TS
redxiv
[OriFic] Tear of Fate
Halo salam kenal,
Setelah menunda beberapa kali akhirnya saya putuskan sharing cerita disini. Jujur aja sih saya harap ini jadi proyek tulis menulis terakhir saya sebelum terjun ke dunia menulis sebenarnya. Jadi saya mohon kritik atau masukan apapun tentang cerita ini, dan terima kasih banyak sebelumnya.
Genre : Fantasi, Adventure, Political, Magic, Alternate History
Sinopsis :
Index :
Setelah menunda beberapa kali akhirnya saya putuskan sharing cerita disini. Jujur aja sih saya harap ini jadi proyek tulis menulis terakhir saya sebelum terjun ke dunia menulis sebenarnya. Jadi saya mohon kritik atau masukan apapun tentang cerita ini, dan terima kasih banyak sebelumnya.
Genre : Fantasi, Adventure, Political, Magic, Alternate History
Sinopsis :
Quote:
Bergabung di akademi militer saat menginjak umur empat belas tahun, lulus setahun kemudian dengan memecahkan berbagai rekor. Memberikan kontribusi pertamanya pada aliansi kerajaan Riviera saat memimpin lima ratus pasukan memasuki benteng Frostia pada umurnya yang keenam belas tahun, dan meruntuhkan benteng itu enam jam kemudian. Mencapai puncak prestasi di umur yang kedua puluh tahun dengan di angkat sebagai komandan tertinggi kerajaan Riviera.
Dan lima tahun telah berlalu sejak di tanda-tanganinya perjanjian perdamaian antara republik Vain, dan aliansi kerajaan Riviera. Dia kini tengah menikmati kedamaian dengan mengasingkan diri di hutan konservasi berjarak empat puluh lima ribu mil dari ibukota Riviera, Sphersa.
Namun sepertinya kedamaian itu berakhir saat munculnya seorang pria lemah, cerewet, pengeluh—pokoknya semua yang buruk-buruk—sedang diburu oleh Holy Vain, pasukan dari republik Vain. Firasatnya—yang tak pernah meleset—mengatakan bahwa pria lemah itu akan kembali membawa dunia dalam peperangan.
Dia tak menginginkan perang. Perang telah membuatnya menjadi pembunuh berdarah dingin, perang telah merenggut rekan-rekan seperjuangannya. Tapi dia tak bisa lari menghindar saat mengetahui kenyataan dibalik pria itu, sejarah lima ribu tahun lalu. Firasatnya tak pernah mengatakannya, pria itu menuntunnya melihat sisi lain dunia, mengantarnya menuju takdir tak terelakkan…
Dan lima tahun telah berlalu sejak di tanda-tanganinya perjanjian perdamaian antara republik Vain, dan aliansi kerajaan Riviera. Dia kini tengah menikmati kedamaian dengan mengasingkan diri di hutan konservasi berjarak empat puluh lima ribu mil dari ibukota Riviera, Sphersa.
Namun sepertinya kedamaian itu berakhir saat munculnya seorang pria lemah, cerewet, pengeluh—pokoknya semua yang buruk-buruk—sedang diburu oleh Holy Vain, pasukan dari republik Vain. Firasatnya—yang tak pernah meleset—mengatakan bahwa pria lemah itu akan kembali membawa dunia dalam peperangan.
Dia tak menginginkan perang. Perang telah membuatnya menjadi pembunuh berdarah dingin, perang telah merenggut rekan-rekan seperjuangannya. Tapi dia tak bisa lari menghindar saat mengetahui kenyataan dibalik pria itu, sejarah lima ribu tahun lalu. Firasatnya tak pernah mengatakannya, pria itu menuntunnya melihat sisi lain dunia, mengantarnya menuju takdir tak terelakkan…
Index :
Quote:
Diubah oleh redxiv 10-02-2014 20:11
0
2.8K
Kutip
16
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Fanstuff
1.9KThread•347Anggota
Tampilkan semua post
TS
redxiv
#13
Chapter III #2
Quote:
Kedua tangan tuanyatampak menggenggam erat pundak seorang pemuda. Dan dengan suara parau mengerikan, dia berteriak, “kau harus selamat! Berjanjilah kau akan selamat!!”
Pemuda itu mematung, mimik wajahnya dipenuhi rasa takut. Kedua matanya menerawang, memikirkan berbagai kemungkinan yang membuat seseorang tua renta yang begitu dicintainya berubah menjadi sosok yang sama sekali asing di matanya.
“SHOU GANTERA!!!” raung orang tua itu tiba-tiba. Diiringi sura-suara gemuruh langit yang seolah akan runtuh, tumpukkan berton-ton salju gemetaran, da bongkahan es-es abadi yang seakan ingin mencair ketakutan.
Tapi pemuda itu tak peduli, dan jika dunia akan kiamat hari inipun dia akan tetap tak mempedulikannya. Seluruh pikirannya, matanya, saat ini hanya tertuju pada kakek tua yang berdiri tepat dihadapannya.
“Pergilah ke utara, ke kota bernama Shpersa,” ucap orang tua itu lirih. Seraya kedua tangannya meraih rantai tipis berlapis emas, dari balik baju tebalnya.
“Itu kota yang sangat indah dengan penduduk yang sangat luar biasa. Kota, yang sangat kurindukan.”—sambungnya dengan kedua tangan keriputnya menggenggam hangat telapak tangan Shou—“Temui seseorang bernama Anne Rosella Fellana. Dia pasti akan menyambutmu, dengan sangat hangat.”
Shou mematung. Hatinya ingin memberontak, tapi bibirnya gemetar tak sanggup mengatakan apapun. Namun ia yakin, yakin bahwa harus mengatakan sesuatu. Bukan sesuatu yang menyedihkan, bukan sebuah kalimat perpisahan. Tetapi sesuatu yang indah, sesuatu yang dipenuhi tawa, seperti beberapa hari sebelumnya, seperti beberapa jam yang lalu.
“Tidak kek. Jika kakek ingin kesana, kita akan kesana bersama-sama,” ucapnya dengan bibir menggigil. “Kita ajak, keluarga hemastone, kedua putri kembarnya, pasti akan menyukai kota itu. Kita ajak Aaron kecil. Walau dia pasti berulah, tapi aku pasti akan menjaganya.”
Bibir tuanya tersenyum layu. “Kau anak baik Shou, kakek bangga padamu,”—balasnya pilu dengan sebelah tangan menghapus lembut air mata cucunya—“Orang tua ini memang tak berguna. Orang tua memang penuh dosa. Dan sekali dalam seumur hidup orang tua ini ingin menebusnya, melakukan sesuatu demi masa depan, demi bayi kecil yang telah mengubah hidup orang tua berdosa ini. Maaf, maafkan kakek. Dan terima kasih telah bersedia menjadi cucu kakek. Kakek menyayangimu, Shou.”
Shou membisu, kedua bola mata terus menatap lekat wajah sayu kakek tua dihadapannya. Hatinya ingin berteriak mencegah, tapi tak tahu harus mengatakan apa, kebingungan, sama sekali tak mengerti dengan semua yang diucapkan orang tua itu. Dan hanya bisa terisak, berharap semua ini hanyalah mimpi buruk.
Bibir keriputnya tersenyum penuh arti, penuh kepasrahaan. Kedua tangan tuanya merangkul punggung cucunya dalam-dalam, dan menepuk-nepuknya diam.
Shou mematung, menatap lekat-lekat punggung orang tua yang kini tengah melangkah seorang diri di jalan es setapak yang diapit tebing-tebing es menjulang tinggi. Ia tahu akan selalu ada perpisahan, kakeknya telah mengajarkannya banyak hal tentang itu. Jika satu dari dua orang harus pergi untuk selamanya, maka yang bertahan hidup harus tegar dan hidup lebih baik, agar yang telah pergi dapat hidup lebih lama di hati mereka yang masih hidup.
Dahi Shou mengernyit, menatap yakin langit biru tak berawan di depannya. Mengeramkan kedua telapak tangan kuat-kuat, dan teringat akan sebuah benda yang tanpa ia sadari diletakkan kakeknya di tangan kanannya. Ia pun mengangkat sebelah tangan itu, dan membukanya berlahan.
Selama dua puluh satu tahun Shou tinggal bersama kakeknya, ia sama sekali tak pernah melihat benda ini. Sebuah kalung, kalung yang berbentuk oval panjang dengan rantai emas yang terjuntai di salah satu ujungnya.
Panjang kalung itu tujuh sentimeter dengan ketebalan satu setengah sentimeter. Seluruh permukaan kalung itu dilapisi emas murni, serta dihiasi bebatuan ruby merah darah berbentuk bulat—sangat kecil—di setiap ujungnya, masing-masing ujungnya berjumlah lima buah batu ruby, dan disusun melingkar. Dibagian tengahnya, melingkar sebuah batu permata yang seolah menjadi pembatas antara ujung satu dengan lainnya.
***
Dan kini kalung itu berada di telapak tangan Giulietta.
Walau berat baginya untuk melepas dan memperlihatkan benda berharga itu kepada orang lain. Tapi entah mengapa Shou merasa bisa mempercayainya—bukan karena terpengaruh oleh kecantikan wanita itu—hatinya hanya berkata, dia bisa dipercaya.
Mata Giu menjelajahi setiap sudut mainan yang baru saja dipegangnya. Ia tahu benda ini, mengerti fungsinya, dan karena itulah dia mencari sesuatu untuk mengaktifkannya. Dan sebenarnya benda yang dipegangnya ini sudah terlalu kuno. Seorang temannya pernah mengatakan, semakin kuno, maka puzzle-nya akan semakin menarik, menarik dalam artian semakin susah untuk dipecahkan, apalagi memecahkan sandi sama sekali bukan bidangnya.
Shou menyembunyikan wajahnya tertunduk. Nafsu makannya benar-benar lenyap saat ini. Seluruh kepalanya terus terisi oleh kenangan dirinya bersama pria tua yang telah membesarkannya, berharap seperti yang diucapkan Giulietta, bahwa kakeknya masih hidup walau tengah ditawan oleh tentara Vain.
“Jadi,” tukas Giulietta memecah keheningan, melirik Shou, mengalihkan sejenak pikiran yang tersuntuk oleh teka-teki di benda di tangannya. “tujuanmu kota Shpersa?”
“Ya,” balas pria itu menatap wanita di depannya. “Shpersa ibukota kerajaan Riviera.”
Giu menatap mata Shou lekat-lekat. Sebelum akhirnya kembali menyibukkan diri dengan benda ditangannya, seraya berkata datar, “Kau tak akan bisa sampai ke tempat itu.”
Shou terdiam, mencerna ucapan wanita itu, lalu membalas dengan nada tinggi, “Tidak, aku harus kesana. Aku tau kota itu masih sangat jauh, sebulan, dua bulan, setahun, aku tak peduli. Aku harus sampai kesana dan menemui orang itu, kematian kakekku harus dibayar dengan alasan yang pantas.”
“Bukan itu’kan masalahnya,” saut Giulietta dengan nada sedingin es.
Shou mematung, ia ingin membantah tapi sama sekali tak mengerti maksud wanita itu. Terlebih lagi, ia heran kenapa Giulietta terus-menerus mengutak-atik benda berharga peninggalan kakeknya. Namun belum sempat mengatakan apapun, ia tersentak oleh bunyi hempasan sistem mekanik yang membahana ke seluruh penjuru pondok.
Kedua matanya menatap lekat-lekat sumber bunyi suara yang berasal dari kalung miliknya, yang saat ini berada di tangan Giulietta. Kalung itu membelah—atau terbelah—tepat di bagian tengah, dan batu permata pun ikut terpecah menjadi dua bagian. Dan dibagian dalam kalung yang terbelah itu, terdapat tiang penyangga tipis berwarna keemasan.
Ingin rasanya Shou membentak—atau memaki—wanita itu, karena apa yang telah dilakukannya pada harta berharga pemberian kakeknya. Namun saat memandang wajah Giulietta yang serius menatap kalung itu, ia mengurungkannya, dan malah bertanya, “kenapa?”
Sekelebat kedua bola mata Giu melirik kearah Shou, sebelum akhirnya kembali menatap benda di tangan kanannya, lalu menutupnya dengan sebelah tangan, mengembalikannya seperti sediakala. Merentangkan sebelah tangan, mengembalikan kalung itu pada pemilik aslinya, seraya berkata dingin, “Tidak. Hanya saja kukira ada sebuah pesan di dalamnya.”
“Pesan…?” balas Shou ragu.
“Itu adalah Ilumnia, emblem kerajaan Riviera, diberikan pada mereka yang tengah melaksanakan tugas kerajaan. Secara fisik nilainya mungkin terlihat tak berharga, tapi seseorang yang memiliki Ilumnia punya kuasa tak terbatas di luar wilayah Riviera, termasuk seluruh wilayah aliansi. Dengan menunjukkan Ilumnia pada penduduk Riviera atau tentara Riviera dan aliansinya, segala ucapannya adalah titah.”
Shou mematung, mendengarkan serius semua ucapan yang keluar dari mulut Giulietta. Lalu beralih memandang kalung di tangan kanannya. Awalnya, dia mengira—saat dalam pelarian—ini adalah kalung mewah milik bangsawan-bangsawan kerajaan Riviera, dan mungkin dirinya adalah seorang putra bangsawan yang terbuang, atau putra raja, dan; lalu saat ia menunjukkan kalung ini, ibu kandungnya akan memeluknya erat dan dengan deras mengucurkan air, seperti itulah cerita-cerita fiksi di novel yang ia baca.
“Jadi” tukas Shou menghancurkan imajinasi di kepalanya. “Kakekku selama ini tengah menjalankan misi kerajaan?”
“Entahlah. Tadinya kukira akan ada sebuah pesan di dalamnya, seperti misi apa yang sedang dijalankan, siapa yang diutus. Tapi seperti yang kau lihat, tak ada apapun di dalamnya. Dan seandainya pun seseorang diberikan mandat untuk melaksanakan tugas rahasia kerajaan, usia tugas itu pasti lebih dari tiga puluh lima tahun lalu.”
“Maksudmu? Bagaimana kau bisa tahu…?”
“Simbol kerajaan, pola bulu burung phoenix akan selalu berganti saat pergantian tahta. Dan pada Ilumnia itu, memiliki pola yang sama dengan dua generasi sebelum ratu Riviera sekarang.” jawab Giu seraya membalikkan salah satu gelas di meja, dan menuangkannya air dari nampan kayu.
“Burung, Pho-enix…” gumam Shou menerawang kalung emas itu dalam-dalam, dan memang samar-samar terlihat ukiran burung yang tak pernah ia sadari. Namun, walau menyadarinya pun itu takkan memberikan perubahan apapun, karena ia bahkan tak mengerti bahwa simbol kerajaan Riviera adalah seekor burung api abadi.
“Baiklah,” tukas Giulietta seraya meletakkan gelas berkaca bening kosong itu di meja. “Rencana berubah.”
Shou terkesiap, dan memandang wajah wanita itu lekat-lakat. Mendengar rencana berubah, mengingatkannya pada sebuah kata sadis yang pernah didengarnya tiga hari lalu. Dan dikepalanya sudah muncul berbagai variasi—khusus yang buruk-buruk saja—tentang perubahan rencana yang awalnya adalah mengeluarkannya dari dalam hutan tanpa diketahui Holy Vain. Dia masih ingat betul, karena ucapan itulah yang memancingnya masuk ke pondok ini.
“Akan kupastikan kau menginjakkan kaki di tanah Riviera dalam keadaan hidup,” lanjut GIulietta tegas menatap mata pria dihadapannya.
***
Pemuda itu mematung, mimik wajahnya dipenuhi rasa takut. Kedua matanya menerawang, memikirkan berbagai kemungkinan yang membuat seseorang tua renta yang begitu dicintainya berubah menjadi sosok yang sama sekali asing di matanya.
“SHOU GANTERA!!!” raung orang tua itu tiba-tiba. Diiringi sura-suara gemuruh langit yang seolah akan runtuh, tumpukkan berton-ton salju gemetaran, da bongkahan es-es abadi yang seakan ingin mencair ketakutan.
Tapi pemuda itu tak peduli, dan jika dunia akan kiamat hari inipun dia akan tetap tak mempedulikannya. Seluruh pikirannya, matanya, saat ini hanya tertuju pada kakek tua yang berdiri tepat dihadapannya.
“Pergilah ke utara, ke kota bernama Shpersa,” ucap orang tua itu lirih. Seraya kedua tangannya meraih rantai tipis berlapis emas, dari balik baju tebalnya.
“Itu kota yang sangat indah dengan penduduk yang sangat luar biasa. Kota, yang sangat kurindukan.”—sambungnya dengan kedua tangan keriputnya menggenggam hangat telapak tangan Shou—“Temui seseorang bernama Anne Rosella Fellana. Dia pasti akan menyambutmu, dengan sangat hangat.”
Shou mematung. Hatinya ingin memberontak, tapi bibirnya gemetar tak sanggup mengatakan apapun. Namun ia yakin, yakin bahwa harus mengatakan sesuatu. Bukan sesuatu yang menyedihkan, bukan sebuah kalimat perpisahan. Tetapi sesuatu yang indah, sesuatu yang dipenuhi tawa, seperti beberapa hari sebelumnya, seperti beberapa jam yang lalu.
“Tidak kek. Jika kakek ingin kesana, kita akan kesana bersama-sama,” ucapnya dengan bibir menggigil. “Kita ajak, keluarga hemastone, kedua putri kembarnya, pasti akan menyukai kota itu. Kita ajak Aaron kecil. Walau dia pasti berulah, tapi aku pasti akan menjaganya.”
Bibir tuanya tersenyum layu. “Kau anak baik Shou, kakek bangga padamu,”—balasnya pilu dengan sebelah tangan menghapus lembut air mata cucunya—“Orang tua ini memang tak berguna. Orang tua memang penuh dosa. Dan sekali dalam seumur hidup orang tua ini ingin menebusnya, melakukan sesuatu demi masa depan, demi bayi kecil yang telah mengubah hidup orang tua berdosa ini. Maaf, maafkan kakek. Dan terima kasih telah bersedia menjadi cucu kakek. Kakek menyayangimu, Shou.”
Shou membisu, kedua bola mata terus menatap lekat wajah sayu kakek tua dihadapannya. Hatinya ingin berteriak mencegah, tapi tak tahu harus mengatakan apa, kebingungan, sama sekali tak mengerti dengan semua yang diucapkan orang tua itu. Dan hanya bisa terisak, berharap semua ini hanyalah mimpi buruk.
Bibir keriputnya tersenyum penuh arti, penuh kepasrahaan. Kedua tangan tuanya merangkul punggung cucunya dalam-dalam, dan menepuk-nepuknya diam.
Shou mematung, menatap lekat-lekat punggung orang tua yang kini tengah melangkah seorang diri di jalan es setapak yang diapit tebing-tebing es menjulang tinggi. Ia tahu akan selalu ada perpisahan, kakeknya telah mengajarkannya banyak hal tentang itu. Jika satu dari dua orang harus pergi untuk selamanya, maka yang bertahan hidup harus tegar dan hidup lebih baik, agar yang telah pergi dapat hidup lebih lama di hati mereka yang masih hidup.
Dahi Shou mengernyit, menatap yakin langit biru tak berawan di depannya. Mengeramkan kedua telapak tangan kuat-kuat, dan teringat akan sebuah benda yang tanpa ia sadari diletakkan kakeknya di tangan kanannya. Ia pun mengangkat sebelah tangan itu, dan membukanya berlahan.
Selama dua puluh satu tahun Shou tinggal bersama kakeknya, ia sama sekali tak pernah melihat benda ini. Sebuah kalung, kalung yang berbentuk oval panjang dengan rantai emas yang terjuntai di salah satu ujungnya.
Panjang kalung itu tujuh sentimeter dengan ketebalan satu setengah sentimeter. Seluruh permukaan kalung itu dilapisi emas murni, serta dihiasi bebatuan ruby merah darah berbentuk bulat—sangat kecil—di setiap ujungnya, masing-masing ujungnya berjumlah lima buah batu ruby, dan disusun melingkar. Dibagian tengahnya, melingkar sebuah batu permata yang seolah menjadi pembatas antara ujung satu dengan lainnya.
***
Dan kini kalung itu berada di telapak tangan Giulietta.
Walau berat baginya untuk melepas dan memperlihatkan benda berharga itu kepada orang lain. Tapi entah mengapa Shou merasa bisa mempercayainya—bukan karena terpengaruh oleh kecantikan wanita itu—hatinya hanya berkata, dia bisa dipercaya.
Mata Giu menjelajahi setiap sudut mainan yang baru saja dipegangnya. Ia tahu benda ini, mengerti fungsinya, dan karena itulah dia mencari sesuatu untuk mengaktifkannya. Dan sebenarnya benda yang dipegangnya ini sudah terlalu kuno. Seorang temannya pernah mengatakan, semakin kuno, maka puzzle-nya akan semakin menarik, menarik dalam artian semakin susah untuk dipecahkan, apalagi memecahkan sandi sama sekali bukan bidangnya.
Shou menyembunyikan wajahnya tertunduk. Nafsu makannya benar-benar lenyap saat ini. Seluruh kepalanya terus terisi oleh kenangan dirinya bersama pria tua yang telah membesarkannya, berharap seperti yang diucapkan Giulietta, bahwa kakeknya masih hidup walau tengah ditawan oleh tentara Vain.
“Jadi,” tukas Giulietta memecah keheningan, melirik Shou, mengalihkan sejenak pikiran yang tersuntuk oleh teka-teki di benda di tangannya. “tujuanmu kota Shpersa?”
“Ya,” balas pria itu menatap wanita di depannya. “Shpersa ibukota kerajaan Riviera.”
Giu menatap mata Shou lekat-lekat. Sebelum akhirnya kembali menyibukkan diri dengan benda ditangannya, seraya berkata datar, “Kau tak akan bisa sampai ke tempat itu.”
Shou terdiam, mencerna ucapan wanita itu, lalu membalas dengan nada tinggi, “Tidak, aku harus kesana. Aku tau kota itu masih sangat jauh, sebulan, dua bulan, setahun, aku tak peduli. Aku harus sampai kesana dan menemui orang itu, kematian kakekku harus dibayar dengan alasan yang pantas.”
“Bukan itu’kan masalahnya,” saut Giulietta dengan nada sedingin es.
Shou mematung, ia ingin membantah tapi sama sekali tak mengerti maksud wanita itu. Terlebih lagi, ia heran kenapa Giulietta terus-menerus mengutak-atik benda berharga peninggalan kakeknya. Namun belum sempat mengatakan apapun, ia tersentak oleh bunyi hempasan sistem mekanik yang membahana ke seluruh penjuru pondok.
Kedua matanya menatap lekat-lekat sumber bunyi suara yang berasal dari kalung miliknya, yang saat ini berada di tangan Giulietta. Kalung itu membelah—atau terbelah—tepat di bagian tengah, dan batu permata pun ikut terpecah menjadi dua bagian. Dan dibagian dalam kalung yang terbelah itu, terdapat tiang penyangga tipis berwarna keemasan.
Ingin rasanya Shou membentak—atau memaki—wanita itu, karena apa yang telah dilakukannya pada harta berharga pemberian kakeknya. Namun saat memandang wajah Giulietta yang serius menatap kalung itu, ia mengurungkannya, dan malah bertanya, “kenapa?”
Sekelebat kedua bola mata Giu melirik kearah Shou, sebelum akhirnya kembali menatap benda di tangan kanannya, lalu menutupnya dengan sebelah tangan, mengembalikannya seperti sediakala. Merentangkan sebelah tangan, mengembalikan kalung itu pada pemilik aslinya, seraya berkata dingin, “Tidak. Hanya saja kukira ada sebuah pesan di dalamnya.”
“Pesan…?” balas Shou ragu.
“Itu adalah Ilumnia, emblem kerajaan Riviera, diberikan pada mereka yang tengah melaksanakan tugas kerajaan. Secara fisik nilainya mungkin terlihat tak berharga, tapi seseorang yang memiliki Ilumnia punya kuasa tak terbatas di luar wilayah Riviera, termasuk seluruh wilayah aliansi. Dengan menunjukkan Ilumnia pada penduduk Riviera atau tentara Riviera dan aliansinya, segala ucapannya adalah titah.”
Shou mematung, mendengarkan serius semua ucapan yang keluar dari mulut Giulietta. Lalu beralih memandang kalung di tangan kanannya. Awalnya, dia mengira—saat dalam pelarian—ini adalah kalung mewah milik bangsawan-bangsawan kerajaan Riviera, dan mungkin dirinya adalah seorang putra bangsawan yang terbuang, atau putra raja, dan; lalu saat ia menunjukkan kalung ini, ibu kandungnya akan memeluknya erat dan dengan deras mengucurkan air, seperti itulah cerita-cerita fiksi di novel yang ia baca.
“Jadi” tukas Shou menghancurkan imajinasi di kepalanya. “Kakekku selama ini tengah menjalankan misi kerajaan?”
“Entahlah. Tadinya kukira akan ada sebuah pesan di dalamnya, seperti misi apa yang sedang dijalankan, siapa yang diutus. Tapi seperti yang kau lihat, tak ada apapun di dalamnya. Dan seandainya pun seseorang diberikan mandat untuk melaksanakan tugas rahasia kerajaan, usia tugas itu pasti lebih dari tiga puluh lima tahun lalu.”
“Maksudmu? Bagaimana kau bisa tahu…?”
“Simbol kerajaan, pola bulu burung phoenix akan selalu berganti saat pergantian tahta. Dan pada Ilumnia itu, memiliki pola yang sama dengan dua generasi sebelum ratu Riviera sekarang.” jawab Giu seraya membalikkan salah satu gelas di meja, dan menuangkannya air dari nampan kayu.
“Burung, Pho-enix…” gumam Shou menerawang kalung emas itu dalam-dalam, dan memang samar-samar terlihat ukiran burung yang tak pernah ia sadari. Namun, walau menyadarinya pun itu takkan memberikan perubahan apapun, karena ia bahkan tak mengerti bahwa simbol kerajaan Riviera adalah seekor burung api abadi.
“Baiklah,” tukas Giulietta seraya meletakkan gelas berkaca bening kosong itu di meja. “Rencana berubah.”
Shou terkesiap, dan memandang wajah wanita itu lekat-lakat. Mendengar rencana berubah, mengingatkannya pada sebuah kata sadis yang pernah didengarnya tiga hari lalu. Dan dikepalanya sudah muncul berbagai variasi—khusus yang buruk-buruk saja—tentang perubahan rencana yang awalnya adalah mengeluarkannya dari dalam hutan tanpa diketahui Holy Vain. Dia masih ingat betul, karena ucapan itulah yang memancingnya masuk ke pondok ini.
“Akan kupastikan kau menginjakkan kaki di tanah Riviera dalam keadaan hidup,” lanjut GIulietta tegas menatap mata pria dihadapannya.
***
Diubah oleh redxiv 10-02-2014 17:20
0
Kutip
Balas