TS
redxiv
[OriFic] Tear of Fate
Halo salam kenal,
Setelah menunda beberapa kali akhirnya saya putuskan sharing cerita disini. Jujur aja sih saya harap ini jadi proyek tulis menulis terakhir saya sebelum terjun ke dunia menulis sebenarnya. Jadi saya mohon kritik atau masukan apapun tentang cerita ini, dan terima kasih banyak sebelumnya.
Genre : Fantasi, Adventure, Political, Magic, Alternate History
Sinopsis :
Index :
Setelah menunda beberapa kali akhirnya saya putuskan sharing cerita disini. Jujur aja sih saya harap ini jadi proyek tulis menulis terakhir saya sebelum terjun ke dunia menulis sebenarnya. Jadi saya mohon kritik atau masukan apapun tentang cerita ini, dan terima kasih banyak sebelumnya.
Genre : Fantasi, Adventure, Political, Magic, Alternate History
Sinopsis :
Quote:
Bergabung di akademi militer saat menginjak umur empat belas tahun, lulus setahun kemudian dengan memecahkan berbagai rekor. Memberikan kontribusi pertamanya pada aliansi kerajaan Riviera saat memimpin lima ratus pasukan memasuki benteng Frostia pada umurnya yang keenam belas tahun, dan meruntuhkan benteng itu enam jam kemudian. Mencapai puncak prestasi di umur yang kedua puluh tahun dengan di angkat sebagai komandan tertinggi kerajaan Riviera.
Dan lima tahun telah berlalu sejak di tanda-tanganinya perjanjian perdamaian antara republik Vain, dan aliansi kerajaan Riviera. Dia kini tengah menikmati kedamaian dengan mengasingkan diri di hutan konservasi berjarak empat puluh lima ribu mil dari ibukota Riviera, Sphersa.
Namun sepertinya kedamaian itu berakhir saat munculnya seorang pria lemah, cerewet, pengeluh—pokoknya semua yang buruk-buruk—sedang diburu oleh Holy Vain, pasukan dari republik Vain. Firasatnya—yang tak pernah meleset—mengatakan bahwa pria lemah itu akan kembali membawa dunia dalam peperangan.
Dia tak menginginkan perang. Perang telah membuatnya menjadi pembunuh berdarah dingin, perang telah merenggut rekan-rekan seperjuangannya. Tapi dia tak bisa lari menghindar saat mengetahui kenyataan dibalik pria itu, sejarah lima ribu tahun lalu. Firasatnya tak pernah mengatakannya, pria itu menuntunnya melihat sisi lain dunia, mengantarnya menuju takdir tak terelakkan…
Dan lima tahun telah berlalu sejak di tanda-tanganinya perjanjian perdamaian antara republik Vain, dan aliansi kerajaan Riviera. Dia kini tengah menikmati kedamaian dengan mengasingkan diri di hutan konservasi berjarak empat puluh lima ribu mil dari ibukota Riviera, Sphersa.
Namun sepertinya kedamaian itu berakhir saat munculnya seorang pria lemah, cerewet, pengeluh—pokoknya semua yang buruk-buruk—sedang diburu oleh Holy Vain, pasukan dari republik Vain. Firasatnya—yang tak pernah meleset—mengatakan bahwa pria lemah itu akan kembali membawa dunia dalam peperangan.
Dia tak menginginkan perang. Perang telah membuatnya menjadi pembunuh berdarah dingin, perang telah merenggut rekan-rekan seperjuangannya. Tapi dia tak bisa lari menghindar saat mengetahui kenyataan dibalik pria itu, sejarah lima ribu tahun lalu. Firasatnya tak pernah mengatakannya, pria itu menuntunnya melihat sisi lain dunia, mengantarnya menuju takdir tak terelakkan…
Index :
Quote:
Diubah oleh redxiv 10-02-2014 20:11
0
2.8K
Kutip
16
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Fanstuff
1.9KThread•347Anggota
Tampilkan semua post
TS
redxiv
#15
Chapter IV #2
Quote:
Giulietta menikmati aromawangi teh hijau dari cangkir cantik berwarna putih. Meneguknya sekali, lalu meletakkan cangkir itu dari tempat ia mengambilnya tadi. Kemudian memandang seseorang di hadapannya, tersenyum dan berkata, “teh yang bagus.”
“Benarkah?” ucap pria tampan berkacamata santun. “Saya senang anda menyukainya. Ini adalah teh Vepioca, daunnya hanya tumbuh pada hari keenam belas bulan empat saat turun hujan di gunung Valka, teh terbaik negara kami.”
“Benarkah?” saut Giu tak kalah ramah. “Aku tersanjung karena anda telah menyajikan sesuatu yang sangat berharga.”
“Sebuah kehormatan. Dan terima kasih anda bersedia mengikuti prosedur yang kami berikan.” balas pria itu menunduk, sama sekali tak berani memandang mata wanita itu.
“Tak masalah, aku juga tidak terburu-buru. Hanya bosan dan ingin mengunjungi kawan lama,” tukas Giu seraya mengambil cupcake di atas meja kaca bundar.
“Seperti kabar yang beredar, anda memang sangat bijaksana,”—berlalu, dari kejauhan pria itu memandang sepasang tentara yang tengah berdiskusi serius.
“Saya mohon diri meninggalkan anda sejenak,” kata pria berkacamata menunduk penuh hormat pada wanita di hadapannya.
“Silahkan,” balas Giulietta, “aku sangat yakin akan bisa menikmati hidangan berharga ini saat menunggu.”
Dengan menunjukkan senyum menawan yang seolah bisa meluluhkan hati semua wanita yang memandanganya, pria berkacamata itu berkata, “Saya yakin kapten kami akan tiba sebelum anda selesai menikmati semuanya.”
Langkah tegas dan lebar mengiringinya saat berjalan di tanah lapang berumput. Menghampiri salah satu dari dua tentara yang masih berada di tempat terakhir ia melihatnya. Dan saat keduanya berdiri tanpa jarak, pria berkacamata itu berkata dengan terus melanjutkan langkahnya, “bagaimana?”
“Seperti yang anda perintahkan,” jawab tentara itu mengikuti. “Kami telah menyebar pasukan pengintai keseluruh penjuru hutan. Utara, timur, timur laut, tenggara, barat, barat laut, dan barat daya. Total kami mengerahkan seratus lima puluh pasukan, termasuk mereka yang berjaga diperbatasan.”
“Ya,” kata pria berkacamata itu dingin, lalu memandang puluhan tentara yang berbaris membentuk pagar yang melindungi area tersebut. “dan seingatku, aku memerintahkan semua pasukan tanpa terkecuali.”
“Benar, tapi letn,”
“Id,” sanggah pria berkacamata lirih, seraya memandang skiptis tentara di belakangnya.
Terkesiap, tentara itu langsung berdiri tegap, mengepalkan telapak kanannya kuat-kuat, lalu meletakkannya persis di depan jantung . Dan dengan lantang ia mulai menyebutkan nomor induknya yang terdiri dari dua puluh satu angka, diikuti nama, posisi, dan pangkat.
Pria berkacamata mendekatkan wajahnya, dan bertanya sangat berlahan namun tegas, “dan tahukah kau siapa wanita yang tengah duduk disana, sersan?”
“Ya, tentu saja letnan!” jawabnya tegas. “Komandan tertinggi sekaligus penasehat ratu kerajaan Riviera. Atau lebih dikenal dengan nama peri angin Sylph, pahlawan tanah Cresia, prinssesa Sylph.”
“Ya, tepat sekali sersan,” saut pria berkacamata dingin, menatap tajam lawan bicaranya. “Lalu yang kuherankan, untuk apa seonggok orang-orangan sawah berdiri berbaris di sana seperti orang tolol.”
Si Sersan tak menjawab, mulutnya terkunci rapat dengan seluruh badan yang seakan membeku ketakutan.
“Musuh paling menakutkan hanya berjarak empat ratus meter sekarang. Dan jika mau dia bisa membunuhku, membunuhmu dengan sangat cepat, bahkan terlalu cepat hingga kau tak menyadari telah kehilangan nyawa. Namun sayangnya kita terlalu menyedihkan untuk dibunuh, karena di matanya kita hanyalah sekumpulan serangga busuk yang bisa di bunuh kapan saja dia mau. Apa kau mengerti, sersan?”
“Si-siap…” jawab si sersan lirih.
Wajah pria berkacamata berubah tenang. Walau yakin ia mendengar jawaban penuh keraguan prajurit dari dua tingkat dibawahnya, namun ia merasa masih bisa memakluminya. Dan ia kembali melangkahkan kaki, mendekati salah satu mobil silver berlapis baja yang terparkir acak tak jauh dari tempatnya berdiri. Menggeser pintu samping mobil itu, masuk ke dalam, dan duduk di salah satu kursi. Memandang sersan dibelakangnya, lalu memberi perintah.
“Kirim dua puluh lima pasukan lagi menyisir area timur hutan. Ada bukit merah bernama Russoshen, pastikan kalian memeriksa area itu saksama.”
“Siap laksanakan!” jawab sersan itu tegas. Lalu berlari kecil kearah tentara yang tengah berbaris rapi tak bergerak.
Pria berkacamata itu menutup pintu mobil, melirik singkat kearah segelas air yang tergeletak di meja. Dan saat menggenggam hendak meminumnya, tangan pria itu mulai gemetaran. Kedua matanya di balik kaca memandang ragu wajahnya yang terpantul oleh air. Pria itu ketakutan. Bahkan terlalu untuk mengakui dirinya sangat ketakutan, seluruh tubuhnya gemetar kedinginan, ia bahkan merasa seperti anak berumur dua tahun harus tidur sendirian di sebuah kamar gelap.
“Kurasa apa yang kau ucapkan sedikit terlalu berlebihan, letnan satu Willem Adriano Louise,” kata seseorang tiba-tiba.
“Anda sepertinya sudah tampak lebih tenang kapten,” balas letnan satu Willem datar. Mengurungkan niatnya untuk minum, dan memandang kearah pria besar yang sedang melakukan lifting di belakangnya.
“Dia hanya prajurit baru,” timpal kapten Pradajt melepaskan beban seratus kilogram dari kedua tangannya berlahan, lalu bangkit. “Wajar saja kan bila dia tak mengenal Sylph.”
“Jangan konyol kapten,” bantah Willem tenang, mengambil sebatang rokok dari saku bajunya, lalu membakarnya. Menghisap rokok itu sekali sebelum kembali berkata, “saya yakin seluruh Holy Vain mengenal siapa Sylph. Mereka hanya meremehkannya, menganggapnya tak lebih dari dongeng pengantar tidur.”
“Begitukah?” balas Pradajt santai seraya berdiri, berjalan mendekati rekannya, lalu meminum segelas air yang berada di depan Willem. “Lalu bagaimana rasanya berhadapan langsung dengan tokoh dalam cerita dongeng.”
Willem menyeringai, menghisap kembali rokok ditangan kirinya, lalu memandang kosong asap-asap putih yang menari di udara—“berdiri di hadapan seseorang yang dengan mudahnya mencabut sepuluh ribu nyawa manusia dalam semalam. Ya, sepertinya anda yang paling tahu hal itu, kapten.”
Pradajt tertawa keras, sangat lantang seolah ucapan salah satu bawahannya itu adalah lelocon paling lucu yang pernah di dengarnya.
“Lalu, bagaimana dengan pasukan kita?” katanya.
Willem memandang wajah kaptennya lekat-lekat, dalam diam. Cukup lama sebelum akhirnya ia menjawab, “sesuai perintah markas besar. Kita mengikuti semua langkah Sylph untuk sementara, mencari tahu apa dia benar-benar telah menemukan pria itu. Walau kuyakin dia telah bertemu dengannya saat melihatnya sendirian datang ke tempat ini, tapi tetap saja terlalu beresiko bagi kita untuk berspekulasi. Jadi tetap kuperintahkan seluruh pasukan mencari ke dalam hutan secara hati-hati sesuai keinginan Sylph. Dan satu-satunya alasan kenapa Sylph datang ke tempat ini sendirian walau bertemu dengan pria itu adalah, dia telah memberitahu cara melewati bukit Russoshen. Walau aku telah memerintahkan pasukan mencari di daerah itu, kupikir kita tak akan bisa menemukannya. Struktur bukit itu terlalu rumit, dan memaksa masuk ke dalam juga hanya akan menjadi sebuah misi bunuh diri.”
“Redmoon,” tukas Pradajt lirih. “Bukit itu berubah nama menjadi Redmoon sejak lima tahun lalu.”
Willem diam mematung, mengabaikan rokok ditangan, dan menatap kaptennya yang tengah mengenakan topi kebanggaannya. Bahkan saking bangganya, Kapten pernah bercerita bahwa ia belum pernah mencuci topi itu sejak lima tahun lalu.
“Saya hanya berpikir,” tukas Willem memecah keheningan. “apa anda berniat bertarung dengan Sylph?”
Pradajt tersenyum menatap anak buahnya. Menggeser pintu mobil, menjejakkan kedua kakinya ditanah berumput, dan menatap awan suci di langit-langit. Lalu kembali memandang Willem, tersenyum dan berkata, “tuhan telah mempertemukanku kembali dengannya. Jadi bagaimanapun, paling tidak aku harus mengucapkan terima kasih. Benarkan, letnan?”
Willem mematung walau mengerti makna menyakitkan dari ucapan Kaptennya itu. Mengambil rokok yang sempat terabaikan, menatap punggung Senior yang sangat ia hormati berjalan mendekati wanita dari Cresia, lalu berucap lirih penuh keyakinan, “Tuhan maha pengasih, mengasihi siapapun yang percaya kepada-Nya. Pertemuanmu dengan Sylph pastilah atas kehendak-Nya untuk menghapus kutukan yang telah menghantui hidup Anda selama lima tahun. Anda hanya perlu berserah kepada-Nya maka Ia pasti akan menunjukkan jalan penuh cahaya dan kebaikan, amin.”
***
Tadinya ia pikir menaiki anak tangga akan jauh lebih mudah daripada harus berjalan miring dengan mulut mengangga. Tadinya ia juga berpikir, hanya harus melalui beberapa anak tangga untuk sampai ke puncak bukit tertinggi. Namun nyatanya sekarang ia frustasi, lelah dan juga sangat pusing. Berpikir bahwa—siapapun si pembuat tangga ini—adalah orang kuno yang tak pernah membaca cerita tentang seorang pendekat silat yang menaiki ribuan anak tangga untuk sampai ke puncak kuil.
Menurutnya ribuan anak tangga batu yang tersusun di gunung menuju kuil itu keren. Tangganya terbuat dari bebatuan gunung yang dipahat secara manual, dan sejauh mata memandang yang terlihat hanyalah hamparan pepohonan hijau dan langit cerah berwarna biru. Ditambah karena tangganya tersusun lurus keatas menuju kuil, si pendekar silat jadi tahu berapa banyak anak tangga lagi yang harus ia lalui untuk sampai ke tempat tujuannya. Dan saat melihat ke bawah, si pendekar juga tahu sejauh mana perjuanganya dan, itu memotivasinya untuk terus melangkah sampai ke puncak.
Tapi masalahnya tangga yang tengah dilaluinya saat ini berbeda, bahkan cenderung aneh, sangat aneh. Karena sejauh mata memandang yang terlihat hanyalah tembok-tembok batu berwarna cokelat kemerahan, kanan dan kiri. Yang sebelah kiri sebenarnya bukan tembok, melainkan pilar yang menjulang tinggi dengan bulatan-bulatan kecil yang tersusun acak, dan di setiap bulatan terpancar cahaya keemasan yang menerangi seluruh ruangan gelap dan sempit itu.
Walau tak tahu darimana asal cahaya indah itu, tapi Shou mengaguminya. Sinar keemasan itu bagai bintang yang menyinari gelapnya malam, dan tampak lebih menakjubkan karena ia bisa menyentuhnya seolah menyentuh bintang di langit-langit malam. Namun itu tadi, sejam yang lalu tepatnya. Sekarang ia sudah terlalu kesal—dan lelah dan pusing—karena harus terus berputar-putar menaiki anak-anak tangga berbentuk spiral—yang mungkin tak ada ujungnya.
Kael mengaum kencang, dan menjadi suara pertama yang memecah keheningan saat kali pertama keduanya menginjakkan kaki di anak kaki pertama.. Kemudian berganti Shou yang berteriak kencang, berterima kasih, mengumpat, memaki-maki, mengomel tak keruan, saat—pada akhirnya—melihat anak tangga terakhir.
Di ujung anak tangga terakhir, dua pilar setinggi dua setengah meter berdiri kokoh dengan berbagai macam arsitektur indah terukir di permukaannya. Seperti seorang wanita bersayap dengan rambut terurai cantik, wanita bersayap yang menadahkan kedua tangan menatap langit, atau seorang wanita dengan sayap yang menyelimuti tubuh menatap kosong bola Kristal di hadapannya. Tidak semuanya wanita memang, ada juga pria bersayap yang memegang tombak seolah ingin melemparkannya ke angkasa. Walau memang lebih dominan wanita bersayap yang terukir disana. Tapi tentu saja, wajar, karena lukisan terkenal pun kebanyakan menggambarkan sosok seorang wanita.
Shou berjalan di antara dua pilar, melewatinya, menuju hamparan luas penuh kegelapan sejauh apapun mata memandang. Ia hampir tak bisa melihat sama sekali, hanya ada cahaya-cahaya redup yang membuatnya bergidik ngeri. Iris mata yang mengecil sampai yang terkecil, kelopak mata beku tak berkedip, napas yang tertahan, bibir mengatup gemetaran. Seumur hidup—dengan seluruh imajinasi yang pernah di pikirkannya—ia belum pernah melihat tempat seindah ini. Warna-warni pelangi yang seolah itu adalah bintang yang dengan mudah bisa di gapainya. Bukan hanya langit, tapi juga dinding-dinding. Dengan lubang-lubang yang lebih besar daripada lubang di pilar tangga sprial, dengan kerlap-kerlip cahaya yang jauh lebih mempesona. Gema langkah kaki yang tak hanya mengalun sekali, membentuk melodi indah yang seakan bersenandung.
Shou membentangkan kedua tangan lebar-lebar saat berada di pusat ruangan, menikmati cahaya-cahayanya seolah ia adalah raja alam semesta.
Kael mengaum memanggil pria tak bergerak di kegelapan. Mengingatkan pria itu bahwa masih ada misi yang harus ia emban, yaitu melewati bukit ini, dan itu masih jauh. Dan terbayangkan betapa gelapnya ruangan ini saat cahaya matahari berwarna pelangi tak lagi menyinarinya.
Shou berjalan berlahan-lahan, berhati-hati. Dan ia baru menyadari bahwa ada jalan setapak berundak di tepi dinding, melingkar mengikuti bentuk ruangan itu yang menyerupai kubah raksasa. Ia berjalan lambat, mengagumi tiap-tiap sinar yang akan dilewatinya. Namun sekali lagi Kael mengaum, kali ini lebih kencang seolah menegur—jika memang harimau bisa menegur—pria itu supaya berjalan lebih cepat.
Setelah menunggu cukup lama—karena tempatnya memang cukup jauh di atas—akhirnya Shou berdiri berhadapan dengan harimau putih itu. Menaikkan kedua pundak, menadahkan tangan seolah berkata, “lalu apa?” tanpa suara.
Kael berjalan melewati Shou, berbalik, lalu mendorong pria itu kuat-kuat ke dalam lubang.
“Hei, hei, hei,” cegah Shou seraya menahan kedua tangannya di tepi lubang.
“Kita harus masuk ke dalam?!” lanjutnya bertanya tegas.
Kael mengangguk senang, lalu mulai meneruskan pekerjaannya yang tertunda.
“Tunggu, tunggu, tunggu,” tukas Shou dengan kaki kanan menahan tubuhnya supaya tetap berada di tepi lubang. Harimau ini benar-benar kuat, pikirnya saat itu.
“Kenapa harus aku dulu yang masuk, tadi tadi kau selalu berjalan di depanku kan?”
Kael mengerutkan wajahnya sedih, lalu mulai mendorong pria itu sekali lagi.
“Baik, baik, aku akan masuk,” ujarnya pasrah. Seraya mulai memasukkan kedua tangannya, tapi tidak, ia mulai memasukkan kaki kiri, tapi tidak, ia bingung posisi apa yang harus ia ambil.
“Kau yakin ini lubang yang tepat? Ada ribuan lubang di tempat ini kau tahu?” tanyanya ragu.
Kehilangan kesabaran, Kael melompat kuat-kuat dan mendorong tubuh bagian belakang Shou masuk ke dalam lubang dengan kepala terlebih dahulu. Dan lantunan satu hurup terdengar sangat kencang tak berirama, seperti saat membayangkan dirinya tengah menaiki sebuah roller-coaster—walau pada kenyataannya dia belum pernah naik roller-coaster.
Meluncur mulus ke bawah terlihat menyenangkan pada awalnya, tapi tidak saat ia menyadari akan terus meluncur seperti itu untuk tiga puluh menit ke depan. Tikungan-tikungan tajamnya akan membuat perutnya teraduk-aduk tak keruan, kepala berputar-putar pasrah. Dan dalam sepanjang ia hidup, Shou akan menyadari bahwa ini akan menjadi tiga puluh terpanjang dalam hidupnya.
***
“Kami sangat berterima kasih anda telah bersedia mengikuti semua prosedur yang kami berikan. Dan seperti kabar yang beredar anda memang sangat bijaksana. Semoga perjalanan anda menyenangkan, Prinsessa Sylph.” tukas Pradajt penuh kesantunan.
“Ya aku bisa membayangkannya,” balas Giulietta tak kalah sopan. “Pasti akan sangat menyenangkan. Dan kau telah melaksanakan tugasmu dengan sangat baik kapten, sungguh.”
“Dengan segala hormat,” timpal Pradajt menundukkan kepala. Dan; walau tak mendengar apapun, ia bisa merasakan langkah tegas wanita dihadapannya itu pergi menjauh.
Giulietta telah menghilang dibalik pepohonan, tapi Pradajt terus menundukkan kepala dan mengepalkan telapak kanan di dada. Pikirannya menerawang, mengingat kembali seluruh pernyataan yang dilontarkan wanita itu saat interogasi sopan santun penuh basa basi berlangsung beberapa saat lalu. Pernyataan-pernyataan santun nan penuh ketegasan, kalimat-kalimat yang bila mana di interpretasikan akan mengandung berbagai makna-makna tersembunyi penuh perseteruan.
“Akan kukirimkan semua rekaman hasil introgasi tadi ke markas pusat, kapten,” tukas Letnan dua Willem melalui alat komunikasi yang tertanam di dalam telinga kiri Kapten Pradajt.
“Lakukan apa yang harus kau lakukan, jika Sylph mengingkan perang kita akan memberikannya. Vain yang terkuat di dunia, Vain yang terbesar di dunia, kekuatan suci melindungi Vain selamanya. Dan Sylph, dia hanyalah wanita iblis yang diberkahi kekuatan dari neraka. Kebenaran akan selalu menang, itu pasti.”
Lalu Pradajt menengadah tenang, memandang samar-samar puncak bukit merah yang muncul di antara pepohonan menjulang tinggi. Ya, dia masih mengingat semuanya, mimpi mengerikan yang terus menghantuinya, aroma lautan darah yang masih bisa dirasakannya, teriakan histeris selalu terngiang di telianganya.
Ya, dia masih bisa mengingat semuanya. Malam itu, di tempat itu, bersama wanita itu, lima tahun lalu…
***
Bulan purnama berwarna suci. Terlihat begitu indah, sangat dekat, di selimuti malam sunyi tak berbintang. Dia duduk bersimpuh di antara mayat-mayat bersimbah darah. Raung-raung kengerian yang sudah tak di dengarnya, suara-suara sayatan pedang yang membelah daging seolah itu adalah riuk-riuk angin tak bernyawa. Dia sendiri, bersama wanita berlumur darah yang bukan darahnya.
Wanita itu berbalik, menatap tajam dirinya, menembus tulang-tulang yang membuatnya larut dalam kengerian sunyi tak bergerak. Bola mata hijau yang bersinar bagai iblis, wajah rupawan yang bersimbah penuh darah, kilau rambut keemasaan di antara merah darah-darah, jubah putih terkonyak berbalut merahnya warna darah. Dua pasang mata pedang berkilau yang telah membantai puluhan ribu jiwa manusia.
Tumit telanjang indah melangkah tanpa suara, menjejakkan diri ke dalam lautan merah menyengat, melewati tubuh-tubuh tak bernyawa. Mendekati pria kurus yang duduk bersimpu tak bergerak. Suasana yang berubah sunyi senyap, wajah pria yang memutih penuh kepasrahan tak melawan. Dan wanita itu melewatinya dalam diam, mengabaikannya seolah pria itu tak ada.
Tanpa alasan, Sylph membiarkan satu dari sepuluh ribu nyawa terbantai untuk tetap hidup.
***
“Benarkah?” ucap pria tampan berkacamata santun. “Saya senang anda menyukainya. Ini adalah teh Vepioca, daunnya hanya tumbuh pada hari keenam belas bulan empat saat turun hujan di gunung Valka, teh terbaik negara kami.”
“Benarkah?” saut Giu tak kalah ramah. “Aku tersanjung karena anda telah menyajikan sesuatu yang sangat berharga.”
“Sebuah kehormatan. Dan terima kasih anda bersedia mengikuti prosedur yang kami berikan.” balas pria itu menunduk, sama sekali tak berani memandang mata wanita itu.
“Tak masalah, aku juga tidak terburu-buru. Hanya bosan dan ingin mengunjungi kawan lama,” tukas Giu seraya mengambil cupcake di atas meja kaca bundar.
“Seperti kabar yang beredar, anda memang sangat bijaksana,”—berlalu, dari kejauhan pria itu memandang sepasang tentara yang tengah berdiskusi serius.
“Saya mohon diri meninggalkan anda sejenak,” kata pria berkacamata menunduk penuh hormat pada wanita di hadapannya.
“Silahkan,” balas Giulietta, “aku sangat yakin akan bisa menikmati hidangan berharga ini saat menunggu.”
Dengan menunjukkan senyum menawan yang seolah bisa meluluhkan hati semua wanita yang memandanganya, pria berkacamata itu berkata, “Saya yakin kapten kami akan tiba sebelum anda selesai menikmati semuanya.”
Langkah tegas dan lebar mengiringinya saat berjalan di tanah lapang berumput. Menghampiri salah satu dari dua tentara yang masih berada di tempat terakhir ia melihatnya. Dan saat keduanya berdiri tanpa jarak, pria berkacamata itu berkata dengan terus melanjutkan langkahnya, “bagaimana?”
“Seperti yang anda perintahkan,” jawab tentara itu mengikuti. “Kami telah menyebar pasukan pengintai keseluruh penjuru hutan. Utara, timur, timur laut, tenggara, barat, barat laut, dan barat daya. Total kami mengerahkan seratus lima puluh pasukan, termasuk mereka yang berjaga diperbatasan.”
“Ya,” kata pria berkacamata itu dingin, lalu memandang puluhan tentara yang berbaris membentuk pagar yang melindungi area tersebut. “dan seingatku, aku memerintahkan semua pasukan tanpa terkecuali.”
“Benar, tapi letn,”
“Id,” sanggah pria berkacamata lirih, seraya memandang skiptis tentara di belakangnya.
Terkesiap, tentara itu langsung berdiri tegap, mengepalkan telapak kanannya kuat-kuat, lalu meletakkannya persis di depan jantung . Dan dengan lantang ia mulai menyebutkan nomor induknya yang terdiri dari dua puluh satu angka, diikuti nama, posisi, dan pangkat.
Pria berkacamata mendekatkan wajahnya, dan bertanya sangat berlahan namun tegas, “dan tahukah kau siapa wanita yang tengah duduk disana, sersan?”
“Ya, tentu saja letnan!” jawabnya tegas. “Komandan tertinggi sekaligus penasehat ratu kerajaan Riviera. Atau lebih dikenal dengan nama peri angin Sylph, pahlawan tanah Cresia, prinssesa Sylph.”
“Ya, tepat sekali sersan,” saut pria berkacamata dingin, menatap tajam lawan bicaranya. “Lalu yang kuherankan, untuk apa seonggok orang-orangan sawah berdiri berbaris di sana seperti orang tolol.”
Si Sersan tak menjawab, mulutnya terkunci rapat dengan seluruh badan yang seakan membeku ketakutan.
“Musuh paling menakutkan hanya berjarak empat ratus meter sekarang. Dan jika mau dia bisa membunuhku, membunuhmu dengan sangat cepat, bahkan terlalu cepat hingga kau tak menyadari telah kehilangan nyawa. Namun sayangnya kita terlalu menyedihkan untuk dibunuh, karena di matanya kita hanyalah sekumpulan serangga busuk yang bisa di bunuh kapan saja dia mau. Apa kau mengerti, sersan?”
“Si-siap…” jawab si sersan lirih.
Wajah pria berkacamata berubah tenang. Walau yakin ia mendengar jawaban penuh keraguan prajurit dari dua tingkat dibawahnya, namun ia merasa masih bisa memakluminya. Dan ia kembali melangkahkan kaki, mendekati salah satu mobil silver berlapis baja yang terparkir acak tak jauh dari tempatnya berdiri. Menggeser pintu samping mobil itu, masuk ke dalam, dan duduk di salah satu kursi. Memandang sersan dibelakangnya, lalu memberi perintah.
“Kirim dua puluh lima pasukan lagi menyisir area timur hutan. Ada bukit merah bernama Russoshen, pastikan kalian memeriksa area itu saksama.”
“Siap laksanakan!” jawab sersan itu tegas. Lalu berlari kecil kearah tentara yang tengah berbaris rapi tak bergerak.
Pria berkacamata itu menutup pintu mobil, melirik singkat kearah segelas air yang tergeletak di meja. Dan saat menggenggam hendak meminumnya, tangan pria itu mulai gemetaran. Kedua matanya di balik kaca memandang ragu wajahnya yang terpantul oleh air. Pria itu ketakutan. Bahkan terlalu untuk mengakui dirinya sangat ketakutan, seluruh tubuhnya gemetar kedinginan, ia bahkan merasa seperti anak berumur dua tahun harus tidur sendirian di sebuah kamar gelap.
“Kurasa apa yang kau ucapkan sedikit terlalu berlebihan, letnan satu Willem Adriano Louise,” kata seseorang tiba-tiba.
“Anda sepertinya sudah tampak lebih tenang kapten,” balas letnan satu Willem datar. Mengurungkan niatnya untuk minum, dan memandang kearah pria besar yang sedang melakukan lifting di belakangnya.
“Dia hanya prajurit baru,” timpal kapten Pradajt melepaskan beban seratus kilogram dari kedua tangannya berlahan, lalu bangkit. “Wajar saja kan bila dia tak mengenal Sylph.”
“Jangan konyol kapten,” bantah Willem tenang, mengambil sebatang rokok dari saku bajunya, lalu membakarnya. Menghisap rokok itu sekali sebelum kembali berkata, “saya yakin seluruh Holy Vain mengenal siapa Sylph. Mereka hanya meremehkannya, menganggapnya tak lebih dari dongeng pengantar tidur.”
“Begitukah?” balas Pradajt santai seraya berdiri, berjalan mendekati rekannya, lalu meminum segelas air yang berada di depan Willem. “Lalu bagaimana rasanya berhadapan langsung dengan tokoh dalam cerita dongeng.”
Willem menyeringai, menghisap kembali rokok ditangan kirinya, lalu memandang kosong asap-asap putih yang menari di udara—“berdiri di hadapan seseorang yang dengan mudahnya mencabut sepuluh ribu nyawa manusia dalam semalam. Ya, sepertinya anda yang paling tahu hal itu, kapten.”
Pradajt tertawa keras, sangat lantang seolah ucapan salah satu bawahannya itu adalah lelocon paling lucu yang pernah di dengarnya.
“Lalu, bagaimana dengan pasukan kita?” katanya.
Willem memandang wajah kaptennya lekat-lekat, dalam diam. Cukup lama sebelum akhirnya ia menjawab, “sesuai perintah markas besar. Kita mengikuti semua langkah Sylph untuk sementara, mencari tahu apa dia benar-benar telah menemukan pria itu. Walau kuyakin dia telah bertemu dengannya saat melihatnya sendirian datang ke tempat ini, tapi tetap saja terlalu beresiko bagi kita untuk berspekulasi. Jadi tetap kuperintahkan seluruh pasukan mencari ke dalam hutan secara hati-hati sesuai keinginan Sylph. Dan satu-satunya alasan kenapa Sylph datang ke tempat ini sendirian walau bertemu dengan pria itu adalah, dia telah memberitahu cara melewati bukit Russoshen. Walau aku telah memerintahkan pasukan mencari di daerah itu, kupikir kita tak akan bisa menemukannya. Struktur bukit itu terlalu rumit, dan memaksa masuk ke dalam juga hanya akan menjadi sebuah misi bunuh diri.”
“Redmoon,” tukas Pradajt lirih. “Bukit itu berubah nama menjadi Redmoon sejak lima tahun lalu.”
Willem diam mematung, mengabaikan rokok ditangan, dan menatap kaptennya yang tengah mengenakan topi kebanggaannya. Bahkan saking bangganya, Kapten pernah bercerita bahwa ia belum pernah mencuci topi itu sejak lima tahun lalu.
“Saya hanya berpikir,” tukas Willem memecah keheningan. “apa anda berniat bertarung dengan Sylph?”
Pradajt tersenyum menatap anak buahnya. Menggeser pintu mobil, menjejakkan kedua kakinya ditanah berumput, dan menatap awan suci di langit-langit. Lalu kembali memandang Willem, tersenyum dan berkata, “tuhan telah mempertemukanku kembali dengannya. Jadi bagaimanapun, paling tidak aku harus mengucapkan terima kasih. Benarkan, letnan?”
Willem mematung walau mengerti makna menyakitkan dari ucapan Kaptennya itu. Mengambil rokok yang sempat terabaikan, menatap punggung Senior yang sangat ia hormati berjalan mendekati wanita dari Cresia, lalu berucap lirih penuh keyakinan, “Tuhan maha pengasih, mengasihi siapapun yang percaya kepada-Nya. Pertemuanmu dengan Sylph pastilah atas kehendak-Nya untuk menghapus kutukan yang telah menghantui hidup Anda selama lima tahun. Anda hanya perlu berserah kepada-Nya maka Ia pasti akan menunjukkan jalan penuh cahaya dan kebaikan, amin.”
***
Tadinya ia pikir menaiki anak tangga akan jauh lebih mudah daripada harus berjalan miring dengan mulut mengangga. Tadinya ia juga berpikir, hanya harus melalui beberapa anak tangga untuk sampai ke puncak bukit tertinggi. Namun nyatanya sekarang ia frustasi, lelah dan juga sangat pusing. Berpikir bahwa—siapapun si pembuat tangga ini—adalah orang kuno yang tak pernah membaca cerita tentang seorang pendekat silat yang menaiki ribuan anak tangga untuk sampai ke puncak kuil.
Menurutnya ribuan anak tangga batu yang tersusun di gunung menuju kuil itu keren. Tangganya terbuat dari bebatuan gunung yang dipahat secara manual, dan sejauh mata memandang yang terlihat hanyalah hamparan pepohonan hijau dan langit cerah berwarna biru. Ditambah karena tangganya tersusun lurus keatas menuju kuil, si pendekar silat jadi tahu berapa banyak anak tangga lagi yang harus ia lalui untuk sampai ke tempat tujuannya. Dan saat melihat ke bawah, si pendekar juga tahu sejauh mana perjuanganya dan, itu memotivasinya untuk terus melangkah sampai ke puncak.
Tapi masalahnya tangga yang tengah dilaluinya saat ini berbeda, bahkan cenderung aneh, sangat aneh. Karena sejauh mata memandang yang terlihat hanyalah tembok-tembok batu berwarna cokelat kemerahan, kanan dan kiri. Yang sebelah kiri sebenarnya bukan tembok, melainkan pilar yang menjulang tinggi dengan bulatan-bulatan kecil yang tersusun acak, dan di setiap bulatan terpancar cahaya keemasan yang menerangi seluruh ruangan gelap dan sempit itu.
Walau tak tahu darimana asal cahaya indah itu, tapi Shou mengaguminya. Sinar keemasan itu bagai bintang yang menyinari gelapnya malam, dan tampak lebih menakjubkan karena ia bisa menyentuhnya seolah menyentuh bintang di langit-langit malam. Namun itu tadi, sejam yang lalu tepatnya. Sekarang ia sudah terlalu kesal—dan lelah dan pusing—karena harus terus berputar-putar menaiki anak-anak tangga berbentuk spiral—yang mungkin tak ada ujungnya.
Kael mengaum kencang, dan menjadi suara pertama yang memecah keheningan saat kali pertama keduanya menginjakkan kaki di anak kaki pertama.. Kemudian berganti Shou yang berteriak kencang, berterima kasih, mengumpat, memaki-maki, mengomel tak keruan, saat—pada akhirnya—melihat anak tangga terakhir.
Di ujung anak tangga terakhir, dua pilar setinggi dua setengah meter berdiri kokoh dengan berbagai macam arsitektur indah terukir di permukaannya. Seperti seorang wanita bersayap dengan rambut terurai cantik, wanita bersayap yang menadahkan kedua tangan menatap langit, atau seorang wanita dengan sayap yang menyelimuti tubuh menatap kosong bola Kristal di hadapannya. Tidak semuanya wanita memang, ada juga pria bersayap yang memegang tombak seolah ingin melemparkannya ke angkasa. Walau memang lebih dominan wanita bersayap yang terukir disana. Tapi tentu saja, wajar, karena lukisan terkenal pun kebanyakan menggambarkan sosok seorang wanita.
Shou berjalan di antara dua pilar, melewatinya, menuju hamparan luas penuh kegelapan sejauh apapun mata memandang. Ia hampir tak bisa melihat sama sekali, hanya ada cahaya-cahaya redup yang membuatnya bergidik ngeri. Iris mata yang mengecil sampai yang terkecil, kelopak mata beku tak berkedip, napas yang tertahan, bibir mengatup gemetaran. Seumur hidup—dengan seluruh imajinasi yang pernah di pikirkannya—ia belum pernah melihat tempat seindah ini. Warna-warni pelangi yang seolah itu adalah bintang yang dengan mudah bisa di gapainya. Bukan hanya langit, tapi juga dinding-dinding. Dengan lubang-lubang yang lebih besar daripada lubang di pilar tangga sprial, dengan kerlap-kerlip cahaya yang jauh lebih mempesona. Gema langkah kaki yang tak hanya mengalun sekali, membentuk melodi indah yang seakan bersenandung.
Shou membentangkan kedua tangan lebar-lebar saat berada di pusat ruangan, menikmati cahaya-cahayanya seolah ia adalah raja alam semesta.
Kael mengaum memanggil pria tak bergerak di kegelapan. Mengingatkan pria itu bahwa masih ada misi yang harus ia emban, yaitu melewati bukit ini, dan itu masih jauh. Dan terbayangkan betapa gelapnya ruangan ini saat cahaya matahari berwarna pelangi tak lagi menyinarinya.
Shou berjalan berlahan-lahan, berhati-hati. Dan ia baru menyadari bahwa ada jalan setapak berundak di tepi dinding, melingkar mengikuti bentuk ruangan itu yang menyerupai kubah raksasa. Ia berjalan lambat, mengagumi tiap-tiap sinar yang akan dilewatinya. Namun sekali lagi Kael mengaum, kali ini lebih kencang seolah menegur—jika memang harimau bisa menegur—pria itu supaya berjalan lebih cepat.
Setelah menunggu cukup lama—karena tempatnya memang cukup jauh di atas—akhirnya Shou berdiri berhadapan dengan harimau putih itu. Menaikkan kedua pundak, menadahkan tangan seolah berkata, “lalu apa?” tanpa suara.
Kael berjalan melewati Shou, berbalik, lalu mendorong pria itu kuat-kuat ke dalam lubang.
“Hei, hei, hei,” cegah Shou seraya menahan kedua tangannya di tepi lubang.
“Kita harus masuk ke dalam?!” lanjutnya bertanya tegas.
Kael mengangguk senang, lalu mulai meneruskan pekerjaannya yang tertunda.
“Tunggu, tunggu, tunggu,” tukas Shou dengan kaki kanan menahan tubuhnya supaya tetap berada di tepi lubang. Harimau ini benar-benar kuat, pikirnya saat itu.
“Kenapa harus aku dulu yang masuk, tadi tadi kau selalu berjalan di depanku kan?”
Kael mengerutkan wajahnya sedih, lalu mulai mendorong pria itu sekali lagi.
“Baik, baik, aku akan masuk,” ujarnya pasrah. Seraya mulai memasukkan kedua tangannya, tapi tidak, ia mulai memasukkan kaki kiri, tapi tidak, ia bingung posisi apa yang harus ia ambil.
“Kau yakin ini lubang yang tepat? Ada ribuan lubang di tempat ini kau tahu?” tanyanya ragu.
Kehilangan kesabaran, Kael melompat kuat-kuat dan mendorong tubuh bagian belakang Shou masuk ke dalam lubang dengan kepala terlebih dahulu. Dan lantunan satu hurup terdengar sangat kencang tak berirama, seperti saat membayangkan dirinya tengah menaiki sebuah roller-coaster—walau pada kenyataannya dia belum pernah naik roller-coaster.
Meluncur mulus ke bawah terlihat menyenangkan pada awalnya, tapi tidak saat ia menyadari akan terus meluncur seperti itu untuk tiga puluh menit ke depan. Tikungan-tikungan tajamnya akan membuat perutnya teraduk-aduk tak keruan, kepala berputar-putar pasrah. Dan dalam sepanjang ia hidup, Shou akan menyadari bahwa ini akan menjadi tiga puluh terpanjang dalam hidupnya.
***
“Kami sangat berterima kasih anda telah bersedia mengikuti semua prosedur yang kami berikan. Dan seperti kabar yang beredar anda memang sangat bijaksana. Semoga perjalanan anda menyenangkan, Prinsessa Sylph.” tukas Pradajt penuh kesantunan.
“Ya aku bisa membayangkannya,” balas Giulietta tak kalah sopan. “Pasti akan sangat menyenangkan. Dan kau telah melaksanakan tugasmu dengan sangat baik kapten, sungguh.”
“Dengan segala hormat,” timpal Pradajt menundukkan kepala. Dan; walau tak mendengar apapun, ia bisa merasakan langkah tegas wanita dihadapannya itu pergi menjauh.
Giulietta telah menghilang dibalik pepohonan, tapi Pradajt terus menundukkan kepala dan mengepalkan telapak kanan di dada. Pikirannya menerawang, mengingat kembali seluruh pernyataan yang dilontarkan wanita itu saat interogasi sopan santun penuh basa basi berlangsung beberapa saat lalu. Pernyataan-pernyataan santun nan penuh ketegasan, kalimat-kalimat yang bila mana di interpretasikan akan mengandung berbagai makna-makna tersembunyi penuh perseteruan.
“Akan kukirimkan semua rekaman hasil introgasi tadi ke markas pusat, kapten,” tukas Letnan dua Willem melalui alat komunikasi yang tertanam di dalam telinga kiri Kapten Pradajt.
“Lakukan apa yang harus kau lakukan, jika Sylph mengingkan perang kita akan memberikannya. Vain yang terkuat di dunia, Vain yang terbesar di dunia, kekuatan suci melindungi Vain selamanya. Dan Sylph, dia hanyalah wanita iblis yang diberkahi kekuatan dari neraka. Kebenaran akan selalu menang, itu pasti.”
Lalu Pradajt menengadah tenang, memandang samar-samar puncak bukit merah yang muncul di antara pepohonan menjulang tinggi. Ya, dia masih mengingat semuanya, mimpi mengerikan yang terus menghantuinya, aroma lautan darah yang masih bisa dirasakannya, teriakan histeris selalu terngiang di telianganya.
Ya, dia masih bisa mengingat semuanya. Malam itu, di tempat itu, bersama wanita itu, lima tahun lalu…
***
Bulan purnama berwarna suci. Terlihat begitu indah, sangat dekat, di selimuti malam sunyi tak berbintang. Dia duduk bersimpuh di antara mayat-mayat bersimbah darah. Raung-raung kengerian yang sudah tak di dengarnya, suara-suara sayatan pedang yang membelah daging seolah itu adalah riuk-riuk angin tak bernyawa. Dia sendiri, bersama wanita berlumur darah yang bukan darahnya.
Wanita itu berbalik, menatap tajam dirinya, menembus tulang-tulang yang membuatnya larut dalam kengerian sunyi tak bergerak. Bola mata hijau yang bersinar bagai iblis, wajah rupawan yang bersimbah penuh darah, kilau rambut keemasaan di antara merah darah-darah, jubah putih terkonyak berbalut merahnya warna darah. Dua pasang mata pedang berkilau yang telah membantai puluhan ribu jiwa manusia.
Tumit telanjang indah melangkah tanpa suara, menjejakkan diri ke dalam lautan merah menyengat, melewati tubuh-tubuh tak bernyawa. Mendekati pria kurus yang duduk bersimpu tak bergerak. Suasana yang berubah sunyi senyap, wajah pria yang memutih penuh kepasrahan tak melawan. Dan wanita itu melewatinya dalam diam, mengabaikannya seolah pria itu tak ada.
Tanpa alasan, Sylph membiarkan satu dari sepuluh ribu nyawa terbantai untuk tetap hidup.
***
Diubah oleh redxiv 10-02-2014 20:30
0
Kutip
Balas