berantem, disini mah biasa begitu,mbak!”
Kemudia gua kasih satu-satunya ‘Diet Coke’ sisa memancing tadi, harusnya sih air putih tapi Cuma itu yang gua punya sekarang. Sambil menggerutu karena dikasih ‘Diet Coke’ daripada air putih, diminum juga tuh minuman soda. Kemudian gua menawarkan diri buat mengantar dia ke sebuah toko kecil di ujung jalan ini, untuk membeli plester untuk membalut luka-nya.
“Jauh nggak?”
Dia bertanya sambil menurunkan hood jaketnya dan menyibak rambutnya yang pendek seleher. Kemudian terlihat jelas sebuah luka lebam di sudut mata sebelah kiri-nya, tidak, bukan cuma satu, setidaknya ada 3 luka lebam, selain disudut matanya, satu lagi di dahi sebelah kiri dan satu lagi di sudut bibir sebelah kanan, yang terakhir tampak seperti luka yang baru karena masih meninggalkan sisa bekas darah yang membeku.
Gua nggak berani bertanya, gua hindari menatap kewajahnya sambil menjawab pertanyaa-nya bahwa tokonya nggak begitu jauh dari sini, sambil menunjuk ke arah jalan utama.
---
“Emang ngapa? Ikan jaman sekarang mah ogah makan cacing, Meng”
Gua jawab aja sekena-nya, memang niatnya gua bawa roti dari rumah buat bekal pas mancing tapi, gara-gara umpan cacing gua dari tadi nggak disentuh ikan terpaksa gua ganti dengan roti. Siapa tau mujarab.
Nggak seberapa berselang, tali pancing gua bergetar, refleks gua tarik joran sekuatnya dan mendarat dengan mulus seekor ikan yang kurang lebih seukuran telapak tangan.
“Anjritt.. dari tadi dapet sapu-sapu mulu gua!”
Sambil melepas mata kail dari mulut ikan sapu-sapu yang barusan gua angkat dan langsung gua lempar lagi kedalam kali.
Tidak berapa lama, melantun lagu “Time Like This”-nya Foo Fighter dari ponsel gua. Tertera tulisan “Rumah” dilayarnya.
“Kenapa mak?”
Karena memang cuma nyokap gua aja yang selalu telpon melalui telepon rumah. Bokap dan adik gua selalu menggunakan ponsel-nya masing-masing jika ada keperluan.
“Assalamualaikum , Mancing kagak rapi-rapi luh, nih ada kiriman surat buat elu”
“Dari siapa?”
“Kagak tau, bahasanya emak nggak ngerti”
“Simpenin dulu, nih aye udah mau pulang”
“Yaudah buruan, jangan maghriban dijalan, pamali. Assalamualaikum”
“Waalaikumsalam”
Gua kantongin lagi ponsel k-ekantong celana pendek yang sekarang udah kotor campur lumpur, sambil berteriak ke temen gua; Komeng, yang lagi berkutat dengan tali pancingnya yang kusut.
“Meng, ayo balik.. udah sore”
“Belon juga dapet sekilo, udah mau balik aje”
“Yauda elu terusin dah, gua balik duluan”
Komeng menjawab dengan sedikit gumam di bibirnya terdengar seperti “Yaelah..” sambil berjalan gontai menyusul gua.
------
Itu kejadian beberapa tahun yang lalu, dimana gua dan Komeng masih biasa mencari cacing buat umpan ikan di kebun singkong belakang rumahnya Haji Salim dan kemudian pergi memancing disepanjang pinggiran sungai Pesanggrahan, Jakarta.
Sekarang, gua sedang duduk sambil bersandar di sebuah kursi lipat di pinggir danau di daerah Leeds, Inggris. Menghabiskan hari libur akhir musim gugur dengan memancing sambil bernostalgia, mencoba membangkitkan memori tentang memancing, tentang si Komeng, tentang Jakarta, tentang rumah.
Setelah berjam-jam memancing, menghabiskan berkaleng-kaleng ‘Diet Coke’ akhirnya gua memutuskan untuk menyudahi kegiatan sialan ini. Pulang dengan membawa 6 Ekor ikan Yelowtail (di Indonesia disebut ikan patin) dan sedikit kenangan tentang ‘rumah’, gua berjalan gontai menuju tempat dimana sepeda kesayangan gua diparkir, sempat kebingungan awalnya karena sekarang ada banyak sepeda yang diparkir, padahal tadi pagi baru sepeda gua aja yang nongkrong disini, setelah celingak-celinguk akhirnya ketemu juga dan gua mulai mengayuh.
Jarak dari tempat gua biasa mancing ke tempat dimana gua tinggal di Moorland Ave, Leeds kurang lebih 3,5 mil atau kalau dalam satuan Kilometer sekitar 5,5 Km. Jarak segitu kalo disini, di Inggris bisa dibilang ‘deket’, kalau naik sepeda bisa cuma 30 menit.
Oiya, nama gua Boni. Gua lahir dan dibesarkan di Jakarta. Saat ini gua kerja dan tinggal di Leeds, Inggris sekitar 2-3 jam dari London (dengan kereta). Gua kerja sebagai Sound Designer disalah satu Agensi perfilman dan periklanan di Leeds yang juga punya kantor di London. Sudah hampir 4 tahun gua kerja dan tinggal disini, ditempat dimana nggak ada sungai dengan air berwarna cokelat keruh yang banyak ikan sapu-sapunya dan nggak ada teman yang suka menggerutu “Yaelah”.
Sambil mendengarkan “Heaven” nya Lost Lonely Boys lewat headset, gua mengayuh sepeda menuju ke rumah, pulang. Melewati jalan berpasir yang dipenuhi pohon-pohon maple di kedua sisinya menuju jalan utama. Jalan yang sangat sepi dan hening, jam menunjukkan angka 4 sore, menandakan waktu shalat maghrib, di sabtu sore seperti sekarang ini memang didaerah sini sangat sepi, kebanyakan penduduk sekitar sedang ke stadion atau pub-pub untuk menyaksikan Leeds United bertanding. Ingin buru-buru sampai di rumah, karena perut udah mulai keroncongan, gua kayuh sepeda lebih cepat. Sampai kemudian terdengar sayup-sayup suara musik yang makin lama makin nyaring, suara musik RnB yang sepertinya diputar dari dalam mobil dengan volume maksimal. Suara tersebut datang dari arah belakang dan kemudian menyusul gua, sebuah BMW silver yang melaju cepat bahkan boleh dibilang sangat cepat, sambil meninggalkan debu persis seperti mobil yang sedang Rally Dakkar.
“Orang Gila!!” gua mengumpat, masih sambil dengerin coda lagu “Heaven” nya Lost Lonely Boys. Sampai gua melihat beberapa detik kemudian lampu rem BMW tersebut menyala dan kemudian berhenti.
Deg!, “Wuanjrit, sakti juga tuh orang bisa denger suara gua” sambil berhenti dan melepas headset dari telinga. Yang ternyata setelah gua sadar, suara gua nggak sepelan pas pakai headset tadi. Gua nunggu sambil dag dig dug, kalau dia ngerti ucapan gua, dia pasti orang Indonesia dan kalo ternyata bukan gua bakal siap-siap kabur.
Pintu penumpang pun terbuka, terbuka secara paksa tepatnya, sedetik kemudian keluar seseorang dari kursi penumpang, terhuyung dan kemudian terjatuh, terdengar makian dari dalam BMW tersebut mungkin seperti “bitch” atau semacamnya dan sesaat kemudian BMW tersebut pergi, mengasapi orang yang tersungkur itu dengan debu jalanan.
Nggak mau terlalu ambil pusing, sambil bernafas lega dan bilang dalam hati; “untung bukan gua”, gua meneruskan mengayuh sepeda.
“Get up Bro, life is brutal”
gua berkata ke orang itu sambil melewatinya tetap melanjutkan mengayuh. Dan beberapa meter kemudian gua mendengar sebuah teriakan, teriakan yang (pada akhirnya) bakal merubah hidup gua.
“Woii.. Help me!, you’re Indonesian, right?”
“Tolongin gue dong…”
Gua berhenti mengayuh, turun dan bengong. Sudah hampir setahun gua nggak denger secara langsung orang bicara ke gua dengan bahasa Indonesia dan suara perempuan pula.. Lima, ah mungkin sepuluh detik kemudian baru gua memalingkan muka tapi masih tetap bengong.
“Woii..”
Akhirnya gua turun dari sepeda, kemudian menghampiri orang itu. Terduduk di depan gua sosok perempuan, hitam manis dengan kepala tertutup hood jaket hitam, celana jeans dan sepatu model boots sebetis berwarna cokelat.
“Elu nggak apa-apa?”
“Menurut Lo? Kalo gue gak apa-apa, ngapain gua teriak minta tolong elu!!”
Gua nggak menjawab, berusaha membantu dia berdiri sambil bertanya lagi bagaimana keadaannya. Sekali lagi dia mengumpat;
“Gila!, nggak punya hati banget sih lu!, ya jelas lah gue kenapa-kenapa.. nih liat!”
Sambil memperlihatkan telapak tangan dan siku-nya yang luka dan kemudian menyibak celana jeans-nya yang kotor terkena debu dan sobek di beberapa bagian akibat terlempar dari mobil tadi. Sesaat baru dia sadar kalau lutut kanannya juga luka sambil meringis kesakitan dia mencoba membersihkan luka tersebut dengan air liurnya. Sangat Indonesia sekali.
“Gua pikir tadi orang mabok yang lagi berantem, disini mah biasa begitu,mbak!”
Kemudia gua kasih satu-satunya ‘Diet Coke’ sisa memancing tadi, harusnya sih air putih tapi Cuma itu yang gua punya sekarang. Sambil menggerutu karena dikasih ‘Diet Coke’ daripada air putih, diminum juga tuh minuman soda. Kemudian gua menawarkan diri buat mengantar dia ke sebuah toko kecil di ujung jalan ini, untuk membeli plester untuk membalut luka-nya.
“Jauh nggak?”
Dia bertanya sambil menurunkan hood jaketnya dan menyibak rambutnya yang pendek seleher. Kemudian terlihat jelas sebuah luka lebam di sudut mata sebelah kiri-nya, tidak, bukan cuma satu, setidaknya ada 3 luka lebam, selain disudut matanya, satu lagi di dahi sebelah kiri dan satu lagi di sudut bibir sebelah kanan, yang terakhir tampak seperti luka yang baru karena masih meninggalkan sisa bekas darah yang membeku.
Gua nggak berani bertanya, gua hindari menatap kewajahnya sambil menjawab pertanyaa-nya bahwa tokonya nggak begitu jauh dari sini, sambil menunjuk ke arah jalan utama.
---
DAFTAR ISI
Quote:
CHAPTER 1
#1 The Beginning
#2 Truly Gentlemen
#3 Place Called Home
#4 The Morning Fever
#5 A Miserable Story
#6 Night Rain
#7 Inside My Head
#8 That Day
#9 Be Tough
#10 Mukena
#1 The Beginning
#2 Truly Gentlemen
#3 Place Called Home
#4 The Morning Fever
#5 A Miserable Story
#6 Night Rain
#7 Inside My Head
#8 That Day
#9 Be Tough
#10 Mukena
Quote:
CHAPTER 2
#11-A Trip To Manchester
#11-B The Swiss Army
#12 Here's and Back Again
#13 I Miss You So Bad
#14 Going Mad
#15 Promise
#16 You’ll Be The Only Light I See
#17 The Winter Tears
#18 She's Gone
#19 That Memories
#11-A Trip To Manchester
#11-B The Swiss Army
#12 Here's and Back Again
#13 I Miss You So Bad
#14 Going Mad
#15 Promise
#16 You’ll Be The Only Light I See
#17 The Winter Tears
#18 She's Gone
#19 That Memories
Quote:
CHAPTER 3
[URL="http://www.kaskus.co.id/show_post/530ff7e41acb17030d8b48f1/479/- "]#19-A The Hood[/URL]
#19-B Heres And Back Again II
#19-C Weak
#19-D Surrender
#19-E The Choice
#19-F Anything For You
#19-G Chelsea Number 8
#19-H Its not always about gold and glory
#19-I Aku
#19-J The Words
#19-K The Persian Cat
#19-L You Really The Only Light I See
#19-M So Be It
#19-N Less Than Perfect
#20 That Day II
[URL="http://www.kaskus.co.id/show_post/530ff7e41acb17030d8b48f1/479/- "]#19-A The Hood[/URL]
#19-B Heres And Back Again II
#19-C Weak
#19-D Surrender
#19-E The Choice
#19-F Anything For You
#19-G Chelsea Number 8
#19-H Its not always about gold and glory
#19-I Aku
#19-J The Words
#19-K The Persian Cat
#19-L You Really The Only Light I See
#19-M So Be It
#19-N Less Than Perfect
#20 That Day II
Quote:
CHAPTER 4 The Prekuel
#21 The Prologue
#22 My Precious
#23 Ticket to Ride
#24 Singapore
#25 Dreams
#26 The Awkward Moment
#27 Logic
#28 Driver In Life
#29 The Risk Taker
#30 Sorry
#31 Rise Again
#32 Goodbye
#21 The Prologue
#22 My Precious
#23 Ticket to Ride
#24 Singapore
#25 Dreams
#26 The Awkward Moment
#27 Logic
#28 Driver In Life
#29 The Risk Taker
#30 Sorry
#31 Rise Again
#32 Goodbye
Quote:
CHAPTER 5!!
#33 London
#34 Unwell
#35 I Was Here
#36 Leeds
#37 New Home, New Life
#38 Alone
#39 Intermezo
#40 Goin' Trough
#41 At Glance
#42 The Past of The Future
#33 London
#34 Unwell
#35 I Was Here
#36 Leeds
#37 New Home, New Life
#38 Alone
#39 Intermezo
#40 Goin' Trough
#41 At Glance
#42 The Past of The Future
Quote:
CHAPTER 6
#43 My First ...
#44 If Lovin' You ...
#45 Goin' Back
#46 Leeds II
#47 I Love You (Jealousy)
#48 After All
#49 Hell Yeah
#50 Conflict
#51 Liar-Liar
#52 Memories
#43 My First ...
#44 If Lovin' You ...
#45 Goin' Back
#46 Leeds II
#47 I Love You (Jealousy)
#48 After All
#49 Hell Yeah
#50 Conflict
#51 Liar-Liar
#52 Memories
Quote:
Quote:
Diubah oleh robotpintar 10-04-2014 08:46
namakuag dan 119 lainnya memberi reputasi
118
1.3M
Kutip
2.3K
Balasan
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#769
Spoiler for Bagian kesembilan belas M:
#19-M So Be It
Quote:
Dua hari setelah meeting keluarga di depan kandang ayam belakang rumah. Nyokap sekarang dibuat sibuk dengan daftar-daftar seserahan, tamu undangan dan tanggal yang tepat untuk pernikahan gua.
“Ni, lu mau ngasih mas kimpoi apaan ke Ines?”
“Belom tau..”
Gua menjawab pertanyaan nyokap sambil tiduran di kursi depan, menikmati secangkir kopi dan sebatang rokok sambil ber-sms-an dengan komeng.
“Elu gimana si? Tanya gidah sono sama bocahnya..”
“Yaelah mak, kan masih lama, tanggal-nya aja belon ketauan..”
“Ya ntar emak tanyain hari bae nya sama kong haji amat..”
“Nggak usah pake nanya begitu-begituan mak.. semua hari mah baik..”
“Iya emang semua hari baek, tapi kan kita nyari yang paling baek..”
“Mak, hari yang paling baik buat hajatan adalah hari libur dan tanggal muda..”
“Elu kalo dibilangin sama orang tua, jawab mulu..”
“…”
---
Gua berjalan melintasi pelataran parkir sebuah mall di daerah Depok, setelah baru saja membeli makanan kucing yang dipesen Ines sebelum gua berangkat dari rumah tadi. Gua membuka pintu mobil saat ponsel gua berdering, mendendangkan lagu ‘Umbrella’-nya Rihanna dan bergetar-getar dikantong celana jeans gua. Gua melihat layarnya, sedikit mengernyit, bingung; Nama yang tertera disana “Your sweetheart” ditambah foto dirinya yang sedang nyengir kuda. Semalam dia memang mengotak-atik ponsel gua, mengganti theme, mengganti ringtone, mengubah background dan ternyata dia juga mengubah nama dia sendiri di contact list gua. Girls.
“Halo.. ini ngapa nama pake diganti-ganti segala? Norak banget lagi”
“Yee.. gapapa biarin jangan dirubah-rubah..”
“Ringtone-nya Rihanna lagi….”
“Biarin kenapa si? Repot banget.., eh udah dapet belom makanannya si cepi?”
“Udah nih.. yang wh*skas junior kan?”
“Ish.. bukaan! Yang warna ungu..”
“Iya ini warna ungu..yang gambarnya kucing kan?”
“Yah.. yang namanya makanan kucing ya gambarnya kucing.. bukan yang junior.. yang biasa aja…”
“Udah ah sama aja…”
“Ih dia mah..”
“Udah ya, uda diparkiran nih..”
“Eh.. bon.. ntar kalo ada tukang rujak beliin ya.. banyakin bengkoangnya..”
“Iya.. udah ya..”
“Iya.. eh.. eh.. nama aku jangan diganti ya yang di hape..”
“Iya.. bawel”
Gua kemudian meluncur melewati jalan margonda raya yang ternyata kalo sabtu siang itu macetnya bener-bener bisa buat melatih kesabaran. Sungguh sebuah ujian yang luar biasa.
Butuh waktu hampir satu jam untuk gua tiba dirumah Ines, gua membuka pagar saat teringat titipan rujak-nya Ines. Gua menepuk jidat dan kembali menutup pagar, bergegas mencari tukang rujak. Tapi apa daya si Ines keburu keluar;
“Mau kemana?”
Ines berteriak dari depan pintu rumahnya.
Gua yang baru aja mau membuka pintu mobil, Cuma bisa cengengesan sambil garuk-garuk kepala yang nggak gatal.
“Lupa beli rujak nya ya?”
“Hehehe iya.. gua beli dulu ya..”
“Udah nggak usah.. “
Kemudian gua kembali membuka pagar dan masuk kedalam.
Didalam gua disambut si Pulan yang berlari-lari dari dapur. Iya pulan dan cepi adalah kucing yang sama, Cuma karena si Ines nggak setuju dengan nama pulan dia menggunakan nama sendiri, cepi.
“Nes, lu mau mas kimpoi apa?”
“Hah.. kok pake nanya.. aku sih terserah kamu aja..”
“Ya elu maunya apa, kan gua nanya dulu sama lu..”
“Biasanya apa sih kalo mas kimpoi? “
“Macem-macem, ada yang seperangkat alat solat, alquran, duit, emas, bahkan ada yang mas kimpoinya hafalan quran..”
“Kalo aku minta yang lain, selain itu boleh..”
“Ya bebas, tapi jangan yang mahal-mahal.. “
“Kalo Saturday Nights & Sunday Mornings-nya Counting Crows boleh?”
“Hah.. CD?”
“Iya..katanya apa aja boleh?”
Gua mengucek-ngucek muka dengan telapak tangan.
“Yang lain nggak bisa?”
“Bisa..”
“Yaudah yang lain aja..”
“Yang lainnya kamu aja yang pilih tapi CD Counting Crows-nya harus tetep ada..”
“Yah nes.. lu mah ada-ada aja sih..”
“Jadi nggak mau?”
“Iya mau..”
Kemudian gua keluar dari ruang tamu dan duduk di teras, menyalakan sebatang rokok, menghisapnya dalam-dalam dan menghembuskannya keluar, terdengar suara Ines dari dalam; “Minum air putih aja ya, jangan ngopi melulu..” gua menjawab dalam hati; “Yeah nes.. whatever you want, whatever…”
Ines keluar sambil membawa segelas air putih dingin, dia menutup hidungnya dengan bajunya. Baju guns n roses milik gua yang dia pake dulu waktu di Leeds, baju itu masih terlihat kebesaran buatnya, baju yang digunakannya saat gua jatuh cinta kepadanya.
“Matiin dong rokoknya..”
Gua membuang rokok yang baru aja dibakar.
“Kok ganti baju gituan..”
“Iya gerah..kenapa emang? Mau diminta lagi nih baju?”
“Kagak..”
“Terpesona?”
“Kalo terpesona iya, elu cantik banget nes kalo make baju itu..”
“Ah yang bener?”
“Suer..”
Ines duduk di kursi sebelah gua.
“Bon.. kenapa kamu bisa sayang sama aku?”
Gua Cuma mengangkat bahu.
“Booni..”
“Gua nggak tau nes, kan gua udah pernah bilang. Kalo gua mencintai lu karena sebuah alasan, nanti kalo gua udah nggak punya alasan lagi untuk mencintai lu gimana? Kalo misalnya gua mencintai lu karena elu cantik, ntar kalo elu udah nggak cantik lagi gimana? Apa Gua harus berhenti mencintai lu?”
“Boniii…”
“Apaa?”
“Kenapa si kamu seneng banget bikin aku nangis mulu..”
Gua memandang Ines, dia terlihat entah cemberut atau berusaha menahan air matanya agar tidak jatuh. Ekspersinya malah bikin gua ingin tertawa.
“Yah, elunya aja dikit-dikit nangis..”
“Kamunya tuh..”
“Udah nelpon abang lu belom?”
“Belom.. takuut, ngomongnya gimana ya?”
“Yaudah sini gua yang ngomong..”
“Yee, masa tau-tau kamu yang ngomong.. kasih tau aja harus ngomong gimana?”
“Yaelah tinggal bilang aja ‘bang ines dilamar orang nih, mau nge-waliin nggak’, gitu?”
“Udah gitu doang?”
“Lah ya terserah elu..mo ditambahin greeting dulu sebelumnya juga boleh..”
“Ish dia mah..”
“Udah sana telepon.. apa nggak pake hape gua nih..”
Gua mengeluarkan ponsel dari saku celana dan menyerahkannya ke Ines. Ines menggeleng kemudian beranjak masuk, mengambil ponselnya sendiri. Beberapa menit kemudian dia keluar sambil membawa ponsel dan sebuah notes kecil bersampul hitam, dia membuka, membolak-balik nya, kemudian berhenti di sebuah halaman yang tertera tulisan dengan spidol hitam disana; “Mas Herman”.
Ines memandang lama tulisan pada halaman tersebut sebelum tangannya mulai menekan tombol-tombol pada ponsel. Ines menekan mode ‘Speaker’ dan sesaat kemudian terdengar nada sambung beberapa kali sampai terdengar suara berat dari ujung sana.
“Hallo..”
“…”
“Hallo…”
Gua menyenggol bahu Ines, memberikan tanda agar segera bicara. Ines kemudian seperti baru tersadar dari lamunannya dan mulai berbicara;
“Halo.. mas..”
“Halo.. ini siapa?”
“Ines, mas..”
“Ada apa, nes?”
“Mas Ines mau minta maap kalo ines punya salah sama mas herman..”
“Trus kalau kamu sudah minta maaf, apa ibu bisa balik nes?”
“Nggak mas..”
Gua memperhatikan Ines yang matanya mulai berlinang lagi dan nggak seberapa lama pipinya mulai basah oleh air mata.
“Maafin ines mas..”
“Kamu baru sadar kalo kamu salah? Kamu baru sadar kalau selama ini mas ngasih tau yang bener, kemana aja kamu nes.. ibu udah nggak ada, baru kamu nangis-nangis ngaku salah, dulu almarhum ibu mati-matian bilangin kamu buat jauhin si johan, akhirnya sakit dan sekarang.. kamu minta maaf sama mas,”
Ines turun dari kursinya dan duduk merosot ke lantai, tangisnya semakin menjadi-jadi, kepalanya tertunduk ke lantai, meraung-raung, ponselnya dibiarkan terjatuh di kursi tempat dia duduk barusan.
Gua mengambil ponsel yang masih terhubung ke kakaknya dan mulai berbicara;
“Assalamualaikum..”
“Siapa nih? Johan.. ngapain kamu han?”
“Anu.. bukan mas.. saya boni..”
“Boni siapa?”
Gua mencoba meraih tangan Ines sambil berbicara dengan Mas Herman, kemudian memapahnya untuk masuk kedalam, gua merebahkan ines di sofa ruang tamu kemudian melanjutkan pembicaraaan dengan Mas herman.
“Gini mas, Ines udah nggak lagi sama Johan, dan dia nyesel kok..”
“Lho,saya ini nanya.. kamu siapa?”
“Saya Insyaallah calon suaminya Ines, mas.. InsyaAllah.. makanya tadi Ines nelpon mau ngasih tau ke mas-nya.. kiranya kalo bicara di telepon kurang sopan. Apa boleh saya ketemu sama mas?”
“Lho kamu nggak tau? Saya ini di Ostrali lho..”
“Oh tau mas.. iya saya tau, nggak masalah kok..”
“Lho kamu emang dimana?”
“Di Jakarta mas, makanya kalau mas-nya berkenan nanti saya mau ketemu sama mas, nah mas-nya australinya dimana, alamatnya dimana, nanti biar saya kesana..”
Siapa nama kamu tadi?”
“Boni, mas..”
“Oke, Boni.. kamu serius mau melamar Ines?”
“Melamar secara pribadi sih udah mas, tinggal kan saya harus ngomong sama mas-nya sebagai wali-nya Ines.. “
“Serius sama dia?”
“Serius mas..”
“Sudah dipikir masak-masak?”
“Insyaallah sudah mas..”
“Saya mau bicara sama Ines lagi bisa?”
Gua memandang Ines yang masih sesenggukan sambil berbaring di sofa’
“Kayaknya nggak bisa mas, dia masih nangis terus tuh..”
“Tolong dibilangin tuh ke Ines nya.. makanya kalau..”
“Mas.. mas herman.. “
Gua memotong omongan mas herman yang gelagatnya mau menumpahkan lagi emosinya kepada Ines.
“Maaf mas saya potong sebentar.. jadi begini mas, kalau menurut saya pribadi, menurut saya lho.. Ines kan sudah minta maaf ke mas, dia juga nyesel banget kok, nah disini kan saya sebagai orang luar di urusan keluarga mas sama Ines nih.. saya Cuma minta pengertiannya aja ke mas untuk minta restu-nya mas buat Ines, mudah-mudahan berkah…”
“Ya saya ngerti.. Cuma saya nggak habis pikir aja sama itu anak, susah banget dikasih taunya..”
“Iya mas..”
“Trus kapan mau acaranya..”
“Belum ditentukan mas, soalnya saya mau minta ijin sama mas-nya dulu..”
“Oh ya, kalau saya nggak masalah asal kamu bisa tanggung jawab sama dia..”
“Oh insyaallah bisa mas..”
“Jadi gimana nih mas, alamatnya mana ya, biar saya catet dulu.. atau masnya mau sms aja ke nomor ini?”
“Nggak.. nggak perlu, nanti saya aja yang ke Indonesia.. di Informasikan aja waktunya..”
“Jadi masnya mau kan nge-wali-in Ines..”
“Iya.. iya..”
“Yasudah nanti saya hubungi lagi deh, assalamualaikum..”
“Ya, waalaikumsalam..”
Gua kemudian duduk disofa disebelah Ines yang masih sesenggukan. Kemudian gua membelai rambutnya yang sudah mulai panjang. Dia merebahkan kepalanya di bahu kiri gua.
“Mas herman mau kok , ngewaliin lu..”
“Yang bener bon..”
“Iya bener..”
“Kok bisa..”
“Ya bisa.. nanti coba gua telpon lagi kalo dia berubah pikiran ya terpaksa gua kesana..”
“Bon.. kalo nggak perlu ijin Mas herman gimana?”
“Ya nggak bisa nes, wali lu kan mas Herman..”
“Mau nikah aja susah banget ya”
“Hehehe.. ini si nggak ada apa-apanya nes, ketimbang penderitaan gua nantinya kalo hidup tanpa elu?”
“Ish gombal, gombal,gombal”
Dan Ines pun tersenyum lagi, akhirnya kami menghabiskan sisa sore itu dengan berjalan kaki ke depan komplek dan menikmati pecel ayam.
---
“Ni.. abangnya Ines udah lu telpon lagi belom?”
Nyokap bertanya sambil mengukur-ukur sebuah baju muslim panjang berwarna putih.
“Udah.. katanya dia mau kesini..”
“Lah kagak elu aje yang kesonoin?”
“Nggak, dia yang maksa mau kesini...”
Kemudian Ika datang dan langsung nimbrung, gua melihat ini adalah sebuah ancaman buat kopi gua yang baru gua bikin, kemudian menyingkirkanya ke kolong kursi. Ika kemudian celingak-celinguk;
“Tadi perasaan gua ngeliat kopi lu bang..”
“Nggak ada, uda abis, lagian celamitan amat si jadi orang, bikin sendiri ngapa?”
“Eh bang.. kakaknya kak Ines mau kesini ya?”
“Iya..”
“Kerumah kita?”
“Iya.. “
“Wah berarti dia penasaran tuh bang sama elu, pengen tau latar belakang elu tuh..”
“Ya nggak apa-apa..”
“Kapan bang..?”
“Minggu depan…”
Gua ngobrol sama Ika sambil berbaring dan sesekali menyeruput kopi yang gua letakkan di kolong kursi saat Ika meleng. Kemudian bokap datang baru saja pulang dari kelurahan. Dia melepas jaket dan menggantungnya di luar, kemudian masuk kedalam menenteng sebuah map yang sepertinya berisi berkas-berkas.
“Dari mana, ba?”
“Lha ntu ngurus surat lajang lu, sama pengantar buat ke KUA..”
“Eh buse, gasik banget..”
“Itu Ines udah ngurus belon ke KUA?”
“Tau dah..”
Gua mengangkat bahu sambil menyeruput kopi dari kolong kursi dan kemudian menyalakan sebatang rokok.
Gua menghembuskan asap rokok kemudian bersandar di kursi. Waktu terasa semakin cepat berjalan, kayaknya baru kemarin gua ketemu perempuan ngeselin yang dilempar orang dari mobil. Sekarang gua sudah mau nikah sama perempuan itu.
Gua menyeruput tegukan terakhir kopi di cangkir dan kemudian beranjak ke kamar . Sebelum nyokap memanggil gua untuk masuk ke kamarnya. Didalam kamar nyokap, terlihat bokap sedang rebahan sambil mengipas-ngipas dengan peci-nya. Gua duduk di sisi kasur;
“Ni.. emak sama baba lu pengen lu nikah sebelon kita naek haji..”
“Lah emak kan berangkatnya September”
“Ya berarti sebelon sepetember lu kudu uda nikah.. “
“…”
“Emak sama baba lu Cuma takut kagak bisa ngeliat lu nikah doang.. “
“Iya mak..”
“Yauda lu omongin gidah ke Ines, jangan dibikin nangis mulu anak orang..”
“Iya..”
Kemudian gua berjalan menuju ke kamar, menjatuhkan diri di ranjang dan memandang ke langit-langit.
Yang gua tau memang kalau orang mau naik haji itu, bakal dianggap seperti sudah meninggal aja, bahkan sebelum berangkat si calon haji dikafani dan diazani, persis seperti mayat. Gua kemudian bergidik, sanggup nggak ya gua menyaksikan bokap-nyokap gua digituin. Hii..
---
Seminggu berikutnya.
Rumah gua terlihat lebih lapang, karena semua kursi-kursi dan meja dikeluarkan setelah bokap mengadakan pengajian selepas Maghrib tadi. Sekarang kami sekeluarga tengah menunggu, Mas Herman yang katanya mau datang selepas Isya.
Nggak lama berselang datang sebuah Taksi berwarna biru, kemudian turun seorang pria berusia 35 tahunan, berbadan kurus, berkulit sawo matang dan dengan rambut panjang yang dikuncir rapi dan gua menebak kalo dialah yang namanya Mas Herman. Ines yang sedari tadi berada di dalam rumah, melihatnya dan langsung keluar, dia mencium tangan kakaknya dan seketika itu juga mulai menangis. Mas Herman yang sepertinya sudah mulai melunak terhadap ines, membelai Ines seraya membisikan sesuatu. Kemudian gua menghampiri mereka, menjabat tangan Mas Herman sambil memperkenalkan diri dan kemudian mempersilahkan masuk.
Bokap sudah bersiap menyambut mas herman di depan pintu rumah, dia mengenakan celana pangsi berwarna hitam, sabuk hijau besar dan baju koko putih di balut dengan sarung Gajah Du*uk dengan motif kotak-kotak merah.
Kemudian bokap mempersilahkan Mas herman masuk.
Pertemuan ini berjalan lancar, nggak banyak yang dibicarakan, hanya mengenai waktu dan tanggal acara akad dan resepsi saja. Dari pihak Mas Herman nggak menuntut kapan tanggal dan waktu untuk acara, begitu juga dari pihak Bokap dan nyokap gua, semua diserahkan kepada gua dan Ines. Gua duduk bersebelahan dengan Ines, gua menatapnya dan menggenggam tangannya.
”Woi.. blon muhrim itu..”
Terdengar suara bisikan Ika dari sebelah gua. Gua dan Ines Cuma saling pandang dan cengengesan.
---
“Ni, lu mau ngasih mas kimpoi apaan ke Ines?”
“Belom tau..”
Gua menjawab pertanyaan nyokap sambil tiduran di kursi depan, menikmati secangkir kopi dan sebatang rokok sambil ber-sms-an dengan komeng.
“Elu gimana si? Tanya gidah sono sama bocahnya..”
“Yaelah mak, kan masih lama, tanggal-nya aja belon ketauan..”
“Ya ntar emak tanyain hari bae nya sama kong haji amat..”
“Nggak usah pake nanya begitu-begituan mak.. semua hari mah baik..”
“Iya emang semua hari baek, tapi kan kita nyari yang paling baek..”
“Mak, hari yang paling baik buat hajatan adalah hari libur dan tanggal muda..”
“Elu kalo dibilangin sama orang tua, jawab mulu..”
“…”
---
Gua berjalan melintasi pelataran parkir sebuah mall di daerah Depok, setelah baru saja membeli makanan kucing yang dipesen Ines sebelum gua berangkat dari rumah tadi. Gua membuka pintu mobil saat ponsel gua berdering, mendendangkan lagu ‘Umbrella’-nya Rihanna dan bergetar-getar dikantong celana jeans gua. Gua melihat layarnya, sedikit mengernyit, bingung; Nama yang tertera disana “Your sweetheart” ditambah foto dirinya yang sedang nyengir kuda. Semalam dia memang mengotak-atik ponsel gua, mengganti theme, mengganti ringtone, mengubah background dan ternyata dia juga mengubah nama dia sendiri di contact list gua. Girls.
“Halo.. ini ngapa nama pake diganti-ganti segala? Norak banget lagi”
“Yee.. gapapa biarin jangan dirubah-rubah..”
“Ringtone-nya Rihanna lagi….”
“Biarin kenapa si? Repot banget.., eh udah dapet belom makanannya si cepi?”
“Udah nih.. yang wh*skas junior kan?”
“Ish.. bukaan! Yang warna ungu..”
“Iya ini warna ungu..yang gambarnya kucing kan?”
“Yah.. yang namanya makanan kucing ya gambarnya kucing.. bukan yang junior.. yang biasa aja…”
“Udah ah sama aja…”
“Ih dia mah..”
“Udah ya, uda diparkiran nih..”
“Eh.. bon.. ntar kalo ada tukang rujak beliin ya.. banyakin bengkoangnya..”
“Iya.. udah ya..”
“Iya.. eh.. eh.. nama aku jangan diganti ya yang di hape..”
“Iya.. bawel”
Gua kemudian meluncur melewati jalan margonda raya yang ternyata kalo sabtu siang itu macetnya bener-bener bisa buat melatih kesabaran. Sungguh sebuah ujian yang luar biasa.
Butuh waktu hampir satu jam untuk gua tiba dirumah Ines, gua membuka pagar saat teringat titipan rujak-nya Ines. Gua menepuk jidat dan kembali menutup pagar, bergegas mencari tukang rujak. Tapi apa daya si Ines keburu keluar;
“Mau kemana?”
Ines berteriak dari depan pintu rumahnya.
Gua yang baru aja mau membuka pintu mobil, Cuma bisa cengengesan sambil garuk-garuk kepala yang nggak gatal.
“Lupa beli rujak nya ya?”
“Hehehe iya.. gua beli dulu ya..”
“Udah nggak usah.. “
Kemudian gua kembali membuka pagar dan masuk kedalam.
Didalam gua disambut si Pulan yang berlari-lari dari dapur. Iya pulan dan cepi adalah kucing yang sama, Cuma karena si Ines nggak setuju dengan nama pulan dia menggunakan nama sendiri, cepi.
“Nes, lu mau mas kimpoi apa?”
“Hah.. kok pake nanya.. aku sih terserah kamu aja..”
“Ya elu maunya apa, kan gua nanya dulu sama lu..”
“Biasanya apa sih kalo mas kimpoi? “
“Macem-macem, ada yang seperangkat alat solat, alquran, duit, emas, bahkan ada yang mas kimpoinya hafalan quran..”
“Kalo aku minta yang lain, selain itu boleh..”
“Ya bebas, tapi jangan yang mahal-mahal.. “
“Kalo Saturday Nights & Sunday Mornings-nya Counting Crows boleh?”
“Hah.. CD?”
“Iya..katanya apa aja boleh?”
Gua mengucek-ngucek muka dengan telapak tangan.
“Yang lain nggak bisa?”
“Bisa..”
“Yaudah yang lain aja..”
“Yang lainnya kamu aja yang pilih tapi CD Counting Crows-nya harus tetep ada..”
“Yah nes.. lu mah ada-ada aja sih..”
“Jadi nggak mau?”
“Iya mau..”
Kemudian gua keluar dari ruang tamu dan duduk di teras, menyalakan sebatang rokok, menghisapnya dalam-dalam dan menghembuskannya keluar, terdengar suara Ines dari dalam; “Minum air putih aja ya, jangan ngopi melulu..” gua menjawab dalam hati; “Yeah nes.. whatever you want, whatever…”
Ines keluar sambil membawa segelas air putih dingin, dia menutup hidungnya dengan bajunya. Baju guns n roses milik gua yang dia pake dulu waktu di Leeds, baju itu masih terlihat kebesaran buatnya, baju yang digunakannya saat gua jatuh cinta kepadanya.
“Matiin dong rokoknya..”
Gua membuang rokok yang baru aja dibakar.
“Kok ganti baju gituan..”
“Iya gerah..kenapa emang? Mau diminta lagi nih baju?”
“Kagak..”
“Terpesona?”
“Kalo terpesona iya, elu cantik banget nes kalo make baju itu..”
“Ah yang bener?”
“Suer..”
Ines duduk di kursi sebelah gua.
“Bon.. kenapa kamu bisa sayang sama aku?”
Gua Cuma mengangkat bahu.
“Booni..”
“Gua nggak tau nes, kan gua udah pernah bilang. Kalo gua mencintai lu karena sebuah alasan, nanti kalo gua udah nggak punya alasan lagi untuk mencintai lu gimana? Kalo misalnya gua mencintai lu karena elu cantik, ntar kalo elu udah nggak cantik lagi gimana? Apa Gua harus berhenti mencintai lu?”
“Boniii…”
“Apaa?”
“Kenapa si kamu seneng banget bikin aku nangis mulu..”
Gua memandang Ines, dia terlihat entah cemberut atau berusaha menahan air matanya agar tidak jatuh. Ekspersinya malah bikin gua ingin tertawa.
“Yah, elunya aja dikit-dikit nangis..”
“Kamunya tuh..”
“Udah nelpon abang lu belom?”
“Belom.. takuut, ngomongnya gimana ya?”
“Yaudah sini gua yang ngomong..”
“Yee, masa tau-tau kamu yang ngomong.. kasih tau aja harus ngomong gimana?”
“Yaelah tinggal bilang aja ‘bang ines dilamar orang nih, mau nge-waliin nggak’, gitu?”
“Udah gitu doang?”
“Lah ya terserah elu..mo ditambahin greeting dulu sebelumnya juga boleh..”
“Ish dia mah..”
“Udah sana telepon.. apa nggak pake hape gua nih..”
Gua mengeluarkan ponsel dari saku celana dan menyerahkannya ke Ines. Ines menggeleng kemudian beranjak masuk, mengambil ponselnya sendiri. Beberapa menit kemudian dia keluar sambil membawa ponsel dan sebuah notes kecil bersampul hitam, dia membuka, membolak-balik nya, kemudian berhenti di sebuah halaman yang tertera tulisan dengan spidol hitam disana; “Mas Herman”.
Ines memandang lama tulisan pada halaman tersebut sebelum tangannya mulai menekan tombol-tombol pada ponsel. Ines menekan mode ‘Speaker’ dan sesaat kemudian terdengar nada sambung beberapa kali sampai terdengar suara berat dari ujung sana.
“Hallo..”
“…”
“Hallo…”
Gua menyenggol bahu Ines, memberikan tanda agar segera bicara. Ines kemudian seperti baru tersadar dari lamunannya dan mulai berbicara;
“Halo.. mas..”
“Halo.. ini siapa?”
“Ines, mas..”
“Ada apa, nes?”
“Mas Ines mau minta maap kalo ines punya salah sama mas herman..”
“Trus kalau kamu sudah minta maaf, apa ibu bisa balik nes?”
“Nggak mas..”
Gua memperhatikan Ines yang matanya mulai berlinang lagi dan nggak seberapa lama pipinya mulai basah oleh air mata.
“Maafin ines mas..”
“Kamu baru sadar kalo kamu salah? Kamu baru sadar kalau selama ini mas ngasih tau yang bener, kemana aja kamu nes.. ibu udah nggak ada, baru kamu nangis-nangis ngaku salah, dulu almarhum ibu mati-matian bilangin kamu buat jauhin si johan, akhirnya sakit dan sekarang.. kamu minta maaf sama mas,”
Ines turun dari kursinya dan duduk merosot ke lantai, tangisnya semakin menjadi-jadi, kepalanya tertunduk ke lantai, meraung-raung, ponselnya dibiarkan terjatuh di kursi tempat dia duduk barusan.
Gua mengambil ponsel yang masih terhubung ke kakaknya dan mulai berbicara;
“Assalamualaikum..”
“Siapa nih? Johan.. ngapain kamu han?”
“Anu.. bukan mas.. saya boni..”
“Boni siapa?”
Gua mencoba meraih tangan Ines sambil berbicara dengan Mas Herman, kemudian memapahnya untuk masuk kedalam, gua merebahkan ines di sofa ruang tamu kemudian melanjutkan pembicaraaan dengan Mas herman.
“Gini mas, Ines udah nggak lagi sama Johan, dan dia nyesel kok..”
“Lho,saya ini nanya.. kamu siapa?”
“Saya Insyaallah calon suaminya Ines, mas.. InsyaAllah.. makanya tadi Ines nelpon mau ngasih tau ke mas-nya.. kiranya kalo bicara di telepon kurang sopan. Apa boleh saya ketemu sama mas?”
“Lho kamu nggak tau? Saya ini di Ostrali lho..”
“Oh tau mas.. iya saya tau, nggak masalah kok..”
“Lho kamu emang dimana?”
“Di Jakarta mas, makanya kalau mas-nya berkenan nanti saya mau ketemu sama mas, nah mas-nya australinya dimana, alamatnya dimana, nanti biar saya kesana..”
Siapa nama kamu tadi?”
“Boni, mas..”
“Oke, Boni.. kamu serius mau melamar Ines?”
“Melamar secara pribadi sih udah mas, tinggal kan saya harus ngomong sama mas-nya sebagai wali-nya Ines.. “
“Serius sama dia?”
“Serius mas..”
“Sudah dipikir masak-masak?”
“Insyaallah sudah mas..”
“Saya mau bicara sama Ines lagi bisa?”
Gua memandang Ines yang masih sesenggukan sambil berbaring di sofa’
“Kayaknya nggak bisa mas, dia masih nangis terus tuh..”
“Tolong dibilangin tuh ke Ines nya.. makanya kalau..”
“Mas.. mas herman.. “
Gua memotong omongan mas herman yang gelagatnya mau menumpahkan lagi emosinya kepada Ines.
“Maaf mas saya potong sebentar.. jadi begini mas, kalau menurut saya pribadi, menurut saya lho.. Ines kan sudah minta maaf ke mas, dia juga nyesel banget kok, nah disini kan saya sebagai orang luar di urusan keluarga mas sama Ines nih.. saya Cuma minta pengertiannya aja ke mas untuk minta restu-nya mas buat Ines, mudah-mudahan berkah…”
“Ya saya ngerti.. Cuma saya nggak habis pikir aja sama itu anak, susah banget dikasih taunya..”
“Iya mas..”
“Trus kapan mau acaranya..”
“Belum ditentukan mas, soalnya saya mau minta ijin sama mas-nya dulu..”
“Oh ya, kalau saya nggak masalah asal kamu bisa tanggung jawab sama dia..”
“Oh insyaallah bisa mas..”
“Jadi gimana nih mas, alamatnya mana ya, biar saya catet dulu.. atau masnya mau sms aja ke nomor ini?”
“Nggak.. nggak perlu, nanti saya aja yang ke Indonesia.. di Informasikan aja waktunya..”
“Jadi masnya mau kan nge-wali-in Ines..”
“Iya.. iya..”
“Yasudah nanti saya hubungi lagi deh, assalamualaikum..”
“Ya, waalaikumsalam..”
Gua kemudian duduk disofa disebelah Ines yang masih sesenggukan. Kemudian gua membelai rambutnya yang sudah mulai panjang. Dia merebahkan kepalanya di bahu kiri gua.
“Mas herman mau kok , ngewaliin lu..”
“Yang bener bon..”
“Iya bener..”
“Kok bisa..”
“Ya bisa.. nanti coba gua telpon lagi kalo dia berubah pikiran ya terpaksa gua kesana..”
“Bon.. kalo nggak perlu ijin Mas herman gimana?”
“Ya nggak bisa nes, wali lu kan mas Herman..”
“Mau nikah aja susah banget ya”
“Hehehe.. ini si nggak ada apa-apanya nes, ketimbang penderitaan gua nantinya kalo hidup tanpa elu?”
“Ish gombal, gombal,gombal”
Dan Ines pun tersenyum lagi, akhirnya kami menghabiskan sisa sore itu dengan berjalan kaki ke depan komplek dan menikmati pecel ayam.
---
“Ni.. abangnya Ines udah lu telpon lagi belom?”
Nyokap bertanya sambil mengukur-ukur sebuah baju muslim panjang berwarna putih.
“Udah.. katanya dia mau kesini..”
“Lah kagak elu aje yang kesonoin?”
“Nggak, dia yang maksa mau kesini...”
Kemudian Ika datang dan langsung nimbrung, gua melihat ini adalah sebuah ancaman buat kopi gua yang baru gua bikin, kemudian menyingkirkanya ke kolong kursi. Ika kemudian celingak-celinguk;
“Tadi perasaan gua ngeliat kopi lu bang..”
“Nggak ada, uda abis, lagian celamitan amat si jadi orang, bikin sendiri ngapa?”
“Eh bang.. kakaknya kak Ines mau kesini ya?”
“Iya..”
“Kerumah kita?”
“Iya.. “
“Wah berarti dia penasaran tuh bang sama elu, pengen tau latar belakang elu tuh..”
“Ya nggak apa-apa..”
“Kapan bang..?”
“Minggu depan…”
Gua ngobrol sama Ika sambil berbaring dan sesekali menyeruput kopi yang gua letakkan di kolong kursi saat Ika meleng. Kemudian bokap datang baru saja pulang dari kelurahan. Dia melepas jaket dan menggantungnya di luar, kemudian masuk kedalam menenteng sebuah map yang sepertinya berisi berkas-berkas.
“Dari mana, ba?”
“Lha ntu ngurus surat lajang lu, sama pengantar buat ke KUA..”
“Eh buse, gasik banget..”
“Itu Ines udah ngurus belon ke KUA?”
“Tau dah..”
Gua mengangkat bahu sambil menyeruput kopi dari kolong kursi dan kemudian menyalakan sebatang rokok.
Gua menghembuskan asap rokok kemudian bersandar di kursi. Waktu terasa semakin cepat berjalan, kayaknya baru kemarin gua ketemu perempuan ngeselin yang dilempar orang dari mobil. Sekarang gua sudah mau nikah sama perempuan itu.
Gua menyeruput tegukan terakhir kopi di cangkir dan kemudian beranjak ke kamar . Sebelum nyokap memanggil gua untuk masuk ke kamarnya. Didalam kamar nyokap, terlihat bokap sedang rebahan sambil mengipas-ngipas dengan peci-nya. Gua duduk di sisi kasur;
“Ni.. emak sama baba lu pengen lu nikah sebelon kita naek haji..”
“Lah emak kan berangkatnya September”
“Ya berarti sebelon sepetember lu kudu uda nikah.. “
“…”
“Emak sama baba lu Cuma takut kagak bisa ngeliat lu nikah doang.. “
“Iya mak..”
“Yauda lu omongin gidah ke Ines, jangan dibikin nangis mulu anak orang..”
“Iya..”
Kemudian gua berjalan menuju ke kamar, menjatuhkan diri di ranjang dan memandang ke langit-langit.
Yang gua tau memang kalau orang mau naik haji itu, bakal dianggap seperti sudah meninggal aja, bahkan sebelum berangkat si calon haji dikafani dan diazani, persis seperti mayat. Gua kemudian bergidik, sanggup nggak ya gua menyaksikan bokap-nyokap gua digituin. Hii..
---
Seminggu berikutnya.
Rumah gua terlihat lebih lapang, karena semua kursi-kursi dan meja dikeluarkan setelah bokap mengadakan pengajian selepas Maghrib tadi. Sekarang kami sekeluarga tengah menunggu, Mas Herman yang katanya mau datang selepas Isya.
Nggak lama berselang datang sebuah Taksi berwarna biru, kemudian turun seorang pria berusia 35 tahunan, berbadan kurus, berkulit sawo matang dan dengan rambut panjang yang dikuncir rapi dan gua menebak kalo dialah yang namanya Mas Herman. Ines yang sedari tadi berada di dalam rumah, melihatnya dan langsung keluar, dia mencium tangan kakaknya dan seketika itu juga mulai menangis. Mas Herman yang sepertinya sudah mulai melunak terhadap ines, membelai Ines seraya membisikan sesuatu. Kemudian gua menghampiri mereka, menjabat tangan Mas Herman sambil memperkenalkan diri dan kemudian mempersilahkan masuk.
Bokap sudah bersiap menyambut mas herman di depan pintu rumah, dia mengenakan celana pangsi berwarna hitam, sabuk hijau besar dan baju koko putih di balut dengan sarung Gajah Du*uk dengan motif kotak-kotak merah.
Kemudian bokap mempersilahkan Mas herman masuk.
Pertemuan ini berjalan lancar, nggak banyak yang dibicarakan, hanya mengenai waktu dan tanggal acara akad dan resepsi saja. Dari pihak Mas Herman nggak menuntut kapan tanggal dan waktu untuk acara, begitu juga dari pihak Bokap dan nyokap gua, semua diserahkan kepada gua dan Ines. Gua duduk bersebelahan dengan Ines, gua menatapnya dan menggenggam tangannya.
”Woi.. blon muhrim itu..”
Terdengar suara bisikan Ika dari sebelah gua. Gua dan Ines Cuma saling pandang dan cengengesan.
---
Backsound untuk #19-M


Oh yeah, I'll tell you something
I think you'll understand
When I'll say that something
I wanna hold your hand
I wanna hold your hand
I wanna hold your hand
Oh please, say to me
You'll let me be your man
And please, say to me
You'll let me hold your hand
I'll let me hold your hand
I wanna hold your hand
And when I touch you I feel happy
Inside
It's such a feeling that my love
I can't hide
I can't hide
I can't hide
Yeah, you've got that something
I think you'll understand
When I'll say that something
I wanna hold your hand
I wanna hold your hand
I wanna hold your hand
And when I touch you I feel happy
Inside
It's such a feeling that my love
I can't hide
I can't hide
I can't hide
Yeah, you've got that something
I think you'll understand
When I'll feel that something
I wanna hold your hand
I wanna hold your hand
I wanna hold your hand
I wanna hold your hand


Oh yeah, I'll tell you something
I think you'll understand
When I'll say that something
I wanna hold your hand
I wanna hold your hand
I wanna hold your hand
Oh please, say to me
You'll let me be your man
And please, say to me
You'll let me hold your hand
I'll let me hold your hand
I wanna hold your hand
And when I touch you I feel happy
Inside
It's such a feeling that my love
I can't hide
I can't hide
I can't hide
Yeah, you've got that something
I think you'll understand
When I'll say that something
I wanna hold your hand
I wanna hold your hand
I wanna hold your hand
And when I touch you I feel happy
Inside
It's such a feeling that my love
I can't hide
I can't hide
I can't hide
Yeah, you've got that something
I think you'll understand
When I'll feel that something
I wanna hold your hand
I wanna hold your hand
I wanna hold your hand
I wanna hold your hand
Spoiler for klipnya:
Diubah oleh robotpintar 05-03-2014 11:32
regmekujo dan 18 lainnya memberi reputasi
19
Kutip
Balas
![Accidentally In Love [True Story]](https://s.kaskus.id/images/2014/04/07/6448808_20140407033338.jpg)