- Beranda
- Stories from the Heart
Accidentally In Love [True Story]
...
TS
robotpintar
Accidentally In Love [True Story]
![Accidentally In Love [True Story]](https://s.kaskus.id/images/2014/02/14/6448808_20140214023854.png)
Spoiler for Cover:
![Accidentally In Love [True Story]](https://s.kaskus.id/images/2014/02/14/6448808_20140214024411.png)
So she said what's the problem baby
What's the problem I don't know
Well maybe I'm in love (love)
Think about it every time
I think about it
Can't stop thinking 'bout it
How much longer will it take to cure this
Just to cure it cause I can't ignore it if it's love (love)
Makes me wanna turn around and face me but I don't know nothing 'bout love
Come on, come on
Turn a little faster
Come on, come on
The world will follow after
Come on, come on
Cause everybody's after love
So I said I'm a snowball running
Running down into the spring that's coming all this love
Melting under blue skies
Belting out sunlight
Shimmering love
Well baby I surrender
To the strawberry ice cream
Never ever end of all this love
Well I didn't mean to do it
But there's no escaping your love
These lines of lightning
Mean we're never alone,
Never alone, no, no
We're accidentally in love
Accidentally in love [x7]
Accidentally I'm In Love
Spoiler for Bagian 1:
#1
Quote:
“Gila lu Bon, roti segitu banyak sayang-sayang bakal empan ikan semua!”
“Emang ngapa? Ikan jaman sekarang mah ogah makan cacing, Meng”
Gua jawab aja sekena-nya, memang niatnya gua bawa roti dari rumah buat bekal pas mancing tapi, gara-gara umpan cacing gua dari tadi nggak disentuh ikan terpaksa gua ganti dengan roti. Siapa tau mujarab.
Nggak seberapa berselang, tali pancing gua bergetar, refleks gua tarik joran sekuatnya dan mendarat dengan mulus seekor ikan yang kurang lebih seukuran telapak tangan.
“Anjritt.. dari tadi dapet sapu-sapu mulu gua!”
Sambil melepas mata kail dari mulut ikan sapu-sapu yang barusan gua angkat dan langsung gua lempar lagi kedalam kali.
Tidak berapa lama, melantun lagu “Time Like This”-nya Foo Fighter dari ponsel gua. Tertera tulisan “Rumah” dilayarnya.
“Kenapa mak?”
Karena memang cuma nyokap gua aja yang selalu telpon melalui telepon rumah. Bokap dan adik gua selalu menggunakan ponsel-nya masing-masing jika ada keperluan.
“Assalamualaikum , Mancing kagak rapi-rapi luh, nih ada kiriman surat buat elu”
“Dari siapa?”
“Kagak tau, bahasanya emak nggak ngerti”
“Simpenin dulu, nih aye udah mau pulang”
“Yaudah buruan, jangan maghriban dijalan, pamali. Assalamualaikum”
“Waalaikumsalam”
Gua kantongin lagi ponsel k-ekantong celana pendek yang sekarang udah kotor campur lumpur, sambil berteriak ke temen gua; Komeng, yang lagi berkutat dengan tali pancingnya yang kusut.
“Meng, ayo balik.. udah sore”
“Belon juga dapet sekilo, udah mau balik aje”
“Yauda elu terusin dah, gua balik duluan”
Komeng menjawab dengan sedikit gumam di bibirnya terdengar seperti “Yaelah..” sambil berjalan gontai menyusul gua.
------
Itu kejadian beberapa tahun yang lalu, dimana gua dan Komeng masih biasa mencari cacing buat umpan ikan di kebun singkong belakang rumahnya Haji Salim dan kemudian pergi memancing disepanjang pinggiran sungai Pesanggrahan, Jakarta.
Sekarang, gua sedang duduk sambil bersandar di sebuah kursi lipat di pinggir danau di daerah Leeds, Inggris. Menghabiskan hari libur akhir musim gugur dengan memancing sambil bernostalgia, mencoba membangkitkan memori tentang memancing, tentang si Komeng, tentang Jakarta, tentang rumah.
Setelah berjam-jam memancing, menghabiskan berkaleng-kaleng ‘Diet Coke’ akhirnya gua memutuskan untuk menyudahi kegiatan sialan ini. Pulang dengan membawa 6 Ekor ikan Yelowtail (di Indonesia disebut ikan patin) dan sedikit kenangan tentang ‘rumah’, gua berjalan gontai menuju tempat dimana sepeda kesayangan gua diparkir, sempat kebingungan awalnya karena sekarang ada banyak sepeda yang diparkir, padahal tadi pagi baru sepeda gua aja yang nongkrong disini, setelah celingak-celinguk akhirnya ketemu juga dan gua mulai mengayuh.
Jarak dari tempat gua biasa mancing ke tempat dimana gua tinggal di Moorland Ave, Leeds kurang lebih 3,5 mil atau kalau dalam satuan Kilometer sekitar 5,5 Km. Jarak segitu kalo disini, di Inggris bisa dibilang ‘deket’, kalau naik sepeda bisa cuma 30 menit.
Oiya, nama gua Boni. Gua lahir dan dibesarkan di Jakarta. Saat ini gua kerja dan tinggal di Leeds, Inggris sekitar 2-3 jam dari London (dengan kereta). Gua kerja sebagai Sound Designer disalah satu Agensi perfilman dan periklanan di Leeds yang juga punya kantor di London. Sudah hampir 4 tahun gua kerja dan tinggal disini, ditempat dimana nggak ada sungai dengan air berwarna cokelat keruh yang banyak ikan sapu-sapunya dan nggak ada teman yang suka menggerutu “Yaelah”.
Sambil mendengarkan “Heaven” nya Lost Lonely Boys lewat headset, gua mengayuh sepeda menuju ke rumah, pulang. Melewati jalan berpasir yang dipenuhi pohon-pohon maple di kedua sisinya menuju jalan utama. Jalan yang sangat sepi dan hening, jam menunjukkan angka 4 sore, menandakan waktu shalat maghrib, di sabtu sore seperti sekarang ini memang didaerah sini sangat sepi, kebanyakan penduduk sekitar sedang ke stadion atau pub-pub untuk menyaksikan Leeds United bertanding. Ingin buru-buru sampai di rumah, karena perut udah mulai keroncongan, gua kayuh sepeda lebih cepat. Sampai kemudian terdengar sayup-sayup suara musik yang makin lama makin nyaring, suara musik RnB yang sepertinya diputar dari dalam mobil dengan volume maksimal. Suara tersebut datang dari arah belakang dan kemudian menyusul gua, sebuah BMW silver yang melaju cepat bahkan boleh dibilang sangat cepat, sambil meninggalkan debu persis seperti mobil yang sedang Rally Dakkar.
“Orang Gila!!” gua mengumpat, masih sambil dengerin coda lagu “Heaven” nya Lost Lonely Boys. Sampai gua melihat beberapa detik kemudian lampu rem BMW tersebut menyala dan kemudian berhenti.
Deg!, “Wuanjrit, sakti juga tuh orang bisa denger suara gua” sambil berhenti dan melepas headset dari telinga. Yang ternyata setelah gua sadar, suara gua nggak sepelan pas pakai headset tadi. Gua nunggu sambil dag dig dug, kalau dia ngerti ucapan gua, dia pasti orang Indonesia dan kalo ternyata bukan gua bakal siap-siap kabur.
Pintu penumpang pun terbuka, terbuka secara paksa tepatnya, sedetik kemudian keluar seseorang dari kursi penumpang, terhuyung dan kemudian terjatuh, terdengar makian dari dalam BMW tersebut mungkin seperti “bitch” atau semacamnya dan sesaat kemudian BMW tersebut pergi, mengasapi orang yang tersungkur itu dengan debu jalanan.
Nggak mau terlalu ambil pusing, sambil bernafas lega dan bilang dalam hati; “untung bukan gua”, gua meneruskan mengayuh sepeda.
“Get up Bro, life is brutal”
gua berkata ke orang itu sambil melewatinya tetap melanjutkan mengayuh. Dan beberapa meter kemudian gua mendengar sebuah teriakan, teriakan yang (pada akhirnya) bakal merubah hidup gua.
“Woii.. Help me!, you’re Indonesian, right?”
“Tolongin gue dong…”
Gua berhenti mengayuh, turun dan bengong. Sudah hampir setahun gua nggak denger secara langsung orang bicara ke gua dengan bahasa Indonesia dan suara perempuan pula.. Lima, ah mungkin sepuluh detik kemudian baru gua memalingkan muka tapi masih tetap bengong.
“Woii..”
Akhirnya gua turun dari sepeda, kemudian menghampiri orang itu. Terduduk di depan gua sosok perempuan, hitam manis dengan kepala tertutup hood jaket hitam, celana jeans dan sepatu model boots sebetis berwarna cokelat.
“Elu nggak apa-apa?”
“Menurut Lo? Kalo gue gak apa-apa, ngapain gua teriak minta tolong elu!!”
Gua nggak menjawab, berusaha membantu dia berdiri sambil bertanya lagi bagaimana keadaannya. Sekali lagi dia mengumpat;
“Gila!, nggak punya hati banget sih lu!, ya jelas lah gue kenapa-kenapa.. nih liat!”
Sambil memperlihatkan telapak tangan dan siku-nya yang luka dan kemudian menyibak celana jeans-nya yang kotor terkena debu dan sobek di beberapa bagian akibat terlempar dari mobil tadi. Sesaat baru dia sadar kalau lutut kanannya juga luka sambil meringis kesakitan dia mencoba membersihkan luka tersebut dengan air liurnya. Sangat Indonesia sekali.
“Gua pikir tadi orang mabok yang lagi berantem, disini mah biasa begitu,mbak!”
Kemudia gua kasih satu-satunya ‘Diet Coke’ sisa memancing tadi, harusnya sih air putih tapi Cuma itu yang gua punya sekarang. Sambil menggerutu karena dikasih ‘Diet Coke’ daripada air putih, diminum juga tuh minuman soda. Kemudian gua menawarkan diri buat mengantar dia ke sebuah toko kecil di ujung jalan ini, untuk membeli plester untuk membalut luka-nya.
“Jauh nggak?”
Dia bertanya sambil menurunkan hood jaketnya dan menyibak rambutnya yang pendek seleher. Kemudian terlihat jelas sebuah luka lebam di sudut mata sebelah kiri-nya, tidak, bukan cuma satu, setidaknya ada 3 luka lebam, selain disudut matanya, satu lagi di dahi sebelah kiri dan satu lagi di sudut bibir sebelah kanan, yang terakhir tampak seperti luka yang baru karena masih meninggalkan sisa bekas darah yang membeku.
Gua nggak berani bertanya, gua hindari menatap kewajahnya sambil menjawab pertanyaa-nya bahwa tokonya nggak begitu jauh dari sini, sambil menunjuk ke arah jalan utama.
---
“Emang ngapa? Ikan jaman sekarang mah ogah makan cacing, Meng”
Gua jawab aja sekena-nya, memang niatnya gua bawa roti dari rumah buat bekal pas mancing tapi, gara-gara umpan cacing gua dari tadi nggak disentuh ikan terpaksa gua ganti dengan roti. Siapa tau mujarab.
Nggak seberapa berselang, tali pancing gua bergetar, refleks gua tarik joran sekuatnya dan mendarat dengan mulus seekor ikan yang kurang lebih seukuran telapak tangan.
“Anjritt.. dari tadi dapet sapu-sapu mulu gua!”
Sambil melepas mata kail dari mulut ikan sapu-sapu yang barusan gua angkat dan langsung gua lempar lagi kedalam kali.
Tidak berapa lama, melantun lagu “Time Like This”-nya Foo Fighter dari ponsel gua. Tertera tulisan “Rumah” dilayarnya.
“Kenapa mak?”
Karena memang cuma nyokap gua aja yang selalu telpon melalui telepon rumah. Bokap dan adik gua selalu menggunakan ponsel-nya masing-masing jika ada keperluan.
“Assalamualaikum , Mancing kagak rapi-rapi luh, nih ada kiriman surat buat elu”
“Dari siapa?”
“Kagak tau, bahasanya emak nggak ngerti”
“Simpenin dulu, nih aye udah mau pulang”
“Yaudah buruan, jangan maghriban dijalan, pamali. Assalamualaikum”
“Waalaikumsalam”
Gua kantongin lagi ponsel k-ekantong celana pendek yang sekarang udah kotor campur lumpur, sambil berteriak ke temen gua; Komeng, yang lagi berkutat dengan tali pancingnya yang kusut.
“Meng, ayo balik.. udah sore”
“Belon juga dapet sekilo, udah mau balik aje”
“Yauda elu terusin dah, gua balik duluan”
Komeng menjawab dengan sedikit gumam di bibirnya terdengar seperti “Yaelah..” sambil berjalan gontai menyusul gua.
------
Itu kejadian beberapa tahun yang lalu, dimana gua dan Komeng masih biasa mencari cacing buat umpan ikan di kebun singkong belakang rumahnya Haji Salim dan kemudian pergi memancing disepanjang pinggiran sungai Pesanggrahan, Jakarta.
Sekarang, gua sedang duduk sambil bersandar di sebuah kursi lipat di pinggir danau di daerah Leeds, Inggris. Menghabiskan hari libur akhir musim gugur dengan memancing sambil bernostalgia, mencoba membangkitkan memori tentang memancing, tentang si Komeng, tentang Jakarta, tentang rumah.
Setelah berjam-jam memancing, menghabiskan berkaleng-kaleng ‘Diet Coke’ akhirnya gua memutuskan untuk menyudahi kegiatan sialan ini. Pulang dengan membawa 6 Ekor ikan Yelowtail (di Indonesia disebut ikan patin) dan sedikit kenangan tentang ‘rumah’, gua berjalan gontai menuju tempat dimana sepeda kesayangan gua diparkir, sempat kebingungan awalnya karena sekarang ada banyak sepeda yang diparkir, padahal tadi pagi baru sepeda gua aja yang nongkrong disini, setelah celingak-celinguk akhirnya ketemu juga dan gua mulai mengayuh.
Jarak dari tempat gua biasa mancing ke tempat dimana gua tinggal di Moorland Ave, Leeds kurang lebih 3,5 mil atau kalau dalam satuan Kilometer sekitar 5,5 Km. Jarak segitu kalo disini, di Inggris bisa dibilang ‘deket’, kalau naik sepeda bisa cuma 30 menit.
Oiya, nama gua Boni. Gua lahir dan dibesarkan di Jakarta. Saat ini gua kerja dan tinggal di Leeds, Inggris sekitar 2-3 jam dari London (dengan kereta). Gua kerja sebagai Sound Designer disalah satu Agensi perfilman dan periklanan di Leeds yang juga punya kantor di London. Sudah hampir 4 tahun gua kerja dan tinggal disini, ditempat dimana nggak ada sungai dengan air berwarna cokelat keruh yang banyak ikan sapu-sapunya dan nggak ada teman yang suka menggerutu “Yaelah”.
Sambil mendengarkan “Heaven” nya Lost Lonely Boys lewat headset, gua mengayuh sepeda menuju ke rumah, pulang. Melewati jalan berpasir yang dipenuhi pohon-pohon maple di kedua sisinya menuju jalan utama. Jalan yang sangat sepi dan hening, jam menunjukkan angka 4 sore, menandakan waktu shalat maghrib, di sabtu sore seperti sekarang ini memang didaerah sini sangat sepi, kebanyakan penduduk sekitar sedang ke stadion atau pub-pub untuk menyaksikan Leeds United bertanding. Ingin buru-buru sampai di rumah, karena perut udah mulai keroncongan, gua kayuh sepeda lebih cepat. Sampai kemudian terdengar sayup-sayup suara musik yang makin lama makin nyaring, suara musik RnB yang sepertinya diputar dari dalam mobil dengan volume maksimal. Suara tersebut datang dari arah belakang dan kemudian menyusul gua, sebuah BMW silver yang melaju cepat bahkan boleh dibilang sangat cepat, sambil meninggalkan debu persis seperti mobil yang sedang Rally Dakkar.
“Orang Gila!!” gua mengumpat, masih sambil dengerin coda lagu “Heaven” nya Lost Lonely Boys. Sampai gua melihat beberapa detik kemudian lampu rem BMW tersebut menyala dan kemudian berhenti.
Deg!, “Wuanjrit, sakti juga tuh orang bisa denger suara gua” sambil berhenti dan melepas headset dari telinga. Yang ternyata setelah gua sadar, suara gua nggak sepelan pas pakai headset tadi. Gua nunggu sambil dag dig dug, kalau dia ngerti ucapan gua, dia pasti orang Indonesia dan kalo ternyata bukan gua bakal siap-siap kabur.
Pintu penumpang pun terbuka, terbuka secara paksa tepatnya, sedetik kemudian keluar seseorang dari kursi penumpang, terhuyung dan kemudian terjatuh, terdengar makian dari dalam BMW tersebut mungkin seperti “bitch” atau semacamnya dan sesaat kemudian BMW tersebut pergi, mengasapi orang yang tersungkur itu dengan debu jalanan.
Nggak mau terlalu ambil pusing, sambil bernafas lega dan bilang dalam hati; “untung bukan gua”, gua meneruskan mengayuh sepeda.
“Get up Bro, life is brutal”
gua berkata ke orang itu sambil melewatinya tetap melanjutkan mengayuh. Dan beberapa meter kemudian gua mendengar sebuah teriakan, teriakan yang (pada akhirnya) bakal merubah hidup gua.
“Woii.. Help me!, you’re Indonesian, right?”
“Tolongin gue dong…”
Gua berhenti mengayuh, turun dan bengong. Sudah hampir setahun gua nggak denger secara langsung orang bicara ke gua dengan bahasa Indonesia dan suara perempuan pula.. Lima, ah mungkin sepuluh detik kemudian baru gua memalingkan muka tapi masih tetap bengong.
“Woii..”
Akhirnya gua turun dari sepeda, kemudian menghampiri orang itu. Terduduk di depan gua sosok perempuan, hitam manis dengan kepala tertutup hood jaket hitam, celana jeans dan sepatu model boots sebetis berwarna cokelat.
“Elu nggak apa-apa?”
“Menurut Lo? Kalo gue gak apa-apa, ngapain gua teriak minta tolong elu!!”
Gua nggak menjawab, berusaha membantu dia berdiri sambil bertanya lagi bagaimana keadaannya. Sekali lagi dia mengumpat;
“Gila!, nggak punya hati banget sih lu!, ya jelas lah gue kenapa-kenapa.. nih liat!”
Sambil memperlihatkan telapak tangan dan siku-nya yang luka dan kemudian menyibak celana jeans-nya yang kotor terkena debu dan sobek di beberapa bagian akibat terlempar dari mobil tadi. Sesaat baru dia sadar kalau lutut kanannya juga luka sambil meringis kesakitan dia mencoba membersihkan luka tersebut dengan air liurnya. Sangat Indonesia sekali.
“Gua pikir tadi orang mabok yang lagi berantem, disini mah biasa begitu,mbak!”
Kemudia gua kasih satu-satunya ‘Diet Coke’ sisa memancing tadi, harusnya sih air putih tapi Cuma itu yang gua punya sekarang. Sambil menggerutu karena dikasih ‘Diet Coke’ daripada air putih, diminum juga tuh minuman soda. Kemudian gua menawarkan diri buat mengantar dia ke sebuah toko kecil di ujung jalan ini, untuk membeli plester untuk membalut luka-nya.
“Jauh nggak?”
Dia bertanya sambil menurunkan hood jaketnya dan menyibak rambutnya yang pendek seleher. Kemudian terlihat jelas sebuah luka lebam di sudut mata sebelah kiri-nya, tidak, bukan cuma satu, setidaknya ada 3 luka lebam, selain disudut matanya, satu lagi di dahi sebelah kiri dan satu lagi di sudut bibir sebelah kanan, yang terakhir tampak seperti luka yang baru karena masih meninggalkan sisa bekas darah yang membeku.
Gua nggak berani bertanya, gua hindari menatap kewajahnya sambil menjawab pertanyaa-nya bahwa tokonya nggak begitu jauh dari sini, sambil menunjuk ke arah jalan utama.
---
DAFTAR ISI
Quote:
CHAPTER 1
#1 The Beginning
#2 Truly Gentlemen
#3 Place Called Home
#4 The Morning Fever
#5 A Miserable Story
#6 Night Rain
#7 Inside My Head
#8 That Day
#9 Be Tough
#10 Mukena
#1 The Beginning
#2 Truly Gentlemen
#3 Place Called Home
#4 The Morning Fever
#5 A Miserable Story
#6 Night Rain
#7 Inside My Head
#8 That Day
#9 Be Tough
#10 Mukena
Quote:
CHAPTER 2
#11-A Trip To Manchester
#11-B The Swiss Army
#12 Here's and Back Again
#13 I Miss You So Bad
#14 Going Mad
#15 Promise
#16 You’ll Be The Only Light I See
#17 The Winter Tears
#18 She's Gone
#19 That Memories
#11-A Trip To Manchester
#11-B The Swiss Army
#12 Here's and Back Again
#13 I Miss You So Bad
#14 Going Mad
#15 Promise
#16 You’ll Be The Only Light I See
#17 The Winter Tears
#18 She's Gone
#19 That Memories
Quote:
CHAPTER 3
[URL="http://www.kaskus.co.id/show_post/530ff7e41acb17030d8b48f1/479/- "]#19-A The Hood[/URL]
#19-B Heres And Back Again II
#19-C Weak
#19-D Surrender
#19-E The Choice
#19-F Anything For You
#19-G Chelsea Number 8
#19-H Its not always about gold and glory
#19-I Aku
#19-J The Words
#19-K The Persian Cat
#19-L You Really The Only Light I See
#19-M So Be It
#19-N Less Than Perfect
#20 That Day II
[URL="http://www.kaskus.co.id/show_post/530ff7e41acb17030d8b48f1/479/- "]#19-A The Hood[/URL]
#19-B Heres And Back Again II
#19-C Weak
#19-D Surrender
#19-E The Choice
#19-F Anything For You
#19-G Chelsea Number 8
#19-H Its not always about gold and glory
#19-I Aku
#19-J The Words
#19-K The Persian Cat
#19-L You Really The Only Light I See
#19-M So Be It
#19-N Less Than Perfect
#20 That Day II
Quote:
CHAPTER 4 The Prekuel
#21 The Prologue
#22 My Precious
#23 Ticket to Ride
#24 Singapore
#25 Dreams
#26 The Awkward Moment
#27 Logic
#28 Driver In Life
#29 The Risk Taker
#30 Sorry
#31 Rise Again
#32 Goodbye
#21 The Prologue
#22 My Precious
#23 Ticket to Ride
#24 Singapore
#25 Dreams
#26 The Awkward Moment
#27 Logic
#28 Driver In Life
#29 The Risk Taker
#30 Sorry
#31 Rise Again
#32 Goodbye
Quote:
CHAPTER 5!!
#33 London
#34 Unwell
#35 I Was Here
#36 Leeds
#37 New Home, New Life
#38 Alone
#39 Intermezo
#40 Goin' Trough
#41 At Glance
#42 The Past of The Future
#33 London
#34 Unwell
#35 I Was Here
#36 Leeds
#37 New Home, New Life
#38 Alone
#39 Intermezo
#40 Goin' Trough
#41 At Glance
#42 The Past of The Future
Quote:
CHAPTER 6
#43 My First ...
#44 If Lovin' You ...
#45 Goin' Back
#46 Leeds II
#47 I Love You (Jealousy)
#48 After All
#49 Hell Yeah
#50 Conflict
#51 Liar-Liar
#52 Memories
#43 My First ...
#44 If Lovin' You ...
#45 Goin' Back
#46 Leeds II
#47 I Love You (Jealousy)
#48 After All
#49 Hell Yeah
#50 Conflict
#51 Liar-Liar
#52 Memories
Quote:
Quote:
Diubah oleh robotpintar 10-04-2014 08:46
namakuag dan 119 lainnya memberi reputasi
118
1.3M
Kutip
2.3K
Balasan
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#660
Spoiler for Bagian ke Sembilan belas I:
#19-I AKU
Quote:
Jam sepuluh pagi, Ines sudah dipindahkan ke ruang dengan kelas yang lebih baik. Gua duduk di sebelahnya, memegang tangannya yang terdapat jarum infus menembus kulitnya. Ines masih tertidur. Gua merebahkan kepala di sisi ranjang Ines, kemudian perlahan-lahan mulai tertidur.
---
Gua terbangun saat merasakan ada tarikan-tarikan lembut pada rambut gua. Gua melihat ke arah Ines, dia sudah terbangun, menatap gua dengan mata berlinang. Tidak menangis hanya berlinang.
“Elo kapan sampe?”
“Tadi subuh.. “
Gua mengangkat tangan dan menguap, kemudian melihat jam yang menunjukkan pukul 10 pagi. Lumayan juga bisa tidur sebentar.
“Harusnya kan lo nggak usah balik, bon.. gue gapapa..”
“Emang lu nggak seneng gua disini?, gua balik lagi nih..”
“Eh.. jangaaan.. gua seneng kok, seneng banget, malah kalo dengan gue sakit elo bisa balik kesini, mending gue sakit aja terus..”
“Wooiii.. ngomong yang bener, careful what you wish for..”
“…”
“…”
“Kan mahal bon, ongkos bolak-balik Jakarta-London..”
“Ya emang mahal kalo ongkos nya bolak-balik.. kalo sekali jalan mah nggak juga kok..”
“Maksudnya?”
“…”
“Maksudnya apaa?”
Gua Cuma tersenyum.
Obrolan kami ter-interupsi oleh ketukan pelan di pintu kamar, terlihat beberapa wajah asing di jendela yang terdapat di pintu ruangan. Sesaat kemudian pintu terbuka, dan masuk tiga orang; satu pria dan dua wanita. Ines sedikit bangkit, kemudian dia tersenyum;
“Haaiiii.. andiiin, dinda…”
Dua orang wanita yang baru datang berjalan cepat dan langsung memeluk Ines. Gua berdiri dan sedikit menjauh dari ranjang. Pria yang tadi datang bersama dua orang wanita tadi menyalami gua;
“Andi ..”
“Bony.. silahkan-silahkan mas…”
Setelah mengambilkan kursi untuk nya, gua mempersilahkan pria tersebut untuk duduk.
Gua melihat dua orang wanita yang baru datang tadi sedang bercengkrama ramah dengan Ines, terlihat Ines tersenyum sambil bercanda-canda dengan dua orang itu. Gua berasumsi; mereka adalah temannya.
“Saya tinggal dulu ya mas..”
Gua berkata ke pria yang bernama Andi dan bergegas keluar dari kamar, memberikan sedikit privasi buat mereka, mungkin teman-teman lama-nya Ines.
Gua turun menggunakan lift, menuju ke lantai dasar.
---
Sejam kemudian, setelah makan bakso di kantin rumah sakit, Sambil menenteng kantong belanjaan yang berisi roti dan air mineral, gua kembali naik ke atas dengan menggunakan lift. Saat pintu lift terbuka gua berpapasan dengan tiga orang yang tadi gua asumsikan sebagai temannya Ines. Gua tersenyum sambil berlalu, saat salah seorang dari mereka membuka suara;
“Mas boni ya?”
“Iya..”
“Gue andin mas, ini dinda dan ini Andi cowo-nya dinda..”
Gua menyalami mereka berdua kecuali andi, karena gua tadi udah sempet berkenalan dengannya.
“Temen-temennya Ines?”
“Iya, temen satu kampus..”
“Oh.. makasih ya udah jenguk,”
“Iya sama-sama mas, eh kapan jadiannya mas kok nggak ada kabar?”
Gua Cuma tersenyum kecut menanggapi pertanyaan itu, karena emang sejujurnya gua nggak tau kapan gua jadian sama Ines, gua nggak pernah ‘nembak’ Ines dan nggak atu apa status gua dimata Ines sekarang.
Tapi setelah mendengar perkataan dari temennya barusan; “eh kapan jadiannya mas”, maka gua berasumsi Ines telah meng-klaim gua sebagai pacarnya kepada teman-temannya. Habis ini gua berniat mencari cermin buat sekali lagi mengagumi ketampanan gua. Haha.
“Kok diem aja sih mas..?”
“Gapapa..”
“Hahaha gugup ya? Yaudah deh kita pamit dulu ya..”
“Ah bisa aja.. hehe. Iya deh ati-ati ya..”
Setelah berpamitan, gua langsung bergegas menuju ke dalam kamar.
Diranjangnya, Ines sedang berkutat dengan ponselnya. Gua kemudian meletakkan plastik berisi roti dan air mineral di meja diseberang ranjang pasien disebelah sofa berderet yang di sediakan untuk penunggu pasien.
Gua menghampiri ranjang Ines dan melihat sebuah baki dengan semacam sup, semangkuk nasi lembek, telur rebus dan suiran ayam goreng yang ditutup dengan menggunakan plastik wrapping bening yang diletakan di meja disebelah ranjang.
“Lah kok nggak dimakan nih..”
Ines memalingkan wajah dari ponsel sambil menatap ke makanan di atas baki kemudian berpaling menatap gua.
“Elo kemana sih tadi..? gue kan mo ngenalin elo ke temen-temen..”
“Makan dibawah, laper banget.. belom makan sejak lulus SD..”
“Yeee…”
“Lagian tadi juga udah kenalan di depan lift, ketemu..”
“Udah kenal?”
“Udaaah.. “
“Sekarang makan ya..”
“Suapiin..”
Gua membuka plastik wrapping yang menutupi makanan untuk Ines dan kemudian menyuapi-nya.
“Aku nggak mau, telornya..”
Gua diam, membeku. Memastikan lagi apa pendengaran gua baik-baik saja. Atau gua Cuma salah dengar; Ines menggunakan kata “Aku”
“Bengong…”
“Eh maap-maap..”
Gua menyendok bubur dengan suiran daging ayam dan sedikit kuah sup dan mulai menyuapi Ines.
---
Jam menunjukkan pukul satu siang, setelah solat juhur gua duduk disofa seberang ranjang, memandang Ines yang sedang tertidur. Kemudian pintu kamar terbuka, lalu masuk seorang pria tua dengan baju putih, menenteng sebuah papan jalan dan berkalung steteskop, diikuti dengan sosok suster yang sama dengan yang tadi gua Tanya perihal kepindahan kamar. Ah Dokternya datang.
Kemudian si Dokter tersebut melakukan beberapa pengecekan, si Ines kemudian terbangun, dokter menyuruhnya membuka mulut dan kemudian beliau memeriksa dengan senter mungilnya. Beliau kemudian selesai memeriksa sambil mencatat ke papan jalan miliknya.
“Gimana dok?”
“Mas nya ini siapanya?”
“…”
“Pacar saya pak..”
Ines yang baru bangun langsung memotong pembicaraan.
---
Gua terbangun saat merasakan ada tarikan-tarikan lembut pada rambut gua. Gua melihat ke arah Ines, dia sudah terbangun, menatap gua dengan mata berlinang. Tidak menangis hanya berlinang.
“Elo kapan sampe?”
“Tadi subuh.. “
Gua mengangkat tangan dan menguap, kemudian melihat jam yang menunjukkan pukul 10 pagi. Lumayan juga bisa tidur sebentar.
“Harusnya kan lo nggak usah balik, bon.. gue gapapa..”
“Emang lu nggak seneng gua disini?, gua balik lagi nih..”
“Eh.. jangaaan.. gua seneng kok, seneng banget, malah kalo dengan gue sakit elo bisa balik kesini, mending gue sakit aja terus..”
“Wooiii.. ngomong yang bener, careful what you wish for..”
“…”
“…”
“Kan mahal bon, ongkos bolak-balik Jakarta-London..”
“Ya emang mahal kalo ongkos nya bolak-balik.. kalo sekali jalan mah nggak juga kok..”
“Maksudnya?”
“…”
“Maksudnya apaa?”
Gua Cuma tersenyum.
Obrolan kami ter-interupsi oleh ketukan pelan di pintu kamar, terlihat beberapa wajah asing di jendela yang terdapat di pintu ruangan. Sesaat kemudian pintu terbuka, dan masuk tiga orang; satu pria dan dua wanita. Ines sedikit bangkit, kemudian dia tersenyum;
“Haaiiii.. andiiin, dinda…”
Dua orang wanita yang baru datang berjalan cepat dan langsung memeluk Ines. Gua berdiri dan sedikit menjauh dari ranjang. Pria yang tadi datang bersama dua orang wanita tadi menyalami gua;
“Andi ..”
“Bony.. silahkan-silahkan mas…”
Setelah mengambilkan kursi untuk nya, gua mempersilahkan pria tersebut untuk duduk.
Gua melihat dua orang wanita yang baru datang tadi sedang bercengkrama ramah dengan Ines, terlihat Ines tersenyum sambil bercanda-canda dengan dua orang itu. Gua berasumsi; mereka adalah temannya.
“Saya tinggal dulu ya mas..”
Gua berkata ke pria yang bernama Andi dan bergegas keluar dari kamar, memberikan sedikit privasi buat mereka, mungkin teman-teman lama-nya Ines.
Gua turun menggunakan lift, menuju ke lantai dasar.
---
Sejam kemudian, setelah makan bakso di kantin rumah sakit, Sambil menenteng kantong belanjaan yang berisi roti dan air mineral, gua kembali naik ke atas dengan menggunakan lift. Saat pintu lift terbuka gua berpapasan dengan tiga orang yang tadi gua asumsikan sebagai temannya Ines. Gua tersenyum sambil berlalu, saat salah seorang dari mereka membuka suara;
“Mas boni ya?”
“Iya..”
“Gue andin mas, ini dinda dan ini Andi cowo-nya dinda..”
Gua menyalami mereka berdua kecuali andi, karena gua tadi udah sempet berkenalan dengannya.
“Temen-temennya Ines?”
“Iya, temen satu kampus..”
“Oh.. makasih ya udah jenguk,”
“Iya sama-sama mas, eh kapan jadiannya mas kok nggak ada kabar?”
Gua Cuma tersenyum kecut menanggapi pertanyaan itu, karena emang sejujurnya gua nggak tau kapan gua jadian sama Ines, gua nggak pernah ‘nembak’ Ines dan nggak atu apa status gua dimata Ines sekarang.
Tapi setelah mendengar perkataan dari temennya barusan; “eh kapan jadiannya mas”, maka gua berasumsi Ines telah meng-klaim gua sebagai pacarnya kepada teman-temannya. Habis ini gua berniat mencari cermin buat sekali lagi mengagumi ketampanan gua. Haha.
“Kok diem aja sih mas..?”
“Gapapa..”
“Hahaha gugup ya? Yaudah deh kita pamit dulu ya..”
“Ah bisa aja.. hehe. Iya deh ati-ati ya..”
Setelah berpamitan, gua langsung bergegas menuju ke dalam kamar.
Diranjangnya, Ines sedang berkutat dengan ponselnya. Gua kemudian meletakkan plastik berisi roti dan air mineral di meja diseberang ranjang pasien disebelah sofa berderet yang di sediakan untuk penunggu pasien.
Gua menghampiri ranjang Ines dan melihat sebuah baki dengan semacam sup, semangkuk nasi lembek, telur rebus dan suiran ayam goreng yang ditutup dengan menggunakan plastik wrapping bening yang diletakan di meja disebelah ranjang.
“Lah kok nggak dimakan nih..”
Ines memalingkan wajah dari ponsel sambil menatap ke makanan di atas baki kemudian berpaling menatap gua.
“Elo kemana sih tadi..? gue kan mo ngenalin elo ke temen-temen..”
“Makan dibawah, laper banget.. belom makan sejak lulus SD..”
“Yeee…”
“Lagian tadi juga udah kenalan di depan lift, ketemu..”
“Udah kenal?”
“Udaaah.. “
“Sekarang makan ya..”
“Suapiin..”
Gua membuka plastik wrapping yang menutupi makanan untuk Ines dan kemudian menyuapi-nya.
“Aku nggak mau, telornya..”
Gua diam, membeku. Memastikan lagi apa pendengaran gua baik-baik saja. Atau gua Cuma salah dengar; Ines menggunakan kata “Aku”
“Bengong…”
“Eh maap-maap..”
Gua menyendok bubur dengan suiran daging ayam dan sedikit kuah sup dan mulai menyuapi Ines.
---
Jam menunjukkan pukul satu siang, setelah solat juhur gua duduk disofa seberang ranjang, memandang Ines yang sedang tertidur. Kemudian pintu kamar terbuka, lalu masuk seorang pria tua dengan baju putih, menenteng sebuah papan jalan dan berkalung steteskop, diikuti dengan sosok suster yang sama dengan yang tadi gua Tanya perihal kepindahan kamar. Ah Dokternya datang.
Kemudian si Dokter tersebut melakukan beberapa pengecekan, si Ines kemudian terbangun, dokter menyuruhnya membuka mulut dan kemudian beliau memeriksa dengan senter mungilnya. Beliau kemudian selesai memeriksa sambil mencatat ke papan jalan miliknya.
“Gimana dok?”
“Mas nya ini siapanya?”
“…”
“Pacar saya pak..”
Ines yang baru bangun langsung memotong pembicaraan.
Backsound Untuk #19-I


The lights are out in the city tonight
So close your eyes, gaze up at the heavens
And see if you can point me out
If I could have one wish tonight
I'd wish upon a satellite
To bring me back to you
We spend our whole lives searching for
All the things we think we want
And never really knowing what we have
So many paths that we can take
To bring us to our destiny
Gaze up at the heavens
And see if you can point me out
If I could have one wish tonight
I'd wish upon a satellite
To bring me back to you
We spend our whole lives searching for
All the things we think we want
And never really knowing what we have
Be careful what you wish for
These stars are fading out.


The lights are out in the city tonight
So close your eyes, gaze up at the heavens
And see if you can point me out
If I could have one wish tonight
I'd wish upon a satellite
To bring me back to you
We spend our whole lives searching for
All the things we think we want
And never really knowing what we have
So many paths that we can take
To bring us to our destiny
Gaze up at the heavens
And see if you can point me out
If I could have one wish tonight
I'd wish upon a satellite
To bring me back to you
We spend our whole lives searching for
All the things we think we want
And never really knowing what we have
Be careful what you wish for
These stars are fading out.
Spoiler for klipnya:
regmekujo dan 21 lainnya memberi reputasi
22
Kutip
Balas
![Accidentally In Love [True Story]](https://s.kaskus.id/images/2014/04/07/6448808_20140407033338.jpg)