- Beranda
- Stories from the Heart
Accidentally In Love [True Story]
...
TS
robotpintar
Accidentally In Love [True Story]
![Accidentally In Love [True Story]](https://s.kaskus.id/images/2014/02/14/6448808_20140214023854.png)
Spoiler for Cover:
![Accidentally In Love [True Story]](https://s.kaskus.id/images/2014/02/14/6448808_20140214024411.png)
So she said what's the problem baby
What's the problem I don't know
Well maybe I'm in love (love)
Think about it every time
I think about it
Can't stop thinking 'bout it
How much longer will it take to cure this
Just to cure it cause I can't ignore it if it's love (love)
Makes me wanna turn around and face me but I don't know nothing 'bout love
Come on, come on
Turn a little faster
Come on, come on
The world will follow after
Come on, come on
Cause everybody's after love
So I said I'm a snowball running
Running down into the spring that's coming all this love
Melting under blue skies
Belting out sunlight
Shimmering love
Well baby I surrender
To the strawberry ice cream
Never ever end of all this love
Well I didn't mean to do it
But there's no escaping your love
These lines of lightning
Mean we're never alone,
Never alone, no, no
We're accidentally in love
Accidentally in love [x7]
Accidentally I'm In Love
Spoiler for Bagian 1:
#1
Quote:
“Gila lu Bon, roti segitu banyak sayang-sayang bakal empan ikan semua!”
“Emang ngapa? Ikan jaman sekarang mah ogah makan cacing, Meng”
Gua jawab aja sekena-nya, memang niatnya gua bawa roti dari rumah buat bekal pas mancing tapi, gara-gara umpan cacing gua dari tadi nggak disentuh ikan terpaksa gua ganti dengan roti. Siapa tau mujarab.
Nggak seberapa berselang, tali pancing gua bergetar, refleks gua tarik joran sekuatnya dan mendarat dengan mulus seekor ikan yang kurang lebih seukuran telapak tangan.
“Anjritt.. dari tadi dapet sapu-sapu mulu gua!”
Sambil melepas mata kail dari mulut ikan sapu-sapu yang barusan gua angkat dan langsung gua lempar lagi kedalam kali.
Tidak berapa lama, melantun lagu “Time Like This”-nya Foo Fighter dari ponsel gua. Tertera tulisan “Rumah” dilayarnya.
“Kenapa mak?”
Karena memang cuma nyokap gua aja yang selalu telpon melalui telepon rumah. Bokap dan adik gua selalu menggunakan ponsel-nya masing-masing jika ada keperluan.
“Assalamualaikum , Mancing kagak rapi-rapi luh, nih ada kiriman surat buat elu”
“Dari siapa?”
“Kagak tau, bahasanya emak nggak ngerti”
“Simpenin dulu, nih aye udah mau pulang”
“Yaudah buruan, jangan maghriban dijalan, pamali. Assalamualaikum”
“Waalaikumsalam”
Gua kantongin lagi ponsel k-ekantong celana pendek yang sekarang udah kotor campur lumpur, sambil berteriak ke temen gua; Komeng, yang lagi berkutat dengan tali pancingnya yang kusut.
“Meng, ayo balik.. udah sore”
“Belon juga dapet sekilo, udah mau balik aje”
“Yauda elu terusin dah, gua balik duluan”
Komeng menjawab dengan sedikit gumam di bibirnya terdengar seperti “Yaelah..” sambil berjalan gontai menyusul gua.
------
Itu kejadian beberapa tahun yang lalu, dimana gua dan Komeng masih biasa mencari cacing buat umpan ikan di kebun singkong belakang rumahnya Haji Salim dan kemudian pergi memancing disepanjang pinggiran sungai Pesanggrahan, Jakarta.
Sekarang, gua sedang duduk sambil bersandar di sebuah kursi lipat di pinggir danau di daerah Leeds, Inggris. Menghabiskan hari libur akhir musim gugur dengan memancing sambil bernostalgia, mencoba membangkitkan memori tentang memancing, tentang si Komeng, tentang Jakarta, tentang rumah.
Setelah berjam-jam memancing, menghabiskan berkaleng-kaleng ‘Diet Coke’ akhirnya gua memutuskan untuk menyudahi kegiatan sialan ini. Pulang dengan membawa 6 Ekor ikan Yelowtail (di Indonesia disebut ikan patin) dan sedikit kenangan tentang ‘rumah’, gua berjalan gontai menuju tempat dimana sepeda kesayangan gua diparkir, sempat kebingungan awalnya karena sekarang ada banyak sepeda yang diparkir, padahal tadi pagi baru sepeda gua aja yang nongkrong disini, setelah celingak-celinguk akhirnya ketemu juga dan gua mulai mengayuh.
Jarak dari tempat gua biasa mancing ke tempat dimana gua tinggal di Moorland Ave, Leeds kurang lebih 3,5 mil atau kalau dalam satuan Kilometer sekitar 5,5 Km. Jarak segitu kalo disini, di Inggris bisa dibilang ‘deket’, kalau naik sepeda bisa cuma 30 menit.
Oiya, nama gua Boni. Gua lahir dan dibesarkan di Jakarta. Saat ini gua kerja dan tinggal di Leeds, Inggris sekitar 2-3 jam dari London (dengan kereta). Gua kerja sebagai Sound Designer disalah satu Agensi perfilman dan periklanan di Leeds yang juga punya kantor di London. Sudah hampir 4 tahun gua kerja dan tinggal disini, ditempat dimana nggak ada sungai dengan air berwarna cokelat keruh yang banyak ikan sapu-sapunya dan nggak ada teman yang suka menggerutu “Yaelah”.
Sambil mendengarkan “Heaven” nya Lost Lonely Boys lewat headset, gua mengayuh sepeda menuju ke rumah, pulang. Melewati jalan berpasir yang dipenuhi pohon-pohon maple di kedua sisinya menuju jalan utama. Jalan yang sangat sepi dan hening, jam menunjukkan angka 4 sore, menandakan waktu shalat maghrib, di sabtu sore seperti sekarang ini memang didaerah sini sangat sepi, kebanyakan penduduk sekitar sedang ke stadion atau pub-pub untuk menyaksikan Leeds United bertanding. Ingin buru-buru sampai di rumah, karena perut udah mulai keroncongan, gua kayuh sepeda lebih cepat. Sampai kemudian terdengar sayup-sayup suara musik yang makin lama makin nyaring, suara musik RnB yang sepertinya diputar dari dalam mobil dengan volume maksimal. Suara tersebut datang dari arah belakang dan kemudian menyusul gua, sebuah BMW silver yang melaju cepat bahkan boleh dibilang sangat cepat, sambil meninggalkan debu persis seperti mobil yang sedang Rally Dakkar.
“Orang Gila!!” gua mengumpat, masih sambil dengerin coda lagu “Heaven” nya Lost Lonely Boys. Sampai gua melihat beberapa detik kemudian lampu rem BMW tersebut menyala dan kemudian berhenti.
Deg!, “Wuanjrit, sakti juga tuh orang bisa denger suara gua” sambil berhenti dan melepas headset dari telinga. Yang ternyata setelah gua sadar, suara gua nggak sepelan pas pakai headset tadi. Gua nunggu sambil dag dig dug, kalau dia ngerti ucapan gua, dia pasti orang Indonesia dan kalo ternyata bukan gua bakal siap-siap kabur.
Pintu penumpang pun terbuka, terbuka secara paksa tepatnya, sedetik kemudian keluar seseorang dari kursi penumpang, terhuyung dan kemudian terjatuh, terdengar makian dari dalam BMW tersebut mungkin seperti “bitch” atau semacamnya dan sesaat kemudian BMW tersebut pergi, mengasapi orang yang tersungkur itu dengan debu jalanan.
Nggak mau terlalu ambil pusing, sambil bernafas lega dan bilang dalam hati; “untung bukan gua”, gua meneruskan mengayuh sepeda.
“Get up Bro, life is brutal”
gua berkata ke orang itu sambil melewatinya tetap melanjutkan mengayuh. Dan beberapa meter kemudian gua mendengar sebuah teriakan, teriakan yang (pada akhirnya) bakal merubah hidup gua.
“Woii.. Help me!, you’re Indonesian, right?”
“Tolongin gue dong…”
Gua berhenti mengayuh, turun dan bengong. Sudah hampir setahun gua nggak denger secara langsung orang bicara ke gua dengan bahasa Indonesia dan suara perempuan pula.. Lima, ah mungkin sepuluh detik kemudian baru gua memalingkan muka tapi masih tetap bengong.
“Woii..”
Akhirnya gua turun dari sepeda, kemudian menghampiri orang itu. Terduduk di depan gua sosok perempuan, hitam manis dengan kepala tertutup hood jaket hitam, celana jeans dan sepatu model boots sebetis berwarna cokelat.
“Elu nggak apa-apa?”
“Menurut Lo? Kalo gue gak apa-apa, ngapain gua teriak minta tolong elu!!”
Gua nggak menjawab, berusaha membantu dia berdiri sambil bertanya lagi bagaimana keadaannya. Sekali lagi dia mengumpat;
“Gila!, nggak punya hati banget sih lu!, ya jelas lah gue kenapa-kenapa.. nih liat!”
Sambil memperlihatkan telapak tangan dan siku-nya yang luka dan kemudian menyibak celana jeans-nya yang kotor terkena debu dan sobek di beberapa bagian akibat terlempar dari mobil tadi. Sesaat baru dia sadar kalau lutut kanannya juga luka sambil meringis kesakitan dia mencoba membersihkan luka tersebut dengan air liurnya. Sangat Indonesia sekali.
“Gua pikir tadi orang mabok yang lagi berantem, disini mah biasa begitu,mbak!”
Kemudia gua kasih satu-satunya ‘Diet Coke’ sisa memancing tadi, harusnya sih air putih tapi Cuma itu yang gua punya sekarang. Sambil menggerutu karena dikasih ‘Diet Coke’ daripada air putih, diminum juga tuh minuman soda. Kemudian gua menawarkan diri buat mengantar dia ke sebuah toko kecil di ujung jalan ini, untuk membeli plester untuk membalut luka-nya.
“Jauh nggak?”
Dia bertanya sambil menurunkan hood jaketnya dan menyibak rambutnya yang pendek seleher. Kemudian terlihat jelas sebuah luka lebam di sudut mata sebelah kiri-nya, tidak, bukan cuma satu, setidaknya ada 3 luka lebam, selain disudut matanya, satu lagi di dahi sebelah kiri dan satu lagi di sudut bibir sebelah kanan, yang terakhir tampak seperti luka yang baru karena masih meninggalkan sisa bekas darah yang membeku.
Gua nggak berani bertanya, gua hindari menatap kewajahnya sambil menjawab pertanyaa-nya bahwa tokonya nggak begitu jauh dari sini, sambil menunjuk ke arah jalan utama.
---
“Emang ngapa? Ikan jaman sekarang mah ogah makan cacing, Meng”
Gua jawab aja sekena-nya, memang niatnya gua bawa roti dari rumah buat bekal pas mancing tapi, gara-gara umpan cacing gua dari tadi nggak disentuh ikan terpaksa gua ganti dengan roti. Siapa tau mujarab.
Nggak seberapa berselang, tali pancing gua bergetar, refleks gua tarik joran sekuatnya dan mendarat dengan mulus seekor ikan yang kurang lebih seukuran telapak tangan.
“Anjritt.. dari tadi dapet sapu-sapu mulu gua!”
Sambil melepas mata kail dari mulut ikan sapu-sapu yang barusan gua angkat dan langsung gua lempar lagi kedalam kali.
Tidak berapa lama, melantun lagu “Time Like This”-nya Foo Fighter dari ponsel gua. Tertera tulisan “Rumah” dilayarnya.
“Kenapa mak?”
Karena memang cuma nyokap gua aja yang selalu telpon melalui telepon rumah. Bokap dan adik gua selalu menggunakan ponsel-nya masing-masing jika ada keperluan.
“Assalamualaikum , Mancing kagak rapi-rapi luh, nih ada kiriman surat buat elu”
“Dari siapa?”
“Kagak tau, bahasanya emak nggak ngerti”
“Simpenin dulu, nih aye udah mau pulang”
“Yaudah buruan, jangan maghriban dijalan, pamali. Assalamualaikum”
“Waalaikumsalam”
Gua kantongin lagi ponsel k-ekantong celana pendek yang sekarang udah kotor campur lumpur, sambil berteriak ke temen gua; Komeng, yang lagi berkutat dengan tali pancingnya yang kusut.
“Meng, ayo balik.. udah sore”
“Belon juga dapet sekilo, udah mau balik aje”
“Yauda elu terusin dah, gua balik duluan”
Komeng menjawab dengan sedikit gumam di bibirnya terdengar seperti “Yaelah..” sambil berjalan gontai menyusul gua.
------
Itu kejadian beberapa tahun yang lalu, dimana gua dan Komeng masih biasa mencari cacing buat umpan ikan di kebun singkong belakang rumahnya Haji Salim dan kemudian pergi memancing disepanjang pinggiran sungai Pesanggrahan, Jakarta.
Sekarang, gua sedang duduk sambil bersandar di sebuah kursi lipat di pinggir danau di daerah Leeds, Inggris. Menghabiskan hari libur akhir musim gugur dengan memancing sambil bernostalgia, mencoba membangkitkan memori tentang memancing, tentang si Komeng, tentang Jakarta, tentang rumah.
Setelah berjam-jam memancing, menghabiskan berkaleng-kaleng ‘Diet Coke’ akhirnya gua memutuskan untuk menyudahi kegiatan sialan ini. Pulang dengan membawa 6 Ekor ikan Yelowtail (di Indonesia disebut ikan patin) dan sedikit kenangan tentang ‘rumah’, gua berjalan gontai menuju tempat dimana sepeda kesayangan gua diparkir, sempat kebingungan awalnya karena sekarang ada banyak sepeda yang diparkir, padahal tadi pagi baru sepeda gua aja yang nongkrong disini, setelah celingak-celinguk akhirnya ketemu juga dan gua mulai mengayuh.
Jarak dari tempat gua biasa mancing ke tempat dimana gua tinggal di Moorland Ave, Leeds kurang lebih 3,5 mil atau kalau dalam satuan Kilometer sekitar 5,5 Km. Jarak segitu kalo disini, di Inggris bisa dibilang ‘deket’, kalau naik sepeda bisa cuma 30 menit.
Oiya, nama gua Boni. Gua lahir dan dibesarkan di Jakarta. Saat ini gua kerja dan tinggal di Leeds, Inggris sekitar 2-3 jam dari London (dengan kereta). Gua kerja sebagai Sound Designer disalah satu Agensi perfilman dan periklanan di Leeds yang juga punya kantor di London. Sudah hampir 4 tahun gua kerja dan tinggal disini, ditempat dimana nggak ada sungai dengan air berwarna cokelat keruh yang banyak ikan sapu-sapunya dan nggak ada teman yang suka menggerutu “Yaelah”.
Sambil mendengarkan “Heaven” nya Lost Lonely Boys lewat headset, gua mengayuh sepeda menuju ke rumah, pulang. Melewati jalan berpasir yang dipenuhi pohon-pohon maple di kedua sisinya menuju jalan utama. Jalan yang sangat sepi dan hening, jam menunjukkan angka 4 sore, menandakan waktu shalat maghrib, di sabtu sore seperti sekarang ini memang didaerah sini sangat sepi, kebanyakan penduduk sekitar sedang ke stadion atau pub-pub untuk menyaksikan Leeds United bertanding. Ingin buru-buru sampai di rumah, karena perut udah mulai keroncongan, gua kayuh sepeda lebih cepat. Sampai kemudian terdengar sayup-sayup suara musik yang makin lama makin nyaring, suara musik RnB yang sepertinya diputar dari dalam mobil dengan volume maksimal. Suara tersebut datang dari arah belakang dan kemudian menyusul gua, sebuah BMW silver yang melaju cepat bahkan boleh dibilang sangat cepat, sambil meninggalkan debu persis seperti mobil yang sedang Rally Dakkar.
“Orang Gila!!” gua mengumpat, masih sambil dengerin coda lagu “Heaven” nya Lost Lonely Boys. Sampai gua melihat beberapa detik kemudian lampu rem BMW tersebut menyala dan kemudian berhenti.
Deg!, “Wuanjrit, sakti juga tuh orang bisa denger suara gua” sambil berhenti dan melepas headset dari telinga. Yang ternyata setelah gua sadar, suara gua nggak sepelan pas pakai headset tadi. Gua nunggu sambil dag dig dug, kalau dia ngerti ucapan gua, dia pasti orang Indonesia dan kalo ternyata bukan gua bakal siap-siap kabur.
Pintu penumpang pun terbuka, terbuka secara paksa tepatnya, sedetik kemudian keluar seseorang dari kursi penumpang, terhuyung dan kemudian terjatuh, terdengar makian dari dalam BMW tersebut mungkin seperti “bitch” atau semacamnya dan sesaat kemudian BMW tersebut pergi, mengasapi orang yang tersungkur itu dengan debu jalanan.
Nggak mau terlalu ambil pusing, sambil bernafas lega dan bilang dalam hati; “untung bukan gua”, gua meneruskan mengayuh sepeda.
“Get up Bro, life is brutal”
gua berkata ke orang itu sambil melewatinya tetap melanjutkan mengayuh. Dan beberapa meter kemudian gua mendengar sebuah teriakan, teriakan yang (pada akhirnya) bakal merubah hidup gua.
“Woii.. Help me!, you’re Indonesian, right?”
“Tolongin gue dong…”
Gua berhenti mengayuh, turun dan bengong. Sudah hampir setahun gua nggak denger secara langsung orang bicara ke gua dengan bahasa Indonesia dan suara perempuan pula.. Lima, ah mungkin sepuluh detik kemudian baru gua memalingkan muka tapi masih tetap bengong.
“Woii..”
Akhirnya gua turun dari sepeda, kemudian menghampiri orang itu. Terduduk di depan gua sosok perempuan, hitam manis dengan kepala tertutup hood jaket hitam, celana jeans dan sepatu model boots sebetis berwarna cokelat.
“Elu nggak apa-apa?”
“Menurut Lo? Kalo gue gak apa-apa, ngapain gua teriak minta tolong elu!!”
Gua nggak menjawab, berusaha membantu dia berdiri sambil bertanya lagi bagaimana keadaannya. Sekali lagi dia mengumpat;
“Gila!, nggak punya hati banget sih lu!, ya jelas lah gue kenapa-kenapa.. nih liat!”
Sambil memperlihatkan telapak tangan dan siku-nya yang luka dan kemudian menyibak celana jeans-nya yang kotor terkena debu dan sobek di beberapa bagian akibat terlempar dari mobil tadi. Sesaat baru dia sadar kalau lutut kanannya juga luka sambil meringis kesakitan dia mencoba membersihkan luka tersebut dengan air liurnya. Sangat Indonesia sekali.
“Gua pikir tadi orang mabok yang lagi berantem, disini mah biasa begitu,mbak!”
Kemudia gua kasih satu-satunya ‘Diet Coke’ sisa memancing tadi, harusnya sih air putih tapi Cuma itu yang gua punya sekarang. Sambil menggerutu karena dikasih ‘Diet Coke’ daripada air putih, diminum juga tuh minuman soda. Kemudian gua menawarkan diri buat mengantar dia ke sebuah toko kecil di ujung jalan ini, untuk membeli plester untuk membalut luka-nya.
“Jauh nggak?”
Dia bertanya sambil menurunkan hood jaketnya dan menyibak rambutnya yang pendek seleher. Kemudian terlihat jelas sebuah luka lebam di sudut mata sebelah kiri-nya, tidak, bukan cuma satu, setidaknya ada 3 luka lebam, selain disudut matanya, satu lagi di dahi sebelah kiri dan satu lagi di sudut bibir sebelah kanan, yang terakhir tampak seperti luka yang baru karena masih meninggalkan sisa bekas darah yang membeku.
Gua nggak berani bertanya, gua hindari menatap kewajahnya sambil menjawab pertanyaa-nya bahwa tokonya nggak begitu jauh dari sini, sambil menunjuk ke arah jalan utama.
---
DAFTAR ISI
Quote:
CHAPTER 1
#1 The Beginning
#2 Truly Gentlemen
#3 Place Called Home
#4 The Morning Fever
#5 A Miserable Story
#6 Night Rain
#7 Inside My Head
#8 That Day
#9 Be Tough
#10 Mukena
#1 The Beginning
#2 Truly Gentlemen
#3 Place Called Home
#4 The Morning Fever
#5 A Miserable Story
#6 Night Rain
#7 Inside My Head
#8 That Day
#9 Be Tough
#10 Mukena
Quote:
CHAPTER 2
#11-A Trip To Manchester
#11-B The Swiss Army
#12 Here's and Back Again
#13 I Miss You So Bad
#14 Going Mad
#15 Promise
#16 You’ll Be The Only Light I See
#17 The Winter Tears
#18 She's Gone
#19 That Memories
#11-A Trip To Manchester
#11-B The Swiss Army
#12 Here's and Back Again
#13 I Miss You So Bad
#14 Going Mad
#15 Promise
#16 You’ll Be The Only Light I See
#17 The Winter Tears
#18 She's Gone
#19 That Memories
Quote:
CHAPTER 3
[URL="http://www.kaskus.co.id/show_post/530ff7e41acb17030d8b48f1/479/- "]#19-A The Hood[/URL]
#19-B Heres And Back Again II
#19-C Weak
#19-D Surrender
#19-E The Choice
#19-F Anything For You
#19-G Chelsea Number 8
#19-H Its not always about gold and glory
#19-I Aku
#19-J The Words
#19-K The Persian Cat
#19-L You Really The Only Light I See
#19-M So Be It
#19-N Less Than Perfect
#20 That Day II
[URL="http://www.kaskus.co.id/show_post/530ff7e41acb17030d8b48f1/479/- "]#19-A The Hood[/URL]
#19-B Heres And Back Again II
#19-C Weak
#19-D Surrender
#19-E The Choice
#19-F Anything For You
#19-G Chelsea Number 8
#19-H Its not always about gold and glory
#19-I Aku
#19-J The Words
#19-K The Persian Cat
#19-L You Really The Only Light I See
#19-M So Be It
#19-N Less Than Perfect
#20 That Day II
Quote:
CHAPTER 4 The Prekuel
#21 The Prologue
#22 My Precious
#23 Ticket to Ride
#24 Singapore
#25 Dreams
#26 The Awkward Moment
#27 Logic
#28 Driver In Life
#29 The Risk Taker
#30 Sorry
#31 Rise Again
#32 Goodbye
#21 The Prologue
#22 My Precious
#23 Ticket to Ride
#24 Singapore
#25 Dreams
#26 The Awkward Moment
#27 Logic
#28 Driver In Life
#29 The Risk Taker
#30 Sorry
#31 Rise Again
#32 Goodbye
Quote:
CHAPTER 5!!
#33 London
#34 Unwell
#35 I Was Here
#36 Leeds
#37 New Home, New Life
#38 Alone
#39 Intermezo
#40 Goin' Trough
#41 At Glance
#42 The Past of The Future
#33 London
#34 Unwell
#35 I Was Here
#36 Leeds
#37 New Home, New Life
#38 Alone
#39 Intermezo
#40 Goin' Trough
#41 At Glance
#42 The Past of The Future
Quote:
CHAPTER 6
#43 My First ...
#44 If Lovin' You ...
#45 Goin' Back
#46 Leeds II
#47 I Love You (Jealousy)
#48 After All
#49 Hell Yeah
#50 Conflict
#51 Liar-Liar
#52 Memories
#43 My First ...
#44 If Lovin' You ...
#45 Goin' Back
#46 Leeds II
#47 I Love You (Jealousy)
#48 After All
#49 Hell Yeah
#50 Conflict
#51 Liar-Liar
#52 Memories
Quote:
Quote:
Diubah oleh robotpintar 10-04-2014 08:46
namakuag dan 119 lainnya memberi reputasi
118
1.3M
Kutip
2.3K
Balasan
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#42
Spoiler for Bagian #6:
#6 Night Rain
Samar-samar terdenger alarm weker gua dikamar, gua buru-buru bangun dan masuk kekamar buat matiin weker. Takut bikin bangun si Ines. Jam di weker menunjukkan pukul 05.00 pagi. Gua buru-buru mandi, solat. Sebelum berangkat gua menyempatkan diri bikin bubur lagi kali ini gua bikin dua, takutnya si Ines nanti laper siangnya.
”Gone for work,
Breakfast in the micro.
When shit happen, there’s money upon the refri.
Don’t make a mesh!!”
Gua menuilskan pesan di post-it dan menempelnya di pintu kulkas kemudian berangkat kerja.
---
Gua sampai di rumah tepat pukul tujuh malam, diluar hujan deras, gua buru-buru masuk sambil menenteng sepeda menaiki anak tangga menuju keatas, setelah membersihkan sisa-sisa air yang masih ada di jaket, gua masuk.
Sesaat kemudian pas gua membuka pintu, gua merasa seperti ada yang lain di tempat ini, seperti bukan rumah yang selama 4 tahun ini gua tinggalin, nggak ada lagi plastik sisa-sisa tutup cup mie instan berserakan, nggak ada lagi bekas bekas abu rokok yang biasanya tersebar secara terorganisir di antara meja dan sofa tamu. Semua terlihat bersih, kemudian Ines muncul dari dalam kamar, kali ini dia sudah berganti pakaian dengan kaos Bob marley hitam dengan tone warna khas jamaica.
”Gua pake baju lu yang ini, ga papa kan?”
Gua Cuma mengangguk sambil membuka kulkas dan menenggak susu langsung dari botolnya berlagak santai. Padahal aslinya, dada gua lagi bergetar-getar ini karena tau-tau dalam hidup gua ada seorang wanita yang menyambut gua dirumah, bukan emak gua dan bukan adek gua.
”Elu abis bersih-bersih?”
”Iya, ga papa kan? Abisnya bosen gua nggak ngapa-ngapain seharian”
”Harusnya lu nggak perlu bersih-bersih segala, nes. Kayak pembantu aja”
”Emang yang boleh bersih-bersih Cuma pembantu doang.. Lagian juga ni tempat emang udah parah banget kotornya, kok bisa-bisa nya ya lu tingal di tempat jorok begini”
”Ya mo gimana lagi”
”Dibersihin..” jawab Ines sambil bersungut-sungut.
Gua memandang dia, sebenernya ni kalo diliat liat sih cantik juga.
”Kenapa lu ngeliatin gua?”
Ines membuyarkan lamunan gua.
”Ah ga papa, buburnya udah lu makan?”
”Udah, eh tadinya gua mau masak, tapi nggak ada bahan-bahannya, pengen keluar tapi ujan terus”
”Nggak usah masak, repot”
Gua menjawab sambil berjalan ke kamar mandi, hari ini gua udah niat nggak pake mandi, dingin.
Gua keluar dari kamar mandi dan langsung disambut sama Ines.
”Bon,...”
”.......”
”APA!!”
”Galak banget!”
”Iya.. ada apa?” gue menghaluskan nada suara gua.
”Gue boleh pinjem duit lo nggak?”
”Duit? Bakal apaan?”
”......”
”......”
Hening.
Gua merebahkan diri di sofa, menggonti-ganti channel.
”Duit bakal apaan, Ines?” gua nanya lagi, penasaran.
”Buat beli...”
”.....”
Hening.
”Beli apa? Sayur.., emang lu beneran mau masak?, yauda besok bangun pagi-pagi ntar gua anterin beli bahan, kalo mau masak. Nggak usah minjem itu mah”
”Bukan, Boni.....Ish...,, buat beli bra....”
Deg, gua langsung duduk, terdiam membeku. Gua emang nggak mikirin hal kayak gini dari kemaren.
”Kalo nggak, elu beliin aja deh.. gue kan nggak tau tempatnya”
Gua kemudian melirik ke arah jam, waktu menunjukkan pukul delapan lebih lima menit, kemudian gua masuk kekamar mengambil dompet dan mengeluarkan dua lembar pecahan 100 pounds.
”Nih, beli sendiri bisa kan? Masak gua beli bra”
”Dimana, gue kan nggak tau, anterin kek?”
Buset. Seumur umur gua belom pernah nganter perempuan apalagi beli ’barang’ gituan, masak tau-tau nganterin perempuan yang baru ketemu kemaren. Gua bersikeras menolak.
”Di deket sini ada semacem butik khusus pakaian cewek deh kayaknya”
Kemudian gua menjelaskan petunjuk arah ke ujung jalan moorland Rd, persimpangan menuju ke Clarendon Rd.
”Kalo mau yang lebih murah beli di Primark aja, Cuma agak jauh.. dari butik yang tadi gua bilang elu lurus aja sampe ketemu persimpangan Woodhouse Square yang ada patung orang warna ijo terus lu belok kiri, nanti tokonya ada di sebelah kiri”
Ines Cuma diri mematung, bengong sambil mendengarkan omongan gua. Dan kemudian bergegas menuju ke pintu keluar.
”Nes.. pake jaket nih”
Ines menolak, kemudian keluar dan menutup pintu. Gua merebahkan tubuh lagi ke sofa. Dan gua ketiduran.
---
Gua terbangun pas jam menunjukkan pukul 9 lebih 30 menit. Udah lebih dari sejam si Ines belum balik juga. Gua mengambil susu dari kulkas dan menyalakan sebatang rokok sambil duduk dan nonton tivi. Bolak –balik gua memandang jam, kok belom pulang juga nih bocah, jangan-jangan nyasar lagi atau kenapa kenapa. Aneh kenapa jadi gua yang khawatir begini padahal baru juga kenal sama dia. Sepuluh menit kemudian gua memutuskan mencari Ines setelah mengambil dua Jaket , satu gua pake dan satunya lagi buat Ines, gua berjalan keluar, diluar gerimis dan anginnya kenceng banget. Gua berjalan ke arah Moorland rd menuju ke butik yang tadi gua kasih petunjuknya ke Ines, sesampainya disana ternyata Butik tersebut sudah tutup atau jangan-jangan memang tutup dari pagi, gua berfikir jangan-jangan si Ines beneran ke Primark.
Akhirnya gua memutuskan buat menyusul ke Primark, jaraknya kalo dari sini kurang lebih sekitar 3 kilo-an, lumayan, banget. Sambil tengok kanan-tengok kiri gua berjalan menyusuri trotoar hingga ke Woodhouse Square, hujan semakin lama semakin deras, gua ngerasa bersalah banget sama tuh perempuan. Kalo tuh perempuan sampe mati kedinginan bisa-bisa di kremasi tuh mayatnya, nggak ada identitas sama sekali.
Gua berjalan semakin cepat, sambil menunduk menghindari air hujan yang menerjang wajah. Sayup-sayup gua denger dari kejauhan suara orang berkerumun, ribut-ribut, gua respon berlari menghampiri kerumunan itu. Ada seorang tergeletak di pinggir jalan, deg kaki gua langsung lemes, kemudian gua merangsek maju kedalam kerumunan. Ah ternyata bukan Ines, Cuma seorang laki-laki mabuk yang mungkin habis berkelahi.
Gua mencoba keluar dari kerumunan saat gua melihat Ines di sebrang jalan sedang menyilangkan tangannya di atas perut, memandang sekeliling dan gua lihat dia menggigil. Gua berlari menghampirinya, Ines hampir saja jatuh karena terkejut saat gua memakaikannya jaket dan menutup kepalanya dengan hood.
”Kemana aja sih lo!!” gua menghardik Ines dengan sedikit berteriak sambil ngedumel nggak jelas.
Ines menoleh sambil terisak.
”Lu tau nggak sih, gue tuh dari tadi mau balik, tapi gue nggak tau kemana.., lu ngerti kek, bon.” Tangisnya pun meledak.
”Tadi gua minta anterin sama elo, elonya nggak mau, trus gue jalan sendiri, nyasar dan sekarang elo ngomel-ngomel ke gue”
Gua terdiam, kalo gua jadi orang lain mungkin gua bakal setuju banget sama omongan si Ines barusan. Gua kehabisan kata-kata dan kami pun berjalan dalam diam ditengah hujan.
---
Sampai di persimpangan Woodhouse, tiba-tiba Ines sempoyongan dan hampir terjatuh, gua mencoba menangkapnya, walaupun sedikit terlambat paling nggak dia nggak jatuh ke trotoar. Gua menampar pelan pipinya.
”Nes, nes.. bangun.. kenapa lagi sih lo?”
Gua kemudian menyandarkan tubuhnya di badan gua, sambil melihat sekeliling mungkin ada taksi yang lewat masih sambil mengguncang-guncang tubuhnya.
”Nes, bangun..”
Semenit, tiga menit, lima menit, nggak ada satupun taksi atau kendaraan yang lewat. Gua meletakan ujung telunjuk ke ujung hidungnya, ah masih ada nafasnya. Gua masih tetap mengguncang tubuhnya sampai saat sinar menyilaukan menerpa wajah, sambil memicingkan mata karena silau gua melihat apakah itu taksi atau bukan, ternyata bukan. Buru-buru gua membaringkan Ines di jalan dan mencoba menghentikan mobil tersebut. Mobil tersebut melambat dan menghentikan laju-nya, kaca penumpang kemudian terbuka, dibangku penumpang duduk seorang wanita berusia sekitar 30-40an bersama mungkin suaminya di bangku kemudi. Wanita tersebut menanyakan apa yang terjadi kemudian gua menjelaskan, wanita itu mengangguk dan membuka pintu belakang, gua kemudian mengangkat Ines masuk kedalam mobil. Pasangan itu kemudian mengantarkan kami ke rumah sakit.
Nggak banyak percakapan yang terjadi didalam mobil, sayup terdengar dari tape dalam mobil suara Dolores O’riordan melantunkan ’Linger’,Damn! Perfect song in the wrong situation, wanita tersebut mengenalkan diri, namanya Beatrice dan sang supir yang juga suaminya bernama Erick.
Sampai dirumah sakit Ines langsung mendapat perawatan dan masuk ruang UGD, gua menyampaikan rasa terima kasih kepada Beatrice dan Erick yang dibalas dengan senyuman keduanya sambil berkata ”Most Welcome”, kemudian gua menyusul Ines ke Ruang UGD.
Hujan masih belum reda, didalam sini, sedikit hangat. Gua menunggu di depan ruang UGD sambil menggosok-gosokan telapak tangan biar tetap hangat. Kalau dibandingkan dengan di Indonesia, pelayanan kesehatan disini benar-benar bikin Indonesia jauh ketinggalan. Saat ada pasien darurat yang masuk, pihak rumah sakit nggak pake embel-embel urusan birokrasi yang rumit, nggak ngurus-ngurus administrasi dulu, yang penting si pasien bisa ditangani dan setelah keadaan membaik, barulah pihak pasien mengurus administrasi. Untuk warga yang punya kartu jaminan sosial nggak perlu pusing-pusing mikirin biayanya, tinggal ngasih unjuk atau menyebutkan nomor kartu jaminan sosial-nya maka nggak ada biaya yang ditagih ke pasien, semua gratis. Tapi, untuk warga asing kayak gua yang nggak punya kartu tersebut tetep bakal kena tagihan, apalagi si Ines boro-boro KTP, paspor sama visa-nya aja nggak ada.
Sepuluh menit kemudian, seorang perawat keluar dari ruang UGD dan menyerahkan sebuah formulir biodata si pasien untuk diisi, sambil tersenyum dia menunjukkan sebuah podium diseberang koridor dimana disana tersedia alat tulis-nya.
Hampir lima menit gua terbengong-bengong ria, ada dua lembar form didepan gua terdiri dari kurang lebih 20 kolom per lembar yang harus diisi, dan gua baru mengisi tiga kolom; Kolom first name yang gua isi dengan tulisan ”INES”, kolom last name yang juga gua isi ”INES” dan sebuah thickbox yang gua centang bagian ”Female”. Akhirnya gua putuskan untuk mengisi data-data yang dibutuhkan dengan biodata gua dicampur dengan sedikit mengarang indah, sampai di kolom bertuliskan ”Blood Type : .......” gua kembali terdiam.
Si perawat menghampiri gua, memberitahukan bahwa dokter ingin bertemu sambil menagih form isian gua. Sebelum menyerahkannya gua tuliskan ”O” pada kolom ”Blood Type”, mudah-mudahan bener.
Dokter mengatakan kalau Ines mengalami gejala hypotermia ringan, tekanan darahnya juga rendah dan si dokter juga menanyakan apakah gua suaminya, karena ada tanda-tanda kekerasan di beberapa bagian tubuhnya. Gua menjelaskan kalau dia adalah pacar gua dan baru saja datang dari Indonesia setelah mengalami kekerasan disana. Dokter mengangguk dan mengatakan kalau Ines akan dipindahkan ke ruang perawatan, dia menambahkan kalau ines baru bisa pulang setelah 1 atau 2 hari. Gua mengucapkan terima kasih dan kembali duduk di ruang tunggu. What a though day!
---
Hari kedua ines dirumah sakit dan dia sudah diperbolehkan untuk pulang. Setelah mengurus administrasi dan membayar tagihan gua ke ruang perawatan untuk menjemput Ines. Didalam, ines sudah bersiap untuk pulang, dia mengenakan kaos oblong putih, sweater ’champion’ krem dan celana traning ’adidas’ hitam, wajahnya tampak sedikit cerah hari ini dan entah kenapa sangat sulit buat gua mengakui kalo Ines memang beneran cantik.
Kami kemudian pulang dengan taksi, di sepanjang jalan ines terlihat sumringah.
”Kenapa lu dari tadi cengengesan sendiri?”
”Ga papa, gua seneng aja”
”Seneng? elu seneng... gua apa kabar?
”Yaah.. bukan gitu bon..”
Gua diem membuka ponsel, membaca beberapa pesan yang masuk. Salah satunya pesan dari rekan kerja gua, yang bilang kalau gua harus ke kantor hari ini, setelah menjawab ”Okey” gua menutup ponsel dan menoleh ke Ines yang sekarang air mukanya sedikit cemberut.
”Emang apa alesan lu seneng?”
”Ya seneng aja, dari dulu nggak pernah ada orang yang begitu merhatiin gua, bahkan kakak atau temen-temen terdekat gua. Tapi, elo.. elo beda”
”Kan gua udah bilang, kalo sampe elu mati disini, gua yang dipenjara, makanya gua nolong lu”
”Nggak papa, apapun alesan elo nolong gua, gua tetep seneng” Ines menjawab manja sambil menatap ke jendela.
”Eh, sekarang lu mau kan nganter gua ke prima-x?”
”Primark” gua mengoreksi.
”Mau beli apa?”
”Beli Bra!” ines menjawab sambil menjulurkan lidahnya ke gua.
Anjrit, perlakuannya yang kayak gitu malah bikin jantung gua ’nyess’. Selama ini sepanjang hidup gua, nggak pernah ada perempuan yang ’sedekat’ ini, gua nggak kenal yang namanya pacaran, gua Cuma tau indahnya cinta dari curhatan si komeng tentang pacarnya dan lagu-lagu romansanya ’meat loaf’.
”Mau nggak? Kalo nggak mau, biar gua jalan sendiri aja.. biarin ilang-ilang deh sekalian..” Ines melipat kedua tangannya sambil berlagak marah dan membuang muka.
Kemudian gua memberi isyarat ke supir taksi untuk merubah tujuan, ke primark.
Ines mengepalkan telapak tangannya dan berteriak ”Yes!”
”Eh, berarti uda berapa hari tuh elu nggak ganti daleman?”
”Cuma dua hari, sekarang gua nggak pake bra..hehehe”
”Pantesan elu keukeuh banget minta bawain sweater”
Samar-samar terdenger alarm weker gua dikamar, gua buru-buru bangun dan masuk kekamar buat matiin weker. Takut bikin bangun si Ines. Jam di weker menunjukkan pukul 05.00 pagi. Gua buru-buru mandi, solat. Sebelum berangkat gua menyempatkan diri bikin bubur lagi kali ini gua bikin dua, takutnya si Ines nanti laper siangnya.
”Gone for work,
Breakfast in the micro.
When shit happen, there’s money upon the refri.
Don’t make a mesh!!”
Gua menuilskan pesan di post-it dan menempelnya di pintu kulkas kemudian berangkat kerja.
---
Gua sampai di rumah tepat pukul tujuh malam, diluar hujan deras, gua buru-buru masuk sambil menenteng sepeda menaiki anak tangga menuju keatas, setelah membersihkan sisa-sisa air yang masih ada di jaket, gua masuk.
Sesaat kemudian pas gua membuka pintu, gua merasa seperti ada yang lain di tempat ini, seperti bukan rumah yang selama 4 tahun ini gua tinggalin, nggak ada lagi plastik sisa-sisa tutup cup mie instan berserakan, nggak ada lagi bekas bekas abu rokok yang biasanya tersebar secara terorganisir di antara meja dan sofa tamu. Semua terlihat bersih, kemudian Ines muncul dari dalam kamar, kali ini dia sudah berganti pakaian dengan kaos Bob marley hitam dengan tone warna khas jamaica.
”Gua pake baju lu yang ini, ga papa kan?”
Gua Cuma mengangguk sambil membuka kulkas dan menenggak susu langsung dari botolnya berlagak santai. Padahal aslinya, dada gua lagi bergetar-getar ini karena tau-tau dalam hidup gua ada seorang wanita yang menyambut gua dirumah, bukan emak gua dan bukan adek gua.
”Elu abis bersih-bersih?”
”Iya, ga papa kan? Abisnya bosen gua nggak ngapa-ngapain seharian”
”Harusnya lu nggak perlu bersih-bersih segala, nes. Kayak pembantu aja”
”Emang yang boleh bersih-bersih Cuma pembantu doang.. Lagian juga ni tempat emang udah parah banget kotornya, kok bisa-bisa nya ya lu tingal di tempat jorok begini”
”Ya mo gimana lagi”
”Dibersihin..” jawab Ines sambil bersungut-sungut.
Gua memandang dia, sebenernya ni kalo diliat liat sih cantik juga.
”Kenapa lu ngeliatin gua?”
Ines membuyarkan lamunan gua.
”Ah ga papa, buburnya udah lu makan?”
”Udah, eh tadinya gua mau masak, tapi nggak ada bahan-bahannya, pengen keluar tapi ujan terus”
”Nggak usah masak, repot”
Gua menjawab sambil berjalan ke kamar mandi, hari ini gua udah niat nggak pake mandi, dingin.
Gua keluar dari kamar mandi dan langsung disambut sama Ines.
”Bon,...”
”.......”
”APA!!”
”Galak banget!”
”Iya.. ada apa?” gue menghaluskan nada suara gua.
”Gue boleh pinjem duit lo nggak?”
”Duit? Bakal apaan?”
”......”
”......”
Hening.
Gua merebahkan diri di sofa, menggonti-ganti channel.
”Duit bakal apaan, Ines?” gua nanya lagi, penasaran.
”Buat beli...”
”.....”
Hening.
”Beli apa? Sayur.., emang lu beneran mau masak?, yauda besok bangun pagi-pagi ntar gua anterin beli bahan, kalo mau masak. Nggak usah minjem itu mah”
”Bukan, Boni.....Ish...,, buat beli bra....”
Deg, gua langsung duduk, terdiam membeku. Gua emang nggak mikirin hal kayak gini dari kemaren.
”Kalo nggak, elu beliin aja deh.. gue kan nggak tau tempatnya”
Gua kemudian melirik ke arah jam, waktu menunjukkan pukul delapan lebih lima menit, kemudian gua masuk kekamar mengambil dompet dan mengeluarkan dua lembar pecahan 100 pounds.
”Nih, beli sendiri bisa kan? Masak gua beli bra”
”Dimana, gue kan nggak tau, anterin kek?”
Buset. Seumur umur gua belom pernah nganter perempuan apalagi beli ’barang’ gituan, masak tau-tau nganterin perempuan yang baru ketemu kemaren. Gua bersikeras menolak.
”Di deket sini ada semacem butik khusus pakaian cewek deh kayaknya”
Kemudian gua menjelaskan petunjuk arah ke ujung jalan moorland Rd, persimpangan menuju ke Clarendon Rd.
”Kalo mau yang lebih murah beli di Primark aja, Cuma agak jauh.. dari butik yang tadi gua bilang elu lurus aja sampe ketemu persimpangan Woodhouse Square yang ada patung orang warna ijo terus lu belok kiri, nanti tokonya ada di sebelah kiri”
Ines Cuma diri mematung, bengong sambil mendengarkan omongan gua. Dan kemudian bergegas menuju ke pintu keluar.
”Nes.. pake jaket nih”
Ines menolak, kemudian keluar dan menutup pintu. Gua merebahkan tubuh lagi ke sofa. Dan gua ketiduran.
---
Gua terbangun pas jam menunjukkan pukul 9 lebih 30 menit. Udah lebih dari sejam si Ines belum balik juga. Gua mengambil susu dari kulkas dan menyalakan sebatang rokok sambil duduk dan nonton tivi. Bolak –balik gua memandang jam, kok belom pulang juga nih bocah, jangan-jangan nyasar lagi atau kenapa kenapa. Aneh kenapa jadi gua yang khawatir begini padahal baru juga kenal sama dia. Sepuluh menit kemudian gua memutuskan mencari Ines setelah mengambil dua Jaket , satu gua pake dan satunya lagi buat Ines, gua berjalan keluar, diluar gerimis dan anginnya kenceng banget. Gua berjalan ke arah Moorland rd menuju ke butik yang tadi gua kasih petunjuknya ke Ines, sesampainya disana ternyata Butik tersebut sudah tutup atau jangan-jangan memang tutup dari pagi, gua berfikir jangan-jangan si Ines beneran ke Primark.
Akhirnya gua memutuskan buat menyusul ke Primark, jaraknya kalo dari sini kurang lebih sekitar 3 kilo-an, lumayan, banget. Sambil tengok kanan-tengok kiri gua berjalan menyusuri trotoar hingga ke Woodhouse Square, hujan semakin lama semakin deras, gua ngerasa bersalah banget sama tuh perempuan. Kalo tuh perempuan sampe mati kedinginan bisa-bisa di kremasi tuh mayatnya, nggak ada identitas sama sekali.
Gua berjalan semakin cepat, sambil menunduk menghindari air hujan yang menerjang wajah. Sayup-sayup gua denger dari kejauhan suara orang berkerumun, ribut-ribut, gua respon berlari menghampiri kerumunan itu. Ada seorang tergeletak di pinggir jalan, deg kaki gua langsung lemes, kemudian gua merangsek maju kedalam kerumunan. Ah ternyata bukan Ines, Cuma seorang laki-laki mabuk yang mungkin habis berkelahi.
Gua mencoba keluar dari kerumunan saat gua melihat Ines di sebrang jalan sedang menyilangkan tangannya di atas perut, memandang sekeliling dan gua lihat dia menggigil. Gua berlari menghampirinya, Ines hampir saja jatuh karena terkejut saat gua memakaikannya jaket dan menutup kepalanya dengan hood.
”Kemana aja sih lo!!” gua menghardik Ines dengan sedikit berteriak sambil ngedumel nggak jelas.
Ines menoleh sambil terisak.
”Lu tau nggak sih, gue tuh dari tadi mau balik, tapi gue nggak tau kemana.., lu ngerti kek, bon.” Tangisnya pun meledak.
”Tadi gua minta anterin sama elo, elonya nggak mau, trus gue jalan sendiri, nyasar dan sekarang elo ngomel-ngomel ke gue”
Gua terdiam, kalo gua jadi orang lain mungkin gua bakal setuju banget sama omongan si Ines barusan. Gua kehabisan kata-kata dan kami pun berjalan dalam diam ditengah hujan.
---
Sampai di persimpangan Woodhouse, tiba-tiba Ines sempoyongan dan hampir terjatuh, gua mencoba menangkapnya, walaupun sedikit terlambat paling nggak dia nggak jatuh ke trotoar. Gua menampar pelan pipinya.
”Nes, nes.. bangun.. kenapa lagi sih lo?”
Gua kemudian menyandarkan tubuhnya di badan gua, sambil melihat sekeliling mungkin ada taksi yang lewat masih sambil mengguncang-guncang tubuhnya.
”Nes, bangun..”
Semenit, tiga menit, lima menit, nggak ada satupun taksi atau kendaraan yang lewat. Gua meletakan ujung telunjuk ke ujung hidungnya, ah masih ada nafasnya. Gua masih tetap mengguncang tubuhnya sampai saat sinar menyilaukan menerpa wajah, sambil memicingkan mata karena silau gua melihat apakah itu taksi atau bukan, ternyata bukan. Buru-buru gua membaringkan Ines di jalan dan mencoba menghentikan mobil tersebut. Mobil tersebut melambat dan menghentikan laju-nya, kaca penumpang kemudian terbuka, dibangku penumpang duduk seorang wanita berusia sekitar 30-40an bersama mungkin suaminya di bangku kemudi. Wanita tersebut menanyakan apa yang terjadi kemudian gua menjelaskan, wanita itu mengangguk dan membuka pintu belakang, gua kemudian mengangkat Ines masuk kedalam mobil. Pasangan itu kemudian mengantarkan kami ke rumah sakit.
Nggak banyak percakapan yang terjadi didalam mobil, sayup terdengar dari tape dalam mobil suara Dolores O’riordan melantunkan ’Linger’,Damn! Perfect song in the wrong situation, wanita tersebut mengenalkan diri, namanya Beatrice dan sang supir yang juga suaminya bernama Erick.
Sampai dirumah sakit Ines langsung mendapat perawatan dan masuk ruang UGD, gua menyampaikan rasa terima kasih kepada Beatrice dan Erick yang dibalas dengan senyuman keduanya sambil berkata ”Most Welcome”, kemudian gua menyusul Ines ke Ruang UGD.
Hujan masih belum reda, didalam sini, sedikit hangat. Gua menunggu di depan ruang UGD sambil menggosok-gosokan telapak tangan biar tetap hangat. Kalau dibandingkan dengan di Indonesia, pelayanan kesehatan disini benar-benar bikin Indonesia jauh ketinggalan. Saat ada pasien darurat yang masuk, pihak rumah sakit nggak pake embel-embel urusan birokrasi yang rumit, nggak ngurus-ngurus administrasi dulu, yang penting si pasien bisa ditangani dan setelah keadaan membaik, barulah pihak pasien mengurus administrasi. Untuk warga yang punya kartu jaminan sosial nggak perlu pusing-pusing mikirin biayanya, tinggal ngasih unjuk atau menyebutkan nomor kartu jaminan sosial-nya maka nggak ada biaya yang ditagih ke pasien, semua gratis. Tapi, untuk warga asing kayak gua yang nggak punya kartu tersebut tetep bakal kena tagihan, apalagi si Ines boro-boro KTP, paspor sama visa-nya aja nggak ada.
Sepuluh menit kemudian, seorang perawat keluar dari ruang UGD dan menyerahkan sebuah formulir biodata si pasien untuk diisi, sambil tersenyum dia menunjukkan sebuah podium diseberang koridor dimana disana tersedia alat tulis-nya.
Hampir lima menit gua terbengong-bengong ria, ada dua lembar form didepan gua terdiri dari kurang lebih 20 kolom per lembar yang harus diisi, dan gua baru mengisi tiga kolom; Kolom first name yang gua isi dengan tulisan ”INES”, kolom last name yang juga gua isi ”INES” dan sebuah thickbox yang gua centang bagian ”Female”. Akhirnya gua putuskan untuk mengisi data-data yang dibutuhkan dengan biodata gua dicampur dengan sedikit mengarang indah, sampai di kolom bertuliskan ”Blood Type : .......” gua kembali terdiam.
Si perawat menghampiri gua, memberitahukan bahwa dokter ingin bertemu sambil menagih form isian gua. Sebelum menyerahkannya gua tuliskan ”O” pada kolom ”Blood Type”, mudah-mudahan bener.
Dokter mengatakan kalau Ines mengalami gejala hypotermia ringan, tekanan darahnya juga rendah dan si dokter juga menanyakan apakah gua suaminya, karena ada tanda-tanda kekerasan di beberapa bagian tubuhnya. Gua menjelaskan kalau dia adalah pacar gua dan baru saja datang dari Indonesia setelah mengalami kekerasan disana. Dokter mengangguk dan mengatakan kalau Ines akan dipindahkan ke ruang perawatan, dia menambahkan kalau ines baru bisa pulang setelah 1 atau 2 hari. Gua mengucapkan terima kasih dan kembali duduk di ruang tunggu. What a though day!
---
Hari kedua ines dirumah sakit dan dia sudah diperbolehkan untuk pulang. Setelah mengurus administrasi dan membayar tagihan gua ke ruang perawatan untuk menjemput Ines. Didalam, ines sudah bersiap untuk pulang, dia mengenakan kaos oblong putih, sweater ’champion’ krem dan celana traning ’adidas’ hitam, wajahnya tampak sedikit cerah hari ini dan entah kenapa sangat sulit buat gua mengakui kalo Ines memang beneran cantik.
Kami kemudian pulang dengan taksi, di sepanjang jalan ines terlihat sumringah.
”Kenapa lu dari tadi cengengesan sendiri?”
”Ga papa, gua seneng aja”
”Seneng? elu seneng... gua apa kabar?
”Yaah.. bukan gitu bon..”
Gua diem membuka ponsel, membaca beberapa pesan yang masuk. Salah satunya pesan dari rekan kerja gua, yang bilang kalau gua harus ke kantor hari ini, setelah menjawab ”Okey” gua menutup ponsel dan menoleh ke Ines yang sekarang air mukanya sedikit cemberut.
”Emang apa alesan lu seneng?”
”Ya seneng aja, dari dulu nggak pernah ada orang yang begitu merhatiin gua, bahkan kakak atau temen-temen terdekat gua. Tapi, elo.. elo beda”
”Kan gua udah bilang, kalo sampe elu mati disini, gua yang dipenjara, makanya gua nolong lu”
”Nggak papa, apapun alesan elo nolong gua, gua tetep seneng” Ines menjawab manja sambil menatap ke jendela.
”Eh, sekarang lu mau kan nganter gua ke prima-x?”
”Primark” gua mengoreksi.
”Mau beli apa?”
”Beli Bra!” ines menjawab sambil menjulurkan lidahnya ke gua.
Anjrit, perlakuannya yang kayak gitu malah bikin jantung gua ’nyess’. Selama ini sepanjang hidup gua, nggak pernah ada perempuan yang ’sedekat’ ini, gua nggak kenal yang namanya pacaran, gua Cuma tau indahnya cinta dari curhatan si komeng tentang pacarnya dan lagu-lagu romansanya ’meat loaf’.
”Mau nggak? Kalo nggak mau, biar gua jalan sendiri aja.. biarin ilang-ilang deh sekalian..” Ines melipat kedua tangannya sambil berlagak marah dan membuang muka.
Kemudian gua memberi isyarat ke supir taksi untuk merubah tujuan, ke primark.
Ines mengepalkan telapak tangannya dan berteriak ”Yes!”
”Eh, berarti uda berapa hari tuh elu nggak ganti daleman?”
”Cuma dua hari, sekarang gua nggak pake bra..hehehe”
”Pantesan elu keukeuh banget minta bawain sweater”
Backsound Untuk Bagian 6


If you, if you could return, don't let it burn, don't let it fade.
I'm sure I'm not being rude, but it's just your attitude,
It's tearing me apart, It's ruining everything.
I swore, I swore I would be true, and honey, so did you.
So why were you holding her hand? Is that the way we stand?
Were you lying all the time? Was it just a game to you?
But I'm in so deep. You know I'm such a fool for you.
You got me wrapped around your finger, ah, ha, ha.
Do you have to let it linger? Do you have to, do you have to,
Do you have to let it linger?
Oh, I thought the world of you.
I thought nothing could go wrong,
But I was wrong. I was wrong.
If you, if you could get by, trying not to lie,
Things wouldn't be so confused and I wouldn't feel so used,
But you always really knew, I just wanna be with you.
But I'm in so deep. You know I'm such a fool for you.
You got me wrapped around your finger, ah, ha, ha.
Do you have to let it linger? Do you have to, do you have to,
Do you have to let it linger?
And I'm in so deep. You know I'm such a fool for you.
You got me wrapped around your finger, ah, ha, ha.
Do you have to let it linger? Do you have to, do you have to,
Do you have to let it linger?
You know I'm such a fool for you.
You got me wrapped around your finger, ah, ha, ha.
Do you have to let it linger? Do you have to, do you have to,
Do you have to let it linger?


If you, if you could return, don't let it burn, don't let it fade.
I'm sure I'm not being rude, but it's just your attitude,
It's tearing me apart, It's ruining everything.
I swore, I swore I would be true, and honey, so did you.
So why were you holding her hand? Is that the way we stand?
Were you lying all the time? Was it just a game to you?
But I'm in so deep. You know I'm such a fool for you.
You got me wrapped around your finger, ah, ha, ha.
Do you have to let it linger? Do you have to, do you have to,
Do you have to let it linger?
Oh, I thought the world of you.
I thought nothing could go wrong,
But I was wrong. I was wrong.
If you, if you could get by, trying not to lie,
Things wouldn't be so confused and I wouldn't feel so used,
But you always really knew, I just wanna be with you.
But I'm in so deep. You know I'm such a fool for you.
You got me wrapped around your finger, ah, ha, ha.
Do you have to let it linger? Do you have to, do you have to,
Do you have to let it linger?
And I'm in so deep. You know I'm such a fool for you.
You got me wrapped around your finger, ah, ha, ha.
Do you have to let it linger? Do you have to, do you have to,
Do you have to let it linger?
You know I'm such a fool for you.
You got me wrapped around your finger, ah, ha, ha.
Do you have to let it linger? Do you have to, do you have to,
Do you have to let it linger?
Spoiler for Klipnya:
Diubah oleh robotpintar 27-02-2014 15:55
regmekujo dan 20 lainnya memberi reputasi
21
Kutip
Balas
![Accidentally In Love [True Story]](https://s.kaskus.id/images/2014/04/07/6448808_20140407033338.jpg)