#19-L You Really The Only Light I See
Quote:
Dua bulan sudah sejak gua dan Ines mulai bekerja di Jakarta, dua bulan pula gua menjalin asmara dengannya. Boleh dibilang hubungan gua dengan Ines berjalan datar-datar saja, hampir nggak ada konfik yang pernah terjadi. Paling-paling Cuma sedikit salah paham yang bikin Ines ngambek dan kemudian diakhiri dengan makan pecel ayam di daerah Tanah Baru, Depok.
Hampir nggak ada bukan berarti nggak ada sama sekali, konflik-konflik kecil yang sering menghampiri biasanya masalah komunikasi. Ines maunya ditelepon bukan menelepon, maunya di-sms duluan, selalu nagih buat ditanyain ‘udah makan apa belom’, selalu minta di-sms ‘selamat tidur’.
Dan ada percakapan via sms yang terjadi setiap malam selalu terjadi menjelang tidur dan terkadang ujung-ujung-nya bikin dia ngambek dan gua jadi kurang tidur;
Ines : “Ud smpe rmh?”
Gua : “Ud”
Ines : “Ud lama?”
Gua : “bout 15mnts ago”
Ines : “kok ga ngabarin?”
Gua : “Lha ini ngabarin”
Ines : “Yauda bo2”
Gua : “Ya”
Ines : “Met bo2 ya, hv a nice dream”
Gua : “Ya”
Ines : “Love u”
Gua : “Iya”
Ines : “Kok ga bls?”
Gua : “Itu bls”
Ines : “Kok ga bls ‘love u too’?”
Gua : “Love u too”
Ines : “Gitu aja pake disuru, ga peka bgt”
Gua : “Met bo2, hv a nice dream, love u too”
Ines : “Masa tiap mlm, diingetin terus”
Gua : “Iya”
Ines : “Jgn iya-iya doang, bsok gtu lg”
Biasanya kejadian sms-an kayak model begitu terjadi seminggu bisa dua atau tiga kali. Kecuali kalau Ines yang ketiduran duluan dan nggak sempet sms gua besoknya nggak bakal ada masalah, beda perkaranya kalo gua yang ketiduran tanpa sempat sms dia, sudah bisa dipastikan tengah malam buta, ika bakal ngetok-ngetok kamar gua dan bilang ke gua; “Bang, ih ini kak Ines nanyain mulu.. kalo lagi berantem jangan melibatkan pihak ketiga napa..” dan kemudian gua mengecek ponsel gua, ada minimal 10 panggilan tak terjawab dan lebih dari 5 pesan masuk, kesemuanya dari Ines. Biasanya pesan-pesan tersebut nggak gua baca, langsung gua apus, karena isinya bener-bener mendeskreditkan gua.
Tapi kalau kata orang, berantem dalam berpacaran itu bumbu-bumbu nya, bisa bikin lebih nikmat. Namun kalau terlalu banyak juga bakal bikin muntah-muntah.
Pernah suatu waktu gua mengajak Ines ke acara nonton bareng sepak bola di sebuah mall dibilangan Cilandak, disana gua nggak sengaja bertemu dengan seorang teman SMA gua dulu, namanya Dika. Dika ini datang bersama pacarnya, setelah berbasa-basi ria, Dika dan pacarnya pamit karena mau nonton midnight, Ines menangkap percakapan mereka;
“Ayah.. yuk udah jam segini, film-nya keburu mulai..”
“Oiya, yuk.. tiketnya sama bunda kan?”
Setelah mendengar selentingan percakapan seperti itu, Ines mengapit tangan gua, kemudian berkata;
“Asik kali ya kalo kita manggil-nya ayah-bunda juga, kamu mau nggak begitu?”
“Ih ogah, jijay gua..”
“Ish kamu mah, nggak romantis..”
“Baru pacaran udah manggil ayah-bunda itu ibarat baru pegangan tangan tapi udah make kondom..”
“Ish..”
Kemudian dia mencubit lengan gua. Kejadian seperti itu aja bisa bikin dia ngambek seharian.
Dan yang lebih gua nggak bisa mengerti dari para perempuan pada umumnya, dan Ines khususnya adalah ‘Shoping’. Mengantar shoping Ines adalah sebuah ‘Neraka’ dunia buat gua dan gua rela melalui ‘Neraka’ dunia tersebut demi Ines. Terkadang demi membeli sebuah tas aja dia rela berkeliling mall ke mall, memasuki toko demi toko, pasar demi pasar dan tawar-menawar sampai ke harga yang menurut gua nggak masuk akal.
Pernah suatu waktu gua mengantar Ines ke sebuah pasar grosir paling terkenal di Jakarta, Pasar Tanah Abang. Konon katanya dia ingin membeli sebuah sepatu yang sedang ngetrend saat itu, orang-orang menyebutnya dengan ‘Wedges’, entah spelling gua bener apa nggak. Sejak dari rumah gua udah mencoba bertanya ke Ines seperti, “mau nyari yang model kayak gimana?”, “Yang warna apa?”, “yang kisaran harga berapa?” dan dia Cuma menjawab dengan satu kalimat; “Ntar liat aja disono.. kamu bawel banget deh..”
Sesampainya disana gua mulai mengikuti Ines memasuki toko pertama, dia memegang sebuah sepatu ‘wedges’ berwarna krem. Kemudian dia bertanya ke gua;
“Bagus nggak bon?”
“Bagus..”
Gua menjawab sambil mengacungkan ibu jari gua ke atas.
Dilanjutkan dengan proses tawar-menawar dengan si abang penjaga toko, harga terakhir dari si penjaga toko adalah Rp 75000, Ines mengernyitkan dahi, bergumam ‘mahal amat’ kemudian keluar dan mengajak gua untuk mencari di toko lain. Dua jam berikutnya, setelah lebih dari, entah puluhan toko dengan mungkin ratusan ‘wedges’ dicoba, dipilih dan ditawarnya pada akhirnya Ines kembali ke toko pertama dan langsung memilih sepatu ‘wedges’ berwarna krem yang pertama kali, dua jam yang lalu dia tawar. Masih dengan harga yang sama; Rp 75000. What the f*ck.
“Kalo tau ujung-ujungnya elu bakalan beli yang itu, ngapain pake muterin nih pasar, emang betis lu nggak pedes apa?”
“Ish kamu bawel deh.. yang namanya belanja ya begini..nyari perbandingan dulu..”
“Iya deh..”
Setelah selesai, kami berjalan menuju ke parkiran. Sepanjang perjalanan Ines terlihat senang bukan main, entah senang karena berhasil mendapatkan sepatu yang dia inginkan dengan harga murah atau senang karena berhasil menyiksa gua. Di perjalanan menuju ke parkiran entah iseng atau emang penasaran. Ines melihat sepatu ‘wedges’ yang sama dengan yang dia beli kemudian bertanya ke abang penjualnya;
“Berapa nih bang?”
“70 rebu neng, harga pas..”
“Oh..”
Sesaat kemudian raut wajahnya berubah, dia nggak menjawab saat gua ajak bicara, langkahnya pun melambat. Sepertinya dia terlihat kesal, ya gua sih cukup memakluminya saat teringat kasus waktu gua beli jersey inggris paul ince seharga £40 ternyata temen gua bisa dapet jersey yang sama dengan harga nggak ada setengahnya. Tapi, kekecewaan Ines kayaknya terlalu berlebihan. Saat dimobil di perjalanan pulang dia tetap membisu.
“Lu kenapa si nes?”
“Aku kesel tau nggak!”
“Kesel kenapa? Gara-gara ada sepatu yang lebih murah?”
“Udah ah, gausah nanya-nanya, nyetir aja yang bener..”
“Yaelah, bedanya juga Cuma goceng.. nanti gua ganti deh gocengnya..”
“Ish… bukan masalah gocengnya, udah ah.. aku lagi males ngomong”
Setelahnya Ines jadi murung berhari-hari, gairah hidupnya seperti hilang. Dan yang sudah barang tentu akhirnya gua yang jadi sasaran kemurkaan Ines. Ya.. the power of shoping.
Semenjak tragedy di pasar Tanah abang itu, setiap Ines meminta gua untuk mengantarnya belanja, gua selalu mencoba untuk menghindar, memang nggak selalu berhasil sih, tapi paling nggak bisa sedikit mengurangi rintihan-rintihan kecil pada bulu kaki di betis gua. Sampai saat gua mendapat ide cemerlang yang pada akhirnya mampu menyelamatkan hidup gua;
“Bon, anterin aku ke pasar Jatinegara ya..”
“Mau beli apa?”
“Beli baju panjang buat acara di tempat kerja besok, mau ya?”
“Aduh nes, dari semalem mules-mules nih..”
“Makanya kalo makan sambel jangan kalap, udah minum obat belom?”
“Udah tadi.. nih ada si Ika, minta anterin dia aja”
“Emang Ika mau?”
“Bentar gua tanyain..”
Kemudian gua membujuk Ika untuk menemani Ines berbelanja. Ika akhirnya mau, walaupun itu harus ditebus dengan bujukan senilai pulsa 100ribu.
“Yaudah dek, elu janjian deh sama Ines..”
“Iya.. mana duit pulsanya..”
“Nih.. makasih ya dek, elu emang penyelamat hidup abang”
Gua mengambil ponsel gua dan mengirim pesan ke Komeng;
“Meng ayo maen PS”
---
Suatu sabtu dipertengahan bulan Maret. Gua dan Ines menghadiri acara pernikahan seorang kerabat di daerah Pancoran, Jakarta Selatan. Acaranya berlangsung di sebuah gedung, gua menggandeng tangan Ines saat masuk kedalam, dia memandang kagum pada dekorasi-dekorasi yang ada, kemudian mengapit tangan gua.
“Bon, ntar kalo kita nikah.. pake tenda dan dekorasinya warna ‘magenta’ ya”
“Magenta..?”
“Iya.. bagus tau.. ya.. ya..ya..”
“Iya..emang kapan mau nikahnya?”
“Ya nggak tau, nunggu dilamar aja..”
“Kalo gua lamar sekarang mau?”
“Ish.. nggak!”
“Kenapa?”
“Nggak romantis..”
“Emang yang romantis gimana?”
“Bawa bunga sama cincin…”
“Nih bunga udah gua bawa, banyak banget tinggal cincinnya aja..ntar nyusul..”
“Mana?”
“Ini..”
Gua menunjuk motif kemeja batik gua yang berbentuk bunga-bunga berwarna cokelat.
“Nes..”
“Ya..”
“Menurut lu, penting nggak sih prosesi tunangan?”
“Ya buat sebagian orang mungkin penting - buat sebagian lainnya mungkin nggak?”
“Ah itu bukan sebuah jawaban..”
“Ya menurut aku sih, ya gitu.. penting nggak penting, tergantung orangnya..”
“Kalo elu, maunya gimana, tunangan dulu apa langsung nikah?”
“Langsung nikah aja, kelamaan pake tunangan segala..”
“Yaudah ntar pulang dari sini, ke rumah dulu ya..”
“Ngapain?”
“Ada deh..”
Setelah acara resepsi tersebut, sesampainya dirumah. Gua kemudian masuk dan mencari bokap disusul Ines yang kemudian menyalami nyokap dan duduk disebelahnya, nimbrung ikutan ‘metikin’ daun melinjo.
“Mak, baba mana?”
“Ono dibelakang, au lagi ngeja’ apaan”
Gua menghampiri bokap di belakang rumah, dia sedang menggergaji kayu.
“Ba..”
“Apaan?”
“Kalo mao bawain duit* perempuan, tapi emak bapak udah kagak ada, gimane tuh?”
“Ya engkong-nya kalo masih ada?”
“Udah kagak ada juga..”
“Ncang-nya..?”
“Nggak ada..”
“Ncing?”
“Nggak ada”
“Set kasian amat tu anak, siapa emangnya?”
“Ines..”
Bokap spontan menatap gua terbengong-bengong, kemudian menjatuhkan gergajinya, dia berjalan ke arah bangku panjang yang sengaja diletakkan dibelakang rumah, tempat biasanya bokap ‘ngopi’ dan merokok dan kemudian duduk disana. Dia menepuk-nepuk tempat kosong disebelahnya, memberikan tanda agar gua duduk disitu.
“Ambilan kopi baba dulu gidah..”
“Dimana?”
“Itu di atas gerobok”
Gua mengambil gelas berukuran super besar, berisi kopi hitam dan menyerahkannya ke Bokap, kemudian gua duduk di sebelahnya.
“Emang tu anak kagak ada sodaranya?”
“Abangnya si ada, tapi di ostrali..”
“Elu udah serius, udah yakin sama dia?”
“Ba, kalo oni nggak yakin mah, mungkin sekarang oni masih di Inggris..”
“Ya kalo lu udah yakin, paranin..”
“Siapa?”
“Abangnya… lu paranin kesono..”
Bokap berbicara menggebu-gebu sambil jarinya menunjuk ke angkasa, mungkin maksudnya menunjuk ke arah Australia.
“Ntar sama baba kesono.. elu beli gidah pisang raja, roti ama emak lu suru ngeja’ uli ama ketan”
“Set dah ribet amat, dikira ostarli deket kali, jauh ba”
“Seberapa jauh si emangnya?, baba lu nih dulu dagang ampe condet jalan kaki..”
“Ya kalo ukurannya condet bisa 1000 kali nya ada kali, lebih malah..”
“Laaah..iya jauh itumah..”
“Orang kate…”
“Lu uda ngomong ama emak lu?”
“Belon ba?”
“Ya panggil dah kemari..”
Kemudian gua bergegas masuk ke dalam dan memanggil nyokap. Gua berkata ke Ines; “Bentar ya nes, lagi mau rapat keluarga”, Ines Cuma tersenyum sambil melanjutkan memetik daun melinjo.
“Apaan bang?”
“Tuh, anak lu minta di kawi nin..”
“Bener, ni?”
Nyokap menoleh ke gua sambil bertanya.
“Iya mak?”
“Lah elu ngapa nggak ngomong ke emak?”
“Lha ini ngomong..”
“Kapan mau bawain duit?”
Gua menggaruk-garuk kepala yang nggak gatal, sambil bergumam dalam hati ; “Yah cape dah gua jelasain lagi..”
Setelah menjelaskan duduk perkaranya ke nyokap, akhirnya dia mengerti. Dia mengangguk-angguk ketika mendengar penjelasan bokap tentang tradisi dan prosesi lamaran adat betawi dimana orang tua si perempuan nggak ada dua-duanya.
“Panggil kemari dah bocahnya, ni..”
“Hah..”
“Buruan..”
“Yah ba, ngomong-nya didalem aja ngapa, masa ngomongin nikah di depan kandang ayam..”
“Emang ngapa si, uda buruan..”
“Bentar ya ba, oni ngomong dulu sama Ines-nya, soalnya oni belon ngomong.. hahaha..”
“Apaan? Lu blon ngomong? Lah elu blon ngomong ke bocahnya tapi udah ngomong ke baba, pegimana?”
Gua meletakan jari telunjuk di depan bibir gua, kemudian masuk menuju ke dalam. Ines sedang duduk menonton tivi, gua duduk disebelahnya, memandangnya yang sedang senyam-senyum menonton acara lawak di tivi.
“Nes.. lu mau nggak nikah sama gua?”
Ines memandang gua, heran.
“Kamu ngelamar aku?”
“Iya, mau?”
“Nggak pake cincin?”
“Nggak..”
Gua menggeleng, menggenggam kedua tangannya;
“Nes gua Cuma bisa menawarkan untuk jadi suami lu, bapak dari anak-anak lu dan imam buat lu kelak.. gua melamar elu nggak bawa apa-apa, nggak ngasih lu apa-apa dan berharap disaat gua nggak punya apa-apa nanti, elu masih menerima gua..”
Gua berkata sambil memandang matanya, Ines mulai berlinang.
“Nes.. you really the only light I see…, Will you marry me?”
Ines nggak menjawab, dia Cuma menangis sesenggukan. Gua mengusap pipinya yang basah oleh airmata sambil berkata:
“Nggak perlu dijawab sekarang, gpp.. udah jangan nangis, ntar gua beliin kitkat”
“Yess, bon.. even before you asking me, theres always ‘yess’ for you..”
“Alhamdulillah.. yaudah dong jangan nangis..”
Ines mengusap-usap pipinya dengan tangan. Gua memandangnya saat dia tersenyum.
“Boon, kamu kan masih utang kit-kat sama aku..”
“Iya nanti dibeliin”
“Dua.. sama yang dulu waktu kita ketemu pertama kali, kamu kan janjiin aku kitkat juga..”
“Oh emang dulu gua janjiin kit-kat juga ya..”
“Ish…”
“Yaudah yuk, kebelakang.. “
“Ngapain?”
“Dipanggil sama bokap?”
“Aku?”
“Iya.. elu, kita meeting keluarga di depan kandang ayam..”