- Beranda
- Kalimantan Tengah
Mitos, Budaya, Legenda, Cerita Rakyat, dan Sejarah
...
TS
TuaGila
Mitos, Budaya, Legenda, Cerita Rakyat, dan Sejarah
Tabe... karena yang lama ketinggalan di arsip old Kaskus, kini saya buka kembali thread
Mitos, Budaya, Legenda, Cerita Rakyat, dan Sejarah
.. sebagai informasi bagi kita bersama
Mitos, Budaya, Legenda, Cerita Rakyat, dan Sejarah
.. sebagai informasi bagi kita bersama
selamat menikmati 

Indeks:
- Mengenal Sosok “GEORGE OBOS” [Pahlawan/Sejarah]
- PULAU SELUNG/SELONG
- JIpen (Budak) dalam Budaya Dayak Ngaju
- TOTOK BAKAKAK /SANDI/KODE
- Makna Mimpi
- Kesaktian/Kepercayaan
- Asal Usul Manusia Dayak
- Pembagian Suku Dayak
- Bentuk Hukum Adat Suku Dayak & Asal Usul Nama Kalimantan
- Penyebaran Orang Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah
- Pandangan Orang Dayak Ngaju Terhadap Tamu Asing dan Pendatang Baru
- Pernikahan Menurut Adat Dayak Ngaju (1)
- Pernikahan Menurut Adat Dayak Ngaju (2)
- Upacara Kematian Dayak Ma'anyan
- Upacara kematian Dayak Ngaju
- Dinamika Kebudayaan Dalam Suku Dayak Ngaju
- Tandak Tutur Tawur Hasapa
Tandak Tutur Tawur Hasapa (2) - Kepercayaan Orang Dayak Tentang Kesaktian
- Ranying Hatalla dan Asal Mula Penciptaan Alam Semesta
- Sepenggal Catatan Sejarah Tumbang Anoi
- Sejarah Pulau Borneo (Kalimantan)
- Sejarah Kaharingan
- Profil Suku Dayak Ngaju
- Suku Dayak Bukit
- petatah petitih suku dayak ngaju
- Arti Perlambangan Pohon Batang Garing
- Tujuh Prinsip Panutan & Norma Dayak Kalteng
- Budaya Tradisional Kalimantan Tengah
- Beberapa Pantangan Dalam Suku Dayak Ngaju
- Pangkalima Burung
- Riwayat Rapat Damai Tumbang Anoi
Riwayat Rapat Damai Tumbang Anoi (2)
Riwayat Rapat Damai Tumbang Anoi (3) - Upacara Tantulak
- Mandau
- Cara Menaking Mandau
- Orang Dayak mengenal tiga relasi yang benar-benar harus dijaga
- Hasaki Hapalas
- Lilis Lamiang
- Sumpah Setia
- Konsep Kepemimpinan Suku Dayak Khususnya di Daerah Kalimantan Tengah
- Gelar Bangsawan Dayak
- Suling Balawung
- Tari-Tarian Wadian Dadas / Bawo / Bulat
- Tari Manasai
- 96 PASAL HUKUM ADAT TUMBANG ANOI
- Tari Mandau
- Laluhan
- Seni BUdaya
- Arti Hampatung/Patung Bagi Waga Suku dayak Kalimantan Tengah
- Pakalu
- Makna Warna Manik Batu Suku Dayak
- Koper Uei
- Almanak Dayak Ngaju & Istilah Hubungan Kekerabatan Dayak Bakumpai
- Habukung
- Seni Budaya Dayak
- Nan Sarunai Usak Jawa
Nan Sarunai Usak Jawa (2) - Jenis Tajau dan Belanga
- Dahiang Atau Petanda
- PULIH – ILMU RACUN DAYAK
- HANTU PUJUT – HANTU KAPPA DAYAK
- BARABUN – Tradisi mengusir hama / roh jahat
- Kangkamiak
- Rantai Babi Mustika Dayak
- Nyai Balau Kehilangan Anak (Cerita Rakyat)
- GREAT DAYAK STATE – NEGARA DAYAK BESAR (Sejarah)
- SUSUNAN MASYARAKAT DAYAK PADA JAMAN DAHULU
- JUKUNG RANGKANG – PERAHU TRADISIONAL DAYAK
- CARA MENGATASI KETULANGAN
- “MIMBIT AREP” – KEHAMILAN DALAM BUDAYA DAYAK NGAJU
- WATU BALAI – SITUS KERAMAT DAYAK MAANYAN
- LUWUK – SENJATA DAYAK MAANYAN
- RITUAL MEMBERKATI BENIH PADI SUKU DAYAK SEBELUM MENUGAL
- MANDAU DAS KAHAYAN
- PANGANTUHU – KERAMAT MANGKATIP KALIMANTAN TENGAH
- Tari Giring-Giring
- ANJING DALAM BUDAYA DAYAK
Diubah oleh TuaGila 24-06-2020 18:29
nona212 dan lina.wh memberi reputasi
2
131.2K
98
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Kalimantan Tengah
664Thread•268Anggota
Tampilkan semua post
Deka04
#57
Kerajaan Nan Sarunai
Sejarah Kerajaan Nan Sarunai terkait erat dengan kehidupan orang-orang Suku Dayak Maanyan, salah satu sub Suku Dayak tertua di tanah Borneo. Kerajaan Nan Sarunai adalah pemerintahan purba yang muncul dan berkembang di wilayah yang sekarang termasuk dalam daerah administratif Provinsi Kalimantan Selatan, Indonesia, tepatnya di antara wilayah Kabupaten Hulu Sungai Utara dan Kabupaten Tabalong. Kerajaan Nan Sarunai merupakan bagian awal dari riwayat panjang Kesultanan Banjar, salah satu pemerintahan kerajaan terbesar yang pernah ada di Kalimantan Selatan.
Sejarah
Suku Banjar adalah salah satu suku bangsa terbesar yang mendiami wilayah Kalimantan Selatan. Namun, identitas warga asli Kalimantan Selatan masih menjadi perdebatan, sebab wilayah ini ditempati oleh bermacam-macam orang dari berbagai suku bangsa. Identitas Urang Banjar (orang Banjar) yang asli Melayu ataukah Urang Dayak (orang Dayak) menjadi tema perdebatan masyarakat mengenai asal-usul masyarakat Banjar (Yusuf Hidayat, dalam Jurnal Sosiologi Universitas Airlangga, 2006). Istilah Urang Banjar dimaksudkan untuk menyebut mayoritas penduduk yang mendiami sebagian besar daerah di Provinsi Kalimantan Selatan, meskipun tidak semua warga Kalimantan Selatan beretnis Banjar asli.
Dalam buku Urang Banjar dalam Sejarah, A. Gazali Usman (1989) mencoba memberikan jalan tengah atas ketidaksepahaman yang terjadi antara orang Melayu dan orang Dayak tersebut. Menurut penelitian Usman, yang disebut sebagai Urang Banjar setidaknya terdiri dari etnis Melayu sebagai etnis yang dominan dan ditambah unsur orang-orang Suku Dayak, termasuk Suku Dayak Maanyan (Usman, 1989:1).
Suku Dayak Maanyan, Pendiri Kerajaan Nan Sarunai
Suku Banjar pernah mempunyai pemerintahan bernama Kesultanan Banjar yang berdiri sejak tahun 1526 Masehi. Kesultanan ini memiliki perjalanan sejarah yang panjang karena diawali dari masa yang jauh sebelum masuknya pengaruh Islam yang ditandai dengan berdirinya Candi Laras dan Candi Agung pada masa Hindu-Budha (Bani Noor Muchamad, et.al., 2006:106). Kesultanan Banjar merupakan babak akhir dari rangkaian riwayat sejumlah kerajaan di Kalimantan Selatan pada masa-masa sebelumnya. Pemerintahan yang pertama kali menjadi cikal-bakal Kesultanan Banjar adalah Kerajaan Nan Sarunai. Kerajaan purba yang dikelola oleh orang-orang Suku Dayak Maanyan ini disebutkan dengan nama yang berbeda-beda. Selain Nan Sarunai, nama-nama lain yang juga diyakini sebagai nama kerajaan ini adalah Kerajaan Kuripan, Kerajaan Tanjungpuri, dan Kerajaan Tabalong. Nama Kerajaan Tabalong disertakan karena kerajaan ini terletak di tepi Sungai Tabalong. Sungai Tabalong adalah anak sungai Bahan, sedangkan Sungai Bahan adalah anak Sungai Barito yang bermuara ke Laut Jawa.
Selain itu, muncul pendapat berbeda yang menyatakan bahwa Kerajaan Tanjungpuri berbeda dengan Kerajaan Nan Sarunai. Pendapat ini meyakini bahwa Kerajaan Tanjungpuri bukan pemerintahan yang dikelola oleh Suku Dayak Maanyan, melainkan oleh orang-orang Melayu Palembang yang merupakan pelarian dari Kerajaan Sriwijaya (Suriansyah Ideham, eds., 2007:17). Versi yang satu ini juga menyebutkan bahwa Kerajaan Nan Serunai dan Kerajaan Tanjungpuri berada dalam lingkup ruang dan waktu yang sama. Kerajaan Nan Serunai berpusat di Amuntai, sedangkan Kerajaan Tanjungpuri beribukota di Tanjung.
Keyakinan bahwa pusat Kerajaan Nan Sarunai terletak di Amuntai ditegaskan oleh Alfred Hudson dalam penelitiannya yang bertajuk “The Paju Epat Maanyan in Historical Perspective” (Hudson dalam Indonesia, 4 Oktober 1967:26). Berdasarkan pembagian wilayah administratif Provinsi Kalimantan Selatan pada masa sekarang, kedua tempat itu tidak berada di kabupaten yang sama meskipun lokasi Amuntai dan Tanjung berdekatan dan sama-sama terletak di tepi Sungai Tabalong. Amuntai termasuk dalam wilayah Kabupaten Hulu Utara, sedangkan Tanjung berada di Kabupaten Tabalong.
Nama Sarunai sendiri dimaknai dengan arti “sangat termasyhur” (Ideham, eds., 2003). Penamaan ini bisa jadi mengacu pada kemasyhuran Suku Dayak Maanyan di masa silam, di mana mereka terkenal sebagai kaum pelaut yang tangguh, bahkan mampu berlayar hingga ke Madagaskar di Afrika. Selain itu, ada pendapat lain yang mengatakan bahwa nama Sarunai berasal dari kata “serunai” yakni alat musik sejenis seruling yang mempunyai tujuh buah lubang. Alat musik ini sering dimainkan orang-orang Suku Dayak Maanyan untuk mengiringi tari-tarian dan nyanyi-nyanyian. Konon, Raja dan rakyat Kerajaan Nan Sarunai sangat gemar menari dan menyanyi. Sebenarnya istilah lengkapnya adalah Nan Sarunai. Kata “nan” diduga berasal dari bahasa Melayu yang kemudian dalam lidah orang Maanyan dilafalkan hanya dengan ucapan Sarunai saja. Dengan demikian, nama “Nan Sarunai” berarti sebuah kerajaan di mana raja dan rakyatnya gemar bermain musik (Sutopo Ukip, 2008).
Periodesasi pemerintahan yang muncul dan berkembang di Asia Tenggara pada umumnya terjadi dalam tiga fase, yaitu negara suku, negara awal, dan negara kerajaan (Vida Pervaya Rusianti Kusmartono, 2002:1). Kerajaan Nan Sarunai memainkan peranan penting pada fase negara suku dalam konteks sejarah Banjar. Negara suku atau negara etnik mengandaikan bahwa rakyat di pemerintahan itu hanya terdiri dari satu etnik dan tatanannya diatur oleh tradisi yang ditransformasikan dari nenek moyang ke generasi berikutnya (M. Suriansyah Ideham, eds., 2003). Penempatan Kerajaan Nan Sarunai ke dalam fase negara suku dirasa tepat karena kerajaan ini merupakan pemerintahan purba yang dikelola oleh orang-orang dengan karakter yang masih berlingkup kesukuan, yakni Suku Dayak Maanyan. Selain itu, keberadaan Kerajaan Nan Sarunai dapat dikatakan sebagai fondasi awal dalam menyokong berdirinya beberapa pemerintahan pada masa berikutnya, yaitu Kerajaan Negara Dipa, Kerajaan Daha, hingga Kesultanan Banjar. Dengan kata lain, Kerajaan Nan Sarunai adalah mukadimah yang mengawali mata rantai perjalanan sejarah Banjar di Kalimantan Selatan.
Suku Dayak Maanyan, pendiri Kerajaan Nan Sarunai, adalah salah satu sub Suku Dayak tertua di Borneo. Suku Dayak Maanyan termasuk dalam rumpun Ot Danum yang juga dikenal dengan nama Dayak Ngaju. Pada awalnya, orang-orang Suku Dayak Maanyan menetap di tepi Sungai Barito bagian timur (sekarang menjadi Kabupaten Barito Timur, Kalimantan Tengah). Oleh karena itu, orang-orang Suku Dayak Maanyan mendapat sebutan Kelompok Barito Timur. Orang-orang Suku Dayak Maanyan adalah kaum pelaut yang tangguh. Pada sekitar tahun 600 Masehi, orang-orang Suku Dayak Maanyan diduga pernah berlayar hingga ke Madagaskar, sebuah pulau di pesisir timur Afrika. Pencapaian luar biasa yang berhasil dilakukan Suku Dayak Maanyan ini seperti yang ditulis oleh Hudson yang menyebutkan bahwa ada persamaan antara bahasa orang Madagaskar dengan bahasa orang Maanyan (Hudson dalam Indonesia, 4 Oktober 1967:17).
Ketangguhan melaut orang-orang Suku Dayak Maanyan lama-kelamaan mulai berkurang karena terjadi proses pendangkalan di lingkungan maritim tempat mereka hidup. Areal pesisir yang selama ini menjadi lingkungan mereka sehari-hari mengalami penyurutan dan perlahan-lahan berubah menjadi daratan sehingga orang-orang Dayak Maanyan kehilangan budaya maritim yang dulu mereka miliki. Pada zaman purba, wilayah Kalimantan bagian tengah masih berwujud sebuah teluk besar. Fenomena pendangkalan ini menjadi salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya migrasi yang dilakukan oleh orang-orang Dayak Maanyan. Daerah tujuan para imigran Suku Dayak Maanyan adalah di tempat yang dalam Hikayat Banjar disebut dengan nama Pulau Hujung Tanah. Sedangkan Negarakrtagama karya pujangga Majapahit, Mpu Prapanca, yang ditulis pada tahun 1365 M, menyebut tempat itu sebagai Tanjung Negara (http://banjarcyber.tripod.com). Terdapat dua lokasi di masa sekarang yang diperkirakan merupakan bekas wilayah Pulau Hujung Tanah, yakni Amuntai dan Tanjung, yang keduanya terletak tidak jauh dari Pegunungan Meratus yang memang dikisahkan membentang di timur Pulau Hujung Tanah, tempat di mana Kerajaan Nan Sarunai berdiri.
Orang-orang Suku Dayak Maanyan adalah golongan Dayak Mongoloid yang merupakan gelombang migrasi orang-orang Dayak pertama ke wilayah Kalimantan Selatan. Peradaban Suku Dayak Maanyan dibuktikan dengan ditemukannya fosil-fosil manusia purba di Gua Batu Babi di Kabupaten Tabalong (Tajuddin Noor Ganie, 2009). Penelitian tentang “Ekskavasi Situs Gua Babi Tahap V Kabupaten Tabalong Provinsi Kalimantan Selatan” yang dilakukan oleh Harry Widianto dan Handini (1999/2000) menyebutkan bahwa banyak sekali peninggalan bersejarah yang ditemukan di Gua Babi, antara lain berupa artefak batu, tulang, komponen tubuh manusia, dan cangkang moluska (Widianto & Handini, dalam Laporan Penelitan Arkeologi Banjarmasin, 1999/2000).
Bukti-bukti Keberadaan Kerajaan Nan Sarunai
Sejauh ini belum banyak referensi yang bersifat ilmiah dan secara proporsional menjelaskan tentang riwayat Kerajaan Nan Sarunai mengingat usia kerajaan ini yang sudah sangat tua. Sumber-sumber yang digunakan selama ini adalah cerita tutur yang termaktub dalam Hikayat Banjar. Sejarah Indonesia pada umumnya dalam menjelaskan suatu negara tradisional sangat bertumpu pada historiografi tradisional, seperti babad, hikayat, atau cerita rakyat. Historiografi tradisional mempunyai ciri-ciri yang menonjol dan saling berkaitan, yaitu etnosentrisme, rajasentrisme, dan antroposentrisme (Sartono Kartodirdjo, 1993:7). Informasi yang diperoleh dari Hikayat Banjar ditandai oleh sifat-sifat mistis, legendaris, dan tidak ada unsur waktu dalam urutan ceritanya (Idehams, eds.,2003). Hikayat Banjar adalah manuskrip tua yang telah lama dikenal di Kalimantan Selatan sejak zaman Kesultanan Banjar. Hikayat yang juga dikenal dengan sebutan Tutur Candi dan Sejarah Lambung Mangkurat ini mengisahkan tentang sejarah raja-raja Banjar dan Kota Waringin di Kalimantan Selatan. Bagian akhir dari Hikayat Banjar adalah bertarikh 1663 M atau masa-masa setelahnya. Hikayat Banjar masih diyakini oleh sebagian besar masyarakat Banjar hingga saat ini (www.semestaindonesia.com).
Hikayat Banjar ditulis sepanjang 4.787 baris atau 120 halaman. Namun, sebagian besar isi dari hikayat ini lebih banyak menceritakan tentang kerajaan-kerajaan setelah era Kerajaan Nan Sarunai, yakni Kerajaan Negara Dipa, Kerajaan Daha, dan Kesultanan Banjar. Riwayat Nan Sarunai sangat sedikit disinggung, terutama menjelang keruntuhannya. Kisah tentang Kerajaan Nan Sarunai dalam Hikayat Banjar lebih menyerupai tradisi lisan, yakni nyanyian Suku Dayak Maanyan (wadian) yang kemudian ditransformasikan secara turun temurun. Tradisi lisan orang Dayak Maanyan mengisahkan bahwa mereka sudah memiliki negara suku bernama Nan Sarunai (MZ Arifin Anis, 1994). Nyanyian wadian menceritakan peristiwa tragis tentang runtuhnya Kerajaan Nan Sarunai akibat serangan dari Kerajaan Majapahit pada sekitar abad ke-13 (Ideham, eds., 2007:16).
Menurut Johannes Jacobus Ras (1968), Hikayat Banjar terbagi menjadi dua versi. Versi pertama merupakan versi yang telah diubah dan disusun pada masa Kesultanan Banjar yang secara definitif telah memeluk agama Islam, sedangkan versi kedua dianggap sebagai versi yang berasal dari Negara Dipa yang memeluk agama Hindu (Ras, 1968:238). Dari analisis Ras ini dapat ditarik kesimpulan bahwa penjelasan mengenai sejarah Kerajaan Nan Sarunai dalam Hikayat Banjar memang hanya mendapat porsi yang sedikit karena, Negara Dipa, yang banyak dibahas dalam Hikayat Banjar versi kedua, baru muncul setelah era Kerajaan Nan Sarunai berakhir.
Kerajaan Nan Sarunai adalah suatu pemerintahan purba yang diperkirakan sudah eksis sejak zaman Sebelum Masehi. Salah satu bukti adalah ditemukannya peninggalan arkeologis yang diduga kuat berasal dari zaman di mana Kerajaan Nan Sarunai masih eksis. Jejak arkeologis Nan Sarunai di masa purba itu adalah sebuah candi yang ditemukan di Amuntai. Amuntai adalah salah satu tempat yang sangat mungkin menjadi tempat bermukim orang-orang Suku Dayak Maanyan yang kemudian mendirikan peradaban Kerajaan Nan Sarunai. Pada tahun 1996, dilakukan pengujian terhadap candi tersebut. Hasil penyelidikan itu cukup mengejutkan karena hasil pengujian terhadap sampel arang candi yang ditemukan di Amuntai tersebut menghasilkan kisaran angka tahun antara 242 hingga 226 Sebelum Masehi (Kusmartono & Widianto, 1998:19-20). Jika penelitian ini benar adanya, maka usia Kerajaan Nan Sarunai jauh lebih tua dibandingkan dengan Kerajaan Kutai Martapura di Kalimantan Timur (berdiri pada abad ke-5 M) yang selama ini diyakini sebagai kerajaan tertua di nusantara.
Berdasarkan hasil penelitian tentang pengujian terhadap sampel arang candi yang ditemukan di Amuntai menghasilkan angka kisaran tahun 242-226 SM, maka dapat disimpulkan bahwa usia Kerajaan Nan Sarunai sangat panjang karena kerajaan ini runtuh pada tahun 1362 M. Akan tetapi, perlu dicermati lagi bahwa kendati Kerajaan Nan Sarunai diperkirakan sudah ada sejak zaman Sebelum Masehi, namun yang dimaksud dengan kerajaan pada masa itu kemungkinan besar masih berbentuk sangat sederhana.
Pusat pemerintahan Kerajaan Nan Serunai diduga beberapa kali perpindahan di sekitar Kabupaten Hulu Sungai dan Kabupaten Tabalong saat ini, namun masih di seputaran Sungai Tabalong. Selain di Pulau Hujung Tanah, leluhur etnis Maanyan konon pernah bermukim di tempat yang bernama Margoni, yakni sebuah tempat yang selalu diliputi awan. Tempat yang dimaksud mungkin simbolisasi dari negeri khayangan atau setidak-tidaknya negeri di atas gunung (Sutopo Ukip, 2008). Dengan arti kiasan itu juga bisa dilihat kemungkinan bahwa yang dimaksud nenek moyang Suku Dayak Maanyan adalah dewa-dewa yang bersemayam di tempat yang selalu diliputi awan alias khayangan.
Dalam artikel berjudul “Pangeran Samudra dari Dayak Maanyan?” yang ditulis oleh Noorselly Ngabut atau yang lebih dikenal dengan nama Babe Kuden disebutkan, orang-orang Suku Dayak Manyaan sempat menetap di sebuah tempat yang bernama Pupur Purumatung (Babe Kuden, dalam Banjarmasin Post, 21 September 2005). Semua anggota kelompok etnis Suku Maanyan tinggal dan menjadi satu di tempat ini. Masih menurut Babe Kuden, pusat pemerintahan Kerajaan Nan Sarunai pernah berlokasi di daerah yang bernama Lili Kumeah. Konon, Lili Kumeah didirikan oleh Datu Sialing dan Damung Gamiluk Langit yang memimpin anggota masyarakat etnis Maanyan atau warga Kerajaan Nan Sarunai. (Babe Kuden, dalam Banjarmasin Post, 21 September 2005).
Keruntuhan Kerajaan Nan Sarunai
Dalam perjalanan sejarahnya yang sangat panjang, Kerajaan Nan Sarunai mengalami suatu masa penting di mana orang-orang Maanyan berinteraksi dengan orang-orang Melayu Palembang yang datang dari Kerajaan Sriwijaya. Peristiwa itu diperkirakan terjadi pada awal abad ke-11 di mana Sriwjaya mulai menuai keruntuhannya akibat serangan dari Kerajaan Cola (India). Menurut Paul Michel Munoz (2006), antara tahun 1079-1088 M, pusat Kerajaan Sriwijaya telah berrgeser dari Palembang ke Jambi. (Munoz, 2006:165-167). Ekspedisi Cola telah melemahkan Palembang, dan Jambi telah menggantikannya sebagai pusat Kerajaan Sriwijaya meskipun kekuatan dan kebesarannya sudah jauh menurun. Pada masa-masa menjelang keruntuhan Kerajaan Sriwijaya itulah orang-orang Melayu Palembang beramai-ramai menyelamatkan diri. Mereka tercerai-berai ke berbagai tempat, salah satunya tiba di daerah di sekitar Sungai Tabalong tempat di mana orang-orang Maanyan menjalani kehidupan di bawah panji-panji Kerajaan Nan Serunai.
Orang-orang Melayu Palembang itu kemudian ikut menetap di dekat wilayah kekuasaan Kerajaan Nan Serunai, dan terjadilah pembauran di antara mereka. Kedatangan kaum imigran dari Sriwijaya ini ditegaskan oleh Alfani Daud (1997) yang menyebutkan bahwa penduduk asli sebagian wilayah Kalimantan Selatan diduga berintikan penduduk asal Sumatra, tepatnya Palembang, yang membangun tanah baru di kawasan ini dan banyak di antaranya yang kemudian bercampur dengan suku bangsa yang terlebih dulu datang, yang tidak lain adalah orang-orang Maanyan (Daud, 1997:44). Perpaduan inilah yang diduga menurunkan orang-orang Suku Banjar. Sejak zaman prasejarah, suku bangsa yang tinggal di Kalimantan memang sudah memiliki ciri-ciri yang menunjukkan identitas mereka sebagai suku bangsa ras Melayu atau Malayan Mongoloid (Dwi Putro Sulaksono, 2008:2).
Kerajaan Nan Sarunai ketika itu sudah menjadi negara yang makmur. Kebesaran Kerajaan Nan Sarunai disebabkan karena kegemilangan mereka dalam bidang perdagangan di mana Kerajaan Nan Sarunai telah menjalin hubungan perniagaan dengan negeri-negeri lain, termasuk Indragiri, Majapahit, Bugis, bahkan hingga Madagaskar. Lili Kumeah berkembang menjadi tempat permukiman yang ramai. Teluk Sarunai menjadi tempat persinggahan yang ramai bagi perahu dagang yang datang dari berbagai penjuru. Lili Kumeah semakin pesar perkembangannya hingga akhirnya menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Nan Sarunai yang gilang-gemilang (Ganie, 2009).
Kejayaan yang diraih Kerajaan Nan Sarunai tersebut justru membuat Majapahit tergiur untuk menaklukannya. Tajuddin Noor Ganie (2009) menyebutkan bahwa pada tahun 1355 M, Raja Majapahit, Hayam Wuruk, memerintahkan Empu Jatmika memimpin armada perang untuk menyerbu Kerajaan Nan Sarunai. Pada tahun 1355 itu, pasukan Empu Jatmika berhasil menaklukan Kerajaan Nan Sarunai dan menjadikannya sebagai bagian dari Majapahit. Peristiwa ini diabadikan oleh para seniman lokal dalam tutur wadian atau puisi ratapan yang dilisankan dalam bahasa Maanyan. Para seniman lokal mengenang keruntuhan Kerajaan Nan Sabunai sebagai peristiwa “Usak Jawa” atau “Penyerangan oleh Kerajaan Jawa” (Ganie, 2009).Tentang runtuhnya Kerajaan Nan Sarunai, Fridolin Ukur menyebutnya sebagai sebuah kerajaan orang Dayak Maanyan yang rusak oleh Jawa (Ukur, 1977:46).
Setelah penyerangan oleh Kerajaan Majapahit itulah riwayat Kerajaan Nan Sarunai berakhir. Empu Jatmika sendiri kemudian mendirikan kerajaan baru di atas tanah Nan Sarunai, yaitu pemerintahan bercorak Hindu yang diberi nama Kerajaan Negara Dipa, meski Empu Jatmika tidak pernah menjadi Raja Negara Dipa secara resmi. Sementara itu, setelah Kerajaan Nan Sarunai runtuh, Suku Dayak Maanyan masih mempunyai tokoh panutan, yakni Putri Junjung Buih, anak sulung dari raja terakhir Kerajaan Nan Sarunai (Ganie, 2009). Pada akhirnya, Putri Junjung Buih menikah dengan Pangeran Suryanata, anak laki-laki Raja Hayam Wuruk yang kemudian bertahta sebagai penguasa Kerajaan Negara Dipa.
Di sisi lain, banyak warga Kerajaan Nan Sarunai yang terpaksa melarikan diri karena serangan Majapahit. Akibat eksodus massal tersebut, Suku Dayak Maanyan terpecah dan tersebar menjadi tujuh suku kecil, yaitu :
Sejarah
Suku Banjar adalah salah satu suku bangsa terbesar yang mendiami wilayah Kalimantan Selatan. Namun, identitas warga asli Kalimantan Selatan masih menjadi perdebatan, sebab wilayah ini ditempati oleh bermacam-macam orang dari berbagai suku bangsa. Identitas Urang Banjar (orang Banjar) yang asli Melayu ataukah Urang Dayak (orang Dayak) menjadi tema perdebatan masyarakat mengenai asal-usul masyarakat Banjar (Yusuf Hidayat, dalam Jurnal Sosiologi Universitas Airlangga, 2006). Istilah Urang Banjar dimaksudkan untuk menyebut mayoritas penduduk yang mendiami sebagian besar daerah di Provinsi Kalimantan Selatan, meskipun tidak semua warga Kalimantan Selatan beretnis Banjar asli.
Dalam buku Urang Banjar dalam Sejarah, A. Gazali Usman (1989) mencoba memberikan jalan tengah atas ketidaksepahaman yang terjadi antara orang Melayu dan orang Dayak tersebut. Menurut penelitian Usman, yang disebut sebagai Urang Banjar setidaknya terdiri dari etnis Melayu sebagai etnis yang dominan dan ditambah unsur orang-orang Suku Dayak, termasuk Suku Dayak Maanyan (Usman, 1989:1).
Suku Dayak Maanyan, Pendiri Kerajaan Nan Sarunai
Suku Banjar pernah mempunyai pemerintahan bernama Kesultanan Banjar yang berdiri sejak tahun 1526 Masehi. Kesultanan ini memiliki perjalanan sejarah yang panjang karena diawali dari masa yang jauh sebelum masuknya pengaruh Islam yang ditandai dengan berdirinya Candi Laras dan Candi Agung pada masa Hindu-Budha (Bani Noor Muchamad, et.al., 2006:106). Kesultanan Banjar merupakan babak akhir dari rangkaian riwayat sejumlah kerajaan di Kalimantan Selatan pada masa-masa sebelumnya. Pemerintahan yang pertama kali menjadi cikal-bakal Kesultanan Banjar adalah Kerajaan Nan Sarunai. Kerajaan purba yang dikelola oleh orang-orang Suku Dayak Maanyan ini disebutkan dengan nama yang berbeda-beda. Selain Nan Sarunai, nama-nama lain yang juga diyakini sebagai nama kerajaan ini adalah Kerajaan Kuripan, Kerajaan Tanjungpuri, dan Kerajaan Tabalong. Nama Kerajaan Tabalong disertakan karena kerajaan ini terletak di tepi Sungai Tabalong. Sungai Tabalong adalah anak sungai Bahan, sedangkan Sungai Bahan adalah anak Sungai Barito yang bermuara ke Laut Jawa.
Selain itu, muncul pendapat berbeda yang menyatakan bahwa Kerajaan Tanjungpuri berbeda dengan Kerajaan Nan Sarunai. Pendapat ini meyakini bahwa Kerajaan Tanjungpuri bukan pemerintahan yang dikelola oleh Suku Dayak Maanyan, melainkan oleh orang-orang Melayu Palembang yang merupakan pelarian dari Kerajaan Sriwijaya (Suriansyah Ideham, eds., 2007:17). Versi yang satu ini juga menyebutkan bahwa Kerajaan Nan Serunai dan Kerajaan Tanjungpuri berada dalam lingkup ruang dan waktu yang sama. Kerajaan Nan Serunai berpusat di Amuntai, sedangkan Kerajaan Tanjungpuri beribukota di Tanjung.
Keyakinan bahwa pusat Kerajaan Nan Sarunai terletak di Amuntai ditegaskan oleh Alfred Hudson dalam penelitiannya yang bertajuk “The Paju Epat Maanyan in Historical Perspective” (Hudson dalam Indonesia, 4 Oktober 1967:26). Berdasarkan pembagian wilayah administratif Provinsi Kalimantan Selatan pada masa sekarang, kedua tempat itu tidak berada di kabupaten yang sama meskipun lokasi Amuntai dan Tanjung berdekatan dan sama-sama terletak di tepi Sungai Tabalong. Amuntai termasuk dalam wilayah Kabupaten Hulu Utara, sedangkan Tanjung berada di Kabupaten Tabalong.
Nama Sarunai sendiri dimaknai dengan arti “sangat termasyhur” (Ideham, eds., 2003). Penamaan ini bisa jadi mengacu pada kemasyhuran Suku Dayak Maanyan di masa silam, di mana mereka terkenal sebagai kaum pelaut yang tangguh, bahkan mampu berlayar hingga ke Madagaskar di Afrika. Selain itu, ada pendapat lain yang mengatakan bahwa nama Sarunai berasal dari kata “serunai” yakni alat musik sejenis seruling yang mempunyai tujuh buah lubang. Alat musik ini sering dimainkan orang-orang Suku Dayak Maanyan untuk mengiringi tari-tarian dan nyanyi-nyanyian. Konon, Raja dan rakyat Kerajaan Nan Sarunai sangat gemar menari dan menyanyi. Sebenarnya istilah lengkapnya adalah Nan Sarunai. Kata “nan” diduga berasal dari bahasa Melayu yang kemudian dalam lidah orang Maanyan dilafalkan hanya dengan ucapan Sarunai saja. Dengan demikian, nama “Nan Sarunai” berarti sebuah kerajaan di mana raja dan rakyatnya gemar bermain musik (Sutopo Ukip, 2008).
Periodesasi pemerintahan yang muncul dan berkembang di Asia Tenggara pada umumnya terjadi dalam tiga fase, yaitu negara suku, negara awal, dan negara kerajaan (Vida Pervaya Rusianti Kusmartono, 2002:1). Kerajaan Nan Sarunai memainkan peranan penting pada fase negara suku dalam konteks sejarah Banjar. Negara suku atau negara etnik mengandaikan bahwa rakyat di pemerintahan itu hanya terdiri dari satu etnik dan tatanannya diatur oleh tradisi yang ditransformasikan dari nenek moyang ke generasi berikutnya (M. Suriansyah Ideham, eds., 2003). Penempatan Kerajaan Nan Sarunai ke dalam fase negara suku dirasa tepat karena kerajaan ini merupakan pemerintahan purba yang dikelola oleh orang-orang dengan karakter yang masih berlingkup kesukuan, yakni Suku Dayak Maanyan. Selain itu, keberadaan Kerajaan Nan Sarunai dapat dikatakan sebagai fondasi awal dalam menyokong berdirinya beberapa pemerintahan pada masa berikutnya, yaitu Kerajaan Negara Dipa, Kerajaan Daha, hingga Kesultanan Banjar. Dengan kata lain, Kerajaan Nan Sarunai adalah mukadimah yang mengawali mata rantai perjalanan sejarah Banjar di Kalimantan Selatan.
Suku Dayak Maanyan, pendiri Kerajaan Nan Sarunai, adalah salah satu sub Suku Dayak tertua di Borneo. Suku Dayak Maanyan termasuk dalam rumpun Ot Danum yang juga dikenal dengan nama Dayak Ngaju. Pada awalnya, orang-orang Suku Dayak Maanyan menetap di tepi Sungai Barito bagian timur (sekarang menjadi Kabupaten Barito Timur, Kalimantan Tengah). Oleh karena itu, orang-orang Suku Dayak Maanyan mendapat sebutan Kelompok Barito Timur. Orang-orang Suku Dayak Maanyan adalah kaum pelaut yang tangguh. Pada sekitar tahun 600 Masehi, orang-orang Suku Dayak Maanyan diduga pernah berlayar hingga ke Madagaskar, sebuah pulau di pesisir timur Afrika. Pencapaian luar biasa yang berhasil dilakukan Suku Dayak Maanyan ini seperti yang ditulis oleh Hudson yang menyebutkan bahwa ada persamaan antara bahasa orang Madagaskar dengan bahasa orang Maanyan (Hudson dalam Indonesia, 4 Oktober 1967:17).
Ketangguhan melaut orang-orang Suku Dayak Maanyan lama-kelamaan mulai berkurang karena terjadi proses pendangkalan di lingkungan maritim tempat mereka hidup. Areal pesisir yang selama ini menjadi lingkungan mereka sehari-hari mengalami penyurutan dan perlahan-lahan berubah menjadi daratan sehingga orang-orang Dayak Maanyan kehilangan budaya maritim yang dulu mereka miliki. Pada zaman purba, wilayah Kalimantan bagian tengah masih berwujud sebuah teluk besar. Fenomena pendangkalan ini menjadi salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya migrasi yang dilakukan oleh orang-orang Dayak Maanyan. Daerah tujuan para imigran Suku Dayak Maanyan adalah di tempat yang dalam Hikayat Banjar disebut dengan nama Pulau Hujung Tanah. Sedangkan Negarakrtagama karya pujangga Majapahit, Mpu Prapanca, yang ditulis pada tahun 1365 M, menyebut tempat itu sebagai Tanjung Negara (http://banjarcyber.tripod.com). Terdapat dua lokasi di masa sekarang yang diperkirakan merupakan bekas wilayah Pulau Hujung Tanah, yakni Amuntai dan Tanjung, yang keduanya terletak tidak jauh dari Pegunungan Meratus yang memang dikisahkan membentang di timur Pulau Hujung Tanah, tempat di mana Kerajaan Nan Sarunai berdiri.
Orang-orang Suku Dayak Maanyan adalah golongan Dayak Mongoloid yang merupakan gelombang migrasi orang-orang Dayak pertama ke wilayah Kalimantan Selatan. Peradaban Suku Dayak Maanyan dibuktikan dengan ditemukannya fosil-fosil manusia purba di Gua Batu Babi di Kabupaten Tabalong (Tajuddin Noor Ganie, 2009). Penelitian tentang “Ekskavasi Situs Gua Babi Tahap V Kabupaten Tabalong Provinsi Kalimantan Selatan” yang dilakukan oleh Harry Widianto dan Handini (1999/2000) menyebutkan bahwa banyak sekali peninggalan bersejarah yang ditemukan di Gua Babi, antara lain berupa artefak batu, tulang, komponen tubuh manusia, dan cangkang moluska (Widianto & Handini, dalam Laporan Penelitan Arkeologi Banjarmasin, 1999/2000).
Bukti-bukti Keberadaan Kerajaan Nan Sarunai
Sejauh ini belum banyak referensi yang bersifat ilmiah dan secara proporsional menjelaskan tentang riwayat Kerajaan Nan Sarunai mengingat usia kerajaan ini yang sudah sangat tua. Sumber-sumber yang digunakan selama ini adalah cerita tutur yang termaktub dalam Hikayat Banjar. Sejarah Indonesia pada umumnya dalam menjelaskan suatu negara tradisional sangat bertumpu pada historiografi tradisional, seperti babad, hikayat, atau cerita rakyat. Historiografi tradisional mempunyai ciri-ciri yang menonjol dan saling berkaitan, yaitu etnosentrisme, rajasentrisme, dan antroposentrisme (Sartono Kartodirdjo, 1993:7). Informasi yang diperoleh dari Hikayat Banjar ditandai oleh sifat-sifat mistis, legendaris, dan tidak ada unsur waktu dalam urutan ceritanya (Idehams, eds.,2003). Hikayat Banjar adalah manuskrip tua yang telah lama dikenal di Kalimantan Selatan sejak zaman Kesultanan Banjar. Hikayat yang juga dikenal dengan sebutan Tutur Candi dan Sejarah Lambung Mangkurat ini mengisahkan tentang sejarah raja-raja Banjar dan Kota Waringin di Kalimantan Selatan. Bagian akhir dari Hikayat Banjar adalah bertarikh 1663 M atau masa-masa setelahnya. Hikayat Banjar masih diyakini oleh sebagian besar masyarakat Banjar hingga saat ini (www.semestaindonesia.com).
Hikayat Banjar ditulis sepanjang 4.787 baris atau 120 halaman. Namun, sebagian besar isi dari hikayat ini lebih banyak menceritakan tentang kerajaan-kerajaan setelah era Kerajaan Nan Sarunai, yakni Kerajaan Negara Dipa, Kerajaan Daha, dan Kesultanan Banjar. Riwayat Nan Sarunai sangat sedikit disinggung, terutama menjelang keruntuhannya. Kisah tentang Kerajaan Nan Sarunai dalam Hikayat Banjar lebih menyerupai tradisi lisan, yakni nyanyian Suku Dayak Maanyan (wadian) yang kemudian ditransformasikan secara turun temurun. Tradisi lisan orang Dayak Maanyan mengisahkan bahwa mereka sudah memiliki negara suku bernama Nan Sarunai (MZ Arifin Anis, 1994). Nyanyian wadian menceritakan peristiwa tragis tentang runtuhnya Kerajaan Nan Sarunai akibat serangan dari Kerajaan Majapahit pada sekitar abad ke-13 (Ideham, eds., 2007:16).
Menurut Johannes Jacobus Ras (1968), Hikayat Banjar terbagi menjadi dua versi. Versi pertama merupakan versi yang telah diubah dan disusun pada masa Kesultanan Banjar yang secara definitif telah memeluk agama Islam, sedangkan versi kedua dianggap sebagai versi yang berasal dari Negara Dipa yang memeluk agama Hindu (Ras, 1968:238). Dari analisis Ras ini dapat ditarik kesimpulan bahwa penjelasan mengenai sejarah Kerajaan Nan Sarunai dalam Hikayat Banjar memang hanya mendapat porsi yang sedikit karena, Negara Dipa, yang banyak dibahas dalam Hikayat Banjar versi kedua, baru muncul setelah era Kerajaan Nan Sarunai berakhir.
Kerajaan Nan Sarunai adalah suatu pemerintahan purba yang diperkirakan sudah eksis sejak zaman Sebelum Masehi. Salah satu bukti adalah ditemukannya peninggalan arkeologis yang diduga kuat berasal dari zaman di mana Kerajaan Nan Sarunai masih eksis. Jejak arkeologis Nan Sarunai di masa purba itu adalah sebuah candi yang ditemukan di Amuntai. Amuntai adalah salah satu tempat yang sangat mungkin menjadi tempat bermukim orang-orang Suku Dayak Maanyan yang kemudian mendirikan peradaban Kerajaan Nan Sarunai. Pada tahun 1996, dilakukan pengujian terhadap candi tersebut. Hasil penyelidikan itu cukup mengejutkan karena hasil pengujian terhadap sampel arang candi yang ditemukan di Amuntai tersebut menghasilkan kisaran angka tahun antara 242 hingga 226 Sebelum Masehi (Kusmartono & Widianto, 1998:19-20). Jika penelitian ini benar adanya, maka usia Kerajaan Nan Sarunai jauh lebih tua dibandingkan dengan Kerajaan Kutai Martapura di Kalimantan Timur (berdiri pada abad ke-5 M) yang selama ini diyakini sebagai kerajaan tertua di nusantara.
Berdasarkan hasil penelitian tentang pengujian terhadap sampel arang candi yang ditemukan di Amuntai menghasilkan angka kisaran tahun 242-226 SM, maka dapat disimpulkan bahwa usia Kerajaan Nan Sarunai sangat panjang karena kerajaan ini runtuh pada tahun 1362 M. Akan tetapi, perlu dicermati lagi bahwa kendati Kerajaan Nan Sarunai diperkirakan sudah ada sejak zaman Sebelum Masehi, namun yang dimaksud dengan kerajaan pada masa itu kemungkinan besar masih berbentuk sangat sederhana.
Pusat pemerintahan Kerajaan Nan Serunai diduga beberapa kali perpindahan di sekitar Kabupaten Hulu Sungai dan Kabupaten Tabalong saat ini, namun masih di seputaran Sungai Tabalong. Selain di Pulau Hujung Tanah, leluhur etnis Maanyan konon pernah bermukim di tempat yang bernama Margoni, yakni sebuah tempat yang selalu diliputi awan. Tempat yang dimaksud mungkin simbolisasi dari negeri khayangan atau setidak-tidaknya negeri di atas gunung (Sutopo Ukip, 2008). Dengan arti kiasan itu juga bisa dilihat kemungkinan bahwa yang dimaksud nenek moyang Suku Dayak Maanyan adalah dewa-dewa yang bersemayam di tempat yang selalu diliputi awan alias khayangan.
Dalam artikel berjudul “Pangeran Samudra dari Dayak Maanyan?” yang ditulis oleh Noorselly Ngabut atau yang lebih dikenal dengan nama Babe Kuden disebutkan, orang-orang Suku Dayak Manyaan sempat menetap di sebuah tempat yang bernama Pupur Purumatung (Babe Kuden, dalam Banjarmasin Post, 21 September 2005). Semua anggota kelompok etnis Suku Maanyan tinggal dan menjadi satu di tempat ini. Masih menurut Babe Kuden, pusat pemerintahan Kerajaan Nan Sarunai pernah berlokasi di daerah yang bernama Lili Kumeah. Konon, Lili Kumeah didirikan oleh Datu Sialing dan Damung Gamiluk Langit yang memimpin anggota masyarakat etnis Maanyan atau warga Kerajaan Nan Sarunai. (Babe Kuden, dalam Banjarmasin Post, 21 September 2005).
Keruntuhan Kerajaan Nan Sarunai
Dalam perjalanan sejarahnya yang sangat panjang, Kerajaan Nan Sarunai mengalami suatu masa penting di mana orang-orang Maanyan berinteraksi dengan orang-orang Melayu Palembang yang datang dari Kerajaan Sriwijaya. Peristiwa itu diperkirakan terjadi pada awal abad ke-11 di mana Sriwjaya mulai menuai keruntuhannya akibat serangan dari Kerajaan Cola (India). Menurut Paul Michel Munoz (2006), antara tahun 1079-1088 M, pusat Kerajaan Sriwijaya telah berrgeser dari Palembang ke Jambi. (Munoz, 2006:165-167). Ekspedisi Cola telah melemahkan Palembang, dan Jambi telah menggantikannya sebagai pusat Kerajaan Sriwijaya meskipun kekuatan dan kebesarannya sudah jauh menurun. Pada masa-masa menjelang keruntuhan Kerajaan Sriwijaya itulah orang-orang Melayu Palembang beramai-ramai menyelamatkan diri. Mereka tercerai-berai ke berbagai tempat, salah satunya tiba di daerah di sekitar Sungai Tabalong tempat di mana orang-orang Maanyan menjalani kehidupan di bawah panji-panji Kerajaan Nan Serunai.
Orang-orang Melayu Palembang itu kemudian ikut menetap di dekat wilayah kekuasaan Kerajaan Nan Serunai, dan terjadilah pembauran di antara mereka. Kedatangan kaum imigran dari Sriwijaya ini ditegaskan oleh Alfani Daud (1997) yang menyebutkan bahwa penduduk asli sebagian wilayah Kalimantan Selatan diduga berintikan penduduk asal Sumatra, tepatnya Palembang, yang membangun tanah baru di kawasan ini dan banyak di antaranya yang kemudian bercampur dengan suku bangsa yang terlebih dulu datang, yang tidak lain adalah orang-orang Maanyan (Daud, 1997:44). Perpaduan inilah yang diduga menurunkan orang-orang Suku Banjar. Sejak zaman prasejarah, suku bangsa yang tinggal di Kalimantan memang sudah memiliki ciri-ciri yang menunjukkan identitas mereka sebagai suku bangsa ras Melayu atau Malayan Mongoloid (Dwi Putro Sulaksono, 2008:2).
Kerajaan Nan Sarunai ketika itu sudah menjadi negara yang makmur. Kebesaran Kerajaan Nan Sarunai disebabkan karena kegemilangan mereka dalam bidang perdagangan di mana Kerajaan Nan Sarunai telah menjalin hubungan perniagaan dengan negeri-negeri lain, termasuk Indragiri, Majapahit, Bugis, bahkan hingga Madagaskar. Lili Kumeah berkembang menjadi tempat permukiman yang ramai. Teluk Sarunai menjadi tempat persinggahan yang ramai bagi perahu dagang yang datang dari berbagai penjuru. Lili Kumeah semakin pesar perkembangannya hingga akhirnya menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Nan Sarunai yang gilang-gemilang (Ganie, 2009).
Kejayaan yang diraih Kerajaan Nan Sarunai tersebut justru membuat Majapahit tergiur untuk menaklukannya. Tajuddin Noor Ganie (2009) menyebutkan bahwa pada tahun 1355 M, Raja Majapahit, Hayam Wuruk, memerintahkan Empu Jatmika memimpin armada perang untuk menyerbu Kerajaan Nan Sarunai. Pada tahun 1355 itu, pasukan Empu Jatmika berhasil menaklukan Kerajaan Nan Sarunai dan menjadikannya sebagai bagian dari Majapahit. Peristiwa ini diabadikan oleh para seniman lokal dalam tutur wadian atau puisi ratapan yang dilisankan dalam bahasa Maanyan. Para seniman lokal mengenang keruntuhan Kerajaan Nan Sabunai sebagai peristiwa “Usak Jawa” atau “Penyerangan oleh Kerajaan Jawa” (Ganie, 2009).Tentang runtuhnya Kerajaan Nan Sarunai, Fridolin Ukur menyebutnya sebagai sebuah kerajaan orang Dayak Maanyan yang rusak oleh Jawa (Ukur, 1977:46).
Setelah penyerangan oleh Kerajaan Majapahit itulah riwayat Kerajaan Nan Sarunai berakhir. Empu Jatmika sendiri kemudian mendirikan kerajaan baru di atas tanah Nan Sarunai, yaitu pemerintahan bercorak Hindu yang diberi nama Kerajaan Negara Dipa, meski Empu Jatmika tidak pernah menjadi Raja Negara Dipa secara resmi. Sementara itu, setelah Kerajaan Nan Sarunai runtuh, Suku Dayak Maanyan masih mempunyai tokoh panutan, yakni Putri Junjung Buih, anak sulung dari raja terakhir Kerajaan Nan Sarunai (Ganie, 2009). Pada akhirnya, Putri Junjung Buih menikah dengan Pangeran Suryanata, anak laki-laki Raja Hayam Wuruk yang kemudian bertahta sebagai penguasa Kerajaan Negara Dipa.
Di sisi lain, banyak warga Kerajaan Nan Sarunai yang terpaksa melarikan diri karena serangan Majapahit. Akibat eksodus massal tersebut, Suku Dayak Maanyan terpecah dan tersebar menjadi tujuh suku kecil, yaitu :
- Maanyan Siung yang bermukim di Telang, Paju Epat, dan Buntok,
- Maanyan Patai yang berdiam di aliran Sungai Patai,
- Maanyan Paku yang berdomisili di wilayah Tampa,
- Maanyan Paju X yang menetap di sepankang aliran sungai Karau dan Barito,
- Maanyan Paju Epat yang menghuni aliran Sungai Dayu, dan
- Maanyan yang tinggal di wilayah Bintang Karang, Tumpang Murung, Dusun Timur, Tamiang Layang, Belawa, Tupangan Daka, dan Barito (Hudson, dalam Indonesia, 4 Oktober 1967:26).
Quote:
Diubah oleh Deka04 28-02-2014 03:31
0