TS
redxiv
[OriFic] Tear of Fate
Halo salam kenal,
Setelah menunda beberapa kali akhirnya saya putuskan sharing cerita disini. Jujur aja sih saya harap ini jadi proyek tulis menulis terakhir saya sebelum terjun ke dunia menulis sebenarnya. Jadi saya mohon kritik atau masukan apapun tentang cerita ini, dan terima kasih banyak sebelumnya.
Genre : Fantasi, Adventure, Political, Magic, Alternate History
Sinopsis :
Index :
Setelah menunda beberapa kali akhirnya saya putuskan sharing cerita disini. Jujur aja sih saya harap ini jadi proyek tulis menulis terakhir saya sebelum terjun ke dunia menulis sebenarnya. Jadi saya mohon kritik atau masukan apapun tentang cerita ini, dan terima kasih banyak sebelumnya.
Genre : Fantasi, Adventure, Political, Magic, Alternate History
Sinopsis :
Quote:
Bergabung di akademi militer saat menginjak umur empat belas tahun, lulus setahun kemudian dengan memecahkan berbagai rekor. Memberikan kontribusi pertamanya pada aliansi kerajaan Riviera saat memimpin lima ratus pasukan memasuki benteng Frostia pada umurnya yang keenam belas tahun, dan meruntuhkan benteng itu enam jam kemudian. Mencapai puncak prestasi di umur yang kedua puluh tahun dengan di angkat sebagai komandan tertinggi kerajaan Riviera.
Dan lima tahun telah berlalu sejak di tanda-tanganinya perjanjian perdamaian antara republik Vain, dan aliansi kerajaan Riviera. Dia kini tengah menikmati kedamaian dengan mengasingkan diri di hutan konservasi berjarak empat puluh lima ribu mil dari ibukota Riviera, Sphersa.
Namun sepertinya kedamaian itu berakhir saat munculnya seorang pria lemah, cerewet, pengeluh—pokoknya semua yang buruk-buruk—sedang diburu oleh Holy Vain, pasukan dari republik Vain. Firasatnya—yang tak pernah meleset—mengatakan bahwa pria lemah itu akan kembali membawa dunia dalam peperangan.
Dia tak menginginkan perang. Perang telah membuatnya menjadi pembunuh berdarah dingin, perang telah merenggut rekan-rekan seperjuangannya. Tapi dia tak bisa lari menghindar saat mengetahui kenyataan dibalik pria itu, sejarah lima ribu tahun lalu. Firasatnya tak pernah mengatakannya, pria itu menuntunnya melihat sisi lain dunia, mengantarnya menuju takdir tak terelakkan…
Dan lima tahun telah berlalu sejak di tanda-tanganinya perjanjian perdamaian antara republik Vain, dan aliansi kerajaan Riviera. Dia kini tengah menikmati kedamaian dengan mengasingkan diri di hutan konservasi berjarak empat puluh lima ribu mil dari ibukota Riviera, Sphersa.
Namun sepertinya kedamaian itu berakhir saat munculnya seorang pria lemah, cerewet, pengeluh—pokoknya semua yang buruk-buruk—sedang diburu oleh Holy Vain, pasukan dari republik Vain. Firasatnya—yang tak pernah meleset—mengatakan bahwa pria lemah itu akan kembali membawa dunia dalam peperangan.
Dia tak menginginkan perang. Perang telah membuatnya menjadi pembunuh berdarah dingin, perang telah merenggut rekan-rekan seperjuangannya. Tapi dia tak bisa lari menghindar saat mengetahui kenyataan dibalik pria itu, sejarah lima ribu tahun lalu. Firasatnya tak pernah mengatakannya, pria itu menuntunnya melihat sisi lain dunia, mengantarnya menuju takdir tak terelakkan…
Index :
Quote:
Diubah oleh redxiv 10-02-2014 20:11
0
2.8K
Kutip
16
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Fanstuff
1.9KThread•347Anggota
Tampilkan semua post
TS
redxiv
#14
Chapter IV #1
Quote:
REDMOON
Cahaya keemasan mulaiterbentang di timur cakrawala, menyinari daun-daun berembun, menebus sela sela pepohonan menerangi gelapnya hutan. Binatang-binatang malam mulai menyembunyikan diri, dan burung-burung kecil bernyanyi riang. Sekelompok rusa kecil berjalan bersama, beriringan menuju sungai, menikmati air jernih sungai sebelum memulai hari.
Dua pasang kaki terus melangkah, diiringi sepasang kaki binatang berkaki empat. Mereka telah berjalan sebelum fajar, satu setengah jam sebelum matahari muncul membelah angkasa. Sepasang kaki berjalan melambat, menengadah ke timur, merasakan cahaya-cahaya matahari menusuk kulitnya. Ia sebenarnya menyadari bahwa ini adalah arah yang salah, dan telah mengatakannya pada wanita di depannya. Namun wanita itu berujar tak apa, menuju timur dahulu untuk bisa lebih cepat sampai ke barat, Shpersa tepatnya.
Sejak malam itu, saat Giulietta mengatakan akan mengantarkannya sampai ke Shpersa dalam keadaan hidup, ia merasa senang. Maksudnya, ia tak lagi sendirian dalam pelarian yang menyedihkan. Ditemani seseorang yang—sepertinya—sudah sangat ahli dengan hal-hal seperti itu. Dan saking gembiranya, malam itu dia sampai menghabiskan enam potong lagi daging panggang setengah matang. Awalnya malah Shou merasa bisa menghabiskan semua makanan itu, tapi spontan kekenyangan saat tahu kalau penghuni hutan lain—diluar pondok itu—tengah menunggu sajian dari sang ratu pemilik pondok.
Shou menunduk, mengambil sebatang kayu yang tergeletak di tanah. Lalu berlari pendek, mengambil kuda-kuda satu kaki dengan meletakkan batang kayu yang dipegangnya jauh ke belakang. Dan seraya melemparkan kayu itu kuat-kuat, dia berteriak, “Kael!!”
Harimau itu menengok ke belakang, dan sontak insting berburunya menyadari ada sebuah benda yang tengah bergerak sangat cepat di udara. Kael memburu benda itu tanpa berpikir, melompat dengan bertumpu pada kedua kaki belakangnya yang sangat kuat, lalu menghancurkan ranting kayu itu dengan menggunakan gigi-giginya yang setajam pedang.
Kael, melompat setinggi dua puluh kaki dari permukaan tanah.
Shou bertepuk penuh semangat, gerakan akrobatiknya, ketinggian lompatannya. Ini sebenarnya sudah yang kelima kalinya dirinya menyaksikan gerakan itu, tapi tetap ia tak bisa menyembunyikan kekagumannya—mirip seperti seseorang yang pertama kali menyaksikan seekor gajah berjalan di atas bola.
“Hebat Kael!” tukas Shou bangga dan mengusap-usap kepala binatang buas tersebut.
Malam itu, setelah makan malam—sembari jalan-jalan ditengah gelapnya hutan—Giulietta mengenalnya pada Kael, harimau buas yang telah menemaninya selama lima tahun belakangan. Awalnya—tentu saja—Shou menolak, menganggap itu adalah suatu hal gila, sebuah misi bunuh diri. Namun wanita itu tahu bagaimana cara membujuk—dengan tidak seronok—seseorang.
Giulietta tidak mendapatkan Kael dengan cara membelinya ditoko binatang peliharaan, atau mencurinya di tempat penangkaran hewan langka. Mereka kali pertama bertemu saat Kael berumur lima bulan. Dia belum memiliki nama saat itu. Seluruh bulunya bermandikan warna merah darah, berdiri gemetar ditengah harimau-harimau putih sejenisnya yang tergeletak tak bernyawa. Menggeram, memperlihatkan gigi-giginya yang tajam, dan menatap Giulietta penuh amarah. Dan saat binatang kecil itu menyerang, Giu berniat untuk membunuhnya untuk mengakhiri penderitaan binatang malang itu. Namun seorang teman mencegah, membujuk, dan; lalu memberikan nama Kael kepadanya.
Shou bertanya siapa teman yang dimaksud, dan wanita itu menjawab pria pucat kurus yang ada di foto di ruang tamu. Namun sayangnya, saat menanyakan tentang kelima orang lainnya di foto itu, Giulietta hanya tersenyum tanpa suara.
Wanita di depan itu berhenti melangkah dan, berbalik menatap Shou, “kita berpisah disini. Kael akan menunjukkan jalan melewati bukit.”
Sejenak Shou memandang Giulietta yang mengenakan berbagai jenis pakaian tebal berwarna cokelat keabu-abuan. Lengkap dengan sepatu bot dan sarung tangan usang, serta rambut emas yang ia ikat asal-asalan. Sampai detik ini, ia masih sangat takjub dengan bagaimana cara wanita di depannya itu mengamuflasekan seluruh kecantikkannya.
“Aku mengerti,” tukasnya singkat.
Setelah itu Giulietta berbalik tanpa mengatakan apapun, hanya terus melangkah menyusuri hutan.
Shou memandangi punggung Giulietta sesaat, lalu beralih melihat harimau putih yang berdiri tepat di sebelahnya. “Kita juga harus bergegas,” ujarnya dengan senyum saat Kael menoleh kepadanya.
Perpisahannya dengan Giulietta tidak terjadi secara tiba-tiba. Ini sudah direncanakan, kemarin malam, sebelum mereka pergi tidur—dikamar yang terpisah tentu saja.
Giu berencana menarik perhatian Holy Vain dengan muncul seorang diri dihadapan mereka. Menunjukkan pada mereka, bahwa dirinya akan keluar dari hutan dalam waktu yang cukup lama. Dan itu akan membuat Holy Vain terpancing untuk masuk ke hutan mencari buronan yang mereka incar. Dan walau disaat bersamaan, ia yakin bahwa mereka juga tetap mempertahankan barisan di sekeliling hutan, dan sebagian lainnya akan berusaha untuk membuntutinya. Namun memang itulah tujuannya, memecah konsentrasi dengan jumlah pasukan mereka yang terbatas.
Bukit batu berwarna cokelat kemerahan itu terlihat lebih tinggi dari yang ia kira. Membentang dari timur ke utara sejauh enam puluh empat mil, menjadi dinding kokoh pelindung hutan.
Telapak kanan Shou menyentuh bukit batu itu berlahan, menyisir permukaannya, lalu menengadah. Ia tak pernah melihat—dan; atau membayangkan—ada bukit yang seperti ini. Tekstur halus permukaan bukit batu ini sangat tidak wajar, sama sekali tak terlihat ada celah-celah yang bisa digunakan untuk berpijak seperti bukit-bukit batu pada umumnya. Dan yang paling aneh adalah pasir halus berwarna kemerahan yang membuat permukaan bukit ini menjadi begitu licin. Ia telah mencoba menghapus pasir itu, tapi tak lama muncul pasir lain di tempat yang sama.
Tangan kanannya beralih menyentuh celah vertikal yang seakan membelah bukit sampai ke puncaknya yang tertinggi. Celah-celah vertikal itu ada di mana-mana, tersusun acak, bercabang dan menyatu. Tapi tetap saja, akan sangat sulit memanjat bukit ini dari celah-celah vertikal yang bahkan hanya memiliki kedalaman lima sampai tujuh sentimeter.
Auman khas binatang penguasa hutan yang menderu mengikuti angin, memecah seluruh imajinasi di kepala pria itu. Ia menengok ke kiri, kearah sumber suara, dan melihat Kael yang tengah berjalan menyisiri permukaan batu menuju utara. Tak lama ia mulai kehilangan harimau putih itu, pandangannya tertutup oleh permukaan batu bergelombang yang menjorok keluar.
Setelah diam menunggu beberapa saat, Shou memutuskan melangkahkan kaki mendekat. Tadinya ia berpikir Kael pasti akan muncul , mengingat ia masih bisa melihat ujung bukit batu yang terus membentang ke utara. Cerita berbeda jika tempat dimana harimau itu menghilang adalah persimpangan menuju ke bagian dalam bukit. Tapi benar, satu-satunya hal paling masuk akal untuk melewati bukit batu ini hanyalah dengan berjalan menembusnya.
Shou terenyak saat melihat hewan besar itu tak ada di tempat terakhir ia melihatnya. Dengan menjulurkan kepala ia melihat kearah tempatnya terdiri tadi, tak ada yang aneh, semuanya tampak wajar-wajar saja. Permukaan tempatnya berdiri saat ini memang sedikit melengkung ke dalam, tapi menurutnya wajar jika dinding bukit bergelombang, justru akan sangat aneh jika lurus dari ujung sampai ujung lainnya.
“Kael?!” panggil Shou.
Tapi tak ada balasan apapun yang bisa di dengarnya, hanya suara mendesir dedaunan yang tertiup angin pagi hari.
“Oke, ini aneh…” ucapnya gelisah memecah keheningan.
Ia pernah membaca sebuah novel misteri. Saat seorang penjahat berjalan masuk ke ruang kerjanya, dan si detektif yang membuntutinya dari pagi ikut masuk ke dalam diam-diam. Namun tiba-tiba saja si penjahat tak ada di ruangannya, ia menghilang secara misterius. Tapi si detektif tak kehabisan akal, ia memeriksa seluruh ruangan dan menemukan pintu rahasia setelah secara tak sengaja menekan dinding yang terbuat dari batu bata.
Dan Shou telah melakukan semua hal yang dilakukan detektif di novel itu berulang kali, memeriksanya sangat seksama sejak tiga puluh menit lalu. Dinding-dinding permukaan yang penuh pasir, batang-batang pohon yang tertanam acak, sampai tanah dan bebatuan tempatnya berpijak. Tapi ia tak mendapat hasil apapun, tak ada pintu yang terbuka, tak ada batu yang bergeser secara otomatis.
“Kael?!” panggilnya sekali lagi dan terdengar jelas intonasi kecemasan, panik dan, bingung yang dirasakannya saat ini.
“Avra kadavra!!” seru Shou setelah panggilannya tak kunjung juga mendapat balasan.
Di buku lainnya yang ia baca, batu bisa bergeser saat kau mengucapkan mantra yang tepat. Lagipula di depannya ada garis batu yang membelah vertikal, mungkin saja ada suatu sistem atau apalah, yang bisa menggeser batu itu.
“Terbukalah!!” serunya lantang mengucapkan mantra lain.
“Kuperintahkan terbukalah! Membuka! Bergeser!”
Ia tahu bahwa dirinya tampak seperti orang idiot, tapi tak ada pilihan lain. Harimau itu tak mungkin terbang karena dia tak memiliki sayap. Dan lagi tak ada seorang pun yang melihatnya saat ini, jadi tak apa apa.
“Simsalabim!” teriaknya diiringi mata melolot tak percaya.
Bukan, bukan karena mantranya berhasil, hanya saja ia melihat telapak tangan—atau telapak kaki—harimau muncul dari celah vertikal bukit dihadapannya. Kaki berbulu putih-hitam tanpa cakar yang muncul sejajar dengan tinggi kepalanya.
“Kael…?” panggil Shou ragu sambil berjalan menghampirinya. Wajahnya terlihat pucat pasi, dan coba meyakinkan diri bahwa telapak kaki itu muncul bukan karena mantra asal-asalannya yang ia ucapkan.
Shou menyentuh telapak kaki itu gemetar, dan terlalu terperangah untuk bertanya bagaimana sebuah kaki bisa berada di dalam celah sempit selebar tujuh sentimeter. Ia menempelkan mukanya di permukaan batu berpasir, menutup sebelah mata, dan memandangan sepasang bola mata bersinar berwarna kuning dengan raut wajahnya yang terlihat sangat menderita.
Sambil mengomel tak keruan—karena berpikir Kael sedang bermain-main hingga terjebak di dalam sana—Shou menggenggam telapak kaki itu, berusaha menariknya keluar. Namun tiba-tiba tubuhnya malah terdorong masuk, dan spontan ia melepaskan kedua tangannya hingga jatuh terjerembab di tanah.
“Ja-jangan katakan…” gumam Shou menyaksikan telapak kaki itu masuk ke dalam celah berlahan-lahan, lalu menghilang sempurna dari pandangannya. Gemercik dedaunan tersapu angin membentuk nada-nada melodi yang mengalun indah. Tapi Shou mengindahkannya, ia terus termangu, wajahnya pucat pasi tak percaya dengan apa yang baru saja di lihatnya.
“Kau pasti bercanda! Bagaimana mungkin aku bisa masuk ke dalam sana?!” teriaknya lantang penuh kefrustasian.
Namun setelah itu ia berdiri, mengedarkan pandangannya, lalu berteriak meluapkan seluruh emosinya. Kemudian dengan napas terengah-engah penuh kepasrahan, ia berjalan beberapa langkah mendekati celah sempit itu. Bagaimanapun ia harus melanjutkan misinya. Walau terlihat mustahil tapi ia yakin bisa masuk ke dalam sana—karena di lihat darimana pun, Kael jelas memiliki badan yang jauh lebih besar darinya.
Setelah menghirup napas panjang-panjang, Shou mulai mencoba masuk dari berbagai sisi tubuhnya dan, dengan beberapa gaya berbeda. Ia memasukkan telapak tangannya, namun ragu dan mengeluarkannya kembali. Memasukkan kakinya sampai ke lutut, namun kembali ragu dan mengeluarkan. Menempelkan wajahnya di permukaan batu, mengintip dari celah-celah sempit, dan jelas ia bisa melihat bulu-bulu putih—posisi berdiri—yang sangat kontras terus bergerak menjauh berlahan.
“Primitif,” gumamnya akhirnya. Lalu dengan penuh kepasrahan Shou mulai memasukkan seluruh lengannya ke dalam celah, diikuti kaki, badan, leher. Dan sebelum memasukkan kepala ia tak lupa kembali mengomel, “kenapa sih tidak pakai mantra atau, semacam tombol untuk menggeser batu. Cara itu akan jauh terlihat jenius dan, masuk akal!”
Di dalam celah Shou seperti ditindih berton-ton batu, sama sekali tak bisa menggerakkan tubuh. Napasnya serasa begitu berat, bergema melewati daun telingannya yang menempel di antara dinding bebatuan bukit. Kepalanya menghadap kanan, menatap pasrah harimau berloreng hitam yang cukup jauh berada didepannya. Dan ia akhirnya mengerti kenapa Kael tak pernah menjawab panggilannya tadi, karena jangankan bersuara, bahkan ia tak bisa mengatupkan mulutnya yang kini tengah mengangga lebar.
Dan di dalam celah tak semengerikan seperti yang ia bayangkan. Memang sempit—amat sangat sempit—tapi ia tak terlalu kesusahan untuk bisa bergerak maju, mengingat begitu halusnya dinding permukaan bukit dan pasir-pasir merah halus yang entah darimana munculnya. Serta banyaknya kerikil yang seolah sengaja di tanam di permukaan tanah, memudahkan telapak kakinya untuk mencengkram tanah mendorong tubuh bergerak maju.
Shou sampai di tikungan pertama yang mengarah masuk ke dalam bukit. Dengan mudahnya ia bisa berbelok mengikuti jalur—tadinya ia membayangkan akan tersangkut dan selamanya akan terjebak di dalam bukit. Kemudian tikungan kedua, tapi ia melewatinya karena harimau pemandu jalan terus bergerak maju mengabaikannya. Lalu mereka belok di tikungan ketiga, dan mengabaikan tiga tikungan berikutnya. Sampai akhirnya Shou bisa melihat secercah cahaya berwarna keemasan yang seolah membelah kegelapan di depan sana. Jauh, jauh di depan sana, dan semakin menjauh menghilang saat akhirnya Kael memilih untuk berbelok di tikungan—yang entah keberapa.
Ingin sekali rasanya Shou berteriak, “hei kau salah jalan, Kael.” Namun dengan mulut yang tak bisa mengatup ia hanya bisa menggerak-gerakkan lidah yang tentu saja tak akan bisa menghasilkan suara apapun. Akhirnya ia pun hanya bisa pasrah dan percaya, terus bergerak mengikuti ekor Kael yang tengah melambai-lambai—sampai ingin rasanya Shou memiliki ekor saat itu hanya untuk di lambai-lambaikan bebas di udara, mengingat bagaimana tubuhnya yang terkunci saat ini sangat merindukkan hal itu.
***
Cahaya keemasan mulaiterbentang di timur cakrawala, menyinari daun-daun berembun, menebus sela sela pepohonan menerangi gelapnya hutan. Binatang-binatang malam mulai menyembunyikan diri, dan burung-burung kecil bernyanyi riang. Sekelompok rusa kecil berjalan bersama, beriringan menuju sungai, menikmati air jernih sungai sebelum memulai hari.
Dua pasang kaki terus melangkah, diiringi sepasang kaki binatang berkaki empat. Mereka telah berjalan sebelum fajar, satu setengah jam sebelum matahari muncul membelah angkasa. Sepasang kaki berjalan melambat, menengadah ke timur, merasakan cahaya-cahaya matahari menusuk kulitnya. Ia sebenarnya menyadari bahwa ini adalah arah yang salah, dan telah mengatakannya pada wanita di depannya. Namun wanita itu berujar tak apa, menuju timur dahulu untuk bisa lebih cepat sampai ke barat, Shpersa tepatnya.
Sejak malam itu, saat Giulietta mengatakan akan mengantarkannya sampai ke Shpersa dalam keadaan hidup, ia merasa senang. Maksudnya, ia tak lagi sendirian dalam pelarian yang menyedihkan. Ditemani seseorang yang—sepertinya—sudah sangat ahli dengan hal-hal seperti itu. Dan saking gembiranya, malam itu dia sampai menghabiskan enam potong lagi daging panggang setengah matang. Awalnya malah Shou merasa bisa menghabiskan semua makanan itu, tapi spontan kekenyangan saat tahu kalau penghuni hutan lain—diluar pondok itu—tengah menunggu sajian dari sang ratu pemilik pondok.
Shou menunduk, mengambil sebatang kayu yang tergeletak di tanah. Lalu berlari pendek, mengambil kuda-kuda satu kaki dengan meletakkan batang kayu yang dipegangnya jauh ke belakang. Dan seraya melemparkan kayu itu kuat-kuat, dia berteriak, “Kael!!”
Harimau itu menengok ke belakang, dan sontak insting berburunya menyadari ada sebuah benda yang tengah bergerak sangat cepat di udara. Kael memburu benda itu tanpa berpikir, melompat dengan bertumpu pada kedua kaki belakangnya yang sangat kuat, lalu menghancurkan ranting kayu itu dengan menggunakan gigi-giginya yang setajam pedang.
Kael, melompat setinggi dua puluh kaki dari permukaan tanah.
Shou bertepuk penuh semangat, gerakan akrobatiknya, ketinggian lompatannya. Ini sebenarnya sudah yang kelima kalinya dirinya menyaksikan gerakan itu, tapi tetap ia tak bisa menyembunyikan kekagumannya—mirip seperti seseorang yang pertama kali menyaksikan seekor gajah berjalan di atas bola.
“Hebat Kael!” tukas Shou bangga dan mengusap-usap kepala binatang buas tersebut.
Malam itu, setelah makan malam—sembari jalan-jalan ditengah gelapnya hutan—Giulietta mengenalnya pada Kael, harimau buas yang telah menemaninya selama lima tahun belakangan. Awalnya—tentu saja—Shou menolak, menganggap itu adalah suatu hal gila, sebuah misi bunuh diri. Namun wanita itu tahu bagaimana cara membujuk—dengan tidak seronok—seseorang.
Giulietta tidak mendapatkan Kael dengan cara membelinya ditoko binatang peliharaan, atau mencurinya di tempat penangkaran hewan langka. Mereka kali pertama bertemu saat Kael berumur lima bulan. Dia belum memiliki nama saat itu. Seluruh bulunya bermandikan warna merah darah, berdiri gemetar ditengah harimau-harimau putih sejenisnya yang tergeletak tak bernyawa. Menggeram, memperlihatkan gigi-giginya yang tajam, dan menatap Giulietta penuh amarah. Dan saat binatang kecil itu menyerang, Giu berniat untuk membunuhnya untuk mengakhiri penderitaan binatang malang itu. Namun seorang teman mencegah, membujuk, dan; lalu memberikan nama Kael kepadanya.
Shou bertanya siapa teman yang dimaksud, dan wanita itu menjawab pria pucat kurus yang ada di foto di ruang tamu. Namun sayangnya, saat menanyakan tentang kelima orang lainnya di foto itu, Giulietta hanya tersenyum tanpa suara.
Wanita di depan itu berhenti melangkah dan, berbalik menatap Shou, “kita berpisah disini. Kael akan menunjukkan jalan melewati bukit.”
Sejenak Shou memandang Giulietta yang mengenakan berbagai jenis pakaian tebal berwarna cokelat keabu-abuan. Lengkap dengan sepatu bot dan sarung tangan usang, serta rambut emas yang ia ikat asal-asalan. Sampai detik ini, ia masih sangat takjub dengan bagaimana cara wanita di depannya itu mengamuflasekan seluruh kecantikkannya.
“Aku mengerti,” tukasnya singkat.
Setelah itu Giulietta berbalik tanpa mengatakan apapun, hanya terus melangkah menyusuri hutan.
Shou memandangi punggung Giulietta sesaat, lalu beralih melihat harimau putih yang berdiri tepat di sebelahnya. “Kita juga harus bergegas,” ujarnya dengan senyum saat Kael menoleh kepadanya.
Perpisahannya dengan Giulietta tidak terjadi secara tiba-tiba. Ini sudah direncanakan, kemarin malam, sebelum mereka pergi tidur—dikamar yang terpisah tentu saja.
Giu berencana menarik perhatian Holy Vain dengan muncul seorang diri dihadapan mereka. Menunjukkan pada mereka, bahwa dirinya akan keluar dari hutan dalam waktu yang cukup lama. Dan itu akan membuat Holy Vain terpancing untuk masuk ke hutan mencari buronan yang mereka incar. Dan walau disaat bersamaan, ia yakin bahwa mereka juga tetap mempertahankan barisan di sekeliling hutan, dan sebagian lainnya akan berusaha untuk membuntutinya. Namun memang itulah tujuannya, memecah konsentrasi dengan jumlah pasukan mereka yang terbatas.
Bukit batu berwarna cokelat kemerahan itu terlihat lebih tinggi dari yang ia kira. Membentang dari timur ke utara sejauh enam puluh empat mil, menjadi dinding kokoh pelindung hutan.
Telapak kanan Shou menyentuh bukit batu itu berlahan, menyisir permukaannya, lalu menengadah. Ia tak pernah melihat—dan; atau membayangkan—ada bukit yang seperti ini. Tekstur halus permukaan bukit batu ini sangat tidak wajar, sama sekali tak terlihat ada celah-celah yang bisa digunakan untuk berpijak seperti bukit-bukit batu pada umumnya. Dan yang paling aneh adalah pasir halus berwarna kemerahan yang membuat permukaan bukit ini menjadi begitu licin. Ia telah mencoba menghapus pasir itu, tapi tak lama muncul pasir lain di tempat yang sama.
Tangan kanannya beralih menyentuh celah vertikal yang seakan membelah bukit sampai ke puncaknya yang tertinggi. Celah-celah vertikal itu ada di mana-mana, tersusun acak, bercabang dan menyatu. Tapi tetap saja, akan sangat sulit memanjat bukit ini dari celah-celah vertikal yang bahkan hanya memiliki kedalaman lima sampai tujuh sentimeter.
Auman khas binatang penguasa hutan yang menderu mengikuti angin, memecah seluruh imajinasi di kepala pria itu. Ia menengok ke kiri, kearah sumber suara, dan melihat Kael yang tengah berjalan menyisiri permukaan batu menuju utara. Tak lama ia mulai kehilangan harimau putih itu, pandangannya tertutup oleh permukaan batu bergelombang yang menjorok keluar.
Setelah diam menunggu beberapa saat, Shou memutuskan melangkahkan kaki mendekat. Tadinya ia berpikir Kael pasti akan muncul , mengingat ia masih bisa melihat ujung bukit batu yang terus membentang ke utara. Cerita berbeda jika tempat dimana harimau itu menghilang adalah persimpangan menuju ke bagian dalam bukit. Tapi benar, satu-satunya hal paling masuk akal untuk melewati bukit batu ini hanyalah dengan berjalan menembusnya.
Shou terenyak saat melihat hewan besar itu tak ada di tempat terakhir ia melihatnya. Dengan menjulurkan kepala ia melihat kearah tempatnya terdiri tadi, tak ada yang aneh, semuanya tampak wajar-wajar saja. Permukaan tempatnya berdiri saat ini memang sedikit melengkung ke dalam, tapi menurutnya wajar jika dinding bukit bergelombang, justru akan sangat aneh jika lurus dari ujung sampai ujung lainnya.
“Kael?!” panggil Shou.
Tapi tak ada balasan apapun yang bisa di dengarnya, hanya suara mendesir dedaunan yang tertiup angin pagi hari.
“Oke, ini aneh…” ucapnya gelisah memecah keheningan.
Ia pernah membaca sebuah novel misteri. Saat seorang penjahat berjalan masuk ke ruang kerjanya, dan si detektif yang membuntutinya dari pagi ikut masuk ke dalam diam-diam. Namun tiba-tiba saja si penjahat tak ada di ruangannya, ia menghilang secara misterius. Tapi si detektif tak kehabisan akal, ia memeriksa seluruh ruangan dan menemukan pintu rahasia setelah secara tak sengaja menekan dinding yang terbuat dari batu bata.
Dan Shou telah melakukan semua hal yang dilakukan detektif di novel itu berulang kali, memeriksanya sangat seksama sejak tiga puluh menit lalu. Dinding-dinding permukaan yang penuh pasir, batang-batang pohon yang tertanam acak, sampai tanah dan bebatuan tempatnya berpijak. Tapi ia tak mendapat hasil apapun, tak ada pintu yang terbuka, tak ada batu yang bergeser secara otomatis.
“Kael?!” panggilnya sekali lagi dan terdengar jelas intonasi kecemasan, panik dan, bingung yang dirasakannya saat ini.
“Avra kadavra!!” seru Shou setelah panggilannya tak kunjung juga mendapat balasan.
Di buku lainnya yang ia baca, batu bisa bergeser saat kau mengucapkan mantra yang tepat. Lagipula di depannya ada garis batu yang membelah vertikal, mungkin saja ada suatu sistem atau apalah, yang bisa menggeser batu itu.
“Terbukalah!!” serunya lantang mengucapkan mantra lain.
“Kuperintahkan terbukalah! Membuka! Bergeser!”
Ia tahu bahwa dirinya tampak seperti orang idiot, tapi tak ada pilihan lain. Harimau itu tak mungkin terbang karena dia tak memiliki sayap. Dan lagi tak ada seorang pun yang melihatnya saat ini, jadi tak apa apa.
“Simsalabim!” teriaknya diiringi mata melolot tak percaya.
Bukan, bukan karena mantranya berhasil, hanya saja ia melihat telapak tangan—atau telapak kaki—harimau muncul dari celah vertikal bukit dihadapannya. Kaki berbulu putih-hitam tanpa cakar yang muncul sejajar dengan tinggi kepalanya.
“Kael…?” panggil Shou ragu sambil berjalan menghampirinya. Wajahnya terlihat pucat pasi, dan coba meyakinkan diri bahwa telapak kaki itu muncul bukan karena mantra asal-asalannya yang ia ucapkan.
Shou menyentuh telapak kaki itu gemetar, dan terlalu terperangah untuk bertanya bagaimana sebuah kaki bisa berada di dalam celah sempit selebar tujuh sentimeter. Ia menempelkan mukanya di permukaan batu berpasir, menutup sebelah mata, dan memandangan sepasang bola mata bersinar berwarna kuning dengan raut wajahnya yang terlihat sangat menderita.
Sambil mengomel tak keruan—karena berpikir Kael sedang bermain-main hingga terjebak di dalam sana—Shou menggenggam telapak kaki itu, berusaha menariknya keluar. Namun tiba-tiba tubuhnya malah terdorong masuk, dan spontan ia melepaskan kedua tangannya hingga jatuh terjerembab di tanah.
“Ja-jangan katakan…” gumam Shou menyaksikan telapak kaki itu masuk ke dalam celah berlahan-lahan, lalu menghilang sempurna dari pandangannya. Gemercik dedaunan tersapu angin membentuk nada-nada melodi yang mengalun indah. Tapi Shou mengindahkannya, ia terus termangu, wajahnya pucat pasi tak percaya dengan apa yang baru saja di lihatnya.
“Kau pasti bercanda! Bagaimana mungkin aku bisa masuk ke dalam sana?!” teriaknya lantang penuh kefrustasian.
Namun setelah itu ia berdiri, mengedarkan pandangannya, lalu berteriak meluapkan seluruh emosinya. Kemudian dengan napas terengah-engah penuh kepasrahan, ia berjalan beberapa langkah mendekati celah sempit itu. Bagaimanapun ia harus melanjutkan misinya. Walau terlihat mustahil tapi ia yakin bisa masuk ke dalam sana—karena di lihat darimana pun, Kael jelas memiliki badan yang jauh lebih besar darinya.
Setelah menghirup napas panjang-panjang, Shou mulai mencoba masuk dari berbagai sisi tubuhnya dan, dengan beberapa gaya berbeda. Ia memasukkan telapak tangannya, namun ragu dan mengeluarkannya kembali. Memasukkan kakinya sampai ke lutut, namun kembali ragu dan mengeluarkan. Menempelkan wajahnya di permukaan batu, mengintip dari celah-celah sempit, dan jelas ia bisa melihat bulu-bulu putih—posisi berdiri—yang sangat kontras terus bergerak menjauh berlahan.
“Primitif,” gumamnya akhirnya. Lalu dengan penuh kepasrahan Shou mulai memasukkan seluruh lengannya ke dalam celah, diikuti kaki, badan, leher. Dan sebelum memasukkan kepala ia tak lupa kembali mengomel, “kenapa sih tidak pakai mantra atau, semacam tombol untuk menggeser batu. Cara itu akan jauh terlihat jenius dan, masuk akal!”
Di dalam celah Shou seperti ditindih berton-ton batu, sama sekali tak bisa menggerakkan tubuh. Napasnya serasa begitu berat, bergema melewati daun telingannya yang menempel di antara dinding bebatuan bukit. Kepalanya menghadap kanan, menatap pasrah harimau berloreng hitam yang cukup jauh berada didepannya. Dan ia akhirnya mengerti kenapa Kael tak pernah menjawab panggilannya tadi, karena jangankan bersuara, bahkan ia tak bisa mengatupkan mulutnya yang kini tengah mengangga lebar.
Dan di dalam celah tak semengerikan seperti yang ia bayangkan. Memang sempit—amat sangat sempit—tapi ia tak terlalu kesusahan untuk bisa bergerak maju, mengingat begitu halusnya dinding permukaan bukit dan pasir-pasir merah halus yang entah darimana munculnya. Serta banyaknya kerikil yang seolah sengaja di tanam di permukaan tanah, memudahkan telapak kakinya untuk mencengkram tanah mendorong tubuh bergerak maju.
Shou sampai di tikungan pertama yang mengarah masuk ke dalam bukit. Dengan mudahnya ia bisa berbelok mengikuti jalur—tadinya ia membayangkan akan tersangkut dan selamanya akan terjebak di dalam bukit. Kemudian tikungan kedua, tapi ia melewatinya karena harimau pemandu jalan terus bergerak maju mengabaikannya. Lalu mereka belok di tikungan ketiga, dan mengabaikan tiga tikungan berikutnya. Sampai akhirnya Shou bisa melihat secercah cahaya berwarna keemasan yang seolah membelah kegelapan di depan sana. Jauh, jauh di depan sana, dan semakin menjauh menghilang saat akhirnya Kael memilih untuk berbelok di tikungan—yang entah keberapa.
Ingin sekali rasanya Shou berteriak, “hei kau salah jalan, Kael.” Namun dengan mulut yang tak bisa mengatup ia hanya bisa menggerak-gerakkan lidah yang tentu saja tak akan bisa menghasilkan suara apapun. Akhirnya ia pun hanya bisa pasrah dan percaya, terus bergerak mengikuti ekor Kael yang tengah melambai-lambai—sampai ingin rasanya Shou memiliki ekor saat itu hanya untuk di lambai-lambaikan bebas di udara, mengingat bagaimana tubuhnya yang terkunci saat ini sangat merindukkan hal itu.
***
Diubah oleh redxiv 10-02-2014 17:19
0
Kutip
Balas