Pengalaman terburuk berhubungan dengan dunia bank hanya saya alami saat ingin membuka rekening di Bank Central Asia. Itu terjadi pada hari ini, Kamis (30/1). Saya ke BCA di Kemandoran, karena hanya itu yang terdekat dari tempat saya tinggal, Kampung Pluis. Setiba di sana, Satpam menyambut dan menanyakan tujuan, saya jawab apa adanya, “Membuka rekening!”

Di situlah semua berawal. Satpam di bank tersebut mengingatkan saya dengan sopan, “Syarat-syaratnya sudah dilengkapi, KTP dan KK?” Sadar saya memang belum punya KK, akhirnya bergegas ke kelurahan untuk mengurus KK terlebih dulu. Dari kelurahan, harus memburu RT, secara RT tidak memiliki kantor dan pihak kelurahan meminta tanda tangan RT di KK tersebut. Setelah itu selesai, bolak-balik rumah RT ke kelurahan, saya kembali ke kantor BCA tersebut.

Meski tadi dilelahkan dengan pengurusan KK terlebih dulu, saya sudah lega dan begitu yakin semua syarat sudah terpenuhi. Begitu berhadapan dengan petugasnya, saya serahkan berkas KK asli plus KTP asli. Petugas tersebut saya perhatikan mengecek rinci data-data di KTP dan KK tersebut.

Akhirnya saya dimintakan nomor telepon kantor. Karena tidak hafal, saya kontak atasan via seluler terlebih dulu untuk menanyakan nomor telepon kantor. Setelah mendapatkannya, saya berikan kepada petugas. Mereka menghubungi ke sana tanpa memberitahu terlebih dulu kepada, maka hanya dijawab oleh petugas di kantor saya. Apalagi, HRD juga sedang tidak di sana.

Mereka gagal mengontak HRD, lalu mereka menanyakan nomor telepon rumah saya, “…atau telepon teman, atau tetangga…”

Di sini saya mulai gerah. Bukan cuma karena lelah memburu KK agar selesai hari itu saja. Tapi karena persyaratan mereka yang lebih melelahkan daripada saat saya harus bertarung dengan panas dan macet di jalan saat harus bolak-balik kelurahan dan ke RT untuk mengurus KK itu.

Di otak saya mulai keluar asap–isyarat panas. Apa pihak bank ini mengira semua penduduk negara ini sudah memiliki rumah pribadi? Apa mereka buta dengan perkembangan gadget dan seluler, sehingga banyak masyarakat tidak lagi menggunakan telepon rumah?

Terkait permintaan nomor telepon rumah teman, tetangga, apa mereka berpikir akan mudah bagi teman-teman untuk memberikan telepon rumah? Terlebih berkaitan dengan bank, walaupun saya pribadi hanya menjadikannya untuk menabung dan kebutuhan memudahkan divisi keuangan di kantor mentransfer gaji, tentu teman-teman itu gelisah juga dikait-kaitkan dengan urusan bank.Apalagi tetangga saya, kalaupun mereka punya telepon rumah, tentu mereka tidak akan selalu di rumah apalagi menunggu telepon dari pihak BCA yang ingin mengonfirmasi saya sebagai calon nasabah mereka. Pun, sangat tidak etis kalau saya memberikan nomor telepon rumah mereka, tanpa sepengetahuan mereka.

Di benak saya terpikir, apa masih kurang untuk menguatkan identitas saya dengan KTP dan KK? Apa mereka tidak yakin dengan keaslian KTP dan KK tersebut? Atau, jangan-jangan memang muka saya bertampang kriminal?

Setelah mengontak beberapa teman terdekat dan menanyakan telepon rumah mereka, dan mereka memastikan tidak ada, saya tanyakan lagi ke petugas BCA itu, “Tidak ada, mereka semua memakai nomor seluler! Apakah ada alternatif?”

Petugas tersebut menjawab, “Tidak bisa, Pak. Harus ada konfirmasi dari teman atau tetangga karena tadi kami hubungi HRD Anda pun beliau sedang tidak di tempat!”

Saya yang merasa sudah sangat dilelahkan dengan diping-pong dari kantor BCA tersebut ke kelurahan, RT, dan kembali ke kantor mereka lagi, tapi menemui jalan buntu cuma karena tak ada telepon rumah, maka tiba saatnya kesabaran saya habis. “Sudah kalau begitu, saya batalkan saja membuka rekening di sini!”

***

Itu adalah pengalaman pribadi yang saya alami hari ini. Sebagai pekerja media, sedikitnya saya tahu prosedur itu memang perlu bagi mereka. Baik untuk keamanan, untuk mencegah penipuan, dan hal-hal yang tidak diinginkan. Tapi yang menjadi ganjalan bagi saya adalah apakah mereka memang tidak memiliki alat atau cara untuk membuktikan identitas yang diterima? Atau, apakah pikiran mereka belum terjangkau untuk mencari cara yang lebih luwes: kebutuhan keamanan yang mereka inginkan tercapai, calon nasabah juga tidak diperlakukan sebagai pecundang dan malah seperti dicurigai seperti itu.