- Beranda
- Stories from the Heart
Accidentally In Love [True Story]
...
TS
robotpintar
Accidentally In Love [True Story]
![Accidentally In Love [True Story]](https://s.kaskus.id/images/2014/02/14/6448808_20140214023854.png)
Spoiler for Cover:
![Accidentally In Love [True Story]](https://s.kaskus.id/images/2014/02/14/6448808_20140214024411.png)
So she said what's the problem baby
What's the problem I don't know
Well maybe I'm in love (love)
Think about it every time
I think about it
Can't stop thinking 'bout it
How much longer will it take to cure this
Just to cure it cause I can't ignore it if it's love (love)
Makes me wanna turn around and face me but I don't know nothing 'bout love
Come on, come on
Turn a little faster
Come on, come on
The world will follow after
Come on, come on
Cause everybody's after love
So I said I'm a snowball running
Running down into the spring that's coming all this love
Melting under blue skies
Belting out sunlight
Shimmering love
Well baby I surrender
To the strawberry ice cream
Never ever end of all this love
Well I didn't mean to do it
But there's no escaping your love
These lines of lightning
Mean we're never alone,
Never alone, no, no
We're accidentally in love
Accidentally in love [x7]
Accidentally I'm In Love
Spoiler for Bagian 1:
#1
Quote:
“Gila lu Bon, roti segitu banyak sayang-sayang bakal empan ikan semua!”
“Emang ngapa? Ikan jaman sekarang mah ogah makan cacing, Meng”
Gua jawab aja sekena-nya, memang niatnya gua bawa roti dari rumah buat bekal pas mancing tapi, gara-gara umpan cacing gua dari tadi nggak disentuh ikan terpaksa gua ganti dengan roti. Siapa tau mujarab.
Nggak seberapa berselang, tali pancing gua bergetar, refleks gua tarik joran sekuatnya dan mendarat dengan mulus seekor ikan yang kurang lebih seukuran telapak tangan.
“Anjritt.. dari tadi dapet sapu-sapu mulu gua!”
Sambil melepas mata kail dari mulut ikan sapu-sapu yang barusan gua angkat dan langsung gua lempar lagi kedalam kali.
Tidak berapa lama, melantun lagu “Time Like This”-nya Foo Fighter dari ponsel gua. Tertera tulisan “Rumah” dilayarnya.
“Kenapa mak?”
Karena memang cuma nyokap gua aja yang selalu telpon melalui telepon rumah. Bokap dan adik gua selalu menggunakan ponsel-nya masing-masing jika ada keperluan.
“Assalamualaikum , Mancing kagak rapi-rapi luh, nih ada kiriman surat buat elu”
“Dari siapa?”
“Kagak tau, bahasanya emak nggak ngerti”
“Simpenin dulu, nih aye udah mau pulang”
“Yaudah buruan, jangan maghriban dijalan, pamali. Assalamualaikum”
“Waalaikumsalam”
Gua kantongin lagi ponsel k-ekantong celana pendek yang sekarang udah kotor campur lumpur, sambil berteriak ke temen gua; Komeng, yang lagi berkutat dengan tali pancingnya yang kusut.
“Meng, ayo balik.. udah sore”
“Belon juga dapet sekilo, udah mau balik aje”
“Yauda elu terusin dah, gua balik duluan”
Komeng menjawab dengan sedikit gumam di bibirnya terdengar seperti “Yaelah..” sambil berjalan gontai menyusul gua.
------
Itu kejadian beberapa tahun yang lalu, dimana gua dan Komeng masih biasa mencari cacing buat umpan ikan di kebun singkong belakang rumahnya Haji Salim dan kemudian pergi memancing disepanjang pinggiran sungai Pesanggrahan, Jakarta.
Sekarang, gua sedang duduk sambil bersandar di sebuah kursi lipat di pinggir danau di daerah Leeds, Inggris. Menghabiskan hari libur akhir musim gugur dengan memancing sambil bernostalgia, mencoba membangkitkan memori tentang memancing, tentang si Komeng, tentang Jakarta, tentang rumah.
Setelah berjam-jam memancing, menghabiskan berkaleng-kaleng ‘Diet Coke’ akhirnya gua memutuskan untuk menyudahi kegiatan sialan ini. Pulang dengan membawa 6 Ekor ikan Yelowtail (di Indonesia disebut ikan patin) dan sedikit kenangan tentang ‘rumah’, gua berjalan gontai menuju tempat dimana sepeda kesayangan gua diparkir, sempat kebingungan awalnya karena sekarang ada banyak sepeda yang diparkir, padahal tadi pagi baru sepeda gua aja yang nongkrong disini, setelah celingak-celinguk akhirnya ketemu juga dan gua mulai mengayuh.
Jarak dari tempat gua biasa mancing ke tempat dimana gua tinggal di Moorland Ave, Leeds kurang lebih 3,5 mil atau kalau dalam satuan Kilometer sekitar 5,5 Km. Jarak segitu kalo disini, di Inggris bisa dibilang ‘deket’, kalau naik sepeda bisa cuma 30 menit.
Oiya, nama gua Boni. Gua lahir dan dibesarkan di Jakarta. Saat ini gua kerja dan tinggal di Leeds, Inggris sekitar 2-3 jam dari London (dengan kereta). Gua kerja sebagai Sound Designer disalah satu Agensi perfilman dan periklanan di Leeds yang juga punya kantor di London. Sudah hampir 4 tahun gua kerja dan tinggal disini, ditempat dimana nggak ada sungai dengan air berwarna cokelat keruh yang banyak ikan sapu-sapunya dan nggak ada teman yang suka menggerutu “Yaelah”.
Sambil mendengarkan “Heaven” nya Lost Lonely Boys lewat headset, gua mengayuh sepeda menuju ke rumah, pulang. Melewati jalan berpasir yang dipenuhi pohon-pohon maple di kedua sisinya menuju jalan utama. Jalan yang sangat sepi dan hening, jam menunjukkan angka 4 sore, menandakan waktu shalat maghrib, di sabtu sore seperti sekarang ini memang didaerah sini sangat sepi, kebanyakan penduduk sekitar sedang ke stadion atau pub-pub untuk menyaksikan Leeds United bertanding. Ingin buru-buru sampai di rumah, karena perut udah mulai keroncongan, gua kayuh sepeda lebih cepat. Sampai kemudian terdengar sayup-sayup suara musik yang makin lama makin nyaring, suara musik RnB yang sepertinya diputar dari dalam mobil dengan volume maksimal. Suara tersebut datang dari arah belakang dan kemudian menyusul gua, sebuah BMW silver yang melaju cepat bahkan boleh dibilang sangat cepat, sambil meninggalkan debu persis seperti mobil yang sedang Rally Dakkar.
“Orang Gila!!” gua mengumpat, masih sambil dengerin coda lagu “Heaven” nya Lost Lonely Boys. Sampai gua melihat beberapa detik kemudian lampu rem BMW tersebut menyala dan kemudian berhenti.
Deg!, “Wuanjrit, sakti juga tuh orang bisa denger suara gua” sambil berhenti dan melepas headset dari telinga. Yang ternyata setelah gua sadar, suara gua nggak sepelan pas pakai headset tadi. Gua nunggu sambil dag dig dug, kalau dia ngerti ucapan gua, dia pasti orang Indonesia dan kalo ternyata bukan gua bakal siap-siap kabur.
Pintu penumpang pun terbuka, terbuka secara paksa tepatnya, sedetik kemudian keluar seseorang dari kursi penumpang, terhuyung dan kemudian terjatuh, terdengar makian dari dalam BMW tersebut mungkin seperti “bitch” atau semacamnya dan sesaat kemudian BMW tersebut pergi, mengasapi orang yang tersungkur itu dengan debu jalanan.
Nggak mau terlalu ambil pusing, sambil bernafas lega dan bilang dalam hati; “untung bukan gua”, gua meneruskan mengayuh sepeda.
“Get up Bro, life is brutal”
gua berkata ke orang itu sambil melewatinya tetap melanjutkan mengayuh. Dan beberapa meter kemudian gua mendengar sebuah teriakan, teriakan yang (pada akhirnya) bakal merubah hidup gua.
“Woii.. Help me!, you’re Indonesian, right?”
“Tolongin gue dong…”
Gua berhenti mengayuh, turun dan bengong. Sudah hampir setahun gua nggak denger secara langsung orang bicara ke gua dengan bahasa Indonesia dan suara perempuan pula.. Lima, ah mungkin sepuluh detik kemudian baru gua memalingkan muka tapi masih tetap bengong.
“Woii..”
Akhirnya gua turun dari sepeda, kemudian menghampiri orang itu. Terduduk di depan gua sosok perempuan, hitam manis dengan kepala tertutup hood jaket hitam, celana jeans dan sepatu model boots sebetis berwarna cokelat.
“Elu nggak apa-apa?”
“Menurut Lo? Kalo gue gak apa-apa, ngapain gua teriak minta tolong elu!!”
Gua nggak menjawab, berusaha membantu dia berdiri sambil bertanya lagi bagaimana keadaannya. Sekali lagi dia mengumpat;
“Gila!, nggak punya hati banget sih lu!, ya jelas lah gue kenapa-kenapa.. nih liat!”
Sambil memperlihatkan telapak tangan dan siku-nya yang luka dan kemudian menyibak celana jeans-nya yang kotor terkena debu dan sobek di beberapa bagian akibat terlempar dari mobil tadi. Sesaat baru dia sadar kalau lutut kanannya juga luka sambil meringis kesakitan dia mencoba membersihkan luka tersebut dengan air liurnya. Sangat Indonesia sekali.
“Gua pikir tadi orang mabok yang lagi berantem, disini mah biasa begitu,mbak!”
Kemudia gua kasih satu-satunya ‘Diet Coke’ sisa memancing tadi, harusnya sih air putih tapi Cuma itu yang gua punya sekarang. Sambil menggerutu karena dikasih ‘Diet Coke’ daripada air putih, diminum juga tuh minuman soda. Kemudian gua menawarkan diri buat mengantar dia ke sebuah toko kecil di ujung jalan ini, untuk membeli plester untuk membalut luka-nya.
“Jauh nggak?”
Dia bertanya sambil menurunkan hood jaketnya dan menyibak rambutnya yang pendek seleher. Kemudian terlihat jelas sebuah luka lebam di sudut mata sebelah kiri-nya, tidak, bukan cuma satu, setidaknya ada 3 luka lebam, selain disudut matanya, satu lagi di dahi sebelah kiri dan satu lagi di sudut bibir sebelah kanan, yang terakhir tampak seperti luka yang baru karena masih meninggalkan sisa bekas darah yang membeku.
Gua nggak berani bertanya, gua hindari menatap kewajahnya sambil menjawab pertanyaa-nya bahwa tokonya nggak begitu jauh dari sini, sambil menunjuk ke arah jalan utama.
---
“Emang ngapa? Ikan jaman sekarang mah ogah makan cacing, Meng”
Gua jawab aja sekena-nya, memang niatnya gua bawa roti dari rumah buat bekal pas mancing tapi, gara-gara umpan cacing gua dari tadi nggak disentuh ikan terpaksa gua ganti dengan roti. Siapa tau mujarab.
Nggak seberapa berselang, tali pancing gua bergetar, refleks gua tarik joran sekuatnya dan mendarat dengan mulus seekor ikan yang kurang lebih seukuran telapak tangan.
“Anjritt.. dari tadi dapet sapu-sapu mulu gua!”
Sambil melepas mata kail dari mulut ikan sapu-sapu yang barusan gua angkat dan langsung gua lempar lagi kedalam kali.
Tidak berapa lama, melantun lagu “Time Like This”-nya Foo Fighter dari ponsel gua. Tertera tulisan “Rumah” dilayarnya.
“Kenapa mak?”
Karena memang cuma nyokap gua aja yang selalu telpon melalui telepon rumah. Bokap dan adik gua selalu menggunakan ponsel-nya masing-masing jika ada keperluan.
“Assalamualaikum , Mancing kagak rapi-rapi luh, nih ada kiriman surat buat elu”
“Dari siapa?”
“Kagak tau, bahasanya emak nggak ngerti”
“Simpenin dulu, nih aye udah mau pulang”
“Yaudah buruan, jangan maghriban dijalan, pamali. Assalamualaikum”
“Waalaikumsalam”
Gua kantongin lagi ponsel k-ekantong celana pendek yang sekarang udah kotor campur lumpur, sambil berteriak ke temen gua; Komeng, yang lagi berkutat dengan tali pancingnya yang kusut.
“Meng, ayo balik.. udah sore”
“Belon juga dapet sekilo, udah mau balik aje”
“Yauda elu terusin dah, gua balik duluan”
Komeng menjawab dengan sedikit gumam di bibirnya terdengar seperti “Yaelah..” sambil berjalan gontai menyusul gua.
------
Itu kejadian beberapa tahun yang lalu, dimana gua dan Komeng masih biasa mencari cacing buat umpan ikan di kebun singkong belakang rumahnya Haji Salim dan kemudian pergi memancing disepanjang pinggiran sungai Pesanggrahan, Jakarta.
Sekarang, gua sedang duduk sambil bersandar di sebuah kursi lipat di pinggir danau di daerah Leeds, Inggris. Menghabiskan hari libur akhir musim gugur dengan memancing sambil bernostalgia, mencoba membangkitkan memori tentang memancing, tentang si Komeng, tentang Jakarta, tentang rumah.
Setelah berjam-jam memancing, menghabiskan berkaleng-kaleng ‘Diet Coke’ akhirnya gua memutuskan untuk menyudahi kegiatan sialan ini. Pulang dengan membawa 6 Ekor ikan Yelowtail (di Indonesia disebut ikan patin) dan sedikit kenangan tentang ‘rumah’, gua berjalan gontai menuju tempat dimana sepeda kesayangan gua diparkir, sempat kebingungan awalnya karena sekarang ada banyak sepeda yang diparkir, padahal tadi pagi baru sepeda gua aja yang nongkrong disini, setelah celingak-celinguk akhirnya ketemu juga dan gua mulai mengayuh.
Jarak dari tempat gua biasa mancing ke tempat dimana gua tinggal di Moorland Ave, Leeds kurang lebih 3,5 mil atau kalau dalam satuan Kilometer sekitar 5,5 Km. Jarak segitu kalo disini, di Inggris bisa dibilang ‘deket’, kalau naik sepeda bisa cuma 30 menit.
Oiya, nama gua Boni. Gua lahir dan dibesarkan di Jakarta. Saat ini gua kerja dan tinggal di Leeds, Inggris sekitar 2-3 jam dari London (dengan kereta). Gua kerja sebagai Sound Designer disalah satu Agensi perfilman dan periklanan di Leeds yang juga punya kantor di London. Sudah hampir 4 tahun gua kerja dan tinggal disini, ditempat dimana nggak ada sungai dengan air berwarna cokelat keruh yang banyak ikan sapu-sapunya dan nggak ada teman yang suka menggerutu “Yaelah”.
Sambil mendengarkan “Heaven” nya Lost Lonely Boys lewat headset, gua mengayuh sepeda menuju ke rumah, pulang. Melewati jalan berpasir yang dipenuhi pohon-pohon maple di kedua sisinya menuju jalan utama. Jalan yang sangat sepi dan hening, jam menunjukkan angka 4 sore, menandakan waktu shalat maghrib, di sabtu sore seperti sekarang ini memang didaerah sini sangat sepi, kebanyakan penduduk sekitar sedang ke stadion atau pub-pub untuk menyaksikan Leeds United bertanding. Ingin buru-buru sampai di rumah, karena perut udah mulai keroncongan, gua kayuh sepeda lebih cepat. Sampai kemudian terdengar sayup-sayup suara musik yang makin lama makin nyaring, suara musik RnB yang sepertinya diputar dari dalam mobil dengan volume maksimal. Suara tersebut datang dari arah belakang dan kemudian menyusul gua, sebuah BMW silver yang melaju cepat bahkan boleh dibilang sangat cepat, sambil meninggalkan debu persis seperti mobil yang sedang Rally Dakkar.
“Orang Gila!!” gua mengumpat, masih sambil dengerin coda lagu “Heaven” nya Lost Lonely Boys. Sampai gua melihat beberapa detik kemudian lampu rem BMW tersebut menyala dan kemudian berhenti.
Deg!, “Wuanjrit, sakti juga tuh orang bisa denger suara gua” sambil berhenti dan melepas headset dari telinga. Yang ternyata setelah gua sadar, suara gua nggak sepelan pas pakai headset tadi. Gua nunggu sambil dag dig dug, kalau dia ngerti ucapan gua, dia pasti orang Indonesia dan kalo ternyata bukan gua bakal siap-siap kabur.
Pintu penumpang pun terbuka, terbuka secara paksa tepatnya, sedetik kemudian keluar seseorang dari kursi penumpang, terhuyung dan kemudian terjatuh, terdengar makian dari dalam BMW tersebut mungkin seperti “bitch” atau semacamnya dan sesaat kemudian BMW tersebut pergi, mengasapi orang yang tersungkur itu dengan debu jalanan.
Nggak mau terlalu ambil pusing, sambil bernafas lega dan bilang dalam hati; “untung bukan gua”, gua meneruskan mengayuh sepeda.
“Get up Bro, life is brutal”
gua berkata ke orang itu sambil melewatinya tetap melanjutkan mengayuh. Dan beberapa meter kemudian gua mendengar sebuah teriakan, teriakan yang (pada akhirnya) bakal merubah hidup gua.
“Woii.. Help me!, you’re Indonesian, right?”
“Tolongin gue dong…”
Gua berhenti mengayuh, turun dan bengong. Sudah hampir setahun gua nggak denger secara langsung orang bicara ke gua dengan bahasa Indonesia dan suara perempuan pula.. Lima, ah mungkin sepuluh detik kemudian baru gua memalingkan muka tapi masih tetap bengong.
“Woii..”
Akhirnya gua turun dari sepeda, kemudian menghampiri orang itu. Terduduk di depan gua sosok perempuan, hitam manis dengan kepala tertutup hood jaket hitam, celana jeans dan sepatu model boots sebetis berwarna cokelat.
“Elu nggak apa-apa?”
“Menurut Lo? Kalo gue gak apa-apa, ngapain gua teriak minta tolong elu!!”
Gua nggak menjawab, berusaha membantu dia berdiri sambil bertanya lagi bagaimana keadaannya. Sekali lagi dia mengumpat;
“Gila!, nggak punya hati banget sih lu!, ya jelas lah gue kenapa-kenapa.. nih liat!”
Sambil memperlihatkan telapak tangan dan siku-nya yang luka dan kemudian menyibak celana jeans-nya yang kotor terkena debu dan sobek di beberapa bagian akibat terlempar dari mobil tadi. Sesaat baru dia sadar kalau lutut kanannya juga luka sambil meringis kesakitan dia mencoba membersihkan luka tersebut dengan air liurnya. Sangat Indonesia sekali.
“Gua pikir tadi orang mabok yang lagi berantem, disini mah biasa begitu,mbak!”
Kemudia gua kasih satu-satunya ‘Diet Coke’ sisa memancing tadi, harusnya sih air putih tapi Cuma itu yang gua punya sekarang. Sambil menggerutu karena dikasih ‘Diet Coke’ daripada air putih, diminum juga tuh minuman soda. Kemudian gua menawarkan diri buat mengantar dia ke sebuah toko kecil di ujung jalan ini, untuk membeli plester untuk membalut luka-nya.
“Jauh nggak?”
Dia bertanya sambil menurunkan hood jaketnya dan menyibak rambutnya yang pendek seleher. Kemudian terlihat jelas sebuah luka lebam di sudut mata sebelah kiri-nya, tidak, bukan cuma satu, setidaknya ada 3 luka lebam, selain disudut matanya, satu lagi di dahi sebelah kiri dan satu lagi di sudut bibir sebelah kanan, yang terakhir tampak seperti luka yang baru karena masih meninggalkan sisa bekas darah yang membeku.
Gua nggak berani bertanya, gua hindari menatap kewajahnya sambil menjawab pertanyaa-nya bahwa tokonya nggak begitu jauh dari sini, sambil menunjuk ke arah jalan utama.
---
DAFTAR ISI
Quote:
CHAPTER 1
#1 The Beginning
#2 Truly Gentlemen
#3 Place Called Home
#4 The Morning Fever
#5 A Miserable Story
#6 Night Rain
#7 Inside My Head
#8 That Day
#9 Be Tough
#10 Mukena
#1 The Beginning
#2 Truly Gentlemen
#3 Place Called Home
#4 The Morning Fever
#5 A Miserable Story
#6 Night Rain
#7 Inside My Head
#8 That Day
#9 Be Tough
#10 Mukena
Quote:
CHAPTER 2
#11-A Trip To Manchester
#11-B The Swiss Army
#12 Here's and Back Again
#13 I Miss You So Bad
#14 Going Mad
#15 Promise
#16 You’ll Be The Only Light I See
#17 The Winter Tears
#18 She's Gone
#19 That Memories
#11-A Trip To Manchester
#11-B The Swiss Army
#12 Here's and Back Again
#13 I Miss You So Bad
#14 Going Mad
#15 Promise
#16 You’ll Be The Only Light I See
#17 The Winter Tears
#18 She's Gone
#19 That Memories
Quote:
CHAPTER 3
[URL="http://www.kaskus.co.id/show_post/530ff7e41acb17030d8b48f1/479/- "]#19-A The Hood[/URL]
#19-B Heres And Back Again II
#19-C Weak
#19-D Surrender
#19-E The Choice
#19-F Anything For You
#19-G Chelsea Number 8
#19-H Its not always about gold and glory
#19-I Aku
#19-J The Words
#19-K The Persian Cat
#19-L You Really The Only Light I See
#19-M So Be It
#19-N Less Than Perfect
#20 That Day II
[URL="http://www.kaskus.co.id/show_post/530ff7e41acb17030d8b48f1/479/- "]#19-A The Hood[/URL]
#19-B Heres And Back Again II
#19-C Weak
#19-D Surrender
#19-E The Choice
#19-F Anything For You
#19-G Chelsea Number 8
#19-H Its not always about gold and glory
#19-I Aku
#19-J The Words
#19-K The Persian Cat
#19-L You Really The Only Light I See
#19-M So Be It
#19-N Less Than Perfect
#20 That Day II
Quote:
CHAPTER 4 The Prekuel
#21 The Prologue
#22 My Precious
#23 Ticket to Ride
#24 Singapore
#25 Dreams
#26 The Awkward Moment
#27 Logic
#28 Driver In Life
#29 The Risk Taker
#30 Sorry
#31 Rise Again
#32 Goodbye
#21 The Prologue
#22 My Precious
#23 Ticket to Ride
#24 Singapore
#25 Dreams
#26 The Awkward Moment
#27 Logic
#28 Driver In Life
#29 The Risk Taker
#30 Sorry
#31 Rise Again
#32 Goodbye
Quote:
CHAPTER 5!!
#33 London
#34 Unwell
#35 I Was Here
#36 Leeds
#37 New Home, New Life
#38 Alone
#39 Intermezo
#40 Goin' Trough
#41 At Glance
#42 The Past of The Future
#33 London
#34 Unwell
#35 I Was Here
#36 Leeds
#37 New Home, New Life
#38 Alone
#39 Intermezo
#40 Goin' Trough
#41 At Glance
#42 The Past of The Future
Quote:
CHAPTER 6
#43 My First ...
#44 If Lovin' You ...
#45 Goin' Back
#46 Leeds II
#47 I Love You (Jealousy)
#48 After All
#49 Hell Yeah
#50 Conflict
#51 Liar-Liar
#52 Memories
#43 My First ...
#44 If Lovin' You ...
#45 Goin' Back
#46 Leeds II
#47 I Love You (Jealousy)
#48 After All
#49 Hell Yeah
#50 Conflict
#51 Liar-Liar
#52 Memories
Quote:
Quote:
Diubah oleh robotpintar 10-04-2014 08:46
namakuag dan 119 lainnya memberi reputasi
118
1.3M
Kutip
2.3K
Balasan
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#709
Spoiler for Bagian ke sembilan belas K:
#19-K The Persian Cat
Quote:
Hari ke Tiga Ines dirumah sakit.
Dia sudah dipersilahkan pulang oleh dokter, gua berada di dalam ruangan memandang Ines yang sedang memasukkan buah-buahan kedalam kantong plastik.
“Lu balik ke rumah gua dulu ya..”
“Nggak ah, nggak enak, ngerepotin..”
“Ntar di depok, siapa yang ngurusin elu..”
“Yan ngurus diri sendiri, biasanya juga gitu..”
“Ntar kalo kenapa-kenapa, gimana?”
“Kan ada kamu..”
“Kalo gua kerja?”
“Emang kamu udah dapet kerjaan disini?”
Gua mengangguk, kemudian Ines meninggalkan kegiatannya dan menghampiri gua yang tengah duduk di sofa. Dia menjatuhkan diri di sofa, bersandar di bahu gua dan berkata;
“Yaah nggak ada yang nemenin aku dong kalo kamu kerja..”
“Ada, ntar gua beliin kucing..”
“Ish..”
“Elu tuh harus jaga kesehatan, kata dokter, tekanan darah lu rendah, makanya lu gampang pingsan, makannya juga yang teratur..”
“Iya..”
“Makanya kalo lu tinggal di Depok, siapa yang mau ngawasin?”
“Katanya mau beliin kucing… hehehe”
“Au..”
---
Gua berjalan menggandeng tangan Ines turun melewati loby rumah sakit. Sesaat kemudian kami sudah berada di dalam taksi menuju ke daerah Beji, Depok.
Taksi meluncur melewati jalan Barito raya, dimana banyak berjejer kios-kios yang menjajakan berbagai jenis hewan peliharaan dari mulai burung, kucing, anjing bahkan monyet. Ines melongok melalui kaca jendela, menepuk-nepuk kaki gua;
“Bon.. bon beliin monyet doong..”
“Ah monyet, bakal apaan?”
“Ya buat dipelihara aja..”
“Miara kok monyet..”
“Yaudah kucing ya.. ya.. ya.. ya.. pak stop pak, stop..”
“Laah..”
Sedetik kemudian taksi pun berhenti, Ines membuka pintu penumpang, kemudian menyebrangi jalan menuju ke kios yang menjual aneka jenis kucing. Gua Cuma menggelengkan kepala, nggak habis pikir sama nih anak, minta sesuatu nggak pake mikir tiba-tiba langsung memberhentikan taksi terus ngeloyor keluar.
Gua berkata ke si supir taksi untuk menunggu sebentar, kemudian gua menyusulnya, menyebrangi jalan dan menghampirinya. Ines sedang berjongkok didepan sebuah kandang, membelai-belai seekor kucing Persia kecil berwarna kuning-emas.
“Yang ini lucu ya, bon?”
Ines bertanya ke gua sambil tetap mengelus-elus kucing tersebut.
“Ah, lucuan juga srimulat..”
“Ish,.. “
Kemudian dia membuka kandangnya dan menggendong kucing tersebut.
“Ini berapaan bang?”
“yang itu 950 neng..”
Si Abang menjawab sambil menghisap dalam-dalam rokok kretek-nya.
“Masak kecil begitu mahal banget bang?”
Gua mencoba menawarnya.
“Yah belon dapet mas, paling dapet 900..”
“Tuh nes, mahal.. udah yuk, besok aja nyari kucing di pasar..”
Gua memandang Ines kemudian mengajaknya kembali ke taksi.
Ines balas memandang ke gua, dengan senjatanya yang mematikan; Sebuah pandangan mata memelas. Gua membuang muka dan mengarahkan pandangan kembali ke abangnya.
“700 bang, mau nggak? Udah ga ada lagi nih duitnya..”
“Tambain dikiit mas..750 ya..”
“730 langsung saya angkut nih…”
Gua bergegas mengeluarkan dompet dari dalam kantong dan mengeluarkan delapan lembar seratusan ribu rupiah.
“Yauda deh..”
Akhirnya kucing tersebut berhasil ditebus dengan harga 730 ribu rupiah. Gua menenteng kandangnya menuju ke taksi sambil nangis, gila! beli kucing 700 rebu, sedangkan Ines menyusul dibelakang sambil menggendong kucing Persia kecil berwarna kuning-emas menuju ke Taksi.
Kemudian taksi yang kami tumpangi meneruskan perjalanan menembus jalanan Ibu kota, berbelok ke kiri kemudian kekanan melewati jalan Panglima Polim, beberapa saat kemudian kami melewati kampus tempat dimana Ines kuliah dulu, tempat yang sama dimana gua mengurus Ijasah dan KTP-nya Ines.
“Eh, bon.. kita namain siapa ya nih kucingnya?”
“..”
“Bon..”
“Apa?”
“Kita namain siapa ya nih kucingnya?”
“Pupus..”
“Ah standar banget..”
“Belang?”
“Belang? Dari mana belangnya, kan dia nggak belang..”
“Polos?”
“Yaah masa polos sih.. kamu mah nggak asik banget ngasih namanya..”
“Yaudah namain aja si pulan..”
“Ish..”
---
“Nes.. gua mau nanya dong..”
“Apa?”
“Tapi lu jangan marah ya?”
“Tergantung..”
“Yah, nggak jadi deh..”
“Yauda deh, aku nggak marah..”
“Emang lu pernah mau bakar perpustakaan kampus?”
Mendengar pertanyaan dari gua Ines terlihat terkejut.
“Eh kok kamu tau sih?”
“Ya kan waktu itu gua sempet kekampus elu, buat minta dokumen buat paspor lu..”
“Trus yang cerita siapa?”
“Nggak tau orang Administrasi ..”
“Kumisan? Tinggi?”
“Iya..”
“Dasar ma’mun “
“Kenapa lu mau bakar kampus?”
“Iya tuh gara-gara ma’mun reseh, dulu sebelum di TU dia tuh penjaga perpus. Pas aku mau minjem buku dia nggak ngasih, katanya aku pernah minjem tapi belom dipulangin, padahal aku baru sekali-sekalinya mau minjem disitu..”
“Trus..”
“Kesel, aku minjem korek sama temen, aku bakar kertas trus aku masukin lewat jendela perpus dari luar.. ee nggak taunya bukunya pada kebakar..”
“Abis dong tuh perpustakaan kampus..?”
“Nggak kebakaran semua sih, Cuma yaa.. paling ratusan buku sama beberapa meja aja..”
“Buset… untung aja nggak di D.O..”
“Hampir.. heheha Cuma di skors aja tiga bulan..”
“What.. bakar perpustakaan Cuma di skors tiga bulan…”
“Yeee.. tiga bulan juga sama aja satu semester, aku kan nggak mungkin ngejar mata kuliah se-semester Cuma dengan waktu tiga bulan..”
“Ya.. setimpal sih..”
“Ish..”
Ines mencubit lengan gua kemudian memasukan si pulan kedalam keranjangnya.
“Eh lu katanya udah interview, hasilnya gimana?”
“Iya udah interview dua kali malah..”
“Trus?”
“Tinggal nunggu panggilan aja.. kalo dua minggu nggak di telpon berarti gagal..”
“Yauda sabar deh.. kalo rejeki nggak kemana..”
“Iya hehehe..”
---
Dua hari berikutnya gua sudah berada di sebuah gedung di daerah Kelapa Gading, Jakarta. Gua duduk di ruang tunggu di depan resepsionis. Kemarin gua menelpon bu Soemarni dan bilang kalau gua sudah berada di Jakarta dan bertanya kapan gua bisa mulai kerja. Bu Soemarni mengatakan kalau gua bisa mulai kerja secepatnya.
“Mas Boni..?”
Seorang wanita yang pernah ber-video call-an dengan gua muncul, dia terlihat lebih tua dan lebih kurus dibandingkan dengan waktu gua lihat saat video call.
“Iya, ibu SoemarniJF”
“Wah, nggak usah pake JF lah, yuk masuk..”
Kemudian gua mengikuti Bu Soemarni masuk ke dalam melewati bilik-bilik dimana para pekerja sibuk didepan layar monitor mereka masing-masing. Gua memandang sekeliling, yang terlihat sama. Cuma rutinitas pekerjaan bersifat administratif.
Kemudian Bu Soemarni masuk kedalam sebuah ruangan dengan papan nama dipintu yang bertuliskan “Soemarni – Head of Human Resources”. Gua dipersilahkan masuk dan duduk olehnya. Kemudian dia menyajikan segelas air mineral dan duduk dikursinya.
“Maaf bu, ini perusahaan Advertising dan Periklanan kan?”
“Iya betul.. kenapa kok nanya begitu..?”
“Nggak, kok saya perhatiin, karyawannya pada kaku-kaku semua kerjanya, kayak kerja di Bank aja..nggak kayak perusahaan advertising maksudnya..”
“Oh.. soalnya disini bagian administratifnya mas boni.. workshopnya beda..”
“Owh.. pantesan.. “
“Nah kita kan baru buka cabang, anak perusahaan, mas boni nanti bakal kita tempatin disana..”
“Tapi masih di Jakarta kan bu?”
“Oh Iya masih, di daerah permata hijau..tau kan?”
“Tau.. itu mah deket dari rumah saya bu..”
“Oo gitu..”
“Iya..”
Kemudian Bu Soemarni mulai menjelaskan perihal detail-detail tentang perusahaan ini. Tentang visi dan misinya, tentang jenjang karir dan benefit yang bakal gua dapet, tentang pemilik perusahaannya, tentang jam kerjanya dan ah pokoknya remeh-temeh lainnya.
Setelah janjian dengan Bu Soemarni di kantor permata hijau besok pagi, gua pun pamit untuk pulang.
---
Malamnya gua sedang menonton tivi sambil menyeruput kopi panas saat Ika datang tiba tiba sepulang kerja dan langsung meminum kopi gua;
“Wuahhh.. fait fanget..siahan”
Ika berbicara sambil berlari menuju ke kamar mandi, memuntahkan kopi yang baru diminumnya.
“Maen sosor aja sih lu..”
“Eh bang, kita bilang nyokap masalah naik haji sekarang aja ya..”
“Boleh-boleh..”
“Emak mana?”
“Tuh dikamar..”
Nggak lama berselang, nyokap keluar dari kamar sambil mengenakan kerudung nya.
“Mau kemana mak?”
Ika bertanya.
“Ke warung, tuh baba lu kumat.. lagi nujuh*”
Nujuh: artinya pusih Tujuh keliling.
“Lah elu uda balik aja, ka?”
Nyokap bertanya ke Ika sambil ngeloyor keluar.
Sebaliknya dari warung nyokap memberikan obat pusing ke bokap kemudian kembali ke luar, duduk disebelah gua.
“Ni, besok pagi anterin emak ye, ke pasar”
“Ah besok oni udah mulai kerja..”
“Laah gasik banget lu dapet kerjaan..”
“Iya, mang mo ngapain ke pasar?”
“Belanja bakal selametan, kan lu udah balik kemari..”
“Yaelah, uda kagak usah pake selametan-selametan segala ngapa?”
“Emang ngapa si? Orang ogah banget ama selametan..”
“Ya lagian emak dikit-dikit selametan..”
“Ya kagak ngapa-ngapa, itung-itung ngasih sedekah orang..”
“Ntar kalo mo naek haji baru selametan..”
“Au taon kapan itu mah, pan kebon baba lu udah dijual..duit darimane?”
Kemudian Ika datang membawa semacam kartu dan amplop. Dan memberikannya ke gua, gua membuka amplop dan membacanya. Isinya kurang lebih semacam pemberitahuan tentang jadwal pendaftaran kloter haji untuk Bokap dan nyokap gua yang namanya tertera disana. Kemudian gua memberikannya ke Nyokap.
“Apaan ini? Lah elu mah pada ngenye’ banget, ketauan gua kagak bisa baca, lu kasihin beginian..”
“Yauda sono baba suru bacain..hadiah itu dari oni sama ika..”
“Hadiah mah emas, hadiah kok kertas..”
Nyokap ngedumel sambil beranjak dan menuju kekamar.
Nggak seberapa lama, terdengar suara bokap dari dalam kamar; “Subhanallah” kemudian bokap keluar dari kamar, ada dua lembar koyo tertempel dikedua sisi kepalanya, disusul nyokap dengan tampang kebingungan.
“Ini beneran, ni?”
“Ya bener, masa imitasi..”
“Alhamdulillah..”
Bokap mengucap syukur sambil seketika memeluk gua dan Ika. Terlihat air mata bokap menggenang di sudut matanya. Ika pun mulai berlinang air matanya. Gua sebagai cowok macho mencoba menahan genangan air mata yang sudah hampir menetes.
“Ini sebenernya ada apaan si, gua kagak ngarti?”
Nyokap masih berdiri terheran-heran melihat semua pemandangan yang terasa aneh buat dia. Kemudian bokap berdiri dan menunjukkan kertas tersebut ke nyokap.
“Iye.. aye udah liat bang tadi, tapi pan aye nggak bisa baca..”
“Ini surat isinya kalo kita bakal naek haji..”
Bokap melambai-lambaikan surat tersebut didepan nyokap.
“Masyaallah.. oni.. ika lu dapet duit dari mane..?”
Nyokap bertanya penasaran.
“Ya ika sama bang oni nabung mak, sebenernya mah banyakan duit bang oni, ika Cuma nambain doang..”
“Subhanallah…”
Nyokap mengucap syukur kemudian mulai menangis.
“Emang elu punya duit tong.. ntar bakal lu kimpoi ada apa kagak? Emak emang pengen naek haji, tapi kalo emak naek haji tapi lu nggak bisa kimpoi, mendingan emak nggak usah haji..”
Nyokap memeluk gua kemudian memeluk Ika sambil menangis sesenggukan.
“Mak.. buat kimpoi insyaallah ada jalannya ntar, kan baba udah jual kebon yang harusnya buat naek haji bakal bayarin kuliah oni, sekarang oni sama ika emang nggak bisa beliin emak sama baba kebon lagi, tapi paing nggak duitnya cukup buat naek haji..”
“Ya Allah, tong… emak nggak tau kudu ngomong apa..”
Nggak terasa pipi gua terasa hangat, air mata gua mulai menetes. Sepanjang hidup, gua Cuma menangis dua kali; waktu kucing gua mati kelindes mobil dan sekarang.
“Yaudah besok nggak usah selametan segala..ntar aja kalo emak mau berangkat haji, baru selametan..”
“Iya dah..”
Bersamaan dengan itu, masuk sebuah pesan ke ponsel baru gua. Dari Ines;
“Bon, ak diterima kerja.. bsk pagi mulai kerja”
Gua membalasnya; “Alhamdulillah, mudah2an lancar”
Gua tersenyum.
Dia sudah dipersilahkan pulang oleh dokter, gua berada di dalam ruangan memandang Ines yang sedang memasukkan buah-buahan kedalam kantong plastik.
“Lu balik ke rumah gua dulu ya..”
“Nggak ah, nggak enak, ngerepotin..”
“Ntar di depok, siapa yang ngurusin elu..”
“Yan ngurus diri sendiri, biasanya juga gitu..”
“Ntar kalo kenapa-kenapa, gimana?”
“Kan ada kamu..”
“Kalo gua kerja?”
“Emang kamu udah dapet kerjaan disini?”
Gua mengangguk, kemudian Ines meninggalkan kegiatannya dan menghampiri gua yang tengah duduk di sofa. Dia menjatuhkan diri di sofa, bersandar di bahu gua dan berkata;
“Yaah nggak ada yang nemenin aku dong kalo kamu kerja..”
“Ada, ntar gua beliin kucing..”
“Ish..”
“Elu tuh harus jaga kesehatan, kata dokter, tekanan darah lu rendah, makanya lu gampang pingsan, makannya juga yang teratur..”
“Iya..”
“Makanya kalo lu tinggal di Depok, siapa yang mau ngawasin?”
“Katanya mau beliin kucing… hehehe”
“Au..”
---
Gua berjalan menggandeng tangan Ines turun melewati loby rumah sakit. Sesaat kemudian kami sudah berada di dalam taksi menuju ke daerah Beji, Depok.
Taksi meluncur melewati jalan Barito raya, dimana banyak berjejer kios-kios yang menjajakan berbagai jenis hewan peliharaan dari mulai burung, kucing, anjing bahkan monyet. Ines melongok melalui kaca jendela, menepuk-nepuk kaki gua;
“Bon.. bon beliin monyet doong..”
“Ah monyet, bakal apaan?”
“Ya buat dipelihara aja..”
“Miara kok monyet..”
“Yaudah kucing ya.. ya.. ya.. ya.. pak stop pak, stop..”
“Laah..”
Sedetik kemudian taksi pun berhenti, Ines membuka pintu penumpang, kemudian menyebrangi jalan menuju ke kios yang menjual aneka jenis kucing. Gua Cuma menggelengkan kepala, nggak habis pikir sama nih anak, minta sesuatu nggak pake mikir tiba-tiba langsung memberhentikan taksi terus ngeloyor keluar.
Gua berkata ke si supir taksi untuk menunggu sebentar, kemudian gua menyusulnya, menyebrangi jalan dan menghampirinya. Ines sedang berjongkok didepan sebuah kandang, membelai-belai seekor kucing Persia kecil berwarna kuning-emas.
“Yang ini lucu ya, bon?”
Ines bertanya ke gua sambil tetap mengelus-elus kucing tersebut.
“Ah, lucuan juga srimulat..”
“Ish,.. “
Kemudian dia membuka kandangnya dan menggendong kucing tersebut.
“Ini berapaan bang?”
“yang itu 950 neng..”
Si Abang menjawab sambil menghisap dalam-dalam rokok kretek-nya.
“Masak kecil begitu mahal banget bang?”
Gua mencoba menawarnya.
“Yah belon dapet mas, paling dapet 900..”
“Tuh nes, mahal.. udah yuk, besok aja nyari kucing di pasar..”
Gua memandang Ines kemudian mengajaknya kembali ke taksi.
Ines balas memandang ke gua, dengan senjatanya yang mematikan; Sebuah pandangan mata memelas. Gua membuang muka dan mengarahkan pandangan kembali ke abangnya.
“700 bang, mau nggak? Udah ga ada lagi nih duitnya..”
“Tambain dikiit mas..750 ya..”
“730 langsung saya angkut nih…”
Gua bergegas mengeluarkan dompet dari dalam kantong dan mengeluarkan delapan lembar seratusan ribu rupiah.
“Yauda deh..”
Akhirnya kucing tersebut berhasil ditebus dengan harga 730 ribu rupiah. Gua menenteng kandangnya menuju ke taksi sambil nangis, gila! beli kucing 700 rebu, sedangkan Ines menyusul dibelakang sambil menggendong kucing Persia kecil berwarna kuning-emas menuju ke Taksi.
Kemudian taksi yang kami tumpangi meneruskan perjalanan menembus jalanan Ibu kota, berbelok ke kiri kemudian kekanan melewati jalan Panglima Polim, beberapa saat kemudian kami melewati kampus tempat dimana Ines kuliah dulu, tempat yang sama dimana gua mengurus Ijasah dan KTP-nya Ines.
“Eh, bon.. kita namain siapa ya nih kucingnya?”
“..”
“Bon..”
“Apa?”
“Kita namain siapa ya nih kucingnya?”
“Pupus..”
“Ah standar banget..”
“Belang?”
“Belang? Dari mana belangnya, kan dia nggak belang..”
“Polos?”
“Yaah masa polos sih.. kamu mah nggak asik banget ngasih namanya..”
“Yaudah namain aja si pulan..”
“Ish..”
---
“Nes.. gua mau nanya dong..”
“Apa?”
“Tapi lu jangan marah ya?”
“Tergantung..”
“Yah, nggak jadi deh..”
“Yauda deh, aku nggak marah..”
“Emang lu pernah mau bakar perpustakaan kampus?”
Mendengar pertanyaan dari gua Ines terlihat terkejut.
“Eh kok kamu tau sih?”
“Ya kan waktu itu gua sempet kekampus elu, buat minta dokumen buat paspor lu..”
“Trus yang cerita siapa?”
“Nggak tau orang Administrasi ..”
“Kumisan? Tinggi?”
“Iya..”
“Dasar ma’mun “
“Kenapa lu mau bakar kampus?”
“Iya tuh gara-gara ma’mun reseh, dulu sebelum di TU dia tuh penjaga perpus. Pas aku mau minjem buku dia nggak ngasih, katanya aku pernah minjem tapi belom dipulangin, padahal aku baru sekali-sekalinya mau minjem disitu..”
“Trus..”
“Kesel, aku minjem korek sama temen, aku bakar kertas trus aku masukin lewat jendela perpus dari luar.. ee nggak taunya bukunya pada kebakar..”
“Abis dong tuh perpustakaan kampus..?”
“Nggak kebakaran semua sih, Cuma yaa.. paling ratusan buku sama beberapa meja aja..”
“Buset… untung aja nggak di D.O..”
“Hampir.. heheha Cuma di skors aja tiga bulan..”
“What.. bakar perpustakaan Cuma di skors tiga bulan…”
“Yeee.. tiga bulan juga sama aja satu semester, aku kan nggak mungkin ngejar mata kuliah se-semester Cuma dengan waktu tiga bulan..”
“Ya.. setimpal sih..”
“Ish..”
Ines mencubit lengan gua kemudian memasukan si pulan kedalam keranjangnya.
“Eh lu katanya udah interview, hasilnya gimana?”
“Iya udah interview dua kali malah..”
“Trus?”
“Tinggal nunggu panggilan aja.. kalo dua minggu nggak di telpon berarti gagal..”
“Yauda sabar deh.. kalo rejeki nggak kemana..”
“Iya hehehe..”
---
Dua hari berikutnya gua sudah berada di sebuah gedung di daerah Kelapa Gading, Jakarta. Gua duduk di ruang tunggu di depan resepsionis. Kemarin gua menelpon bu Soemarni dan bilang kalau gua sudah berada di Jakarta dan bertanya kapan gua bisa mulai kerja. Bu Soemarni mengatakan kalau gua bisa mulai kerja secepatnya.
“Mas Boni..?”
Seorang wanita yang pernah ber-video call-an dengan gua muncul, dia terlihat lebih tua dan lebih kurus dibandingkan dengan waktu gua lihat saat video call.
“Iya, ibu SoemarniJF”
“Wah, nggak usah pake JF lah, yuk masuk..”
Kemudian gua mengikuti Bu Soemarni masuk ke dalam melewati bilik-bilik dimana para pekerja sibuk didepan layar monitor mereka masing-masing. Gua memandang sekeliling, yang terlihat sama. Cuma rutinitas pekerjaan bersifat administratif.
Kemudian Bu Soemarni masuk kedalam sebuah ruangan dengan papan nama dipintu yang bertuliskan “Soemarni – Head of Human Resources”. Gua dipersilahkan masuk dan duduk olehnya. Kemudian dia menyajikan segelas air mineral dan duduk dikursinya.
“Maaf bu, ini perusahaan Advertising dan Periklanan kan?”
“Iya betul.. kenapa kok nanya begitu..?”
“Nggak, kok saya perhatiin, karyawannya pada kaku-kaku semua kerjanya, kayak kerja di Bank aja..nggak kayak perusahaan advertising maksudnya..”
“Oh.. soalnya disini bagian administratifnya mas boni.. workshopnya beda..”
“Owh.. pantesan.. “
“Nah kita kan baru buka cabang, anak perusahaan, mas boni nanti bakal kita tempatin disana..”
“Tapi masih di Jakarta kan bu?”
“Oh Iya masih, di daerah permata hijau..tau kan?”
“Tau.. itu mah deket dari rumah saya bu..”
“Oo gitu..”
“Iya..”
Kemudian Bu Soemarni mulai menjelaskan perihal detail-detail tentang perusahaan ini. Tentang visi dan misinya, tentang jenjang karir dan benefit yang bakal gua dapet, tentang pemilik perusahaannya, tentang jam kerjanya dan ah pokoknya remeh-temeh lainnya.
Setelah janjian dengan Bu Soemarni di kantor permata hijau besok pagi, gua pun pamit untuk pulang.
---
Malamnya gua sedang menonton tivi sambil menyeruput kopi panas saat Ika datang tiba tiba sepulang kerja dan langsung meminum kopi gua;
“Wuahhh.. fait fanget..siahan”
Ika berbicara sambil berlari menuju ke kamar mandi, memuntahkan kopi yang baru diminumnya.
“Maen sosor aja sih lu..”
“Eh bang, kita bilang nyokap masalah naik haji sekarang aja ya..”
“Boleh-boleh..”
“Emak mana?”
“Tuh dikamar..”
Nggak lama berselang, nyokap keluar dari kamar sambil mengenakan kerudung nya.
“Mau kemana mak?”
Ika bertanya.
“Ke warung, tuh baba lu kumat.. lagi nujuh*”
Nujuh: artinya pusih Tujuh keliling.
“Lah elu uda balik aja, ka?”
Nyokap bertanya ke Ika sambil ngeloyor keluar.
Sebaliknya dari warung nyokap memberikan obat pusing ke bokap kemudian kembali ke luar, duduk disebelah gua.
“Ni, besok pagi anterin emak ye, ke pasar”
“Ah besok oni udah mulai kerja..”
“Laah gasik banget lu dapet kerjaan..”
“Iya, mang mo ngapain ke pasar?”
“Belanja bakal selametan, kan lu udah balik kemari..”
“Yaelah, uda kagak usah pake selametan-selametan segala ngapa?”
“Emang ngapa si? Orang ogah banget ama selametan..”
“Ya lagian emak dikit-dikit selametan..”
“Ya kagak ngapa-ngapa, itung-itung ngasih sedekah orang..”
“Ntar kalo mo naek haji baru selametan..”
“Au taon kapan itu mah, pan kebon baba lu udah dijual..duit darimane?”
Kemudian Ika datang membawa semacam kartu dan amplop. Dan memberikannya ke gua, gua membuka amplop dan membacanya. Isinya kurang lebih semacam pemberitahuan tentang jadwal pendaftaran kloter haji untuk Bokap dan nyokap gua yang namanya tertera disana. Kemudian gua memberikannya ke Nyokap.
“Apaan ini? Lah elu mah pada ngenye’ banget, ketauan gua kagak bisa baca, lu kasihin beginian..”
“Yauda sono baba suru bacain..hadiah itu dari oni sama ika..”
“Hadiah mah emas, hadiah kok kertas..”
Nyokap ngedumel sambil beranjak dan menuju kekamar.
Nggak seberapa lama, terdengar suara bokap dari dalam kamar; “Subhanallah” kemudian bokap keluar dari kamar, ada dua lembar koyo tertempel dikedua sisi kepalanya, disusul nyokap dengan tampang kebingungan.
“Ini beneran, ni?”
“Ya bener, masa imitasi..”
“Alhamdulillah..”
Bokap mengucap syukur sambil seketika memeluk gua dan Ika. Terlihat air mata bokap menggenang di sudut matanya. Ika pun mulai berlinang air matanya. Gua sebagai cowok macho mencoba menahan genangan air mata yang sudah hampir menetes.
“Ini sebenernya ada apaan si, gua kagak ngarti?”
Nyokap masih berdiri terheran-heran melihat semua pemandangan yang terasa aneh buat dia. Kemudian bokap berdiri dan menunjukkan kertas tersebut ke nyokap.
“Iye.. aye udah liat bang tadi, tapi pan aye nggak bisa baca..”
“Ini surat isinya kalo kita bakal naek haji..”
Bokap melambai-lambaikan surat tersebut didepan nyokap.
“Masyaallah.. oni.. ika lu dapet duit dari mane..?”
Nyokap bertanya penasaran.
“Ya ika sama bang oni nabung mak, sebenernya mah banyakan duit bang oni, ika Cuma nambain doang..”
“Subhanallah…”
Nyokap mengucap syukur kemudian mulai menangis.
“Emang elu punya duit tong.. ntar bakal lu kimpoi ada apa kagak? Emak emang pengen naek haji, tapi kalo emak naek haji tapi lu nggak bisa kimpoi, mendingan emak nggak usah haji..”
Nyokap memeluk gua kemudian memeluk Ika sambil menangis sesenggukan.
“Mak.. buat kimpoi insyaallah ada jalannya ntar, kan baba udah jual kebon yang harusnya buat naek haji bakal bayarin kuliah oni, sekarang oni sama ika emang nggak bisa beliin emak sama baba kebon lagi, tapi paing nggak duitnya cukup buat naek haji..”
“Ya Allah, tong… emak nggak tau kudu ngomong apa..”
Nggak terasa pipi gua terasa hangat, air mata gua mulai menetes. Sepanjang hidup, gua Cuma menangis dua kali; waktu kucing gua mati kelindes mobil dan sekarang.
“Yaudah besok nggak usah selametan segala..ntar aja kalo emak mau berangkat haji, baru selametan..”
“Iya dah..”
Bersamaan dengan itu, masuk sebuah pesan ke ponsel baru gua. Dari Ines;
“Bon, ak diterima kerja.. bsk pagi mulai kerja”
Gua membalasnya; “Alhamdulillah, mudah2an lancar”
Gua tersenyum.
Backsound untuk #19-K


Another turning point, a fork stuck in the road
Time grabs you by the wrist, directs you where to go
So make the best of this test, and don't ask why
It's not a question, but a lesson learned in time
It's something unpredictable, but in the end that's right,
I hope you had the time of your life.
So take the photographs, and still frames in your mind
Hang it on a shelf in good health and good time
Tattoos and memories and dead skin on trial
Through what it's worth it was worth all the while
It's something unpredictable, but in the end that's right,
I hope you had the time of your life.
It's something unpredictable, but in the end that's right,
I hope you had the time of your life.
It's something unpredictable, but in the end that's right,
I hope you had the time of your life.


Another turning point, a fork stuck in the road
Time grabs you by the wrist, directs you where to go
So make the best of this test, and don't ask why
It's not a question, but a lesson learned in time
It's something unpredictable, but in the end that's right,
I hope you had the time of your life.
So take the photographs, and still frames in your mind
Hang it on a shelf in good health and good time
Tattoos and memories and dead skin on trial
Through what it's worth it was worth all the while
It's something unpredictable, but in the end that's right,
I hope you had the time of your life.
It's something unpredictable, but in the end that's right,
I hope you had the time of your life.
It's something unpredictable, but in the end that's right,
I hope you had the time of your life.
Spoiler for klipnya:
Diubah oleh robotpintar 04-03-2014 09:20
regmekujo dan 20 lainnya memberi reputasi
21
Kutip
Balas
![Accidentally In Love [True Story]](https://s.kaskus.id/images/2014/04/07/6448808_20140407033338.jpg)